THE SPACE BETWEEN US Review

“The greatest gift you can give to someone is the space to be his or herself”

 

 

Jarak di Antara Kita…….

….Ha! Judulnya aja udah mengisyaratkan ini bakal jadi sesuatu yang cheesy banget, well ya meski sekaligus juga memang permainan kata yang menarik. Mengartikan ungkapan “Boys are from Mars” secara harafiah, The Space Between Us bercerita tentang seorang cowok yang gede di planet asal Marvin musuh Bugs Bunny, dan cowok ini diam-diam menjalin pertemanan spesial dengan cewek di Bumi. Kalian pikir LDR itu sulit, coba bandingkan dengan Gardner dan Tulsa dalam film ini. Mereka chatting antarplanet, mereka belum pernah ketemu satu sama lain; karena lahir di Mars, keadaan tubuh Gardner actually disangsikan berfungsi dengan baik di planet kita. Namun tentu saja biar dramatis, maka kita akan ngeliat Gardner, against all odd, berusaha menapak jalan pulang ke Bumi – demi menemui Tulsa serta mencari ayahnya yang enggak ada seorang pun yang tahu siapa.

Selalu menyenangkan melihat karakter mengalami sesuatu yang belum pernah ia alami sebelumnya. Perasaan joy kita bakal keangkat tinggi menyaksikan Gardner ngerasain mandi hujan untuk pertama kali. Momen-momen dia berjalan sendirian, dengan sedikit canggung karena berat oleh gravitasi bumi, momen dia bertanya “apa yang paling kalian sukai tentang Bumi?” kepada setiap orang yang dia jumpai adalah momen yang genuinely menyenangkan.

Asa Butterfiled bisa dengan memesona memainkan karakter yang polos enggak-banyak pengalaman, namun tidak mesti innocent. Tokohnya pintar, dia actually ngelakuin banyak pilihan yang risky – enggak membosankan kayak waktu jadi lead di Miss Peregrine’s Home for Peculiar Childern (2016). Memasangkannya dengan Britt Robertson yang di real life tujuh tahun lebih tua membuat kesan ‘jauh’ kedua insan ini terasa natural. Britt di sini sebagai cewek yang street-smart. Clash antara dua karakter ini cukup menarik, I do like karakter Tulsa, masuk akal gimana dia yang dibesarkan dari orangtua asuh satu ke yang lain merasa urgen buat mempertemukan Gardner dengan sang ayah. But to be honest, ketika Britt dan Asa menyentuh ranah romansa, aku enggak bisa ngerasain spark di antara mereka. Sekali lagi, mereka terlihat ‘jauh’. Ada yang gak klop dari koneksi mereka sebagai pasangan, especially the way Tulsa manggil Gardner dengan “Bub”. Britt Robertson adalah salah satu aktor yang fleksibel dalam soal usia, maksudku, dia kerap memerankan tokoh yang rentang usianya sangat variatif. Tahun 2016 kemaren, dia jadi mama muda, dia hamil dalam setiap film yang ia bintangi. Dan sekarang dia kembali jadi gadis remaja. Kupikir masalahnya bukan pada akting atau di dianya sendiri sih, melainkan lebih kepada kita sudah punya ekspektasi Britt bakal move on memainkan tokoh yang lebih dewasa. Dengan cerita yang lebih matang pula tentunya.

sayang sekali mereka lupa menjemput Matt Damon di atas sana

 

Para aktor dalam film ini kelihatan sangat berusaha. Gary Oldman turut bermain, bersama Carla Gugino dan Janet Montgomery. While Janet sebagai ibu Gardner enggak banyak mendapat screen time, Gary dan Carla mencoba melakukan yang terbaik menghidupkan karakter yang hanya berlarian dan menghabiskan waktu dalam komunikasi yang enggak efektif. Ketiga orang ini berperan sebagai pihak NASA yang bertanggungjawab pada proyek pemukiman di Mars.

See, sebelum kita masuk ke kisah cinta Gardner dan Tulsa, film ini akan menggugah moral kita terlebih dahulu dengan sesuatu yang sebenarnya adalah elemen cerita yang sangat segar. Saking freshnya, elemen ini bisa dijadikan satu film sendiri, yang bahkan punya potensi lebih menarik ketimbang apa yang kita dapatkan dari menonton The Space Between Us. I was actually feeling really intrigued by the first 15-minutes. Aku sudah siap untuk ngeliat romansa cheesy, but hey, malah disuguhin sama permasalahan manusiawi. Tokoh Gary Oldman mengirim enam astronot sebagai manusia pertama yang akan tinggal di Mars, namun setengah jalan ke sana, janin mengisi rahim si kapten astronot. Tentu anugrah tak-terduga ini mengacaukan protokol, apalagi setelah melahirkan di Mars, sang kapten meninggal. Kejadian ini ditutupi lantaran ekspedisi gede itu bakal ter-reflect bad ke publik. Yang tentu saja memunculkan pertanyaan, bagaimana nasib sang anak? Dibesarkan di atas sana, jauh dari peradaban manusia normal? Atau dibawa pulang dengan resiko membunuhnya?

Mau di planet manapun, keadaannya selalu sama. Anak-anak bakal mengantagoniskan orangtua, terutama jika figur orangtua tersebut mengekang mereka. Dalam kasus Gardner yang kabur dari NASA, yang juga integral dengan arc si Tulsa, ini adalah metafora dari seorang anak yang lari demi mencari tahu siapa dirinya, untuk mencari jati diri. Mencari tempat yang familiar dengan diri. Dan orangtua yang keep their children in the dark, they should have know better Bahwa terkadang, jarak perlu untuk diberikan kepada orang yang kita cinta.

 

Untuk sebuah film yang membicarakan tentang kehidupan di tempat tanpa gravitasi, The Space Between Us sendirinya sudah seperti CERITA YANG MELAYANG BEGITU SAJA. Dia tidak bisa menemukan pijakan. Apa yang ingin penonton lihat adalah bagaimana mereka memainkan gimmick cinta beda-planet, akan tetapi film ini mengeset elemen cerita dengan tone yang serius dan thoughtful di awal, hanya untuk meninggalkan elemen tersebut begitu saja; menimpanya dengan pancingan-pancingan dramatis yang standar. Film ini kelihatan seperti ingin menjadi banyak sekaligus. Hasilnya adalah perjalanan yang membosankan, tidak ada elemennya yang bekerja dengan baik, satu-satunya yang bikin kita melek adalah adegan-adegan yang menjadi unintentionally hilarious sebagai akibat dari numpleknya penulisan skenario film ini.

Ada bagian soal anak yang bosen dikurung, yang resolve menjadi perjalanan ngeliat balon-balon dan ketemu Indian hippie. Ada bagian temenan sama robot, you know, ala-ala pesan moral Artificial Intelligent; Gardner dan robot pengasuhnya kayak “Aku sedih loh, bukannya kita teman?”/”Kamu kan robot, mana punya perasaan”. Ada juga bagian yang mengingatkan kita sama Wall-E; sebelum berangkat ke Bumi ketemuan ama Tulsa, Gardner yang begitu ingin ngerasain hubungan manusia menonton film cinta jadul dan dia berlatih adegannya. Tentu saja, juga ada bagian roadtrip romantic saat Gardner dan Tulsa kabur mencari alamat ayah sambil diuber-uber oleh NASA. Yang dengan cepat menjadi konyol, kayak, Tulsa yang tiba-tiba nyanyi pake gaun di swayalan. Siapa sih yang lagi di perjalanan jauh malah milih pakai gaun?? Ada juga satu adegan di kafe di mana tiba-tiba ada cowok sok akrab yang nimbrung dalam obrolan mereka, who the hell is that guy anyway?!  Dan bagaimana dengan remaja yang bisa ngendarain pesawat, normal toh

Bagi film remaja, sepertinya sudah menjadi kebutuhan primer buat mengantagoniskan orang dewasa. Film ini mencoba untuk membuat Gary Oldman and-the-gank kelihatan jahat di mata Gardner dan Tulsa, but of course kita tahu lebih baik – kita tidak pernah melihat mereka sebagai badguy yang mau mencelakakan, dan itulah sebabnya kenapa elemen ini tidak bekerja.

but hey, kita dapat adegan ledakan. It’s a good thing, right?

 

Dari gimana hidup di Mars, cerita dibawa kembali ke Bumi, dan sesungguhnya sangat susah buat menarik kembali perhatian kita. I mean, seexciting apa sih kejadian di Bumi dibandingkan dengan di Mars? Film ini sepertinya aware dengan hal tersebut, jadi mereka memasukkan apapun biar bagian di Bumi menjadi menarik. Akan tetapi akibatnya ada BANYAK KEENGGAKKONSISTENSIAN, sampai-sampai kita bingung sendiri ini film niat apa enggak sih. Seting waktu ‘masakini’ film ini adalah di masa depan, enam belas tahun dari 2018, tahun kematian ibu Gardner. Bumi dan Mars bisa ditempuh dengan hanya tujuh bulan perjalanan. Gawai terlihat mentereng, desain laptop sudah demikian majunya. Tapi pakaian, mobil, pesawat, tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan masa kini kita semua. Penulisan Gardner juga linglung, dia malah cenderung kayak orang gua ketimbang orang dari Mars yang sudah maju. Masuk akal jika dia euphoria pacaran ataupun mandi hujan, karena itu adalah hal baru yang sekali itu pernah ia rasakan. Tapi heran dan ketakutan ngeliat kuda? C’mon masa iya dia belum pernah liat hewan di internet? Terkecuali di act ketiga, kita bisa melupakan sama sekali bahwa Gardner adalah orang Mars, karena dia bertindak kayak orang ‘sakit’ instead.

 

 

 

Lucu betapa penuhnya film ini namun enggak benar-benar ada bobot yang terasa. Film ini harusnya mendengar sendiri pesanya; berikan ‘jarak’ supaya elemen cerita bisa berkembang. Akan bisa lebih baik jika film ini memfokuskan kepada Gardner sebagai lead tunggal, film bisa dimulai dengan kehidupannya di Mars terus dia menemukan video keberangkatan ibunya, sehingga kita enggak perlu ngeliat prolog sebagai sepuluh-menit-pertama yang enggak benar-benar memberi bayangan tentang pusat cerita. Malahan apabila film ini just stick menjadi full cheesy, mungkin tetep akan lebih baik. At least, it would be enjoyable dalam level ‘so bad it’s good’. Nyatanya, kisah anak dari planet ketutup oleh banyak hal, termasuk oleh drama cinta yang enggak klik. Dan keinginan buat ngasih twist yang sebenarnya enggak perlu-perlu amat. Apakah film ini berupa action, komedi, romance, sci-fi, adventure, not even pembuatnya tahu pasti. Drama ini persis seperti pemandangan set Mars yang ia tampilkan; kering meranggas.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for THE SPACE BETWEEN US.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

    • arya says:

      Yea, it’s okay to love bad movies, we just have to be able to recognized it. Star Wars favoritku adalah Episode 1 dan itu adalah the worst Star Wars ever!!! 😀
      Kepotong di bagian yang mana? jangan-jangan memang ada alternate ending or sumthing

    • Taufiq says:

      Menurut saya sih film ini bagus… Ringan…
      Kadang2 lebih baik jika kita hanya perlu rileks dan watching dan berempati dan tidak terlalu memikirkan hal2 yg terlalu gimana ya…
      Let it flow dan nikmati….
      Kalau saya melihat, seperti jalinan cerita film gaya lama… 3 babakan dan bukan 9 babak
      Dan saya cukup menikmatinya…. Seperti menonton film lama tapi dengan sentuhan yg baru.. Atau film baru dengan sentuhan lama….

      • arya says:

        ya benar, nikmatin film tergantung masing2 penonton. Tapi tentunya jika ada yang mengganjal dari penceritaan tokohnya, seorang reviewer harus menyebutkan, sukur2 dibaca ama filmmaker sehingga bisa diambil pelajaran 😀

    • kakaes says:

      same here! i also do love the movie.but its kinda weird at the ending. sy ngerasa di film ini memang sgt diimbangin antara science dan romance-nya, mungkin krn itu ada yg ngerasa too cheesy atau point ceritanya ga tepat. tapi tetep, endingnya ga pas, feels not complete whether its gonna be a sad ending or a happy one haha

      asa butterfield is still charming btw 😉

  1. redhajuanda says:

    dude, i feel the same way too, i was like “really? that CGI is way too expensive for this shit”

    • arya says:

      gaheran sekarang banyak sineas luar sono yang pengen jalur indie aja.. kena sentuh hollywood jadinya yaa CGI first kayak gini deh

  2. jagg says:

    seru bgt pas gardner keliling bumi dan bertemu banyak org..
    si cewek juga cantik, itu cewek yg ada di tomorrowland kan ?
    gak nyangka asa butterfield ciuman dan “anu” hehe..

Leave a Reply