THE GUYS Review

“Vulnerability is the only bridge to build connection.”

 

 

Tidak ada penulis yang mengeksplorasi laki-laki dan kejombloan lebih sering dari yang dilakukan oleh Raditya Dika. Sejak Kambing Jantan (2009), formula cerita comedian yang mengawali karir dari blog ini selalu adalah tentang cowok awkward yang desperately pengen punya pacar, dia mencoba banyak tips ajaib yang justru bekerja di luar harapan, dan sebagian besar memang berakhir tragis. Namun di situlah letak lucunya; bagi penonton muda pengalaman kocak yang diceritakan Raditya Dika sangat mudah buat direlasikan. Dia berani tampil unik, yakni TAMPIL VULNERABLE. Mengeluarkan sisi lemah untuk ditertawakan bersama-sama. Namun begitu, hal tersebut juga jadi alasan kenapa karya-karya Raditya Dika lebih mudah diterima oleh pembaca cewek. Sebab cowok enggak suka menunjukkan vulnerability atau ‘kelemahan’. Dan manusia secara umum; semakin dewasa orang-orang akan semakin lebih nyaman menyimpan sisi vulnerable mereka dalem-dalem. Makanya Pak Jeremy dalam film The Guys terlihat galak dan kontras sekali dengan tokoh yang Alfi yang diperankan oleh Raditya Dika. Di film ini, kita akan melihat dua generasi yang berbeda mengekspresikan kevulnerablean mereka dalam relationship. Dan ini adalah elemen yang paling menarik yang ditawarkan oleh The Guys.

Being vulnerable mengimplikasikan kita berani untuk menjadi diri sendiri. Dan meskipun adalah menakutkan untuk menunjukkan kelemahan, seperti Jeremy yang segera mengganti ikat pinggangnya yang seragam dengan Alif – yang menunjukkan dia mungkin se’lemah’ Alif, vulnerability adalah hal yang penting dalam menjalankan hubungan sosial, terlebih hubungan percintaan. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa menjalin hubungan kepercayaan di antara dua orang, tapi jika dan hanya jika, kedua belah pihak mau bersikap vulnerable bersama-sama.

 

Alfi pengen jadi orang yang sukses. Punya istri cantik dan pekerjaan yang ia senangi. Yang ia punya dari kerjaannya sebagai karyawan kantor marketing Pak Jeremy adalah tiga sohib sekontrakan dan status jomblo dua-tahun. Keinginan-keinginan Alif sudah akan terwujud sekaligus; dia berhasil deket sama temen kantornya yang bernama Almira, cewek cantik yang ternyata adalah anak dari bosnya, Pak Jeremy. Tapi kemudian kejadian menjadi membingungkan bagi Alif karena setelah keluarga mereka makan malam bersama, Pak Jeremy yang lama menduda malah jatuh cinta kepada ibunya yang juga sudah lama ditinggal oleh ayah. Aku jadi teringat cerita si Mandra di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang batal ngelamar lantaran hari itu bapaknya keburu bikin acara lamaran nikah buat dirinya sendiri. Elemen cerita ini menciptakan semacam sense kompetisi dan urgensi. Alif, tentu saja dia harus segera mengungkapkan cintanya (sukur-sukur diterima!) sebelum Almira malah berakhir menjadi sodara tirinya.

gimana awkwardnya coba kalo jadi kakak-adek beneran!

 

Konflik drama tersebut datang sebagai midpoint, menjadikan film ini seperti terbagi menjadi dua bagian. Paruh pertama kita melihat kehidupan sosial Alif. Dan dalam kasus film ini, sosial adalah berarti beredar mencari cewek. Kita menyaksikan cinta Alif yang kandas, melihat dia mendengar saran-saran dari teman-temannya, dan ketika dia kenalan dan pedekate kepada Almira. Bagian ini penuh oleh trope-trope komedi cinta untuk remaja, yang cenderung konyol. Separuh akhir lagi adalah giliran elemen-elemen dramatis untuk unjuk gigi. Kita sesekali diperlihatkan si Alif ini mikir apa aja kala dia sedang sendirian di kamar mantengin skema ‘Life Goal’ yang ia buat; soal relationshipnya dengan Almira, haruskah dia ngalah buat ibu dengan Pak Jeremy. Ada bicara soal menjadi bos bagi diri sendiri juga. Meski tone cerita tetap dijaga enggak jauh-jauh dari komedi konyol, bagian akhir film ini agak sedikit berat oleh pecahnya fokus cerita. Usaha film ini memancing sisi dramatis kerap terasa out of nowhere sebab mereka terlalu bermain ringan di babak set up.

Motivasi Alif tidak pernah tercermin dengan baik, dan terasa dijejelin begitu saja. Naskah yang baik seharusnya mampu menggali tiga sisi kehidupan tokoh; profesional, sosial, dan personal. Kita tidak pernah melihat karakter Alif dalam lingkup cahaya profesional. Maksudnya, ini adalah cerita dengan set kantoran, Alif digambarkan jenuh dengan kerjaan, tapi kita tidak pernah melihat kerjaan dia tuh ngapain aja. Ada adegan ketika tim mereka ketinggalan flashdisk buat presentasi, dan yang dilakukan Alif hanya berdiri di sana, enggak ngapa-ngapain. Harusnya bisa dibikin dia nekat presentasi impromptu walaupun toh tetep ketahuan dan gagal. Niat mulia yang keluar kuat dari Alif adalah dia pengen punya cewek, karena film ini sebagian besar akan mengekspos hal tersebut. Penyelesaian dari elemen kerja ini juga datang begitu saja, tanpa ada build up ataupun rintangan yang dihadapi. Dia cuma kayak “Oke gue selesai, gue sekarang berani ngambil langkah ini, gue bisa kok bikinnya” dan memang semuanya jadi serba gampang. Bahkan perjuangan cinta Alif juga dibahas dengan ‘cepat’ dan enggak benar-benar ada rintangan selain kekonyolan yang terus dipancing due to this film’s comedy nature.

Aku sempat bengong juga harus mulai mengulas film ini dari mana. Sebab semua elemen cerita serta elemen penggarapannya DIOLAH DENGAN SANGAT BASIC. Alasan Almira enggak ngasih tau siapa bapaknya kepada Alif sampai sebelum dinner adalah karena dia takut Alif nanti kaget; dari sana saja mestinya udah bisa ngasih gambaran tentang kualitas dialog dan penalaran tokoh pada film ini. Lima menit pertama film udah nyamain remaja dengan air conditioner yang belum diservis, not to mention kita juga sudah dapat dua lelucon kamar mandi dalam rentang waktu segitu. Dan hitungannya masih bakal terus meningkat lagi sampai akhir. Situasi, jokes, karakter, semuanya ditulis dengan standar. Film ini punya kecenderungan buat ngejelasin jokesnya lewat percakapan, yang sebetulnya enggak perlu, tapi mungkin karena filmnya sendiri sadar bahwa materi yang mereka punya enggak cukup kuat. Delivery dan pengintegralan lelucon-lelucon tersebut pun biasa sekali. Hanya ditargetkan buat memancing tawa dengan gampang. Materi komedinya kebanyakan diambil dari anekdot-anekdot yang sedang ngehits sekarang ini. Bagus sih, jadi kekinian, tapi bayangkan kalo film ini ditonton sepuluh tahun lagi. But hey, paling enggak di film ini ada orang yang ‘bola’nya sakit, itu pasti lucu sepanjang waktu kan?

Iya sih, kalo film ini dibuat atas dasar ngetawain diri sendiri, mestinya kita sadar dong seberapa gede kans film ini dibuat dengan mereka menghormati para penonton.

 

Sebagai tokoh utama, Alif sebagian besar waktu enggak ngapa-ngapain. Dia dapat info-info penting dari orang lain, dia nyaris enggak figure out anything. Raditya Dika hanya berdiri di sana pasang tampang komedi (alias ekspresi sangsi campur bloon). Ketiga sahabatnya enggak diberikan penokohan yang cukup. Hanya ada satu yang diperhatikan lebih, yaitu si Sukun dari Thailand yang jago bikin teh beraneka khasiat. Dia adalah sahabat Alfi yang vulnerable dan itu membuatnya mudah konek dengan penonton. Namun film ini masih terasa sengaja membuat tokoh ini sebagai karakter ‘bego’ sehingga dengan bisa digunakan dengan mudah untuk memantik sisi dramatis. Penampilan yang bisa dinikmati adalah dari Tarzan dan Widyawati, mereka terasa humane. Namun menjelang akhir, film berpindah ke aspek persahabatan yang enggak pernah sebelumnya diset dengan meyakinkan. There’s so much things going on. Jika film lebih fokus, mungkin jika mereka bener-bener mengeksplorasi dari aspek saingan yang konyol dengan Pak Jeremy sebagai ‘antagonis’, narasi akan lebih rewarding. Bagian akhir terasa sangat numplek, beberapa bagian narasi juga kelupaan untuk dibahas lagi. Almira enggak nongol lagi. Tokoh-tokoh cewek, selain ibu Alif, juga ditulis dengan basic. Almira is nothing but a love interest. Sejak Aach… Aku Jatuh Cinta (2016), Pevita nunjukin peningkatan dalam penyampaian dan intonasi, namun permainan ekspresinya masih lemah. Dan sebagai Almira, comedic delivery Pevita Pearce masih minim, dia masih sebland biasanya.

aku bisa relate sama perasaan diajak ketemuan ama Pevita

 

Elemen romansa seputar Alif enggak ditangani dengan cara yang dewasa. Para tokoh film ini kayak anak abg yang pake kemeja kantoran. Ada banyak film atau juga serial di mana tokoh-tokohnya udah gede namun masih kekanakan, tapi dalam film ini, they are just dumb. Aku pikir, ini enggak exactly masalah umur ataupun enggak cocok sama demografi pasar ceritanya, karena toh memang ada beberapa momen yang bisa kurelasikan. Tapi sebagian besar film memang terasa datar, emosinya artifisial, enggak ada nuansa fun – bahkan para pemain tidak tampak fun memainkan tokoh mereka, dan yang paling menarik adalah bagian ketika tokoh-tokoh yang lebih dewasa menunjukkan sisi vulnerable mereka. Everything about this film is so basic. Raditya Dika mungkin nyaman dengan itu, tapi film enggak bisa mengandalkan vulnerabilitas semata. Strukturnya harus diperhatikan. Penulisannya perlu dimatangkan. Sebagai penonton kita akan selalu punya banyak pilihan film lain yang lebih relatable dan lebih menantang.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for THE GUYS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And they are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. Agung says:

    Setuju…ini film jauh dibawah standar ekspektasi gw yang berharap ini film bakal WOW…masih jauh dibawah film hangout ataupun film ernest…Cerita cintanya ngambang, dramanya ngambang, akhir cerita ngambang..gak ada klimaksnya…kecewa sih..kayanya raditnya harua meningkatkan kevel lagi (belajar dari ernest), kalo gak bakal ditinggal penontonnya..

    • arya says:

      Iya, denger-denger katanya dia mau istirahat bikin film ya? Langkah ini sebenarnya tepat, dia kudu vakum dulu beberapa waktu dan kemudian balik lagi dengan film dengan formula yang sama sekali baru. Karya2nya yang sekarang ini memang udah mentok banget. Tapi The Guys ini malah kayak proyek dadakan, Dika insecure gitu gaung namanya bakal ilang karena toko sebelah hahaha

  2. insinyurmesin says:

    40an hari syuting gak sepadan dengan hasilnya. Jauh di bawah film single.

    1. Ceritanya gak fokus, terlalu luas, ada persahabatan, cinta, kerjaan, keluarga. Malah film ini gak cocok dikasih judul the guys, karena porsi persahabatannya terlalu minim, bukan inti cerita. Arahnya gak jelas.

    2. Karakter masing2 tokoh gak kuat. Datar.

    3. Setting film gak realistis. Rumah2 yg dijadikan set berlebihan. Kontrakan untuk kelas pekerja kantoran advertising terlalu bagus. Padahal di awal cerita, mereka gak mampu bayar makanan di resto itali. Wtf, kontrakannya ternyata wah.

    4. Masih banyak kejanggalan. Alfi ngajakin main bowling, eh ternyata dia gak ngerti cara mainnya. Ngapain dia ngajak kalo gak bisa. Bandara terminal 3, gak ada tujuan ke bangkok. Gak dibolehin masuk ruang tunggu, pas pesawat terbang, eh tau2 mereka sudah ada di ruang tunggu sambil dadah. Janggal. Sekali lagi gak realistis.

    Ada bagusnya radit belajar lagi jadi sutradara, dan lebih fokus di nulis scenario dan acting. Biarkan sutradara profesional yg ngedirect. Dia akan membuatkan film yg luar biasa utk radit.

    Kesimpulan: scenario belum matang. Terlalu dipaksakan.

    • arya says:

      Wah ini bener sekali. Detil bgt, beda ama filmnya ahahaha.. keliatan The Guys ini memang lebih lama waktu syutingnya dibandingkan persiapan dan penulisan skenario; jadilah ceritanya ala kadar dengan banyak yang janggal dan gak make sense seperti kata mas Ariestyanto

    • Tukang says:

      Saya sedikit kurang setuju dengan pernyataan Anda yang tentang terminal 3. Yang mau diperlihatkan disini adalah lokasi bandara, dan bukan terminal berapa. Kenapa diambil terminal 3 ? Mungkin saja, tempat lebih bagus di terminal 3 karena terminal 3 merupakan terminal yang baru. Menurut saya Anda terlalu detail sampai keluar dari intinya sehingga menjelaskan yang tidak perlu seperti ketersediannya penerbangan ke Bangkok di terminal 3.
      Akhir cerita juga sebenarnya tergantung sutrada ingin membuat seperti apa, karena setau saya ada 3 jenis : Happy Ending, Sad Ending, dan juga Cliff-Hanger (menggantung, diserahkan pada persepsi penonton).

      • arya says:

        untuk soal akhir cerita, benar sekali semuanya itu tergantung pilihan sutradara, mau sedih, atau bahagia, atau di antaranya. Arahannya yang harus kuat, gimana dari awal semua elemen dibangun untuk menuju ke sana

Leave a Reply