“Don’t feel guilty for doing what’s best for you”
Apakah Chrisye bisa hidup lagi? Begitu bunyi salah satu headline koran dalam kelebatan berita dan fakta singkat yang kita lihat di menit-menit awal film ini berlangsung. Jawabannya tidak secara harafiah Chrisye bangkit dari kubur, tentu saja. Dan menurutku, jawabannya juga ‘tidak’ jika pertanyaan tadi kita jawab dengan kiasan. Namun bukan karena sudah tidak ada lagi orang yang mengenalnya, yang mendendangkan lagunya. Justru sebaliknya, ‘tidak’ karena buatku, dan kuyakin juga buat penggemar, buat orang-orang yang pernah tersentuh dan terhibur oleh karyanya yang amat banyak, juga buat keluarga dan orang-orang terdekatnya, Chrisye tidak pernah mati. Dia akan terus hidup. Lilin-lilin kecil itu tidak akan pernah padam.
Menjalani masa pertumbuhan di era 90an, telingaku akrab sama lagu-lagu Chrisye. Dan memang, aku gak pernah tahu kisah hidupnya seperti apa. Orang bilang, kita bisa mengenal seseorang lewat karyanya, but still enggak banyak yang tahu cerita di balik lagu-lagu tersebut. Paling enggak, tidak tahu sedekat Damayanti Noor, istri Chrisye. Kenapa juga kita perlu tahu, kalian tanya. Well, karena akan selalu ada saja yang bisa kita petik dari kisah-kisah hidup orang seperti Chrisye. Orang yang berjuang dengan karyanya, meski dia tahu profesi yang ia tekuni tidak dihargai benar-benar layak. Orang yang mengikuti kata hati dan memilih jalan hidup atas nama cinta. Film Chrisye ini adalah cerita yang sangat personal karena diangkat dari sudut pandang sang istri, yang sudah menemani Chrisye, sudah ikut naik-turun gelombang kehidupan bersamanya.
Sebagai sebuah drama biografi, film ini akan sedikit banyak berusaha menyentuh sisi emosional kita. Ada beberapa adegan di pertengahan akhir film yang benar-benar terasa buatku. Malahan, di bagian paruh terakhirlah film ini bekerja dengan baik. Kita bisa merasakan stake yang gede ketika satu hari sebelum manggung di konser tunggal akbarnya, suara Chrisye malah menghilang. Kita ikut gemetar ketika Chrisye tak sanggup untuk menyanyikan lagu tentang kebesaran Tuhan yang disadur dari terjemahan Surat Yasin ayat 65 Al-Qur’an. Karena setelah sekian banyak yang kita pelajari dari pribadi seorang Chrisye, kita jadi tau gimana dia ogah mendengar nyanyiannya sendiri, gimana dia nyari-nyari alesan untuk menunda melihat penampilannya di televisi, semua sisi emosional itu barulah benar-benar pecah saat film membahas kejadian di late on his career. Vino G Bastian yang sempat diragukan melangkah ke dalam sepatu seorang Chrisye, juga akhirnya mendeliver penampilan yang meyakinkan di porsi ini. Ketika dia diberikan kesempatan untuk menyanyikan lagu dengan suara sendiri, Chrisye terbata sebelum akhirnya tak dapat menahan laju air mata, adegan tersebut sangat kuat menyentuh. Bahkan dari segi penampilan, Vino jadi tampak mirip dengan Chrisye, apalagi di angle-angle dari depan ketika kepalanya sedikit merunduk.
Bayangkan jika satu-satunya hal yang bisa kau lakukan, ternyata tidak cukup untuk membahagiakan orang yang kau cintai. Chrisye malahan sampai merasa amat bersalah karena sudah memilih menjadi musikus – dia jadi meragukan potensinya, the only things he’s good at. Ini lebih dari sekadar depresi. Ini adalah perasaan gagal, tak berguna, ketakberdayaan, yang menggumpal menjadi satu. Menjadi penyakit yang merundung Chrisye.
Tapinya lagi, film tidak menyoroti Chrisye sebagai penyanyi sebanyak itu. We do get perjuangan Chrisye bertahan sebagai seorang musikus, tetapi fokus film sesungguhnya terletak kepada menyajikan Chrisye sebagai seorang pria, seorang ayah, seorang manusia. Salah satu aspek cerita yang mendapat build up yang cukup banyak dan menarik adalah soal beda agama. Kita melihat suara Adzan mempengaruhi pilihan Chrisye, dan later juga menambah banyak bobot buat elemen Chrisye dengan musiknya. Kalo boleh menekankan, aku akan bilang sekali lagi film ini bekerja terbaik begitu dia memperlihatkan tentang Chrisye dan perjuangannya dalam musik. Namun, alih-alih itu, film memperlihatkan aspek-aspek yang lain yang datang dan pergi begitu saja.
Hubungan yang terjalin antara Chrisye dengan Damayanti mengambil posisi utama pada paruh pertama. Yang gak sepenuhnya menarik dan ingin kita ketahui. Dan film ini sendiri pun sepertinya aware dengan hal tersebut. Buktinya, film banyak mengambil waktu untuk membuat kita melihat bagaimana mereka bertemu, kemudian pacaran, dan kemudian ketika menunjukkan bagian romantis, bagian kedekatan mereka, film menceritakan lewat montase, seolah ingin segera cepat sampai ke bagian yang lebih serius. Dialog di bagian awal-awal ini pun ala kadarnya. Ada begitu banyak kejadian, film terus melompat-lompat periode waktu, sehingga membuat kita susah untuk pegangan. Tidak ada yang bisa dicengkeram pada bagian-bagian awal ini. Tidak ada stake yang kerasa. Aku benar-benar susah untuk peduli sehingga sebagian besar waktu itu aku jadi lebih tertarik kepada penampilan-penampilan kejutan dari tokoh dunia musik lain yang hadir di cerita.
“Sejak lihat babak pertama, ku langsung ilang rasa
Walau ku tahu c’rita ada personalnya
Tapi ku tak dapat membohongi hati nurani
Ku tak dapat ngerasain, gejolak cinta ini.
Maka, izinkanlah aku mengritisimu
Atau bolehkan aku sekedar jujur padamu~”
Film berkelit dari banyak potensi konflik. Itulah yang membuat bagian awal tampak mudah tanpa ada kejadian yang menarik. Halangan bermain musik dari ayahnya, tergugurkan oleh mimpi. Kita gak dikasih liat reperkusi dari pindahnya Chrisye menjadi penyanyi solo, bagaimana dengan bandnya, gimana dia keluar, film melompati ini di saat yang bersamaan dengan mereka melompati periode waktu. Ketika dia pindah agama juga mulus-mulus saja. Semua seperti terhampar begitu saja, dan di sinilah letak susahnya mengritik film dari kisah nyata. Karena mungkin memang di kenyataannya enggak ada masalah yang Chrisye hadapi sehubungan dengan poin-poin tadi. Toh film harus dibuat tetap menarik, jika memang harus sama, pertanyaannya adalah kenapa memasukkan bagian yang tidak menarik, yang tidak berkonflik? Padahal kan film menarik karena kit amelihat benturan antara manusia dengan konflik.
Bagus mereka memasukkan detil kecil Chrisye suka merapikan selimut untuk orang yang sedang tertidur karena kebiasaan tersebut menambah suatu aspek terhadap karakternya. Tapi dalam film ini, repetisi lain pada beberapa adegan terasa annoying karena gak berujung apa-apa. Gak ada faedahnya. Kita mendengar “Amerika!” disebut-sebut dengan antusias berlebih berulang-ulang seolah film ini banyak bertempat di sana, namun enggak. Jadi, kenapa? Kelemahan ini berasal dari penulisan dialog yang acap terdengar ala kadarnya. Bincang-bincang pasangan di diskotik hanya “turun, yuk” yang membuat adegan tersebut semakin tidak penting. Dan saking berulangnya adegan orang yang tertidur, aku yakin kalo aku menoleh ke samping, orang di sebelahku juga sudah ngorok kayak orang-orang di film ini yang begitu meleng sedikit, begitu mereka ngeliat temannya lagi, teman tersebut sudah pulas.
Bukannya aku mau menodai kenangan personal seorang istri terhadap almarhum suami, karena alur film ini adalah bagaimana kenangan Damayanti terhadap Chrisye, namun sesungguhnya tidak semua bagian kehidupan bisa ditranslasikan dengan menarik sebagai bahasa film. Ataupun tidak semuanya benar-benar perlu. Film ini sayangnya, bukan hanya memasukkan banyak, malah mereka ngeskip bagian yang potensial menarik dan lebih penting untuk ditampakkan. Dengan set piece yang detil, film ini adalah biografi yang membuktikan betapa Chrisye adalah sosok tak tergantikan, terutama di mata istrinya, dan ini terlihat dari suara nyanyian asli dari Chrisye yang dilip-sync. However, erita baru bekerja dengan benar-benar baik saat dia tiba di satu bagian tertentu. Selebihnya, benar ini seperti kenangan yang terpotong-potong. Tidak pernah mengalir dengan baik. Dan itu bukan bentuk yang menyenangkan dalam menikmati perjalanan film.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for CHRISYE.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.
Comments