KARTINI Review

“I know why the caged bird sings”

 

 

Bicara Kartini berarti kita bicara emansipasi. Perjuangan kesetaraan kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk menentukan pilihan, untuk mendobrak sistem patriarkal yang mengakar, dan terutama untuk mengatakan “Memang kenapa bila aku perempuan?”. Aku pikir kita semua udah tahu bahwa tinggal waktu saja kisah kepahlawanan Kartini ini jatuh ke tangan sutradara Hanung Bramantyo. Hanung paling demen ngegarap cerita yang protagonisnya berontak melawan sistem, dia paling jago memercik drama (dan, kalo perlu, sedikit kontroversi) kemudian memperkuatnya lagi dengan elemen yang relevan. Kartini dan Feminisme sangat cocok sebagai lahan Hanung.

Namun kali ini, lebih daripada mengandalkan sensasi – akan gampang sekali mengingat ide soal kepahlawanan Ibu Kartini sudah sering mendapat kontroversi di jaman modern ini – Hanung mengarahkan film biopik ini ke jalan yang lebih EMOSIONAL DAN MANUSIAWI. Dalam Kartini kita akan melihat karakter-karakter menjadi fokus utama. Kita akan melihat hubungan Kartini dengan keluarga, bersama kakak-kakak cowoknya, dan bersama kedua adiknya; Roekmini dan Kardinah. Kita akan melihat gimana Kartini berteman dengan Belanda yang menyemangatinya untuk menulis. Gimana dia mengisi hari selama masa pingitan sebagai persiapan menjelang mengemban status Raden Ajeng. Dan, yang paling personal baginya, gimana Kartini menyingkapi soal poligami, in which dia adalah produk dari – serta akan kembali jadi pemain dalam tradisi jawa tersebut. Urgensi datang dari Kartini dan adik-adiknya yang mengembangkan kerajinan ukiran Jepara, membuka sekolah bagi anak-anak pribumi, sementara sebenarnya mereka sedang menunggu waktu satu persatu ‘dipetik’ untuk menjadi seorang istri.

Dian Sastro apa Dian Iaya nih?

 

Ketika melihat trailer film ini untuk pertama kalinya di bioskop, aku merasa tertarik. Kalimat yang diucapkan Kartini di akhir trailer tersebut, tentang kebebasan ibarat burung, membuatku kepikiran kenapa film ini enggak dikasih judul Trinil aja ya? Dan setelah menyaksikan filmnya secara utuh, I still think that way; judul Trinil akan memberikan kesan yang lebih impresif dan benar-benar klop dengan ceritanya. Dalam review Surat Cinta untuk Kartini (2016) aku nyebutin cerita Kartini yang dipanggil burung trinil oleh ayahnya dalam majalah Album Ganesha Bobo. Kartini adalah pribadi yang enerjik, periang, punya bakat membandel, dan dalam film ini, begitu melihat Kartini dan dua adiknya nangkring di atas tembok, aku langsung menggelinjang; That’s her, that’s Kartini si burung Trinil yang aku baca waktu kecil!

Betapa menyenangkannya demi mengetahui diri kita sudah membuat perubahan hari ini. Dan that feeling alone harusnya udah bisa membuat kita terbebas dari boundary apapun yang memasung kita. Kartini, menyadari bahwa kita tidak akan pernah bisa sepenuhnya bebas. Karena batas-batasan itu akan selalu ada, dan perjuangan sejatinya bukan untuk menghilangkan pembatas melainkan untuk membebaskan pikiran. Perjuangan Kartini adalah perjuangan gagasan, meskipun tubuhnya terkurung, gagasan positifnya akan terus terbang memberikan pengaruh positif kepada generasi demi generasi.

 

 

Kualitas produksi film ini top-notch sekali. Ini adalah film yang cantik. Gambarnya disyut dengan perhatian pada maksud dan detil. Set dan kostumnya sangat meyakinkan. Londo-londo itu terlihat classy sekaligus modern sebagai kontras dari pakaian bangsawan Jawa yang terlihat kaku dan mengurung. Kartini berada di tengah-tengah mereka. Kita memang enggak tahu seperti apa pembawaan Ibu Kartini aslinya, namun Dian Sastro udah pas meranin Kartini sebagai wanita yang berjiwa mandiri dan ‘pemberontak’. Tapi enggak exactly in a way kayak dia bilang “aku enggak butuh lelaki.” Ini adalah film yang membahas hubungan emosional yang terbangun. Motivasi Kartini adalah supaya dia, adik-adiknya, dan para wanita tidak perlu lagi capek berjalan-jongkok dan ‘latihan makan ati’ seperti yang dialami oleh ibu kandungnya. Supaya para wanita tidak hanya jadi pilihan melainkan bisa punya pilihan. Tembok pakem wanita-jaga-badan-dan-nunggu-kawin itu musti runtuh, begitu tekad Kartini. Semua itu tercermin dari gimana dia ‘menggembleng’ dua adiknya, yang oleh film ini diperlihatkan sebagai ‘murid pertama’ yang dimiliki oleh Kartini. Dian Sastro excels at playing this kind of role. Membuat kita ingin melihat lebih banyak tindak ‘pemberontakan’ Kartini. Kita akan melihat darimana asal tekad dan semangat Kartini, dan semua itu dimainkan dengan sangat heartwarming.

Hal berbeda yang dapat kita saksikan adalah Hanung memasukkan elemen imajinasi ke dalam cerita. It’s the power of books, people! Dengan membaca buku, kita bisa berkunjung ke mana saja kita mau. Adegan ketika pertama kali Kartini membaca buku adalah adegan yang sangat menyenangkan. Kita melihat dirinya melihat apa yang ia baca terwujud di depan mata. Sepanjang film, setiap kali Kartini membaca, entah itu buku ataupun surat balesan dari korespondensinya di Belanda, kita akan dikasih lihat visual Kartini sedang ngobrol dengan si penulis. It was shot very beautifully and actually menambah banyak hal buat pengembangan tokoh Kartini.

Tiga Gadsam foto buat cover lagi kaah? hhihi

 

Dengan jajaran pemain yang masing-masing saja kayaknya sudah pantes buat nulis buku sendiri tentang kepiawaian berakting, film ini enggak bisa untuk enggak menjadi meyakinkan. Lihat saja tatapan dingin Djenar Maesa Ayu, tapi masih terlihat bayangan mimpi yang kandas dari matanya. Pembawaan dan intonasi Deddy Sutomo yang terang-terang sedang conflicted antara acknowledging kemampuan putrinya dengan adat yang ia junjung. Aku bahkan ngakak ketika Kardinah bilang perasaannya enggak enak seolah ia tahu bakal dijodohin di akhir hari. Bahasa Jawa mereka sampaikan tanpa gagap. Kapasitas penampilan yang kelas atas membuat kadang beberapa musik dalam pengadeganan toh terasa sedikit eksesif. Maksudku, film ini sebenarnya bisa untuk enggak banyak-banyak masukin pancingan emosi karena setiap adegan, dari segi performances, sudah terdeliver dengan begitu compelling.

The bigger picture of this movie adalah gimana kehidupan Kartini bisa menginspirasi banyak orang, bukan hanya wanita. Namun, film ini masih kelihatan artificial ketika mengolah elemen-elemen dramatis. Kayak, film ini berusaha terlalu keras buat menghasilkan air mata dari penonton. Dibandingkan dengan porsi bagian cerita yang lebih ringan, menit-menit awal yang jadi set up terasa terlalu menghajar kita dengan emosi. Kita melihat Kartini kecil dalam momen yang menyedihkan, baik visual maupun tulisan mendikte kita untuk sedih. Kemudian narasi melompat dan kita dapat Kartini dewasa dengan segala attitude ingin-bebas. Ini masalah yang sama dengan pengarakteran Jyn Erso pada Rogue One (2016), di mana kita hanya melihat sad part of her childhood untuk kemudian kita melihatnya lagi setelah dewasa dengan kemampuan yang tinggi. Aku pikir akan lebih baik jika film ini mengajak kita untuk mengintip kehidupan sekolah Kartini kecil, you know, just to see seperti apa sih pintarnya Kartini itu hingga dikenal baik di kalangan meneer Belanda. Karena sepanjang film kita akan mendengar para tokoh ngereferensikan betapa pintarnya Kartini di sekolah.

Pun pada babak akhir kita akan merasa diseret oleh emosi. Tidak ada yang benar-benar menarik pada babak ketika sampailah giliran Kartini dilamar seorang Bupati. Kita semua – paling enggak kita-kita yang masih melek waktu pelajaran sejarah di sekolah – tahu tepatnya apa yang akan terjadi. Cara film ini bercerita mendadak kembali terlalu artifisial, sehingga adegan-adegan emosional itu rasanya kering. Pancingan-pancingan dilakukan, ada elemen sakit, ada tokoh yang jadi antagonis sekali, ada yang berubah baik hati, semuanya datang gitu aja, it did felt rushed. Banyak film yang enggak berhasil menjembatani dua tone narasi, dan film ini termasuk ke dalam kelompok film yang gagal tersebut. Alih-alih membahas dari perspektif yang lebih kompleks – dan film ini sebetulnya bisa melakukan itu – film ini lebih memilih untuk menyederhanakannya menjadi semacam pihak yang baik sama Kartini dan pihak yang jahat. Although, menarik gimana ‘yang jahat’ dalam film ini enggak necessarily adalah laki-laki.

 

 

 

Habis gelap terbitlah terang. Kemudian gelap lagi. Begitulah kira-kira garis besar menikmati film ini. Perbedaan antartone film ini sangat drastis, karenanya momen-momen dramatis yang kerap dihadirkan terasa artifisial. Set up film mestinya juga bisa diperkuat lagi karena gedenya toh apik tenan. Selain masalah tone dan hook yang dibuat terlalu pengen jadi dramatis, aku tidak melihat banyak masalah. Film ini  tahu ingin jadi apa, dan bekerja baik mewujudkan dirinya. Ia menyenangkan oleh interaksi antarkarakter. Potret penuh emosi dari kehidupan sosok pahlawan yang kita peringati setiap bulan April. Aku merasakan dorongan untuk keluar dari bioskop dengan berjalan jongkok just to pay my respect kepada pengorbanan perempuan.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KARTINI.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. Green Elephant says:

    Hi salam kenal! Gw pribadi merasa justru the biggest problem of this flick is : Divisi art & kostum. Mereka sangat pemalas dalam mendadani film ini. Untuk kostumnya pun sangat obvious itu baru semua (bahkan jahitannya pun sangat ketara baru sekali) dan itu tidak hanya menjangkiti semua pemeran utama tapi juga hampir semua pemeran supporting tak terkecuali kurir surat, pembantu dan tukang ukir mungkin dengan pengecualian kostum Christine Hakim. Make Up pun memiliki masalah besar di jambang palsu Dedi Sutomo dan kumis palsu kakak laki-laki Kartini. Sayang sekali. Kalau detail-detail ini menjadi masalah, akhirnya cerita dan akting yang ada jadi gak believable lagi. Sektor pemain, hands down buat Christine Hakim & Dedi Sutomo. Jam terbang memang gak bisa dipungkiri. Mereka effortlessly fleshed it out.

    • arya says:

      Bener, tapi menurutku ‘kekakuan’ kostum-kostum itu work out nicely dengan nuansa imajinasi dan tema kaku itu sendiri (kita ngeliat filmnya dari perspektif Kartini). Makanya rasanya drastis bgt pas arahan filmnya jadi dramatis, mentok. Tapinya lagi memang, kalo bukan Christine Hakim, Dedy Sutomo, dan aktor-aktor lain di film ini yang mainin, hasilnya enggak akan sebelievable ini.

  2. Edu says:

    Film yg memukau. Sepanjang film saya terus merasa kagum, dan sekitar 3x harus banjir air mata. Siapakan tissue gelondongan deeh.
    Yg paling mengganggu kostum: terutama kostum nyonya2 Belanda. Rasanya kok baru selesai menjahitkan. Bikin rada vintage mungkin lebih bisa match dengan film nya.
    Berikutnya masalah bahasa Jawa. Bagi penonton non Jawa, no problem.
    Tapi bagi yg lahir Jawa, bahasa Jawa nya ngga natural di telinga.
    Dian Sastro kayaknya bukan Wong Jowo tulen ya.
    Christine Hakim dan Jenar we love you both so much. Kalian bukan supporting role, tapi main role.
    BTW film ini sukses memerah air mata, bahkan bagi penonton cowok sekalipun, seperti saya.
    Hidup perempuan Indonesia.

    • arya says:

      Mungkin nyonya nyonya belanda memang baru beli baju baru hihihi..
      Kayaknya memang Dian kurang fasih bahasa Jawa. Tapi aku jadi penasaran, antara bahasa belanda ama jawa, dia fasihan yang mana ya?

      Hidup perempuan Indonesia!

Leave a Reply