“Friendship isn’t about whom you have known the longest.”
Erat persahabatan bisa dibuktikan salah satunya dengan hal-hal bodoh apa yang rela kita lakukan atas nama kesenangan bersama. Semakin bego, atau malah semakin berbahaya kegiatan yang kerjakan bareng teman segenk, maka itu berarti semakin kental hubungan di antara kita. Beneran, soal sering atau jarang ketemu tidak pernah menjadi soal. Yang paling penting adalah quality time yang kita usahakan setiap kali kesempatan ketemuan itu tiba.
Rough Night yang digarap oleh sutradara Lucia Aniello menceritakan tentang empat bff cewek yang bakal ketemu lagi setelah mereka lulus kuliah dan punya karir sendiri-sendiri. Jess (Scarlett Johansson bermain lepas) sudah akan menikah, jadi dia perlu mengumpulkan teman-temannya untuk ngadain pesta ‘bujang’, atau dalam kasus mereka yang cewek semua istilah yang cocoknya adalah pesta ‘jalang’, mungkin? You get the point. Jess dan teman-temannya menghabiskan malam yang seru, mereka bersenang-senang, minum, ngekokain, nyewa stripper. Dan saat itulah bachelorette party mereka berubah menjadi sangat salah. Jess dan teman-teman gak sengaja membunuh si stripper cowok sehingga kini mereka kebingungan; mau diapain mayatnya, apa mereka harus menyerahkan diri ke polisi, apa mereka harus ngasih tau tetangga vila mereka yang sepertinya ‘gila’, atau apa mereka cuma harus menyembunyikan mayat dan bertingkah seolah tidak ada yang terjadi.
Yea, Rough Night memang tidak mengenakan selempang penghargaan premis paling orisinal di dunia sinema. Kita gak dosa kalo nuduh Rough Night sebagai counterpart cewek dari banyak cerita grup cowok yang lagi pesta. Aku gak ingat judulnya, tapi dulu pernah ada juga film thriller tentang sekelompok cowok yang enggak sengaja membunuh penari telanjang yang mereka sewa. Rough Night terasa seperti pandangan feminim dari mish mash antara cerita film tersebut dengan cerita ala The Hangover. Dua-puluh-lima menit pertama basically enggak ada bedanya dengan cerita standar sekumpulan grup bestfriend yang bersenang-senang. Mereka mabok. Penuh oleh komedi jorok dan tingkah konyol yang dilebaykan. It’s kinda bored me, kita enggak melihat sesuatu yang benar-benar baru. Para tokoh pun terlihat ‘sesuai skrip’ banget. Dalam komedi penting untuk punya karakter konyol yang sifatnya saling kontras; Rough Night punya Jess yang paling bisa kita definisikan paling dekat dengan kata ‘serius’, ada Alice yang annoying dan orangnya gak mau kalahan, ada Pippa si free spirit dari Australi, ada Frankie si aktivis tangguh, dan Blair yang high maintenance. Oh iya, dulunya Frankie dan Blair pacaran. Tapi tidak ada dari mereka yang terasa benar-benar real sebagai seorang yang personal.
Hati cerita sesungguhnya terletak setelah plot poin pertama berakhir. Sesegera mungkin setelah stripper yang mereka sewa tewas, film ini berubah menjadi komedi yang lebih kelam. Leluconnya pun mengalami sedikit peningkatan. Lewat kematian tidak sengaja tersebut, Rough Night dengan tepat menangkap ketidaknyamanan, atau kita juga bisa menyebutnya sebagai kesenangan yang dipaksakan yang hadir dalam situasi REUNI GILA-GILAAN seperti ini. It’s one thing melakukan hal bego ketika kita masih muda, namun ceritanya selalu akan lain jika kita dna sobat-sobat sudah lama berpisah, kemudian berkumpul kembali. Akan selalu ada tensi tak-terucap di antara pribadi-pribadi yang sudah dewasa dengan orang-orang seperti tokoh Alice yang diperankan oleh Jillian Bell, orang-orang yang seperti belum move on dari masa muda, orang-orang yang terlalu clinging onto the others.
Perlu diingat, tokoh-tokoh kita di sini adalah cewek semua. Dan bahwa persahabatan antara kelompok cewek punya keunikan sendiri. Ikatan persaudarian mereka tidak hanya menjadi latar dari komedi situasi, kita akan melihat SISTERLY BOND tersebut tumbuh kembali. Memfokuskan kepada persahabatan, memperlihatkan apa yang membuat mereka merasa seperti saudara meskipun mereka enggak punya ikatan darah adalah langkah yang bijak. Jess dan sahabat-sahabatnya, mereka sudah temenan sejak lama dan kita dibuat bisa merasakan dan percaya terhadap hal tersebut. Chemistry antara para pemain berjalan dengan baik. Komedinya dapat menjadi agak lebay, tetapi ketika aku tertawa, maka itu biasanya disebabkan oleh Kate McKinnon yang diberikan kesempatan untuk menginjak garis batas antara sangat kocak dengan over-the-top.
Persahabatan antarcewek bersifat lebih emosional. Makanya persahabatan cewek lebih rapuh dari cowok. Sahabat cewek akan saling membutuhkan satu sama lain, dan mereka akan ketemuan begitu ada yang perlu, meski gak semua anggota lagi gabisa ngumpul. Sementara cowok lebih senang ngumpul banyakan, ketika semuanya bisa ikutan.Sehingga sering banyak insecurity di dalam persahabatan cewek; ada kecemburuan, ada yang merasa terexclude. Kita dapat melihat itu pada tokoh Alice. Di luar dia terlihat menjengkelkan, baperan, jealous, dan segala macam. Terlebih kepada Pippa, sahabat baru Jess. Namun semakin narasi maju, kita menyadari bahwa traits tersebut penting bagi Alice. It actually berperan besar terhadap perspektif dramatis yang bisa kita saksikan pay offnya pada babak ketiga. Bukan siapa yang lebih lama kenal, persahabatan adalah soal siapa yang paling lama bertahan ngelakuin hal bodoh bareng.
Kontras hubungan dalam geng cowok dan geng cewek akan semakin terlihat lantaran film juga membawa kita ke aktivitas yang dilakukan oleh Peter, tunangan Jess. Saat Jess sibuk nyembunyiin mayat di pantai, Peter dan teman-teman cowoknya sedang mencicipi anggur. Masalah film ini buatku adalah aku enggak benar-benar suka ketika film membawa kita ke porsi petualangan si Peter. Eventually, personal space antara cowok dan cewek membuat Peter kepikiran, dia merasa ada yang gak beres, sehingga dia pergi menyusul Jess. Dengan mengenakan popok. Setiap kali kita kembali ke adegan Peter, dia semakin terjebak dalam situasi yang semakin memalukan, komedi sebenarnya kuat di sini, tapi aku serta merta selalu berpikir “oh my god, I don’t want to see this scene”. Situasi yang menimpa para cewek, konflik tak-terlihat di antara mereka, terasa lebih menarik. Bagian Peter lebih terasa seperti jeda buat manjangin durasi. Elemen peran-terbalik dari hubungan mereka tidak bekerja dengan baik, lelucon yang hadir dari sana terlihat either too obvious ataupun terlalu berlebihan.
Ada yang mati di tengah cerita. It doesn’t necessarily seorang pria. Film ini surprisingly punya sesuatu yang lebih yang menjadikan dirinya adalah sebuah peningkatan dari standar komedi situasi pesta dengan banyak orang mabok dan musik-musik tekno. Hubungan sisterhood membuat cerita dengan premis mish mash yang udah sering digarap ini menarik. Tokoh-tokoh dan komedinya lah yang enggak benar-benar terasa hidup. Tidak semua dari mereka dilepaskan dari satu dimensi. Film ini bisa mencapai lebih baik dengan penokohan yang tidak terlalu standar, karena ada emosi dan hati yang mereka punya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for ROUGH NIGHT.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We? We be the judge.