RAW Review

“The unexpressed will come forth later in uglier ways.”

 

 

Anjing kesayangan milik keluarga Justine terpaksa disuntik mati lantaran “berbahaya bila binatang sudah nyicipin daging manusia.” Enggak ada yang bisa menjamin anjing tersebut enggak bakal doyan ampe ketagihan sehingga mencoret kata peliharan dari statusnya dan embrace kodratnya sebagai binatang. Namun, kita mestinya tahu lebih baik daripada itu; bahwa manusia adalah –hanyalah- binatang yang punya nurani dan kesadaran. Yang membuat kita, bukan hanya paling cerdas, melainkan juga predator yang paling mengerikan di puncak rantai makanan. Rasa lapar dan nafsu yang tak-kunjung terpuaskan manusia dieksplor dengan sangat mendalam dan buas oleh film ini sewaktu kita melihat tokoh utama yang vegetarian menjadi sangat penasaran dengan yang namanya ‘daging’.

Raw bukanlah film yang bisa enjoy untuk ditonton sambil ngemil, apalagi buat penonton yang perutnya gampang jungkir balik kayak Rey Mysterio di dalam mesin cuci. Definitely sebaiknya film ini jangan ditonton siang-siang pas puasa, untuk banyak alasan. Ini adalah body horror yang dibuat dengan begitu menarik sehingga kita ngerasa pengen muntah namun di saat bersamaan enggak ingin melepaskan perhatian darinya. Film ini akan menyiksa kita secara fisik, baru kemudian menghidangkan nutrisi pikiran, di mana kita akan mulai tertegun dan mikirin maksud di balik ceritanya.

Sukar untuk taat kepada your own code jika berada di tengah-tengah komunitas yang menuntut. Terlahir di keluarga dengan diet vegetarian yang ketat, Justine (dalam debut layar lebarnya, Garance Marillier berikan penampilan yang menggemparkan) menolak mentah-mentah ketika dia diwajibkan untuk memakan potongan kecil ginjal kelinci sebagai bagian dari ospeknya di kampus Peternakan. But to her surprise, kakaknya yang jadi senior di sana, juga turut memaksa menelan jeroan tersebut. Awalnya, reaksi Justine adalah muntah-muntah. Kemudian seluruh badannya gatal-gatal. Tapi bukan kelinci yang ia santap, the problem comes from herself. Justine ngedevelop sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Suatu malam, dia kepergok oleh teman sekamarnya sedang ngacak-ngacak isi kulkas. Justine ngemil daging ayam mentah sebagai snack tengah malam, dan dari pancaran matanya kita paham; dia belum puas.

Aku bukan sepenuhnya vegetarian, namun semenjak tiga tahun lalu – the times when I’m struggling ngurangin berat badan yang udah nyampe 72 kilo – aku jadi sedapat mungkin menjauhi daging. Kecuali ikan. Aku hanya makan ayam kalo kepepet alias gak nemu sayur dan lai-lain. Hal demikian aku lakukan karena aku tau daging itu enak, dan aku gak mau Arya yang kerjaannya makan melulu kembali mengambil alih hari-hariku. Jadi kurang lebih, aku bisa relate kepada apa yang terjadi kepada Justine yang selama ini makan non-protein, mulai mengecap daging untuk pertama kalinya.

Film ini juga bukan semata bicara soal nafsu, ini adalah tentang menemukan diri sendiri, mendapatkan apa yang sebenarnya kita mau, dan sejauh mana kita bertindak untuk mendapatkan itu.

 

Horor dari Perancis ini adalah PERAYAAN DARI KEKUATAN WANITA. Kita melihat Justine bertransformasi dari gadis innocent, yang fokus kepada nilai dan prestasi kuliah menjadi cewek yang liar dan tampaknya dikendalikan oleh nafsu – digambarkan dengan visual yang berdarah-darah. Dan perubahan tersebut dipicu oleh penemuannya terhadap apa yang sebenarnya dia mau. Justine berani mengejar apa yang dia inginkan, enggak peduli jalan yang ditapakinya bukanlah yellow brick road. It was a bloody red path. Walaupun, kita bisa melihat jelas, Justine enggak tahu pasti apa yang ia lakukan. Karakter tokoh ini justru kuat oleh hal tersebut. Raw akan senang hati membaurkan kebangkitan seksual ke dalam ceritanya, only to make it more disturbing. Daging yang diinginkan Justine adalah daging apapun utuh seutuh-utuhnya, dan film ini akan memproyeksikan tersebut tanpa judgment dan tanpa malu-malu.

biar kayak iklan jaman dulu: “ku tau yang ku mau!”

 

Kamera arahan Julia Ducournau, sutradara cewek yang juga baru memulai debut film panjang ini, akan menangkap visual yang striking dan pemandangan yang bakal bikin ngamuk orang-orang yang OCD. Eits, bukan OCD yang diet itu, tapi OCD yang control disorder. Semua yang di layar enggak pernah tampak simetris. Dari opening aja, kita akan menatap environment yang dengan sengaja dibikin disturbingly timpang, mengisyaratkan keabnormalan yang akan datang di menit-menit selanjutnya. Ducournau memanfaatkan momen-momen ini untuk dengan perlahan ngereveal setiap tangga evolusi karakter Justine sehingga kita terpana oleh kecantikan sekaligus ‘kebrutalan’ imajeri yang teraasa nyata. Dan, ngerinya, juga somehow relatable.

Ada banyak adegan yang belum pernah kita lihat dieksplorasi dengan berani dan sementah ini sebelumnya. Aku bukan bicara semata mewakili sekuen-sekuen ketika Justine ngemil jari, ataupun semacam itu, while they are also hypnoticly beautiful. Momen-momen kecil seperti Justine menangis di tempat tidur dan kita mengawasinya dari lipatan selimut, atau Justine menari to a slutty song di depan cermin, atau ketika Ducournou menge-mute audio ketika para freshmen merangkak, benar-benar menguatkan sense of discovery dari point of view kita, juga sekaligus membuat nuansa disturbing dan creepy itu merasuk ke dalam diri kita yang siap sedia kantong plastik menontonnya.

Ketika orang memilih untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan pembenaran, terutama ketika hal tersebut sangat sulit untuk dibenarkan, maka mereka akan mulai melakukan penyangkalan. Bahkan enggak-jujur terhadap diri sendiri. Raw mengexamine dinamika antara keputusan seorang memilih menjadi vegetarian dengan kesadaran untuk memenuhi panggilan siapa diri kita sebenarnya. You can’t repressed who you truly are. Lingkungan Justine selalu telling her what to do, makanya melihat perjalanan tokoh ini mengejar apa yang dia mau terasa melegakan, tidak peduli seberapa brutalnya. Horor datang dari ketika kita sadar apa yang harus dilakukan untuk menjadi diri sendiri.

 

Saat pemutaran di Gothenburg Film Festival, banyak penonton yang walk out, dan lebih banyak lagi yang muntah-muntah, bahkan pingsan. Jangan biarkan gaung reputasi tersebut menahanmu dari mencicipi seperti apa rasanya film ini. Ya, film ini banyak adegan gory dan disturbing. Tapi ada seni di balik betapa grossnya perilaku manusia-manusia. Adegan kulit yang mengelupas saja sebenarnya adalah sebuah simbol bahwa Justine mulai berubah, dia harus mencabik kulitnya untuk menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Untuk wanita, menjadi dewasa adalah perubahan yang menyakitkan, fisik dan mental, dan film ini menceritakan hal tersebut dengan brutally honest. But again, film ini enggak seseram penjelasan yang kalian baca di ulasan-ulasan tentangnya. In fact, ada banyak elemen cerita yang dibalut dengan tone-tone yang enggak selamanya bikin kita bergidik. Film juga adalah drama keluarga, as much as it is a hauntingly self-discovery journey towards maturity. Dialog dan interaksi tokoh-tokohnya kerap ‘memaksa’ kita tertawa oleh betapa benarnya semua kejadian awkward yang kita temukan ketika kita mulai mengurusi diri sendiri.

Bukan, ini bukan Raw yang ada Roman Reigns dan John Cena nya.

 

Aku suka sekali gimana film ini ngehandle hubungan antara Justine dengan kakaknya. It was played as kakaknya berusaha membantu Justine melewati masa-masa sulit sebagai maba, memastikan Justine melakukan semua tugas ospek supaya adeknya itu enggak dikucilkan oleh Himpunan (yang pernah kuliah dan ngerti diospek pasti ngerti ‘beban’ maba yang satu ini) dan she was rather annoyed sama sikap adiknya. Interaksi mereka menghantarkan kita ke banyak momen-momen lucu. Kemudian some revealing yang subtil terjadi, dan mereka sort of jadi rival. Namun menariknya, kita tahu ada banyak kesamaan di antara mereka, dinamika hubungan sisterhood dua orang ini terus digeber sebagai emosional core yang actually menambah banyak kepada cerita.

 

 

Wajar jika setelah merasakan sesuatu yang baru, kita ketagihan dan ingin lagi, lagi, dan lagi. Nonton film pun begitu. Setelah menyaksikan cerita yang original, begitu berani, haunting, dan membuat kita berpikir, seperti film ini, enggak salah dong kalo kita minta film-film yang lain dibuat dengan semenantang dan semenarik horor Perancis-Belgia yang judul aslinya Grave ini. Bukan sekedar coming-of-age story, film ini tampil dengan brutal, filled with layers dan metafora sehingga walaupun shocking dan disturbing, kita enggak bisa untuk enggak terus menatap. Performance dan arahannya juga sangat luar biasa. Kita akan ngeri sendiri akan betapa grounded dan real dan relatablenya film ini terasa.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold stars for RAW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners .
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. natasha says:

    keren banget review nya, bahasanua nggak tau kenapa berkelas bnget dibacanya bener2 entertain bikin mau nnton film nya.

    • arya says:

      hahaha terimakasiiih, semoga gak pusing baca tulisan nyampur inggris-indonesia

      filmnya bagus sih, jadi tulisannya bisa lumayan.. udah ada sepertinya dvdnya sih, tapi ingat, nontonnya jangan pas perut kosong hhihi

    • arya says:

      menurutku itu buat nunjukin perbedaan Alexia dengan Justine.. Alexia boleh jadi membunuh karena cemburu, atau memang ‘laper’ – dia tidak mampu mengendalikan diri, dan Alexia setelah adegan tersebut diberikan pilihan untuk bertindak hal yang sama atau memilih untuk mengendalikan diri

    • arya says:

      menurutku itu buat nunjukin perbedaan Alexia dengan Justine.. Alexia boleh jadi membunuh karena cemburu, atau memang ‘laper’ – dia tidak mampu mengendalikan diri, dan Alexia setelah adegan tersebut diberikan pilihan untuk bertindak hal yang sama atau memilih untuk mengendalikan diri

Leave a Reply