LA LA LAND Review

“To (pursue) dream is to accept that you’re going to sacrifice more than you could have ever imagined.”

 

lalaland-poster

 

La La Land merupakan film yang paling berjaya di Penghargaan Golden Globe 2017 kemaren. Nyabet tujuh piala, loh! Dalam drama musikal modern ini, Ryan Gosling jadi Sebastian, seorang pemain piano yang punya passion begitu tinggi terhadap aliran musik jazz. Sementara itu, Emma Stone memainkan Mia yang bercita-cita menjadi seorang aktris. Mereka berdua bertemu dan mulai saling tertarik. Dan mereka kemudian menyanyi dan menari, menceritakan kisah perjalanan menggapai mimpi dengan begitu menawan.

Genre musikal bukanlah genre film yang paling aku sukai, in fact aku malah gak begitu larut dengerin musik secara umum. Namun hal ini bukannya jadi penghalang bagiku untuk menyukai La La Land. Because this is a well-made film. Aku sangat senang menonton film ini. Pertama, aku selalu cinta sama adegan-adegan audisi film dalam film, aku suka film yang menyorot backstage dunia sinema. Kedua, adalah dilihat dari kodratnya sebagai film musikal. The way film ini ngehandle adegan-adegan nyanyi. Begitu ada satu karakter yang mulai bernyanyi lantas menari, film ini membuatnya tampak sebagai progres alami. Kalian tahu, adegan tersebut tidak terasa dibuat-buat, kita instantly konek bahwa mereka bernyanyi dari hati, both literal dan metaphorically. MUSICAL NUMBERS DALAM FILM INI TIDAK PERNAH TERASA ANNOYING. Tidak pernah terasa pisah dari storytelling, tidak terasa seperti “yak, waktunya nyanyiii, semoga suka yaa”. Adegan openingnya saja – para pengguna jalan nyanyi bareng di jalanan yang macet – better dan lebih menyenangkan daripada opening Ini Kisah Tiga Dara (2016).

teletabis, teletabiiiiss!!
teletabis, teletabiiiiss!!

 

Dan oh, betapa cantiknya. Los Angeles, kota para bintang, sangat rupawan tergambar oleh film ini. It looks INCREDIBLE THE WAY IT IS SHOT. Arahan sutradara Damien Chazelle yang hingar bingar namun tetap membuat kita khusyuk menyaksikan adegan-adegan yang mengalun merdu. Editing yang cepat, take-take panjang yang indah, dan sekuens tarian yang elok, semuanya membuka lembar demi lembar cerita dengan mulus sekali. Film ini precise sekali, aku menjadi beneran sedih ketika tulisan ‘Fall’ (re: musim gugur) nongol tepat setelah Sebastian main di grup band electronic-garis-miring-modern Jazz.. Anyway, kalo kalian nanya adegan nyanyi favoritku, maka tentu tentu saja jawabannya adalah ketika Sebastian dan Mia menyanyi dan menari di bukit dengan latar senja LA yang jelita.

Dari scene ke scene, La La Land tampak amat sangat entertaining. Bahkan proses membuatnya pun seperti sungguh menyenangkan. How they played it. I mean, performances dalam film ini sungguh gemilang. Enggak salah kalo film ini diganjar, bukan hanya Best Director, namun juga Best dari penampilan kedua leadnya. Ryan Gosling is always so awesome, ditambah oleh sangat mesmerizing gimana dia memainkan piano itu. Dan Emma Stone memberikan performance terbaik dalam karirnya, sejauh ini. Menakjubkan pencapaian kedua aktor ini. Mereka membuktikan bagus di komedi, bagus di drama, dan bahkan bagus juga di musikal. Masih ingat adegan kocak Stone di Easy A (2010) ini?


When you look at that, kemudian nonton Emma Stone di film La La Land ini, you couldn’t help not to say: “Incredible.”

 

Namun demikian, apa yang paling aku suka, melebihi kualitas teknikal dan penampilannya yang luar biasa, adalah film ini mendorong penontonnya untuk mencapai impian mereka masing-masing; La La Land terasa sangat genuine dalam menyampaikan pesan tersebut, as if film ini dibuat oleh seseorang yang betul-betul paham dan mengerti gimana rasanya bertahan menggapai mimpi.

La La Land adalah surat cinta kepada orang-orang yang penuh passion.

 

Sebastian sangat passionate sebagai pemain piano jazz, akan tetapi dia tidak bisa memainkan apa yang ia suka. Kerjaannya malah mainin Jingle Bells di restoran mewah. Mia tunggang langgang bolak balik ikutan audisi, tapi tidak satu agensi pun yang nunjukin respek; audisinya terpotong singkat, tidak ada orang yang sungguh-sungguh memperhatikan usahanya. La La Land nunjukin gimana pretentious dan absurdnya dunia, khususnya dunia hiburan di LA. Namun apa yang sesungguhnya dilakukan film ini adalah mengguncang keras orang-orang yang punya passion di luar sana. Orang-orang yang punya mimpi. Orang-orang yang ingin sukses melakukan apa yang mereka cintai. Film ini menyuruh mereka untuk ambil tindakan dan lanjutkan kejar mimpimu, tidak peduli apa yang akan dikatakan oleh orang lain.

There is this one incredible scene. Sebastian dan Mia duduk dengerin band mainin Jazz di sebuah klub. Sebastian ingin Mia untuk mengerti keindahan musik ini. Dia ‘memaksa’ Mia untuk mendengarkan Jazz sebagaimana dirinya sendiri mendengarnya. Sebab Mia bilang baginya Jazz adalah sebatas musik yang menenangkan, musik lembut yang biasa ngiringin dia naik-turun di dalam elevator. Sebastian got so passionate about it, bisa dibilang kinda marah. Sebastian jengkel kenapa tidak ada yang mengapresiasi musik ini apa adanya – sebuah seni. I love how passionatenya Sebastian tergambar dalam adegan ini. As for the relationship, Sebastian dan Mia ini manis banget the way mereka saling support, masing-masing menggapai apa yang mereka cinta because they fall for each other.

jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga
jadi pengen bawa cewek jalan ke planetarium juga

 

Personally, aku merasa sangat related kepada both Sebastian dan Mia. Sebastian ingin mainin Jazz, punya klub sendiri, karena dia ingin ‘menyelamatkan’ that dying music genre. Mia ingin punya teater sendiri karena dia cinta bercerita. So they keep digging and digging. Terus menemukan dan mengejar mimpi. Namun kenyataan selalu berhasil menyusul ekspektasi. Mesti ada pengorbanan yang dilakukan. Ketika kita punya begitu banyak dan tidak bisa membuatnya seimbang, akan selalu ada pain yang involved.

Nyanyian Mia menjelang akhir, lagu yang magical banget itu, “Here’s to the one who dream, foolish as they may seem..” buatku terasa seolah dia bersenandung langsung di telingaku. Mendorong untuk terus. Because apa yang mereka lakukan, aku juga melakukannya. That’s what I’m doing here. Aku menulis review ini meskipun aku tahu tidak akan ada yang baca. Aku tetap saja nulis karena aku peduli sama film. Aku mau film terus menjadi bagus. Aku mau bisa bikin film yang bagus. No one would hire me to write so I’m trying to build my own platformthis blog. Kayak Mia yang gagal audisi lagi-dan-lagi, jadi dia menulis ceritanya sendiri. Aku ikutan Nulis Bareng Lupus karena ingin ‘nyelamatkan’ Lupus dari peremajaan-yang-berlebihan, I’ve told this ke mas Hilman Hariwijaya himself, tapi mereka mau beregenerasi dan move on, so I took the risk. And I failed. Tidak berarti berhenti mengejarnya. Yea, film ini punya banyak emotional note buatku, terutama di pertengahan hingga ke akhir.

Semua orang berjuang menggapai mimpi. Banyak yang saling bentur, passion dengan kerjaan. Idealisme dengan realita. Eventually, everything wil be. Kita bisa kapan saja berhenti ngelakuin hal yang tidak kita suka, namun tidak semua orang akan melihat appeal dari apa yang kita inginkan. Lalu bagaimana kita hidup? Dengan menjadi diri sendiri. Tokoh-tokoh film ini don’t shy away dari konsekuensi pilihan yang mereka jalani.

Cari makan, ya cari makan. Ngejar mimpi, ya ngejar mimpi. Sah-sah saja. Hanya saja, jangan bilang pengen ideal, tapi cari makan. Jangan bilang ingin cari makan, kemudian sok berdilema mau-tap- enggak-bisa menjaga kualitas karenanya. Selalu ada pengorbanan. Lakukanlah apa yang dicinta. Lakukan apa yang mesti kau lakukan demi yang dicinta.

 

 

 

Grand Piano (2013), Whiplash (2014), dan sekarang film ini; jelas sekali Damien Chazelle terinspirasi oleh musik. Dan sebagai filmmaker yang masih terhitung muda, tampak benar dia mengerti gimana rasanya menginginkan mimpi, passion, terwujud. Dia mengerti godaan, struggle, dan ultimately pengorbanan yang harus dilakukan agar mimpi tersebut menjadi nyata. Dan film ini sukses berat menceritakan semua tersebut dengan balutan musikal yang hebat. Adegannya mengalun seamlessly. Semulus para pemain menghidupkan perannya. This is one of the best directed movies tahun 2016. This is one of the best musical movies of all time.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for LA LA LAND.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners
and there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

Comments

  1. Imaginer says:

    Nonton La La Land seperti menengok ke belakang kepada pengalaman pribadi kita masing2 dalam mengejar impian. It’ so realistic. Saya merasa demikian, atau mungkin hanya kebetulan.

    Bukan hanya alur cerita yg indah. Ending-nya juga dahsyat. Tapi bagaimana sutradara memuaskan penonton dengan memvisualkan harapan akhir yang indah tentang hubungan Sebastian dan Mia, itu adalah sesuatu yg luar biasa. Pada akhirnya kita semua terpaksa rela dan tetpaksa sepakat kalau film ini memang happy ending.

    Berhasil mencapai impian, itu intinya…..

    • arya says:

      itulah kerennya La La Land, banyak kita yang kena banget sama perjalanan mengejar impian. tapi banyak orang malah hebohnya ke kisah cintanya, padahal poinnya kan memang mencapai impian

  2. Farrah says:

    Halo mas Arya, random bgt tiba2 komen disini. Karena aku baru nonton La La Land, waktu film ini hype aku msh blm tertarik karena takut terlalu musikal. Kemarin setelah ntn Gosling di Gray Man, tb2 penasaran ntn film dia yg lain, found this movie, dan kaget film ini bagus bgt. Where have i been :’)

    Dan aku suka banget sama paragraf terakhir ketiga di blog ini. Aku pun permah ngerasa takut mau ngelakuin hal yg aku passionate, karena takut sama komentar orang lain, padahal everyone has their own thing to passionate about, and its our rights to do that.

    Sekalian mau makasih jg karena sblm nemu blog ini aku ngerasain hal yg sama, suka sama film tapi malu + takut setiap mau diskusi. Beberapa kali coba bikin blog sendiri tp stuck karena sedih ga ada yg baca. Sampe waktu itu diajakin review bareng sm mas Arya, wah itu turning point sih disaat aku ga pede sm tulisanku sendiri, tapi orang lain malah lebih percaya. Wah jadi emosional hahaha. Semangat nulis terus ya pokoknya

    • Arya says:

      Senang bisa membantu mbak menemukan keberanian melakukan hal yang jadi passion.
      Terkait menulis itu, memang, sepertinya karena aku berangkat dari tempat yang sama jadi aku percaya semua orang sebenarnya bisa nulis. Not to say menulis itu gampang. Tapi semua orang bisa nulis karena semua orang pasti punya pemikiran dan personality masing-masing. Kita semua hanya terlalu takut, takut salah, takut dihujat, takut beda, takut gak ada yang baca, terlalu mikirin conformity. Sehingga takut menggali diri. Pertanyaan-pertanyaan di reader neatpick itu adalah pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan kepada diri sendiri. Kulakukan setiap nulis review, reviewku basically cuma aku jawab pertanyaan-pertanyaan sendiri aja.
      Karena sebenarnya memang segmen itu terpikir oleh ku sebagai sarana buat ngajak orang menuangkan pikiran mereka sendiri. Jadi daripada mereka nunggu untuk direview orang dulu lalu baru dengan pasif membandingkan dengan pendapat dirinya, lebih baik memulai duluan. Low key pengen ngasih liat bahwa dari question2 sederhana kayak gitu aja sudah bisa jadi sebuah ulasan film yang menarik untuk didiskusikan, karena personal. Ulasan/buah pikiran mereka yang at least sudah ada satu orang pembaca, yaitu aku.
      .
      Harapannya ya semoga bisa jadi jumpstart buat menulis sendiri. Ulasan-ulasan yang unik, yang gak cuma copy rilis, yang gak cuma shitposting, bisa semakin banyak.

      Soooo, aku Gray Man belum nonton. Gimana tuh filmnya menurut Mbak, review dikit dong di sini XD

      • Farrah says:

        Memang sepertinya untuk menulis itu hanya butuh triggernya aja ya, once dia udah pede sm tulisannya, semuanya ngalir aja, malah kalo udah pede tuh ibaratnya ada / ga adanya pembaca juga udah mulai ga terlalu mikirin. Karena ya emg udah passionate aja. Dan nulis ini kan menurutku learning by doing, semakin banyak nulis, semakin kita kenal karakter kita kayak gimana.. dan semakin kita kenal karakter kita, bobot tulisan kita akan membaik dengan sendirinya.

        Welll, Gray Man… just another ‘netflix blockbuster’ hahaha, tapi entertaining kok, pacenya cepet, sekuen actionnya padet, tapi kurang original aja both cerita & action scenes. Ayo review massss!

        Btw aku ni malah jadi tertarik sama karakter2 yg Ryan Gosling ambil loh tiap main film, krn aku sblmnya kurang suka sm pesona dia entah knp, setelah ntn Gray Man jadi penasaran aja.. dia ni rada irit dialog ya di film 😀

        • Arya says:

          Bener, memang harus dilakukan, sering-sering

          Itulah ‘malesnya’ aku nonton action, reviewnya susaaahh, apalagi kalo filmnya generic. Udah bias aksi-aksi kerennya beres, biasanya bingung mau bahas apa di ulasan hahaha.. Kalo ditonton ntar masuk mini review aja deh film Gray Man ini.

          Sengaja mungkin si Gosling khusus milih main dengan irit dialog, biar gak ada lagi yang keliru antara Ryan Gosling ama Ryan Reynolds XD

Leave a Reply