PETAK UMPET MINAKO Review

“We are what we hide.”

 

 

 

Apa yang sebaiknya dilakukan ketika sewaktu sekolah kita sering dibully oleh teman-teman? Well, itu tergantung kita masing-masing. Kita bisa mendem sendiri terus diam-diam bikin kaset sebelum bunuh diri kayak Hannah Baker. Atau kita bisa menyimpan dendam kesumat sampe bertahun-tahun lamanya, untuk melampiaskannya saat reuni. Kita adalah apa yang kita simpan. Yang kita sembunyikan akan mendefinisikan apa yang akan kita perbuat.

Seperti yang dilakukan cewek di film Petak Umpet Minako. Malam itu, cewek yang kuliah di Jepang tersebut mengusulkan kepada teman-teman reuninya untuk nostalgia ke gedung sekolah mereka yang lama. Sesampai di sana, niat mulia si cewek langsung kelihatan. Dia mengajak mereka semua untuk bermain petak umpet. Tapi ini bukan sembarang petak umpet, ini petak umpet impor dari Jepang di mana yang manusia bersembunyi sementara yang ‘menjaga’ adalah hantu! Dan untuk membuat hal lebih gawat, permainan itu punya satu peraturan gede: hanya ada satu orang yang bisa memenangkan pertandingan. Yup, sebaiknya segera aktifkan mode survival karena di dalam gedung sekolah yang lagi direnov tersebut, mereka tidak bisa percaya kepada siapapun.

definitely jangan percaya sama peran aktor yang punya nama yang enggak ngapa-ngapain di awal cerita

 

Hitori Kakurenbo, nama asli permainan yang jadi ide dasar film yang diadaptasi dari novel ini, konon sebenarnya adalah salah satu ritual pemanggilan arwah menggunakan medium boneka yang lazim dilakukan di Jepang pada jaman dahulu. Dan tentu saja, the whole tradisi dan urban legend tersebut menarik minat anak-anak muda yang penasaran. Aku salah satunya. Kalo saja aku bisa menjahit, maka aku bakal nekat ngelakuin berbagai macam peraturan untuk memainkan permainan ini. Aku gak akan menjelaskan peraturan permainan, apa yang dibutuhkan, dan segala macem teknisnya sebab film Petak Umpet Minako sudah mengambil banyak waktu untuk menerangkan kepada kita gimana sih cara memainkan petak umpet maut. Lengkap dengan pantangan dan catatan ekstra mengenai cara menangkal roh jahat yang bakal menjelma menjadi boneka yang kita pakai. Kita tahu ada pepatah barat yang mengatakan “curiosity killed the cat”, dan yeah, rasa penasaran atas permainan tersebut berhasil membujukku untuk menonton film ini. Dan aku berasa pengen mati di bioskop.

Keseluruhan film adalah cerita penyelamatan diri di dalam gedung sekolah di malam hari. Banyak yang bisa dieksplorasi dari lingkungan ini, belum lagi banyak tokoh-tokoh seolah mereka meminta untuk diberikan cerita. Tapi film tidak pernah mengolah mereka dengan dalem. Di menit-menit pertama aku masih tertarik. Aku masih bisa memaafkan kehadiran eksposisi yang amat banyak soal peraturan permainan. Eksposisi yang dibutuhkan, dan aku yakin ada cara yang lebih kreatif dan yang less-boring yang bisa dilakukan untuk menjelaskan semua. Tapi pada awal-awal itu aku tertarik karena menurutku adalah sebuah pilihan yang bagus mengangkat naskah dari sudut pandang korban perundungan (eh, pada udah tau belum sih kalo bully itu istilahnya Indonesianya ‘rundung’?) yang begitu ingin balas dendam sampai-sampai dia rela melakukan permainan yang turut mengancam dirinya sendiri.

Aku salah. Tokoh utama film ini bukan Vidha si cewek yang mengusulkan permainan petak umpet boneka. Jagoan kita adalah seorang cowok bernama Baron yang telat datang ke reuni, dan satu-satunya alasan dia dateng adalah karena ingin mencari pacarnya. So yeah, motivasi tokoh utama cerita ini adalah pengen menyelamatkan ceweknya. Standar abis. Baron adalah salah satu tokoh utama terburuk yang pernah ada di dunia sinema. Dia enggak bisa menghentikan pembunuhan yang terjadi di depan matanya. Moral compassnya hanya jalan untuk hal-hal yang menyangkut sang pacar. Di tengah-tengah keadaan gawat, gagasan terbaiknya adalah berpencar. “Kamu tunggu di sini, aku masuk ngambil korek api”, kenapa gak barengan AJAHHHH? Baron juga butuh 3 scenes untuk membakar boneka, yang sudah ada di tangannya beserta alat-alat untuk membakar. Dan tau gak apa yang dilakukan Baron ketika giliran his butt yang harus diselamatkan – ketika dia disuruh cepat-cepat lari suapay temannya bisa buy some time dengan mengorbankan diri? Baron malah lari dengan slow motion, sebelum akhirnya jatuh pingsan!

Film ini tidak melakukan hal kreatif ataupun hal baru pada premis mereka. If anything, film ini cukup lihai menggabungkan ritual petak umpet setan dengan elemen Battle Royale (2000) dengan elemen The Mist (2007). Dan elemen zombie. Hanya saja di sini zombienya bisa mukul dan berantem alih-alih pengen gigit orang. Ada usaha untuk mengembangkan karakter dalam lingkungan tertutup ini. Kita melihat ada salah satu tokoh yang berkembang menjadi semacam cult leader, di mana dia dianggap penyelamat yang berhasil membawa mereka ke gedung Gereja yang aman, seperti Mrs. Carmody di The Mist. Tapi narasi tidak pernah melakukan hal yang benar-benar pinter buat tokoh ini. Sebenarnya ada banyak yang bisa digali dari petak umpet dan mitologi sekitar permainan itu sendiri, namun film sepertinya hanya tertarik pada twist yang enggak benar-benar masuk akal. I mean, ini adalah permainan di mana kita bisa memanggil arwah yang bisa hidup dengan mengambil wujud boneka mediumnya, mereka bisa paling enggak menggali sesuatu tentang obsesi dari sana. Sayangnya, Petak Umpet Minako hanyalah cerita satu lapis yang kadang-kadang belok dikit tanpa benar-benar terbayar dengan memuaskan.

kebayang gak sih susahnya bagi orang Jepang nyebut kata “leluhur”?

 

Sebagai makhluk horor, Minako punya presence yang mengerikan. Dia bukan boneka yang dirasuki, Minako adalah hantu yang mengambil wujud boneka yang dirasuki. Bayangin tuh. Kostum dan segala macam penampakannya berhasil membuat takut, namun tidak banyak yang dilakukan oleh Minako. Dia cuma going around mencari orang-orang sambil mengayun-ayunkan pisau. Di tengah-tengah kacaunya penceritaan dan mish mash elemen, film bahkan sepertinya melupakan Minako ini adalah hantu. Aku ngakak berat ketika Baron dan temannya berhasil mengalahkan Minako di gereja, kalimat pertama yang terucap dari mulut Baron adalah pertanyaan “Apa dia sudah mati?” I’m like, DUH SHE’S A GHOST!!!  Malahan ada satu adegan ketika Minako dibuat main tarik-tarikan pintu sama satu orang manusia. Apa Minako segitu takutnya sama air garam sehingga dia melupakan kodratnya sebagai setan yang bisa tinggal mencekek saja orang yang menghalangi jalannya?

Kalo ada benang merah yang menghubungkan poin-poin film ini maka itu adalah kata ANNOYING. Editingnya annoying; antara satu adegan dengan adegan lain dijahit enggak mulus, gak ada ritmenya. Tokoh-tokohnya annoying; mereka semua melupakan konsep utama main petak umpet, yakni diam-diam – gak ngeluarin suara. Reaksi dan motivasi tokohnya terlihat staged, enggak ada yang meyakinkan. Dan aktingnya? Aku yakin para aktor akan merasa malu kalo film ini ditonton oleh teman-teman mereka. Eksposisinya annoying; dialog film ini jarang sekali soal pengembangan karakter, it was either nerangin aturan main, teriak-teriak gak jelas demi drama,  ataupun “Mana yang lain?” “Si anu lari ke sana, si itu lari ke sini”  dan beberapa detik kemudian si anu dan si itu muncul. I mean, kenapa gak diliatin aja sih mereka tadi ngalamin kejadian apa, alihalih mendengarkan penjelasan dari orang yang gatot menampilkan eskpresi teror dan ketakutan. Flashbacknya annoying; akan banyak dijumpai adegan Baron ketemu temannya, dia nanya apa yang terjadi, dan si teman akan bercerita membuat kita masuk ke flashback yang  menjelaskan backstory yang enggak pernah ada build up ataupun pay offnya. Film ini bisa lebih baik jika diceritakan linear.

Efek dalam film ini lumayan bisa menghadirkan imaji yang seram. Tapi ada satu yang aku heran, kenapa mereka harus banget nampilin adegan boneka dibakar dengan menggunakan efek komputer? Apa budget segitu fokus di promosinya sehingga mereka enggak bisa mengusahakan properti dummy untuk dibakar beneran. Lucu aja ngeliat di satu adegan ada boneka terbakar dan di adegan berikutnya terlihat jelas di lantai enggak ada apa-apa.

 

 

 

Sebenarnya semua elemen-elemen yang bekerja parah tersebut bisa saja jadi mengasyikkan jikasaja film ini mempersembahkan dirinya sebagai sesuatu yang mengarah ke komedi. Nyatanya, film ini menganggap dirinya keren, it takes itself way too seriously. Ini adalah horor sejenis kucing-kucingan rumah-hantu dengan elemen menyelamatkan diri dengan jangan-percaya-kepada-siapapun yang penceritaannya sangat kacau. Tokoh-tokohnya tidak pernah bertingkah layaknya manusia beneran, kita tidak bisa peduli kepada mereka. Padahal ada premis dan sudut pandang menarik yang bisa saja menjelma menjadi horor yang segar. Tapi ngumpet banget dan arahan filmnya malah membuat kita enggan untuk menemukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for PETAK UMPET MINAKO.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. YGS says:

    Dalam banyak hal saya setuju femgan kritikan dan masukan ini, membangun horor di masa kini bukan sekedar takut menakuti tapi ada struktur cerita dan karakter yg membuat kita tertarik. James Wan melakukan ini dan saya rasa pakem pakem dia memberi banyak hal baru.

    Terlepas dari semua kekurangan ini, ada hal yg patut diberikan pujian, salah satunya afalah usaha utk menghadirkan bintang bintang baru ke dalam dunia perfilman di tengah latahnya para stand up comedian mendominasi film film nasional. Dan usaha utk mewujudkan Minako baik secara boneka dan make up.

    Terima kasih reviewnya, paling saya setuju adl : editing dan hampir seperempat film bercerita ttg tata aturan ketimbang visualisasinya.

    • arya says:

      Bener Mas, James Wan adalah salah satu sutradara horror mainstream terbaik sekarang ini, enggak ada salahnya filmmaker indonesia belajar dari caranya bercerita

  2. Oji says:

    belum nonton sih, senin rencana mau nonton, karena ane novel reader untuk judul film ini yg dimana menurut ane bagus ( di novelnya ), ane mau liat eksekusinya gimana ketika diangkat ke film.

Leave a Reply