SPLIT Review

“Wounded children become the target of their own rage.”

 

split-poster

 

Berakting pada dasarnya adalah memainkan personality yang berbeda dari keseharian. Misalnya ketika kita jadi sakit kalo besok banyak pe-er, atau ketika ada temen yang jadi peduli banget ama kita kalo lagi ada maunya hihi. Anyway, ada perbedaan antara akting memerankan peran fiktif dengan akting menjadi karakter yang berasal dari nonfiksi, seperti pada film biopik; permainan peran di situ sort of safe karena aktor bisa recreate sifat dan pribadi suatu peran degan mengacu kepada seseorang yang benar-benar ada di dunia nyata. Dengan peran fiksional, however, para aktor seolah bermain dari nol. They just have to be out there. Aktor mesti menyerahkan sepenuhnya kepada kreativitas sendiri, sesuai tuntutan sutradara dan naskah. Seperti yang dilakukan oleh James McAvoy di film Split, di mana dia benar-benar menyemplungkan diri ke dalam semua various personalities yang ia perankan.

Mencari tahu siapa nama tokoh yang diperankan oleh James McAvoy dalam film ini aja pada awalnya kita akan kebingungan. Kadang dia dipanggil Dennis. Kadang dia pake baju cewek dan memanggil dirinya Patricia. Later did we learn, he’s actual name is Kevin. Kenapa bisa ganti-ganti begitu, apakah karena dia lagi diuber debt collector? Bukaan, itu karena James McAvoy memerankan seseorang yang memiliki ‘kelainan’ yang biasa dikenal dengan istilah Kepribadian Ganda. DISSASOCIATIVE IDENTITY DISORDER. Dua-puluh-tiga kepribadian bersemayam di dalam kepala Kevin dan salah satunya sudah menculik tiga gadis remaja. Dia mengurung mereka entah di mana, dengan alasan yang secara perlahan dibeberkan oleh cerita.

 

James McAvoy commit seratus persen sama peran (-peran)nya dalam film ini, dia memainkan mereka semua dengan courageous luar biasa. Kita actually bakal bisa bedain dia sedang menjadi siapa karena McAvoy membuat masing-masing kepribadian Kevin very distinguishable dari yang lain. Ya dari intonasi suaranya, ya dari ekspresi facialnya, ya dari mannerism dan gesturnya. Brilian banget deh. Kalo film ini tayang di 2016, aku yakin James McAvoy sudah dapet nominasi Best Actor di mana-mana. Malah mungkin udah menang satu. He’s that good, guys.

Jika The Visit (2015) adalah jalan pulang M. Night Shyamalan balik ke style dan kekuatan filmmakingnya yang dulu, maka Split ini adalah cara sutradara dan penulis Shyamalan ngumumin kalo dia udah sampai di ‘rumah’.

 

Film ini terasa kayak M. Night Shyamalan‘s earlier films; kalian tahu, psikologikal thriller traditional khas dirinya yang bakal caught us off guard dengan twist sederhana yang direncanakan dengan matang. Split adalah film terbaik dari beliau sejak Signs (2002), no doubt about that. It was a very good psychological thriller yang juga punya elemen ruang tertutup yang aku gandrungi.

Sinematografer sukses banget menangkap suasana klaustrofobik, menghasilkan kesan contained banget. Pencahayaannya pun superb. Split actually adalah film dengan visual yang ciamik. Di The Visit (2015) Shyamalan enggak pake musik sama sekali, dalam film Split ini, aku nyaris enggak sadar ada musiknya. Scoring film ini mengalun dengan mengendap-ngendap, dia membangun kengerian dengan perlahan, dan buatku ini adalah teknik yang efektif dan bekerja dengan baik pada penceritaan.
Nonton film ini kita akan dibawa bolak-balik. Kita akan ngeliat ketiga cewek yang berusaha keluar dari ‘sarang’ Dennis, dan kita juga ngikutin Kevin – dalam persona flamboyan Barry – yang mengunjungi psikologis demi menangani masalah split personalitynya.

 

 

Sesungguhnya ada tiga penampilan utama yang jadi fondasi superkokoh penceritaan film Split. James McAvoy, Betty Buckley, dan Anya Taylor-Joy. Dalam film ini, Anya berhasil membuatku mempertanyakan keputusan soal pemenang Unyu op the Year di My Dirt Sheet Awards Hexa-six awal tahun ini. This movie is another very good turn from her. Anya adalah bagian terbaik dalam film Morgan (2016). Anya fantastis banget di film The Witch (2016). Dan di Split, Anya Taylor-Joy buktiin sekali lagi bahwa dirinya adalah salah satu talenta aktor paling exciting generasi sekarang ini. Karakternya, Casey, punya banyak layer yang bisa kita kupas. Yang bisa kita pelajari. Ada banyak hal yang bisa kita discover dari tokoh ini. Casey adalah peran yang sangat subtle. At first, kita akan dibuat heran sama sikapnya, kenapa dia kelihatan yang paling tenang di antara tiga cewek yang diculik, dari mana dia bisa dapet ide “kencinglah di celana”. Sembari film berlanjut, kita akan belajar gimana naluri survival bisa tumbuh dari dirinya dalam cara yang sangat tersirat. Aku paling suka adegan terakhir, saat kamera linger on ekspresi Casey begitu polisi bilang pamannya datang menjemput. Her wide eyes semakin melebar, rasa lega yang absen dari wajahnya, ngundang banget untuk kita mengira-ngira apakah Casey bakal kabur atau dia ngapain sesudah adegan tersebut. Film ini membiarkan arc Casey terbuka dan aku puas banget karenanya.

keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.
keluar dari mulut singa dan masuk ke mulut buaya.

 

Aku selalu tertarik menyelam masuk ke dalam pikiran orang-orang, apalagi orang gila. Mungkin itu ada kaitannya dengan aku suka film horor. I mean, tempat terhoror toh letaknya memang di dalam kepala manusia sendiri. I was intrigued oleh karakter-karakter, makanya aku suka nonton film. Karena di mana lagi aku bisa mendengar atau ngikutin masalah mental orang-orang kalo bukan di film, aku kan bukan psikolog. Aku malah kuliah di Geologi. Oke, jangan malah jadi curhat, ehm…

What I’m trying to say adalah aku suka sama karakter psikolog yang diperankan oleh Betty Buckley (hey, lihat! nenek-nenek gila dari film The Happening). Si Dr. Fletcher ini desperado banget ingin berkomunikasi sama semua kepribadian di dalam kepala Kevin. Mendengar bahwa mereka duduk melingkar nunggu giliran dapat ‘cahaya’ kelihatan sekali membuat Dr. Fletcher penasaran. Dia mencoba untuk figure out how Kevin and his various identities work. Dia mencoba masuk ke dalam otaknya, bukan hanya untuk mencari tahu apa akar masalah sehingga bisa menolong dan memgobati Kevin, melainkan juga karena dia percaya ‘kemampuan’ pasiennya ini dapat digunakan untuk kebaikan. Tokoh Dr. Fletcher actually brings a lot to the story.

Child abuse dan trauma jadi tema berulang yang jadi titik tolak cerita film ini berangkat.Dipresentasikan dengan shocking manner; Kita bisa melihat gimana pasien mengubahnya menjadi sebuah sistem pertahanan diri, kita melihat dua remaja yang tidak punya’ self –defense’ actually jadi korban dan yang pernah ngalamin abuse justru kuat dan selamat. Juga ada indikasi mengerikan seputar Kevin yang eventually dioverpower oleh persona-persona yang lain, karena mereka terbentuk dari rage yang disurpress oleh Kevin. Anak-anak yang terluka have a rage, yang terkumpul di dalam, they need to be lash out, namun satu-satunya yang bisa ‘diserang’ adalah diri mereka sendiri.

 

 

Sebagaimana pada kerja-kerjanya terdahulu, sekali lagi M. Night Shyamalan mempercayakan sepenuhnya kepada kita para penonton untuk belajar dan menemukan sendiri apa yang terjadi pada film ini. Aspek inilah yang bikin aku suka sama film-filmnya. Shyamalan nanem banyak elemen dan poin cerita di awal, yang enggak akan bisa kita ngerti sepenuhnya sebelum kita sampai di penghujung film. Kita belajar things about characters, belajar mengenai backstory mereka, film akan mempersembahkan mereka sebagai fakta, dan kita sendiri yang akan mengerti kenapa mereka seperti itu. Penonton dikasih kesempatan untuk mengupas dan menelaah lapisan-lapisan yang ada pada tokoh-tokoh. Dan pada akhirnya memang the bigger picture akan terasa lebih impactful karena kita discover everything on our own. Shyamalan menghormati kita, dia meminta kita untuk sabar. Karena sesungguhnya, Split adalah FILM YANG BUTUH KITA UNTUK MEMBUANG SEDIKIT LOGIKA.

Honestly, aku sedikit terlepas ketika cerita sampai di bagian persona The Beast muncul ke permukaan. Kevin berlarian di kota, dia manjat-manjat tembok bertelanjang dada, dengan urat-urat menyembul, dia enggak mempan ditembak. Dia bengkokin baja sel penjara. Ceritanya mulai enggak masuk akal. Masak iya beda personality doang bisa bikin orang jadi kuat kayak monster seperti itu. Namun Shyamalan pada akhirnya selalu memberi kita penghargaan lewat twist, dan pada kasus film ini, kesabaran kita – our leap of faith – akan terasa sangat rewarding, terlebih jika kita ngikutin film-film karyanya sedari awal.

Twist sederhana pada film Split akan terasa wah! terutama jika kita sudah menonton Unbreakable (2000). Karena ternyata film ini berada di universe yang sama dengan universe film Unbreakable; salah satu film adaptasi comic book yang bagus banget, mengangkat kesuperheroan dalam cahaya yang realistis. Saat kita melihat tokoh David Dunn (kameo Bruce Willis di sini dapet 50-50 reaksi, yang udah nonton Unbreakable tereak histeris, yang belum cuma bengong) duduk dengar berita soal Kevin yang dijulukin “The Horde” di cafeteria, barulah kita sadar bahwa ini adalah film superhero dan semuanya jadi make sense. Membuat kita ingin nonton lagi, experiencing cerita Split dari kacamata yang berbeda. Ya, semua twist Shyamalan sesederhana itu; oh ternyata dia hantu, oh ternyata dia yang jahat, oh ternyata mereka bukan kakek neneknya, oh ternyata ini film superhero, ternyata ini adalah origin story seorang supervillain – ternyata ini sekuel dari film yang tayang tujuh belas tahun yang lalu!

Mindblown!!!
Mindblown!!!

 

Sejak di film Signs (2002), Shyamalan berusaha masukin humor ke dalam thrillernya. Kadang-kadang berhasil, kadang-kadang gagal total. Dalam Split, untungnya kedua tone tersebut berhasil menyatu dengan mulus. Film ini paham kapan harus membuat kita tertawa, tanpa membuat suasana jadi awkward. Kemunculan persona Hedwig, si bocah sembilan-tahun, mampu membuat kita tergelak dengan sikapnya, but then film ini juga precisely ngasih timing ketika kata-kata Hedwig mendadak menjadi mengerikan. Contohnya di adegan nari. It was so incredibly ringan dan kocak, dan sejurus kemudian jadi uneasy saat Casey bertanya jendelanya mana dan Hedwig menjawab riang sambil nunjuk gambar jendela hasil karyanya.

 

 

Babak pertamanya adalah yang paling lemah, namun film ini akan terus terbuild menjadi semakin intens. Kengerian dan ketegangan disemarakkan dari penampilan-penampilan akting yang excellent. This is also a very good looking psychological thriller. Namun ada beberapa aspek penceritaan yang semestinya bisa ditrim sedikit. Seperti adegan eksposisi saat Dr. Fletcher jelasin apa itu DID lewat skype. At least, harusnya penjelasan tersebut bisa dibikin lebih menarik dan lebih terintegral lagi. Dialog-dialog pun kadang banyak enggak masuk, masih terdengar terlalu memaparkan. Performa dua cewek teman Casey yang kaku dan rada over-the-top terlihat berada di luar level tiga tokoh mayor. Ini adalah jenis film yang berani meminta kita untuk bersabar, untuk mau discover things on our own, dan aku very pleased begitu mengetahui ini sebenarnya tentang apa. Dan ya, aku harap Shyamalan benar-benar bikin kelanjutan film ini; Dunn lawan The Horde. Lawan Mr. Glass. Mauuuuu!!!!
The Palace of Wisdom give 7.5 out of 10 gold stars for SPLIT.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 
We? We be the judge.

Comments

    • arya says:

      terima kasih masukaannyaa.. sebenarnya itu karena aku ‘rakus’ sih, pengen ngegaet pembaca indonesia sama luar ahahaha, soalnya dulu pernah ada bule yang komen dia jadi penasaran sama film setelah ngegoogle translate ulasanku

    • arya says:

      ahahha thankyou, gapapa, masukan diterima. But please elaborate, sulit dipaham itu maksudnya gimana; apa gak jelas filmnya tentang apa setelah membaca atau gak ngerti penilaiannya atau apa.

      Terus, kayak anak alaynya di bagian mana, sama kenapa pula anak alay gak boleh bikin blog?

  1. PenikmatKopi says:

    Nice review
    Sependapat atas penjabaran ente

    Aga ngena dlm Child Abuse
    Yg kaget uncle nya si Casey ternyata
    “melecehkan” si casey dr kecil
    Dan sbnrnya gw curiga pas dia nyuruh temen nya kencing dclana
    “why?”
    Tebakan pertama gw
    Ya dia mmg pernah “dilecehkan”
    Dan benar kuat dugaan pas pmn ny ngajak main “petak umpet”
    Jahanam bgt yaa

    Gw paling demen nonton
    Aplgi yg brrbau “teka teki”
    U can solve
    Karna lbh nantang aja
    G trrlu demen film2 “receh”
    Yg pling mudah ditebak

    Ibarat sebuah kepuasan
    Bg sebagian mereka
    “ahh fakk film paan ni gantung bla2”
    Mlh gua ngerasa ini bru kecerdasan sebuah pemikiran
    U know that i mean

    Twist ending si botak muncul
    Hhaha
    Cant wait next chapter

    Rate 7,8 lah mnurut gw

    • arya says:

      Hahaha iya, pas flashback itu gelagat pamannya udah mencurigakan…

      Ya itu masalahnya, penonton masih banyak yang males mikir, liat aja film-film yang laku apaan aja hahaha… padahal kan justru seru kalo kita ikut lebih dalem saat nonton film, enggak sekedar ngakak atau baper doang

      Penasaran gimana berantemnya nih dua orang xD

      • PenikmatKopi says:

        Udah tuir si botak
        G kuat dia
        Nnti mlh mnta bantuan avenger
        Kan kacau film nya
        Hahha

        Film skrg kbnyakan Scient Fiction
        Superhero diadu adu lah
        Segi “wow” ny boleh lah
        Kecanggihan teknologi

        Tp segi “Nikmat”
        Yg sperti gw bilang td udah jarang bgt disuguhin film2 sperti ini

        Transformer,superman,avenger dkk
        Hbs nonton udah slese gt aj sensasinya

        Memento
        Shuter island
        The happening
        Hahah

        Ampe berhari hari.mikir
        Dan tonton puluhan kali
        Ga bosen
        Cm buat dapatin “part” nya

        Btw
        Well done blog nya gan
        Salam kenal aj gan
        Sukses terus blog nya

        • arya says:

          Taunya malah jadi tanding catur, si mcavoy keki lantaran tokohnya si botak willis enggak bisa mati wkwkwk

          Iya agan bener, film superhero jaman sekarang serunya pas nonton pertama doang, ditonton ulang rasanya bosan.
          Beda ama film teka-teki jaman dulu; ditonton pertama kali, bingung, ekalo ditonton lagi jadi nagih dan gak pernah bosan.
          Udah nonton Mulholland Drive, gan? favorit gue of all time tuh 😀

          Salam kenal juga gan Kemas,
          terima kasih udah mampir..
          Kalo suka, boleh kok main-main ke sini baca review film lain sambil minum kopi
          Bakal usahain ngejar review film terbaru di hari pertamanya tayang (rabu dan kamis, soalnya nonton weekend mahal ahahaha)

      • lorenandreas says:

        tapi kita ga bisa juga nyalahin orang yang mau nonton karena visual oke walaupun plot ceritanya sederhana , balik lagi itu ke selera masing” , jangan sampai ada lah sebutan film receh atau plot sederhana atau apapun itu , biarlah setiap orang menikmati apa yg menarik buat mereka , karena mungkin buat sebagian orang film itu sebagai hiburan karena penatnya hari-hari , mgkn ada juga seperti anda-anda disini yang memberikan effort lebih ke film untuk berpikir keras dan mendapatkan klimaks tersendiri dari film itu
        jadi , biar lah kita membahas film ini tanpa hari melibatkan apa yg orang lain suka atau plot film yang sederhana agar lebih fair
        btw ini no offenese cuma masukan agar lebih syahdu aja , saya juga suka nonton filmnya christoper nolan semacam inception , memento dll , yg jauh lebih menguras otak dari ini , tapi terkadang juga suka nonton film dengan visual oke dengan cerita yang sederhana , ada cara tersendiri kan untuk menghibur diri
        sekian semoga diterima masukannya
        terima kasih

        • arya says:

          Bener banget, gak ada salahnya suka sama film yang ringan atau untuk hiburan. It’s okay juga suka ama yang jelek. Film favoritku tahun 2012 adalah Pitch Perfect, Star Wars favoritku adalah yang Episode I (didaulat sebagai star wars paling jelek oleh critics, dan aku bisa liat memang benar begitu!) hahaha.

          Poinnya ya kita harus, paling enggak, recognize lah film yang kita suka itu berbobot atau enggak, baik atau tidak. Yang kita sukai toh enggak melulu harus yang terbaik. Kita harus bisa melihat cela dari yang kita sukai. Kalo film ringan yang kita sukai trus ternyata filmnya dinilai ‘receh’, ya jangan tersinggung, keep an open mind aja sama kekurangan sekaligus tetap menikmati apa yang kita suka, yang konek secara personal dari filmnya, kepada kita.

  2. dewi rizki a. says:

    sorry yaaa izin kritik blog lu …
    review panjang lebar tapi isi kaya nya lebih kecurhatan lu deh . dan lagi bahasa dialek inggris nya kurangin serius gue RISIH bgt bacanya so asik gitu hehehe ini kritiksaran lo ya

    • arya says:

      Hahaha iyagapapa, makasih bgt malah, aku ‘kerja’ di bidang kritik, jadi aku tau pentingnya kritiksaran 😀

      Oke, perspektif personal akan selalu aku masukin karena itulah yang bikin ulasanku berbeda, biar yang baca juga tau penilaianku datang darimana, dan karena aku gak mau reviewku nadanya monoton kayak laporan berita. Jadi penilaian objektif kuselingi dengan sudut personal, cuma mungkin di ulasan ini ‘pribadi’nya agak sedikit kebanyakan ya, ada satu paragraf kecil yang memang buat nyolong curhat haha

      Soal bahasa inggris, dialeknya, dst; itu gimmick, Mbak. Yang baca ya memang diniatkan untuk merasa risih, bingung, atau mungkin marah, karena itu hubungannya dengan karakter/persona, dari blog yang berusaha aku bangun ini.

  3. cimong says:

    thankyou for the review haha btw i don’t think your blog is alay or something lol i think this is just about style of blogging i love it.
    gue juga berharap orang-orang bisa mikir dan ga males cari referensi sebelum menilai film haha soalnya temen-temen gue pada bilang film-film kayak gini ga jelas. gue sebagai penikmat film anti-mainstream merasa prihatin lmao

    • arya says:

      makasi udah mampiirr

      kadang juga suka geram sendiri liat film bagus kayak gini tapi dianggurin cuma karena gak mainstream dan bikin mikir xD

  4. misuari says:

    Masih sangat sangat jauh lebih bagus film “identity” utk film2 bertema kepribadian ganda.
    Just wasted 2 hours of my life krn film split ini

    • arya says:

      True, Identity adalah kelas top dari film-film tentang kepribadian ganda.
      Tapi Split ini, nah di sinilah letak twist yang sebenernya dari nih film; Split ternyata bukan film psikologis tentang kepribadian ganda, melainkan Split adalah film superhero! (atau supervillain, ini cerita origin penjahat di universe superheronya Syhamalan)

    • arya says:

      wah iya gan, keren daftarnya, banyak yg udah ane tonton dan suka bgt juga karena memang selera kita sama 😀 Film fav ane Mulholland Drive, coba deh tonton, mungkin bisa jadi referensi buat apdetan list agan hehehe

      True, Identity adalah kelas top dari film-film tentang kepribadian ganda. Tapi Split ini, nah di sinilah letak twist yang sebenernya dari nih film; Split ternyata bukan film psikologis tentang kepribadian ganda, melainkan Split adalah film superhero! (atau supervillain, ini cerita origin penjahat di universe superheronya Syhamalan)

  5. arya says:

    hahaha makasih, iya curcol aja, aku ngereview juga curcol, pembuat film juga bikin film pasti nyolong-nyolong curhat. Belajar dgn nonton sebenarnya lebih asik daripada nonton buat hiburan doang, yagak 😀

  6. af says:

    Hi, kemarin-kemarin belum terlalu butuh eview atau pandangan orang lain terhadap film yang aku tonton sih, ahhaha, cuma kalau ngga ngerti ama jalan cerita si film biasanya langsung nyari spoiler *my bad*.
    nemu blog mydirtsheet di fb waktu temen ada yg ngeshare pas mas review Pengabdi Setan yg aku akhirnya ngga nonton karena disini ga ada bioskop kkkk. Ulasan ulasan Mas menurutku agak objektif dan somehow buat pikiran aku lebih terbuka aja..

    Mungkin telat karena baru nonton Split pagi tadi pas hujan-hujan. Dari sinopsis langsung tertarik (milih filmnya random baru liat sinopsis :D) karena ceritanya tentang DID yg pertama aku tau DID itu dari drama korea Heal Me Kill Me (drama romance, yg laki punya 4 kepribadian karena child abuse juga).

    Dan sepertinya aku harus ngulang nonton lagi deh ><. as expected sih kalau si Casey di apa-apain sama pamannya, tapi entah akunya ngga fokus ada adegan kelewat atau memang kesimpulan doang.. dan aku endingnya ngga ngerti, maksudnya mr.glass itu superhero atau gimana -,-

    makasih atas reviewnya Mas. habis ini cari film-film yang mas sebutin di review ini :))

    • arya says:

      Makasih sudah baca.
      Coba tonton Unbreakable deh, twist Split memang cuma terasa kalo udah nonton film itu. Jadi, tokohnya Bruce Willis sama si Mr. Glass, nah mereka di situ superhero sama supervillain. Kaitannya dengan ending Split adalah kemunculan Bruce Willis itu memberitahu kita kalo Split dan Unbreakable ternyata satu universe, jadi DID itu adalah kekuatan supernya si McAvoy.

      Aku minim referensi Asia nih, denger-denger memang bagus-bagus juga drama korea atau juga film-film Thailand

  7. wansbarbz says:

    no offense. tp stop nyampurin 1 kata bahasa inggris di 1 kalimat bahasa indonesia. just don’t. so annoying.

      • Irfan says:

        Iseng buka review ini krn muncul di suggestion repost review The Visit 2015 dan aku cukup kaget ternyata ada masa di mana komentar di blog ini lumayan “keras” hehe. Keras dalam baik mengomentari filmnya maupun cara penyampaian blognya. Sebagai pembaca blog ini yang merasa cocok dan tidak merasa annoyed dengan gaya penulisannya ya cukup kaget bacanya. Tapi ini semua memang soal selera sih, mau makanan, pasangan, tulisan, maupun film itu semua soal selera individu.

        Oh satu lagi untuk comment terakhir yg menyebutkan bahwa stop nyambungin bahasa inggris dan bahasa indonesia krn itu annoying, ironically he was using english indonesian mixing as well wkwk no offense, so annoying, dan kata “stop” is not an indonesian word if you look it up on dictionary hehe

        • Irfan says:

          Dan definitely tidak alay sih mas haha krn menurutku, ada frase dalam bahasa Inggris yg memang bisa menjelaskan secara lebih tepat dan sulit digantikan dengan frase dalam bahasa Indonesia.

          Tapi sekali lagi, ini semua soal selera haha

        • Arya says:

          Hahaha di sini sudah nyampur inggris sebelum gimmicknya diambil oleh ‘anak jaksel’. Looking back, tahun segitu kayaknya review-review masih sedikit, yang ada pun masih kurang variatif. Sehingga begitu nyampe ke blog ini dan baca dengan gaya yang berbeda, jadinya ya aneh. Gak bisa langsung diterima. Beda ama sekarang, review udah banyak. Macam-macam, malah sekarang yang gimmick shitpost dengan bahasa aneka rupa sudah lumrah.

          Bener, bahasa itu sebenarnya fleksibel untuk digunakan. Kata-kata bisa timbul dari serapan bahasa lain, itu buktiin kalo bahasa itu gak terikat. Kalo mau pake bahasa indonesia original aja, ya good luck.
          Makanya buatku aku, yang paling ironis itu juga yang julidin bahasa campur-campur, nyuruh pake bahasa indonesia, tapi dia sendiri penggunaan di- aja masih salah-salah hahaha

          • Irfan says:

            Wkwk the highest form of alay is when you’re using X for “nya”

            Mungkin krn tahun itu penyampaian mix language masih belum jamak juga ya. Cuma aku ga nyangka aja sih ternyata pembaca di sini lumayan kritis untuk mengkritik itu haha tapi bener sih mas, kadang penggunaan awalan di- aja suka ga ngerti kapan dipisah kapan disambung wkwk

            Lagipula, sebagai orang yang cukup concern terhadap penulisan bahasa Indonesia sejak kecil, dibanding alergi dengan campuran frase bahasa asing yang ada, aku malah lebih memperhatikan penulisan frase bahasa asing di MDS kan bahkan dicetak miring, yang mana memang itu cara penulisan yang benar sesuai EYD. Makanya memang sepertinya aku cocok dengan frekuensi blog ini haha

          • Arya says:

            Itu masih misteri kenapa X bisa dibaca ‘nya’ hahaha

            Prioritas negor orang pun mestinya harus dikaji ulang yaa, jangan yang sebenarnya gak ada salah tapi karena beda jadi dianggap salah, tapi benar-benar salah dibiarin. Tapi yaa, orang beda-beda sih trigger pointnya. It’s cool ada yang langsung negor dan kritis seperti itu. Setidaknya, dia mengutarakan uneg-unegnya

Leave a Reply