BABY DRIVER Review

“Music plays the melody of our being.”

 

 

Apa soundtrack hidupmu hari ini? Well, yea, oke, kalimat tersebut terdengar cheesy, tapi memang kita sering mendengarkan musik buat mengamplify apa yang sedang kita rasakan. Banyak orang menggunakan musik sebagai cara ‘melarikan diri’ dari kehidupan yang membosankan. Misalnya ketika lagi disuruh nyapu rumah, kita ngerjainnya sambil dengerin musik rock supaya menjadi lebih menarik dan kita bisa ngayal jadi Slash – ngejrengin sapu seolah benda itu adalah gitar. Kita merelasikan emosi terhadap musik, bahkan terkadang kita bertindak sesuai iramanya. Musik entrance pemain WWE yang kita dengar mengiringi kedatangan mereka itu bukan sekadar hiburan, melainkan juga sarana untuk menguatkan karakter. Maka tak jarang superstar berjalan ke atas ring dengan gerakan yang selaraskan dengan hentakan musik. Satu hal lagi yang sering dilakukan orang kalo lagi punya perasaan yang membuat mereka ingin ‘melarikan diri’ adalah ngebut di jalanan. Jadi, begitulah film Baby Driver menemukan jalannya masuk menjadi sangat dekat dengan kita semua. Melalui musik yang keren dan adegan kebut-kebutan yang seru!

coba deh sesekali ngebut sambil dengerin lagu anak-anak jadul Aku Cinta Rupiah

 

Film terbaru dari salah satu sutradara favoritku ini adalah cerita tentang seorang cowok yang noleh kalo dipanggil Baby. Hobinya cukup aneh. Bukan hanya selalu mendengarkan musik yang ia dengar melalui ipodnya, Baby juga suka merekam percakapan orang-orang dan mengubah potongan-potongan dialog tersebut menjadi semacam mix tape untuk ia dengarkan di kemudian hari. Rekan kerjanya pada heran ngeliat Baby yang jarang bicara dan lebih suka menghentak-hentak asik sendiri dengan earphone senantiasa di telinga. “Is he slow?” tokoh Jamie Foxx meledek seolah Baby mengalami keterbelakangan mental. Namun, jika ada satu yang tidak bisa dilakukan Baby, maka itu adalah pelan-pelan. Gini, Jamie Foxx dan ‘rekan kerja’ Baby sebenarnya adalah perampok elit, Bos mereka adalah Kevin Spacey, dan kerjaan Baby adalah sebagai supir yang menghantarkan para perampok itu pulang ke markas dengan selamat.  Baby kerja begini demi melunasi hutangnya kepada si bos. Hanya tinggal satu perampokan lagi sebelum utang tersebut lunas, akan tetapi berkat kefantastisan kecepatan dan teknik mengemudi Baby yang seng ada lawan, tidak semudah itu bagi dirinya untuk minta berhenti dari pekerjaan.

Baby is the best at what he does. Ngebut sambil mengapresiasi musik dengan caranya sendiri. Dari kekerenan apa yang dilakukan oleh Baby, perlahan akan terungkap bahwa itu adalah caranya mengekspresikan his vulnerability. Musik dan ngebut adalah cara Baby ‘mengalahkan’ trauma masa kecil yang masih terus menghantui. Dua hal tersebut juga jadi jalan buat Baby menenggelamkan rasa bersalah atas pekerjaan yang enggak disetujui oleh hatinya. Baby ingin memberi arti kepada kenyataan yang ia hadapi. Namun, dalam setiap belokan, Baby – dan juga kita – diingatkan bahwa  ada hal yang tak bisa kita lari darinya. Bahwa selalu ada ujung di setiap jalan gak peduli betapa lihainya kita mengemudikan hidup.

 

Edgar Wright, lewat film ini membuktikan, bahwa ia juga adalah the best at what he does. Banyak kritik yang menyebut karya-karya sutradara ini masih terlalu memikirkan gaya. Dan kata-kata tersebut benar. Namun aku enggak setuju untuk menyebutnya sebagai kritik. Karena menurutku, gaya adalah salah satu faktor penting yang harus terus diasah oleh pembuat film supaya film mereka kentara perbedaannya dengan film-film karya orang lain. Bayangkan kalo semua film style berceritanya seragam gitu-gitu mulu, pasti kita yang nonton lama-lama bakal bosen ke bioskop. Setiap karya Edgar Wright selalu insanely kocak serta punya pace yang extremely cepet dengan editing yang sangat precise. Ketika kita nonton Baby Driver, walaupun jika kita belum tahu ini dibuat oleh Wright,  atau bahkan kita hanya nonton sepotong adegan acak, kita akan langsung spontan tahu bahwa aksi kebut-kebutan kriminal ini dibuat olehnya. Sebab arahan Edgar Wright sangat spesial, tidak ada filmmaker lain yang menangani adegan per adegan seperti yang ia lakukan.

Tidak ada pengadeganan yang membosankan. Babak satu film ini – dan ini tidak berlebihan – adalah kesempurnaan dalam filmmaking. Sekuen kejar-kejaran mobilnya adalah yang terbaik yang bisa kita minta ke mbak-mbak penjaga tiket. Hebatnya, semua stunt dahsyat itu tampak benar-benar bisa dilakukan di dunia nyata, meskipun memang ada sebagian kecil yang memanfaatkan teknologi grafik komputer.

Tidak seperti pada Atomic Blonde (2017) yang musiknya malah terdengar menerobos dan enggak benar-benar paralel terhadap film, penggunaan musik dalam Baby Driver teramat sangat integral sama narasi. Musik adalah bagian penting dalam penokohan Baby. In a way, kita bisa bilang bahwa ini adalah film SETENGAH-MUSIKAL sebab gedenya pengaruh elemen musik. Lagu-lagu asik tersebut disulam sempurna, diedit dengan sangat precise sebagai bagian dari adegan. Pada bagian awal film, ada satu adegan panjang yang diambil gak-putus di mana Baby pergi beli kopi dan dia ngelip-sync lagu yang ia dengar sepanjang jalan; adegan yang sangat menyenangkan dan bakal bikin kita melotot lantaran Edgar Wright juga sangat visual dalam bercerita. Perhatiin deh gambar graffiti yang dilewati oleh Baby. Ataupun pada adegan ending, Wright memutuskan untuk mengakhiri cerita dengan nada yang sedikit ambigu, dan clue-clue pada layar dapat membantu kita untuk sampai ada kesimpulan bagaimana menurut kita masing-masing kelanjutan kisah romansa Baby.

Ya, kisah cinta adalah salah satu elemen besar di sini. Setelah babak pertama yang luar biasa exciting, film sempat ngerem dikit demi membangun romance antara Baby dengan waitress kece yang juga demen mendengar musik. Relationship mereka tampak cute banget. Dari hubungan Baby dengan Debora ini bisa aja menimbulkan tren pacaran baru di dunia kita; duduk mesra sambil nyari lagu-lagu yang ada nama pacar masing-masing. Hihihi, so sweet yaa.. Anyway, yang bernama Howuo pasti juara, dan nama Arya menangnya saat absensi kelas doang hhuuff..

 

Debora mirip banget yaa sama Shelly yang di serial Twin Peaks

 

Sekalipun sangat kuat dalam gaya, namun Edgar Wright tidak pernah melupakan substanti pada setiap ceritanya. Penulisan Baby Driver sangatlah on-point. Strukturnya berhasil memberikan banyak kepada Baby meskipun tokoh utama kita ini hanyalah semacam orang suruhan yang tidak mau berada di sana. I mean, Baby kebanyakan bereaksi ketimbang beraksi – sesuatu yang kebalikan dari rumus tokoh utama –  tetapi film masih mampu mengolahnya sehingga senantiasa menarik. Baby adalah karakter unik yang sangat menarik. Ada adegan menarik ketika tokoh Jamie Foxx kesel atas kurangnya perhatian yang diberikan Baby kepada rencana perampokan mereka. Baby asik dengerin musik. He was like, Boss I don’t trust him, he’s not paying attention. Nanggepin protes ini, Kevin Spacey dengan bangganya menyuruh Baby mengulang rencana tadi, dan Baby dengan lancar banget menjelaskan ulang semuanya. Pada babak ketigalah, karakter Baby mekar sempurna. Dia memilih jalan hidupnya sendiri, dan naskah to some extent terus memberi rintangan. Kita dapat banyak sekali sekuens aksi yang sangat menakjubkan di babak ini sampai-sampai kita melihat Baby harus melakukan pekerjaan terbaiknya, yaitu ngebut, tanpa mobil. Nah lo!

Jamie Foxx yang so sly and badass, Kevin Spacey yang bisa ngomong begitu cepat tanpa meninggalkan satu ekspresi pun di belakang, Jon Hamm yang mampu mengembangkan karakter dari sepenggal dialog backstory, Lily James yang namanya ngeri banget gabungan orangtua Harry Potter, ini adalah jajaran cast tidak bisa membuat film menjadi buruk – malahan menjadi semakin menghibur. Yang membuatku khawatir memang cuma Ansel Elgort seorang. Sebab biasanya dia main di film-film adaptasi novel young adult, dan dia enggak pernah benar-benar stand out. Perannya sebagai Baby adalah peran yang enggak kita sangka bakal ditujukan buat dirinya. Setelah menonton ini, aku membuang kekhawatiranku ke luar jendela. Ansel Elgort bermain sangat baik dalam adegan-adegan aksi, juga di bagian yang lebih intens. Karakternya yang pendiam, dan dalam diamnya terluka secara psikologis dapet banget dimainkan oleh Elgort. Menurutku dia lebih cocok berperan di film-film seperti ini.

Ketika aku nulis babak kedua lebih lambat dibanding babak pertama, maka itu sebagian besar lebih disebabkan oleh bagian romance yang kurang masuk dibandingkan oleh minimnya porsi aksi. Aku enggak mampu terinvest banyak kepada elemen relationship mereka karena I didn’t find development tokoh Debora benar-benar kuat dan esensial. Kenalan dan percakapan mereka manis tapi terasa abrupt. Terasa cepat dan kurang dalem. Dalam makna, sepertinya hidup Baby mudah diarahkan begitu aja oleh keinginan Debora. Cewek ini juga mudah terbawa gitu aja, padahal situasinya mengancam nyawa. Entah ini lantaran karakternya dibuat cinta mati ama Baby atau film memang kepengen ngebuild cinta mereka seolah fantasi sehingga bisa bekerja membangun ending yang ambigu tadi.

 

 

Setengah musikal, setengah kejar-kejaran mobil yang sangat intens dan menakjubkan. Penulisannya sangat on-point. Babak kedua di bagian romance adalah bagian yang paling lemah dalam film ini. Di luar itu, menonton ini adalah perjalanan yang sangat seru. Musik asik yang keras, mobil keren yang ngebut, fast and loud, this movie is a total blast! Edgar Wright directs the shit out of this movie. Kocaknya juga khas banget, bagi yang suka karyanya yang terdahulu, pasti bakal merasa seperti pulang ke rumah. Kita akan merasakan ketertarikan emosional yang kuat sama seperti Baby terattach dan menjadikan lagu-lagu itu sebagai pengisi hidupnya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for BABY DRIVER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

Leave a Reply