THE BOOK OF HENRY Review

“A tiger dies and leaves his skin.”

 

 

Enggak ada yang tampak luar biasa di kelas pagi itu. Bu Guru lagi membimbing murid-murid mengungkapkan warisan apa yang ingin mereka tinggalkan di dunia, dan seperti di hari-hari biasa, Henry mengejutkan seisi ruangan dengan opininya yang penuh pemikiran, jauh lebih dewasa dari umurnya. But that just a normal day di kehidupan Henry. Gajah mati meninggalkan gading. Harimau mati meninggalkan belang. Sedari adegan pembuka tersebut, film ini sudah mengait kita masuk dengan pernyataan seputar apa yang ingin kita tinggalkan di dunia ini. Tentu, semua orang pengen namanya dikenang. Jasa-jasa besarnya diingat. Semuanya mau melakukan hal yang spesial. Namun Henry, being special brain and mind as he is, malah ingin melakukan hal sebiasa membantu apa-apa yang bisa ia bantu selagi dia hidup bernapas dan berjalan di muka bumi. Simpel. Biasa aja.

Just do good to others. Saling bantu satu sama lain. Jika perlu buatlah urusan orang lain sebagai urusan kita sendiri. Sebab, kalolah ada tindak paling kejam di atas dunia, maka itu bukanlah tindak kekerasan. Melainkan ketidakpedulian kita terhadap sesama.

 

Dalam urusan warisan, sutradara Colin Trevorrow tampaknya ingin meninggalkan jejak, ia ingin dikenang, sebagai sutradara yang menghasilkan film yang unik ketimbang sebagai pembuat film yang laku. Karena The Book of Henry benar-benar tidak seperti yang lain. Trevorrow sudah mengembangkan cerita ini selama lebih dari 19 tahun. Dan dalam prosesnya, keunikan dan keorisinilan film ini tidak lagi datang dari betapa berbedanya dia dari film-film lain. Aku percaya saat pertama kali mikirin idenya, The Book of Henry terdengar sangat fresh, namun ditonton sekarang-sekarang ini, aku bisa melihat sedikit Goosebumps (2015), sedikit Gifted (2017) dan malahan sedikit serial Thirteen Reasons Why (2017) di dalam elemen narasi. Yang membuat The Book of Henry tetep terasa sangat unik adalah penggarapan dan arahannya yang SANGAT BERANI. Pembelokan tone yang amat tajam, ngetackle hubungan keluarga, dan permasalahan child abuse, semuanya diceritakan oleh Trevorrow dengan melanggar banyak aturan filmmaking.

Pada babak satu, The Book of Henry terlihat kayak film keluarga biasa. Semuanya tampak menyenangkan. Henry bersama adiknya naik sepeda seputaran lingkungan ramah dengan aman. Mereka semua bahagia. Naomi Watts memainkan Susan, seorang single mother yang sangat cool. Kalian harus lihat dan denger sendiri gimana cara Susan ngobrol kepada kedua anaknya yang masih kecil. Dia pake metode yang bakal bikin asosiasi orangtua kaku kebakaran jenggot. Mungkin kita sedikit bergidik melihat caranya yang penuh kejujuran dan gakpake sensor pemanis. Aku sempet shock dikit pas Susan pake gestur jari khasnya Stone Cold Steve Austin ke Henry, dan dibenerin oleh Peter sebab apparently jari telunjuk Susan belum lurus. Tapi toh anak-anaknya tetap cinta dan hormat. Karena sepertinya memang begitulah cara yang bener bicara sama anak kecil; anggap mereka sebagai orang dewasa juga. Susan ngegedein dua putra yang sangat spesial, terutama Henry yang obviously seorang bocah jenius. Dinamika ibu-anak antara Susan dan Henry terjalin dengan terbalik; Susan main video game dan dilarang oleh Henry. Susan juga lumayan reckless ngurusin keuangan, semuanya diatur oleh Henry yang masih sebelas tahun. Dan di malam hari, setelah siangnya minum-minum dengan teman sesama pelayan di kafe eskrim, Susan membacakan cerita pengantar tidur tentang punk rock band kepada Henry dan adiknya, Peter, yang diperankan dengan sekali lagi gemilang oleh Jacob Tremblay. Begitulah rutinitas hidup mereka yang harmonis. Kadang Peter ngambekan sih, semua orang suka Henry, sehingga rasa iri itu sedikit muncul. Namun permasalahan kecil seperti itu dapat diselesaikan berkat kepintaran dan kebaikan Henry.

“kids jaman now” harusnya bikin rumah pohon dengan jebakan deh, ketimbang bikin akun sosial media

 

The Book of Henry masih ngikutin struktur tiga-babak, namun dengan cara yang sama sekali berbeda. Bagian mid-point benar-benar mengubah keseluruhan film. Cerita menjadi lebih kelam, dan kecurigaan Henry mengenai ada tindak kejahatan yang terjadi di rumah anak cewek di sebelah rumah mereka tampaknya semakin terbukti. Aku enggak mau bilang banyak, karena spoiler di bagian ini bakal merusak pengalaman menontonnya. Aku hanya bisa bilang bahwa di paruh kedua film, akan ada karakter yang harus mengambil banyak keputusan berat. It was a very ballsy thing to do in regards of storytelling. Hingga akhir film aku duduk menonton sambl gigit kuku, enggak percaya film ini melakukan apa yang mereka lakukan, and got away with it.

Pergantian tone cerita juga berarti jangkauan range karakter yang cukup luas yang harus dimainkan oleh para aktor. Dan mereka semua berhasil membuat performa film ini meyakinkan. Arahan sutradara juga berperan besar di sini. Tokoh anak-anak berhasil mengimbangi Naomi Watts yang semakin kuat memainkan peran ibu. Jaeden Lieberher adalah Henry yang sangat meyakinkan, tidak terbata dia berperan sebagai anak jenius yang bertingkah jauh di luar anak-anak umurnya pada umumnya, dia jarang tersenyum namun sangat perhatian. Sekaligus punya emosi dan sense of humanity yang kuat. Kepada Maddie Ziegler yang jadi tetangga Henry lah sepertinya kita  perlu bertepuk tangan salut paling keras. Dia enggak diberikan banyak dialog, sebab dia harus banyak berakting lewat ekspresi, dan cewek ini brilian sekali. Ada sekuens di talent show sekolah yang benar-benar membuktikan ini; Maddie harus melakukan banyak gerakan menari yang sangat fisikal sembari harus menampakkan ekspresi penuh derita dan duka yang subtil di wajahnya. She was so good dan penuh penghayatan.

 

warisan yang ditinggalkan Henry ternyata adalah 13 reasons why and how to killed your bad neighbor

 

Tindak berani selalu ada saja resikonya. The Book of Henry dengan pergantian tone cerita yang drastis tentu berpotensi bikin kesel banyak orang. Pengen drama keluarga yang fun, eh malah dapet yang lebih kelam. Tapi semestinya penonton film 2017 sudah terbiasa dengan film-film ‘mengecoh’ kayak gini. Kita udah dapet Get Out dan It Comes at Night di antaranya. Di mana The Book of Henry sedikit goyah adalah di paruh kedua. Tepatnya pada elemen anak jenius yang mengatur keputusan karakter lain. Semuanya terlihat sangat diatur dan dipermudah, padahal keputusan yang diambil oleh karakter yang satunya adalah keputusan yang sangat berat. Ultimately, it makes the story was somewhat predictable. Jadi, filmnya seolah berubah namun pada akhirnya tidak banyak kejutan yang kita rasakan.

 

Topik, penceritaan, kejadian, semua itu diolah dengan cara yang sangat berani. Dia melawan banyak aturan film. Menjadikan dirinya sendiri sebaga tontonan yang sangat unik. Film ini akan meninggalkan para penonton terbagi menjadi dua kelompok; yang merasa kecele, dan yang terkesima atas keberanian dan keorisinilan yang hadir buah dari keberanian tersebut.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for THE BOOK OF HENRY.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. A Ashar says:

    Barusan nonton filmnya dan suka banget sama twist di midpointnya. Asli ini film berani beda sendiri, punya caranya sendiri juga biar kita tetep asik nikmatin filmnya, good job lah buat penulis ceritanya.

Leave a Reply