FREE FIRE Review

“Guns don’t kill people.”

 

 

Siapa bermain api akan terbakar. Siapa bermain senjata api – well yea, niscaya akan ada yang tertembak. Namun, tidak seperti api, besar kecil senjata api enggak bisa jadi ukuran kawan atau lawan. Karena yang berada di balik pelatuknyalah yang menentukan. Kita dapat menyaksiksan senjata dijadikan perlindungan dari balik insecurity manusia dalam banyak film. Atau malah di dunia nyata. Free Fire amunisinya ceritanya juga sama seperti demikian, hanya saja film ini memancing rasa tertarik kita dengan hadir sebagai KOMEDI AKSI. Dan untuk menaikkan stake, film ini mengambil gudang terbengkalai tertutup sebagai medan baku-tembaknya.

Gudang tersebut dijadikan tempat ketemuan kelompok arm dealer dengan kelompok calon pembeli. Bagian perkenalan transaksi ini berjalan dengan lancar. Ada perantara dan saksi yang mencairkan suasana. Actually, kita langsung bisa meraba tone film ini dari percakapan para tokoh di kedua kubu. Mereka semua tampil keren dan eksentrik dalam cara mereka masing-masing. Tapi tentu saja, seperti matahari pada hari yang berawan, tensi yang merayap di antara kedua kelompok ini enggak bisa disembunyikan lama-lama. Sedikit mixed-up dalam barang yang dijual mulai menggoyahkan rasa percaya yang sedari awal juga udah tipis banget. Kemudian masalah personal dua di antara mereka turut hadir di atas meja, dan meledaklah tensi tadi. Mendadak dua-belas angry men dan satu cewek ini saling tembak-tembakan, beberapa ingin uang untuk dirinya sendiri, beberapa hanya ingin keluar dari tempat tersebut hidup-hidup. Singkat kata, they are starting to kill each other.

inilah hasilnya jika orang-orang yang suka ngomong F-word, ngumpul, dan dikasih pistol

 

Ada banyak humor dan candaan. Porsinya, to be honest, agak di luar perkiraanku. Yea, tone memang ngasih isyarat ini bakal jadi film aksi yang punya segudang komedi, tapi aku gak menyangka ternyata memang elemen komedilah yang jadi sentralnya. Ekspektasiku adalah film ini mirip-mirip ama Reservoir Dogs (1992)nya Quentin Tarantino; tau dong pasti, film aksi yang juga mengunci tokoh-tokohnya dalam satu ruangan. Karena set upnya memang terasa seperti itu; drama serius dengan banyak jokes. Memang enggak sampe sekonyol film kartun, sih, nyaris kayak film komedi slapstick lah. Adegan tembak-tembaknya sangat ringan dengan banyak orang mengutuk sambil merayap diiringi desingan peluru “syuut, Kling! Desh! Bum!!”. KOMIKAL DAN OVER-THE-TOP. Film ini tampaknya mau menghadirkan apa yang terjadi jika sebuah film yang fun dan mendadak semuanya menjadi nyata. Narasinya diceritakan nyaris real-time dengan kita. Di satu pihak, film ini jadi enjoyable dan sangat menghibur. Di pihak lain, film ini kayak nembak serabutan membabi buta tanpa ada peluru yang benar-benar tepat sasaran. You know, persis kayak kemampuan membidik tokoh-tokohnya yang lebih parah daripada Stormtrooper.

Di atas kertas, film ini sebenarnya cuma sebatas konsep singkat yang dipanjang-panjangin jadi film panjang. Mengetahui hal ini, sutradara Ben Wheatley cukup pinter untuk menggaet aktor-aktor mumpuni yang mampu menghidupkan tokoh-tokoh yang dihadirkan oleh naskah. Aku paling suka paruh pertama dari film, set up  karakternya dibuat menarik. Malahan, sebagian besar hal-hal yang kusuka dari film ini adalah berkat permainan dari para aktor yang benar-benar sukses memberikan warna kepada tokohnya. Dialog yang diberikan kepada mereka sebenarnya cheesy dan gak spesial-spesial amat. It’s not witty or deep. Enggak membuat kita ingin mengutipnya sebagai bahan postingan pathdaily atau apa. Adalah para cast sendiri yang mengerahkan talenta dan kemampuan mereka dengan begitu tepat, sehingga peran mereka yang menarik.

Sebagian besar tokoh enggak dikasih banyak ruang untuk pengembangan. Meski begitu, aku paling tertarik sama tokoh Chris. Cillian Murphy was really great memainkan tokoh ini, dia kelihatan punya hubungan spesial dengan Justine, dan the way Murphy played out relationship yang tumbuh antara Chris dengan tokoh-tokoh lain dalam waktu singkat itu, it’s just great and really compelling. Spotlight komedi paling-kocak jatuh ke tangan Sharlto Copley sebagai pemimpin nyentrik dan egosentris kelompok penjual senjata api. Kadang kita enggak gitu mengerti ocehan si Vernon, namun kocaknya sungguh-sungguh menambah banyak buat komedi. Aku juga suka tokoh Ord (Armie Hammer jenggotan di sini) yang tampak paling clear-headed di antara semua.

Ini adalah film kedua di tahun 2017 di mana aku merasakan kecewa teramat sangat kepada Brie Larson. She was once bermain di film yang kukasih nilai 9, tapi tahun ini tampaknya jadi tahun untuk bercermin dalam memilih peran bagi Larson. Dalam Kong: Skull Island (2017) tokoh yang ia perankan enggak ngapa-ngapain selain motret dan berlari. Dalam Free Fire ini, tokoh Justine enggak lebih dari anak bawang. Tokoh ini kayak berada di luar film, it feels like she was in different movie. Larson pun memainkannya dengan datar. Dia enggak masuk sama suasana ataupun cerita.

Bukan pistol yang membunuh orang. Orang insecure yangbertindak berlebihan yang memegang pistollah yang menghilangkan nyawa. Konflik dalam Free Fire bisa berakhir sesegera orang pertama rela meletakkan senjata, menyelesaikan deal ataupun perkara pribadinya, dan semua yang terlibat di sana bisa pulang dengan riang dan sehat walafiat.

 

All-stars castnya lah yang mengangkat film ini ke level menghibur. Tapi tokoh-tokoh mereka bukan remaja yang berparade keliling kota sambil petantang petenteng pistol kayak Ricky di lagu rock “18 and Life”, para tokoh film ini adalah orang dewasa yang mestinya kompeten dalam melakukan tugas mereka. Mereka ada dalam bisnis senjata api. Mengutuk dan menembak adalah rutinitas sehari-hari. But man, they are dumb. Ada satu tokoh yang diset sebagai tokoh lugu yang ngelakuin hal-hal bego, supaya lucu, hanya saja tokoh-tokoh lainnya juga tampil enggak lebih pintar dari orang itu. Motivasi kenapa mereka harus saling menembak ditulis dengan teramat lemah sehingga terasa film ini sendiri enggak tahu harus menggali apa lagi. Aku gak mau banyak beberin; intinya sih transaksi mereka batal karena ada dua orang yang punya masalah personal serius. Things escalate quickly because of this ‘fight’. Dan ini enggak realistis. Normalnya kan mereka bisa ngomongin atau ngelarin urusan sendiri secara terpisah dan gak benar-benar harus melibatkan the whole deal. Tapi dalam film ini, semuanya berujung menarik senjata masing-masing dan mulai menembak seolah enggak ada lagi yang peduli dengan apapun selain gak-terima gengnya ‘digituin’.

“Bang, bang! Shoot ‘em all, the party never ends~”

 

Film ini bukan jenis yang sekali kena tembak, langsung mati (emangnya video game Contra!). Kemampuan para tokoh dengan sengaja ditulis minimal, sehingga peluru mereka hanya menyerempet sasaran. Dan ada banyak komedi yang datang dari sana; salah tembak atau enggak sengaja nembak cewek, misalnya. Setelah midpoint, sebagian besar tokoh sudah jatuh ke lantai. Mereka kena tembak dan sekarang merangkak nyari perlindungan ataupun nyari senjata baru. That’s the kind of action yang kita dapat. Dan tentu saja, it does drag after awhile. Wheatley memilih untuk merekam aksi tembak-tembakan menggunakan gaya handheld sehingga beberapa adegan lumayan goyang. Membuat kita kerap bingung apa yang terjadi, siapa menembak siapa. Susah sekali untuk mengetahui pasti apa yang terjadi sebab ada banyak adegan yang melibatkan orang lari ke pojokan, menembak, ngumpet, dan peluru yang mantul kepentok sesuatu.

 

 

 

 

Fun action-film yang entertaining. Cukup asik dinikmati, kita bisa nyaksiin ini dan have a good time with it. Namun di laih pihak, keputusannya untuk tampil lebih fokus ke komedi alih-alih ke aksi terbukti dapat menajdi kerugian tersendiri. Dan porsi aksinya sendiri ngedrag dan ketika enggak, susah untuk kita ikuti. Kemampuan castnya yang berhasil membuat film ini menghibur, lebih dari kualitas penulisan film ini sendiri. Bukan exactly peluru kosong yang ditembakkan oleh film ini, hanya saja memang lebih banyak melesetnya dibanding kena.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for FREE FIRE.

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply