DANUR: I CAN SEE GHOSTS Review

“A friend in need is a friend indeed”

 

 

Siapa sih yang enggak pengen punya sobat hantu yang baik hati. Gagasan memiliki seorang yang deket dengan kita, yang selalu ada, terlebih jika ia punya kemampuan ajaib kayak Om Jin sehingga bisa membantu dalam masalah penting maupun enggak penting, selalu sukses menjadi bahan lamunan yang menarik. Apalagi buat anak kecil kesepian seperti Risa. Ditinggal ayah dan ibu bekerja seharian membuat Risa begitu mendambakan kehadiran teman bermain. Maka, di malam ulangtahun kedelapan yang ia rayakan sendirian di rumahnya yang gede, Risa meniupkan permintaan polos dan lugu, “Aku ingin punya teman”

Memanfaatkan cerita yang berasal dari kisah nyata, like, there’s actually a person in Bandung named Risa Saraswati yang berteman beneran dengan hantu-hantu anak kecil; dia membukukan pengalamannya yang kemudian diadaptasi ke layar lebar, film ini membuat banyak materi menarik untuk promosi. Film ini dikabarkan ditulis ulang, posternya pun diganti, sesuai dengan permintaan hantu yang difilmkan. Well, sepertinya setelah ada film horor yang diproduseri oleh anak kecil, sekarang kita juga punya horor yang diproduseri oleh hantu anak kecil..
Prilly Latuconsina yang memerankan Risa Remaja, menurut laporan film ini, meminta dibukakan mata batinnya supaya ia bisa lebih mendalami karakter yang dia perankan. Dan saat premier film, lima kursi kosong beralas kain putih disediakan di sebelah Prilly, menandakan ada lima ‘undangan spesial’ hadir menyaksikan filmnya. It’s actually menarik melihat UPAYA YANG BEGITU BESAR DALAM MEMPROMOSIKAN FILM HOROR INI. Ah, seandainya ide kreatif yang berlebih tersebut diarahkan untuk membuat film yang lebih berbobot dan lebih enak untuk ditonton.

Sekalian aja kasih promo “reviewer yang ngasi nilai jelek bakal disatroni Peter dan teman-teman”

 

Risa bermain piano sambil menangis sebagai pembuka film adalah adegan yang beneran unsettling. It’s a great scene yang ditangani dengan kompeten, kita ngerasain takut dan bingung, Prilly ngesold tokohnya dengan sangat baik. Actually, walaupun enggak banyak yang bisa dilakukan terhadap karakter Risa dan lain-lain, karena memang ditulis seadanya – polos tanpa penokohan yang berarti, Prilly most of the time berhasil menyampaikan perasaan yang dialami oleh Risa kepada kita. Dia adalah salah satu dari dua bagian terbaik di film ini, namun perlu diingat that’s not really a great achievement buat film ini. Bagian terbaik lainnya adalah penampilan dari Shareefa Daanish yang sekali lagi bermain sebagai tokoh yang amat sangat bikin merinding. Enggak perlu banyak-banyak dipoles, kalo aku dipelototin Shareefa dengan cara yang sama dengan cara Asih memandangi Risa, maka niscaya aku bakal lari pontang-panting. Dia bisa jadi Ratu Horor modern sinema tanah air, namun aku jadi kasian juga kalo-kao Shareefa Daanish enggak bisa move on dari peran peran creepy seperti ini, she’s actually a decent actress.

Slightly good performances enggak lantas membuat film jadi ikut slightly good. Begitupun penampakan hantu yang menggebu enggak seketika bikin film horor menjadi bagus. Genre horor Indonesia mestinya segera melek dan menyadari bahwa horor yang benar-benar nyeremin itu datangnya dari psikologis manusia, bukan semata dari wujud hantu yang berdarah-darah. Horor terbaik selalu adalah cerita yang menggali trauma psikologi, seperti The Shining (1980), The Babadook (2014), atau The Devil’s Candy yang tayang baru-baru ini (2017). Pada Danur, mereka semestinya bisa mengeksplorasi cerita tentang keadaan mental anak yang setiap hari sendirian di rumah. Bisa ditambahkan layer tentang eksistensi Peter dan teman-temannya yang dapat dikaji sebagai fragmen dari imajinasi Risa yang terlalu nyata. Cerita film ini bisa banget berkembang ke arah psikologikal. Akan tetapi, film lebih ngikut ke saran Pak Ujang “Lebih baik langsung panggil dukun saja”, karena sepertinya mereka takut film ini nanti akan jadi lebih berisi.

Babak pertama sepenuhnya didedikasikan buat Risa kecil berkenalan dengan Peter dan dua hantu cilik lain. Diceritakan dengan cerewet lewat narasi voice-over ketimbang mengefektifkan visual storytelling. Penanganan terhadap detil sutradara Awi Suryadi enggak dimanfaatkan maksimal di sini. Padahal adegan bayangan hantu yang beberapa kali ditampilkan cukup serem. Aku juga suka ketika Peter menyebut Jepang dengan Nippon, seperti yang dilakukan orang Belanda beneran pada masa penjajahan.

Tetapi film menemukan zona nyamannya pada orang yang berteriak-teriak memanggil nama keluarganya yang hilang, serta pada jumpscares dengan volume musik yang maksimal. Tidak banyak yang dilakukan oleh Risa ataupun tokoh lain selain kaget, mencari-cari, dan diculik. Risa kecil bakalan mengetahui siapa teman-teman barunya, dan dia akan kaget bersamaan dengan kita belajar apa arti kata ‘Danur’. Dan babak kedua berlanjut dengan Risa yang sudah remaja balik ke rumah itu lagi, kali ini dia ngerawat neneknya yang sakit barengan Riri adiknya. Kemudian Riri juga ngalamin kejadian yang sama dengan Risa sewaktu kecil, Riri berteman dengan makhlus halus lain, hanya saja temannya ini jahat. Riri diculik dan Risa harus mencari adeknya. Sesuatu yang tidak-bisa ia lakukan tanpa bantuan teman-teman lamanya, of course.

hantu-hantu yang lucuu, ke mana engkau terbang?

 

Kita memang enggak bisa ngeliat Peter beneran, tapi kita tentunya bisa dong ngeliat betapa kacaunya skenario film ini. Para tokoh tidak punya motivasi. Tidak ada actual plot. Jikapun ada, seperti Risa, hanya ditulis setipis uban nenek; seharusnya ini adalah tentang anak yang ingin punya teman, tapi yang ia dapat adalah teman hantu. Kita akan melihat arc Risa resolves menjadi dia mensyukuri apa yang ia punya, namun perjalanannya tidak pernah terasa meyakinkan. Ataupun menyeramkan. Film ini lebih ke ngebuild up keberadaan jahat penghuni pohon angker alih-alih pertemanan tulus nan indah yang terjalin antara makhluk beda dunia.

Seberapa jauh kita mengenal teman-teman kita? Bagaimana jika kita tahu rahasia terdalam dan tergelap mereka, apakah kita masih mau berteman dengan mereka? Film Danur bisa kita lihat sebagai kisah seorang anak yang menemukan arti persahabatan. Bahwa teman bukan hanya company untuk bermain dan bersuka ria. Teman yang sebenarnya adalah teman yang ada di sana kala kita membutuhkan mereka.

 

 

Tampak AWI SURYADI SUDAH MENEMUKAN FORMULA HORORNYA. Jika kita tilik, Danur punya ‘tubuh bercerita’ yang sama persis dengan Badoet (2015). It’s about anak-anak yang tertarik sama makhluk astral, kemudian anak tersebut dikendalikan – atau diculik, terus ada flashback tragis si hantu jahat semasa hidup yang dikecam oleh masyarakat, dan kemudian protagonis akan menemukan cara simpel untuk mengalahkannya, yang bakal berhubungan dengan tempat dan benda tertentu. Kita bisa ngeoverlook ini pada Badoet, yah termaafkan sehingga bisa masuk level ‘bisa-lebih-baik-lagi alias 6 dari 10 bintang’ karena film itu actually memanfaatkan set apartemen dan gimmick badut dengan efektif. Yang dilakukan Awi pada Danur, however, cuma hal-hal generik yang sudah lumrah kita temukan di film horor. Pada Badoet, final ‘big-confrontation’nya berlangsung dengan bahaya pada tokoh hanya berupa tangan yang lecet kena sekop. Pada Danur, finalnya terasa sangat gampang dengan tersandung dan pergelangan kaki tegores sebagai rintangan utama.

Tidak ada hal menarik original yang kita temukan di Danur. Film ini penuh oleh tropes dan elemen-elemen dari film horor lain. Badoet juga niruin film lain sih, but this time I won’t fall for that again. Asih di Danur tampak seperti Sadako, apa yang ia lakukan dalam menakuti kayak yang dilakukan Sadako di Ring (juga kayak Samara di sekuel Ring versi Amerika, sampe ke bak mandinya), even mulut nganga Asih ekspresinya mirip ama tampang korban Sadako. Bel di tangan nenek yang sakit is very well be elemen yang dicomot dari The Uninvited (2009). Seriously, kepentingan tokoh nenek ini apaan sih? Dia sakit apa juga gak disingggung, yang kita tahu hanyalah si nenek gak bisa bicara karena dia takut make upnya yang kayak kulit Groot jadi rusak. Bagian permohonan Risa kecil yang terwujud ngingetin kita sama Krampus (2015) atau Home Alone (1990). Dan perjalanan Risa ke dunia lain di babak ketiga udah kayak pengadeganan parody dari franchise Insidious.

On a lighter note, aku ada sedikit saran buat kalian:

kalo-kalo ada yang punya kemampuan ‘melihat’ seperti Risa, maka janganlah sekali-kali menjawab pertanyaan wawancara kerja dengan begini:
Interviewer: “Apa kelebihan Anda?”
Kamu: ( berbisik dramatis) “I see things that nobody else sees…”
I did try it once, you know, buat cairin suasana, and the interview didn’t go well hhihi

 

 

Kalian tahu kalian sudah bikin kerja yang buruk jika film horor yang kalian buat malah bikin penonton di studio ketawa ngakak. Syut Asih yang berdiri diam di mana-mana tidak bisa terus-terusan seram. Adegan horor haruslah ada build up, enggak bisa melulu dikasih klimaks penampakan jeng-jeng!

Film ini berusaha terlihat berkonten lokal dengan lagu tradisional Boneka Abdi, namun bahkan lagu tersebut overused; di lima-belas menit pertama saja kita sudah mendengar lagu ini lebih dari tiga kali. Aura mistis dan nuansa misterinya jadi hilang. Awi Suryadi juga ingin menggunakan formula yang sama dengan Badoet yang moderately sukses, but formula tersebut sejatinya enggak bagus-bagus amat sedari awal, dan di film ini terbukti gagal. Ada menaruh perhatian pada detil, sayangnya malah mengisi dengan tropes dan jumpscares dan elemen film lain tanpa ada penggalian yang baru, membuat film ini jadi enggak berbobot. Tidak ada layer, karakter serta plot yang tipis, perspektif Risa disia-siakan. Jika kalian mengharapkan horor yang membahas pertemanan dua alam yang benar-benar menyentuh dan grounded, kalian tidak akan mendapatkannya di sini. Dan sehubungan dalam semangat Hari Film Nasional, sepertinya sudah tiba waktu bagi film Indonesia, dalam kasus ini film horor, untuk menganggap kritikus dan reviewer sama seperti Peter; sebagai teman yang sekalipun menyeramkan, namun sejatinya hanya ingin membantu.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for DANUR: I CAN SEE GHOSTS

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. Piyopiyo says:

    Setuju sama reviewnya..

    Kemarin sempet nonton ini dan nyesel senyesel nyeselnya. Sempet mikir juga mungkin ekspektasi saya yang ketinggian karena saya suka banget sama buku Danur sendiri. Tapi setelah saya baca review ini, saya jadi mikir kalau saya gak salah-salah amat.

    Sebagai yg suka film horor, film ini gak menakutkan buat saya. Saya perempuan, nonton film Danur dan The Conjuring sendirian. Film ini bikin saya bosen kalau boleh jujur, sementara The Conjuring lumayan bikin saya nikmatin alur ceritanya.

    Mungkin saya juga cuma bakal kasi nilai 2 untuk film ini..

    Dan tokoh Peter sama Williamnya pun bukan bule.. 🙁

    • arya says:

      Ahahahah kerasa deh, udah nontonnya butuh perjuangan ngantri, begitu dimulai ternyata filmnya begini xD

      Tuh kan, nilai dua itu juga kayaknya kita udah dermawan banget ahahahha.. Dari pengalaman Danur ama Conjuring aja keliatan bahwa horor itu gak mesti selalu penampakan ngagetin. Lebih enak dan serem nonton yang ada alur ceritanya. Film lokal pada males sih. Padahal materinya udah bagus, katanya bukunya keren banget ya? aku abis nonton nyari ke gramed udah enggak ada stok.

      Peter ama Williamnya bukan bule tapi nyanyiin Boneka Abdi dengan lebih pas dibanding Risa kecil yang aksen sundanya bikin penonton dari bandung ngakak ahahaha

  2. Tri says:

    Setuju bgt dgn review ny, Td siang bru selesai nton dgn antrian nya gila panjang bgt melihat antrian yg mebludak dn smpai d tayang 2teater jd smakin yakin klo film ny bakal bagus krn ap yg d liat dr trailer sngt menjanjikan dn bakal brsa horor bgt kyk dibuku, Namun spnjng jalan film hngga akhir trsa sangat boring dn bkin ngantuk, Sngat2 jauh dr ekpektasi yg udh sy byng2kn kyk d novel akhir kata kecewa dan sngt mnyesal usai nonton dan ngrasa buang2 duit,
    Jera rasa ny nton horor indonesia, Blm ad yg seseram film keramat krya joko anwar

    • arya says:

      Walaaahh sampai jeraa…
      Sayang banget ya kalo sampai kita yang harus nurunkan ekspektasi nonton film horor indonesia. Filmmaker mestinya lebih giat bikin film yang bagus, paling enggak bisa seseram Keramat, dan enggak cepat puas hanya karena filmnya banyak yang nonton.

    • triono says:

      Padahal sempet penasaran pengin nonton, secara nih film bias lama nangkring di XXI, tapi skrg pengen baca bukunya aja deh.
      Dan setuju banget, Keramat masih masuk satu dari jajaran film horror indo yang seram (top peringkat masih Pocong2 baik dari segi cerita dan eksekusinya). Tapi Keramat itu setauku karya Monty Tiwa deh bukan Joko Anwar.

    • arya says:

      Ini review yang menilai film dari mana elemen yang bekerja-mana yang enggak, mana bagian yang disuka-mana yang enggak; Ini opini jujurku, mana opini jujurmu? 😀

  3. Fadli says:

    Setuju sama reviewnya, walaupun sebenernya gue belum nonton haha. Tapi lihat review-review di akun-akun film, semuanya hampir sama: nyesel, ga bagus, dan sejenisnya, dengan rate 1/5, 3/10 dan sekitarnya. Jadi semakin ga ingin nonton walaupun gue penggemar horror. Kadang film horror yang banyak jump scaresnya memang lebih bagus, ga selalu murahan. Setuju sih “The Shining” itu bagus bgt, salah satu favorit gue (besides Stephen King is one of my favorite authors), The Witch, The Babadook, The Conjuring, Insidious. Buat dong postingan top recommended horrornya versi dirtsheet (atau udah ada?).
    Btw, ya yang namanya review kan memang opini, bebas penilaian bukan berarti menjelekkan, toh kalau memang menurut kita begitu. Btw lagi, reviewnya bagus mas, penasaran sebenernya si masnya emang penulis, jurusan sastra, atau apa gimana haha.

  4. Fadli says:

    Setuju sama reviewnya, walaupun sebenernya gue belum nonton haha. Tapi lihat review-review di akun-akun film, semuanya hampir sama: nyesel, ga bagus, dan sejenisnya, dengan rate 1/5, 3/10 dan sekitarnya. Jadi semakin ga ingin nonton walaupun gue penggemar horror. Kadang film horror yang banyak jump scaresnya memang lebih bagus, ga selalu murahan. Setuju sih “The Shining” itu bagus bgt, salah satu favorit gue (besides Stephen King is one of my favorite authors), The Witch, The Babadook, The Conjuring, Insidious. Buat dong postingan top recommended horrornya versi dirtsheet (atau udah ada?).

    Btw, ya yang namanya review kan memang opini, bebas penilaian bukan berarti menjelekkan, toh kalau memang menurut kita begitu. Btw lagi, reviewnya bagus mas, penasaran sebenernya si masnya emang penulis, jurusan sastra, atau apa gimana haha.

    • arya says:

      Hahaha wah iya, favorit kita samaa, ide bagus tuh bikin top recommended horror. Aku pikirin dulu deh kerucut-kerucut spesifiknya, soalnya kan horor yang bagus banyak banget

      Bener, sejatinya adalah tulisan opini, makanya dalam ngereview yang paling penting adalah jujur; setiap penonton bisa kok ngereview, utarain aja apa yang disuka, apa yang enggak, bagian mana yang ngena, dll.

      Makasiiih. Aku bukan orang sastra, Mas, belajar nulis aja masih serabutan. Jadi kalo ternyata Mas Fadli lah yang jurusan sastra, harap kritik-saran serta jangan gusar kalo tulisanku banyak nyalahin kaidah xD

Leave a Reply