A CURE FOR WELLNESS Review

“Mens sana in corpore sano”

 

 

Kesehatan adalah anugerah yang tak ternilai harganya, jadi kita mati-matian ngelakuin apapun demi menjaganya. Beruntung, teknologi dan ilmu pengetahuan semakin maju. Bermacam teknik pengobatan ampuh ditemukan, mulai dari lasik yang bisa nyembuhin mata minus sampai ke klinik Tong Fang yang denger-denger sanggup benerin buta warna. Orang-orang pun jadi rajin fitness dan ngegym, mencoba variasi diet, mengunduh aplikasi yang memonitor kesehatan, banyak deh cara-cara hits yang bisa dilakukan untuk menjaga kebugaran tubuh. Namun, penyakit juga sama berkembangnya. Seperti ular hydra yang ditebas satu kepala, tumbuh dua lainnya, penyakit juga bermutasi seiring teknologi. Kita mendengar banyak virus baru dan kelainan aneh-aneh yang memacu para ilmuwan untuk segera menemukan obatnya. Tentu saja ini menimbulkan pertanyaan, malah bisa dibilang kecurigaan;

jangan-jangan teknologi dengan sengaja dimanfaatkan untuk menyiptakan penyakit?

Film A Cure for Wellness menyinggung hal ini sebagai tema ceritanya. Salah satu tokoh film praktisnya berkata “kalo orang pada sehat, nanti dokter dapat duit dari mana?”

orang sakit disayang dokter

 

Klinik-klinik alternatif, aplikasi-aplikasi kesehatan yang bisa diunduh di gadget, obat-obat baru, bisa jadi sebagian besarnya memang hanya ‘jualan obat’ semata. Usaha komersil untuk menjawab kebutuhan manusia akan kesehatan. Banyak yang berlomba-lomba mencoba pengobatan termutakhir. Bukannya hendak sinis sama dokter sih, tapi tentu saja dokter pun akan berusaha membantu pasien yang masih merasa insecure atas kesehatannya. They’ll look for new things, dan hey itu dia, ketemu deh penyakit baru. Tapi bagaimana jika tidak ada yang tahu problem itu ada? Apakah tetap akan menjadi problem? Kita ke dokter tanpa mengetahui pasti sakit apa, dan setelah diperiksa kita divonis mengidap sesuatu yang tidak kita tahu ada pada kita sebelumnya. I mean, kita tentram justru setelah tahu punya penyakit, alihalih tentram oleh merasa sehat.

Kita enggak tahu kita sakit sampai ada yang memberitahu bahwa kita sakit. Tapi apakah kita benar-benar sakit?

 

A Cure for Wellness dibesut oleh Gore Verbinski sebagai sebuah psikologikal thriller yang diniatkan sebagai METAFORE KECEMASAN GLOBAL TERHADAP KESEHATAN. Tentang bagaimana masyarakat lebih senang untuk menjadi overmedicated, lebih memilih untuk mendengar kata para ‘ahli’ ketimbang bertanya sendiri mengenai apa yang salah dari cara hidup dan budaya modern ini. Dalam film ini diceritakan protagonis kita, Lockhart (tampang Dane DeHaan klop banget sama karakternya yang sinis tapi enggak-yakin), kudu menjemput atasannya yang sedang menjalani pengobatan di rumah spa terkenal di pegunungan Swiss sana. Wellness Center yang ia kunjungi adalah tempat berobat yang laris, metode terapi berbasis airnya mujarab, pasien yang menetap di sana mendapat perawatan yang nyaman sehingga banyak yang enggak mau pulang. Termasuk atasan si Lockhart. Dari yang tadinya maksa (jika gagal, Lockhart bakal dipecat), Lockhart mulai menyadari ada sesuatu yang enggak beres dari tempat pengobatan tersebut, yang actually malah lebih mirip cult. Sembari menunggu kakinya sendiri sembuh dari kecelakaan, Lockhart berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

To be honest, aku setuju sama pesan film ini soal ‘jangan perbaiki yang tidak rusak’. Waktu masih kuliah dulu, temen-temen sekelas enggak ada yang mau nyolokin flashdis ke komputerku lantaran aku enggak install antivirus. Karena, tahu sendiri dong cara kerja virus dan antivirus itu gimana; kalo kita enggak senantiasa mengupdate the so-called pelindung itu, maka virus-virus baru tidak akan terdeteksi oleh antivirus kita. Namun bagi komputerku yang tidak pasang antivirus, virus-virus – yang terdeteksi oleh komputer teman-teman yang lain – tidak pernah mengganggu kinerja, sampai antivirus itu aku install out of insecurity. Dan karena diledekin ternak virus hhihi. Begitu antivirus dipasanglah, aku mulai sibuk ngescan, ngupdate, dan hal-hal yang sejatinya cuma rangkaian aksi-reaksi. Buatku memang sesimpel; Jika kita tidak pasang aksi, maka tidak akan ada reaksi. Jika kita tidak repot-repot check up setiap batuk sedikit, jika kita malah fokus ke olahraga teratur dan menjaga diri, maka kesehatan kita akan terjaga sama baiknya dengan minum obat.

Bukankah memang sebenarnya ‘sakit’ itu datang dari pikiran sendiri?

 

Meskipun film ini punya banyak kesamaan dengan film-film lain seperti Shutter Island (2010), kita juga udah sering liat film dengan tokoh dokter gila yang bisa jadi tokoh utamanyalah yang gila, namun A Cure for Wellness tetap terasa stand out karena ini adalah film yang sangat aneh. It looked very different. Gore Verbinski mencurahkan kemampuannya menampilkan imaji-imaji yang cantik, surreal, sekaligus nyeremin (kayak sekuens video di The Ring) sehingga durasi yang nyaris dua setengah jam bisa teralihkan oleh pesona visualnya. Setiap gambarnya terbingkai dengan sempurna. Editingnya juga sangat rapi. Ada banyak shot yang menampilkan pemandangan berupa refleksi; air kolam yang sejernih kaca, kereta api dan bayangannya di jendela yang simetris banget, dan seiring pertumbuhan keraguan karakter Lockhart, image reflection yang hadir akan semakin blur. Simbolisme yang bekerja di luar dan dalam, karena film ini juga meminta kita untuk bercermin. Film ini membutuhkan kita untuk berpikir. Definitely apa yang dipersembahkan oleh Verbinski dan timnya kali ini punya sesuatu untuk kita bahas dan kita pikirkan. Dan itulah yang membuat film ini spesial.

Aku takjub sekali setelah selesai menontonnya untuk beberapa alasan. Luar biasa aneh, dan sangat berani. Apa yang terjadi dalam film ini sudah barang tentu akan membuat banyak penonton, malah bahkan kritikus film, bergidik enggak setuju. Ada elemen keluarga yang sangat nyeleneh. Penceritaan film pun terasa sangat ‘bikin kita ikutan gila’. Tapi kupikir justru karena itulah kita kudu mengapresiasi film ini; enggak benar-benar original, namun karena sangat aneh dia terasa kayak film yang belum pernah kita lihat. There’s a lot going on di bawah permukaan cerita yang terungkap sejalan dengan Lockhart terseok-seok melintasi koridor demi koridor Pusat Kesehatan yang creepy tersebut. Di babak kedua nuansa thriller semakin kental sembari kita menyaksikan Lockhart menungkap misteri. It is really intriguing, dia ketemu banyak tokoh dari berbagai tempat di Wellness Center dan di kota, dia mendengarkan cerita mereka, yang masing-masing adalah versi yang berbeda dari satu cerita yang sama. Sayangnya juga jadi banyak eksposisi yang dilemparkan kepada kita karenanya.

Film ini juga punya sounding yang menakjubkan. I mean, suara seretan tongkat kruk yang menggema di lorong kosong akan menjadi suara yang sering kita dengar dan niscaya lama kelamaan that sound becomes really unnerving.

cekit, cekiitt, cekit, cekiiiitt

 

Beberapa hal memang memberatkan buat film ini. Durasinya, terutama. Dan jika seperti yang kutulis di atas, kalau kalian bisa ngeoverlook panjangnya durasi dan eksplorasi yang meletihkan dan lumayan repetitif, masih ada elemen-elemen yang just straight up gilak dan over-the-top dan penjelasannya kadang bikin kita mikir panjang banget. Ada soal umur dan waktu yang terlalu tak masuk akal buat film yang menyinggung soal sains. Ada soal kejadian aneh yang tak pernah diberikan batas jelas mana yang khayal, mana yang kenyataan. Dan, ada belut. Ya, makhluk yang jadi personifikasi ketakutan tokoh utama kita sering didapati muncul dan actually punya penjelasan tapi masih menyisakan pertanyaan sepele semacam, “kenapa bisa sampai ada belut di dalam sana?” Kejadian Lockhart tertabrak pun susah dikeluarkan dari kotak kebetulan. Verbinski memang tak berniat untuk menjelaskan semuanya sampai ke dasar akuifer cerita.

 

 

 

Tak sering kita menyaksikan film seaneh ini. Cantik, tapi sangat lain dari yang lain. Enggak sepenuhnya orisinil, namun berkat arahan dan editing yang menakjubkan maka ia jadinya luar dari biasa. Film ini layaknya obat untuk menyembuhkan segala sesuatu yang normal di luar sana. Obat pahit yang susah untuk semua orang telan, tepatnya. Dan jika kalian bertanya apakah obat tersebut mujarab menyembuhkan? Well, kita harus mencoba menelannya sendiri-sendiri karena setiap obat punya pengaruh yang berbeda kepada setiap orang.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for A CURE FOR WELLNESS.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. Bowo says:

    Setuju bang, sama reviewnya. Film ini aneh tapi keren.
    Gambar2nya aduhai sekali..
    Heran, kok dapet review jelek sm kritikus di luar sana.

    • arya says:

      Karena kepanjangan sih, terus jadi pada expecting penjelasan yang rasional.. taunya kan enggak, film ini agak lebih ke fantasi, jadinya yaa banyak “udah nunggu lama, penjelasannya gak memuaskan”

  2. jagg says:

    emg bnr2 membingungkan dan bisa bikin stres bray..
    saya aja gak betah nontonnya..
    apalagi ada adegan belut dan gore.. gile bnr dah..

  3. Vina Chen says:

    agak bingung sama akhir ceritanya, knp Lockhart nya senyam senyum gitu pas pergi menjauh dari atasan dia? sempat kepikiran jangan2 itu si dokter gila yang pake kulit muka nya si Lockhart buat ambil hati Hannah? atau jangan2 si Lockhart juga uda kena effect gila? ah bingung.. >_<

    • arya says:

      Tentang manusia sebenarnya tidak butuh obat; metafora tentang ironi manusia cenderung lebih merasa aman berpikir mereka sakit dan sudah punya obat untuk sakitnya. Memang agak susah sih buat penonton casual mengerti maksud filmnya, banyak distraksi misalnya belut-belut dan misteri umur abadi

  4. Rama says:

    Sudut pandang dan cara menilai anda mengenai kesehatan terlalu sempit.
    Secara tidak langsung menyampaikan “untuk apa ada dokter atau rumah sakit jika masih ada yang sakit”?
    Pertanyaan saya dengan analogi yang sama “untuk apa ada polisi jika masih ada kejahatan”?

    • arya says:

      bukaaaan, ahahah bukan itu maksudnya. Maksudku sehubungan dengan film ini adalah “Kita minum obat karena percaya kita sedang sakit, kita butuh dokter untuk merasa sehat. Padahal sebenarnya yang kita butuhkan untuk sehat itu bukan obat, melainkan ya kebiasaan untuk jadi sehat itu sendiri. Kita masih tetap butuh dokter untuk sembuh, tapi bukan untuk otomatis jadi sehat.”

Leave a Reply