POSESIF Review

“If our love is only a will to possess, it is not love”

 

 

Ada hal-hal tertentu yang enggak bisa dilalui bersama tanpa kita menjadi dekat, dan dihukum ngiterin lapangan sekolah berdua dengan tali sepatu saling bersimpulan adalah salah satunya. Perkenalan antara Lala (pendatang baru Putri Marino bermain cemerlang) dengan si anak baru Yudhis (akting Adipati Dolken semakin matang) berawal dari warna sepatu yang melanggar peraturan sekolah. Lala dan Yudhis jadi deket, tak sulit buat temen sekelas Lala nyomblangin mereka, dan jadianlah kedua remaja tersebut. Cinta pertama Lala awalnya manis banget. Kehadiran Yudhis membantu Lala melewati hari-hari. Sekolah, latihan loncat indah, hang out, Yudhis selalu ada di dekat Lala.

Oktober adalah waktu yang aneh untuk menayangkan drama percintaan dengan tokoh anak SMA. Biasanya film-film remaja ramenya sekitaran Februari ataupun pas musim liburan sekolah. Tapi setelah menyaksikan sendiri, aku jadi bisa melihat keserasian film ini tayang berdekatan dengan Halloween. Posesif bukan seperti drama cinta biasa. Sutradara Edwin mengarahkan film ini LEBIH SEPERTI SEBUAH SAJIAN THRILLER. Adegan-adegan film ini dipersembahkan dengan perlahan, meski runtunan dari fase kenalan ke jadian ke deket banget disampaikan dengan cepat. Emosi dan rasa ragu akan merayap masuk sembari hubungan Yudhis dan Lala mekar. Dua pemain lead bermain dengan sangat baik, chemistry tumbuh tanpa tersandung ekspresi yang dibuat-buat. Mereka ngelewatin banyak transformasi emosi, dan mereka nailed each and every one of it. Bagi dunia, Lala mungkin cuma seseorang. Namun buat Yudhis, Lala seoranglah yang jadi dunia. Kita akan menyaksikan hubungan romansa di antara kedua anak muda ini berbelok ke arah yang mengerikan. Kalo lagi enggak bersama Lala, Yudhis akan ngestalk social media, nelfonin nanyain kabar – ada shot yang memperlihatkan Yudhis missed call lebih dari tiga-puluh kali dalam rentang waktu kurang dari satu jam. Dolken bener-bener tepat sasaran memainkan note-note yang creepy.

Sebelum kenalan, Yudhis udah tahu nama Lala dari video instagram, wow that’s not creepy at all

 

 

Posesif benar-benar mengeskplorasi apa yang relationship bisa lakukan kepada jiwa-jiwa muda yang insecure. Betapa  kadang kita lebih memilih untuk mempertahankan hubungan tak-sehat daripada untuk melepasnya dan memulai dari awal. “Belum tentu loh, kamu bisa dapat cowok kayak gitu lagi” saran teman kepada Lala yang bimbang.

 

Menurutku, film ini penting untuk ditonton – bukan hanya karena ini adalah sudut pandang yang berbeda dari film remaja kebanyakan – melainkan juga karena ceritanya yang sangat dekat. Setiap kita pasti pernah jatuh cinta, pasti ngalamin sensasi deg-degannya cinta pertama. Pada beberapa titik dalam hidup, kita pernah berada di posisi Yudhis, atau di posisi Lala, atau di posisi sahabat cowok yang diam-diam naksir Lala, atau malah pernah berada di tiga posisi itu sekaligus. Maksudku, nonton ini juga bisa bikin baper. This movie hits home more than I expected. Personally, I might be or might not be, …. Oke jujur, aku pernah bikin takut anak gadis orang kayak yang dilakukan Yudhis, secara gak sengaja. Dan itulah masalahnya. Untuk sebagian besar kasus hubungan yang mengekang, yang terlalu gak-ngasih jarak, kita gak sadar sudah membuat pasangan merasa tak nyaman. Padahal niatnya, sumpah! padahal niatnya baik

mengapaaa aku beginiiiii??

 

Tema ‘dikungkung oleh tuntunan dari luar’ kerap terdengar di sepanjang narasi. Lala yang terus digebah oleh ayah untuk jadi atlet, nyaingin almarhum ibunya. Yudhis yang enggak boleh ngekos, musti deket terus dengan ibu. Yudhis yang gak ngasih space ke Lala. Sekolah dengan peraturan gak jelas sepatu harus hitam. Bahkan Lala jadian dengan Yudish adalah hasil comblangan dari teman sekolah – yang menyimbolkan persetujuan dari lingkungan terus saja mempengaruhi pilihan dan keputusan tokoh kita. Jika ditelanjangi dari layer masing-masing, film Posesif dan film The Lobster (2015) memiliki kesamaan inti cerita. Perjalanan Lala ialah perjalanan membebaskan diri dari kurungan tak terlihat orangtua, teman-teman, dari orang yang ia masih ragu cinta atau enggak. Kita akan belajar bahwa Lala dan Yudhis sebenarnya punya masalah yang sama, hanya saja Yudish memproyeksikannya dengan cara yang sedikit mengerikan. Pada akhirnya kedua orang ini akan saling posesif terhadap masing-masing, dan itu enggak sehat.

Sesuai dengan overlaying symbol yang disebutkan oleh film; cinta dengan olahraga yang ditekuni Lala, loncat indah adalah pengalaman yang sama bagi anak muda. Terjun ke dalam relationship sama menakutkannya dengan terjun ke kolam dari menara loncat tingkat paling atas. Lala dilatih oleh ayahnya  Naik ke atas papan loncat adalah suruhan, namun actually meloncat adalah murni keputusan Lala. Kamera menangkap resah dan gejolak tersebut dalam shot-shot menarik Lala yang jungkir balik terjun. Menjalin hubungan percintaan itu adalah kerja keras, karena hidup adalah kerja keras dan cinta adalah bagian dari hidup. Ini adalah tentang kontrol – masing-masing memegang kendali atas hidupnya. Dalam film ini, air kolam di bawah itu adalah hidup dengan segala konsekuensinya. Terjun ke dalam itu adalah sebuah pilihan pribadi – kita bisa menyuruh orang untuk naik, tapi pada akhirnya yang bisa kita miliki adalah diri kita sendiri.

 

Perbedaan antara film komersil dengan film yang enggak mainstream bisa jadi hanya terletak pada bagian akhirnya. Posesif bisa saja menutup ceritanya di saat Lala ditinggalin di tengah jalan. Menurutku, jika selesai di sini, saat Lala berjalan di jalan tol yang bercabang, memilih sendiri langkahnya, pesan yang disampaikan akan bisa menjadi lebih kuat. Tapi Posesif ingin appeal buat lebih banyak orang, dan sebagian besar penonton ingin ending yang enggak muram-muram banget. Dan di babak ketiga inilah, film tampak enggak yakin bagaimana mengakhiri cerita dengan memuaskan target penontonnya. Menuju ke ending, cerita menjadi agak terseret – kayak, udah beres, eh ternyata belum. Padahalnya mestinya cerita ditutup either dengan ninggalin Lala tadi, atau Lala dan Yudish enggak pernah kabur sedari awal. Hanya ngeliatin Lala menghapus foto-foto di Instagramnya sudah dapat menimbulkan kesan yang sangat kuat. Pilihan final adalah membungkus cerita dengan freeze-frame close up Lala, wow such a cool way to end -,-

Ada beberapa poin cerita yang enggak konsisten. HP Yudhis yang ketinggalan di dalam mobil adalah contoh plot device yang terasa enggak klop dengan karakter Yudhis yang punya issue dengan kepemilikan. Maksudku, berdasarkan sikap ‘melindungi’nya terhadap  Lala, aku membayangkan Yudhis sebagai orang yang ngeprotect barang-barang pribadi, dia tidak akan lupa dan meninggalkan HP di tempat yang dapat dijangkau orang. Aku juga sempet bingung dengan lokasi cerita, apakah di Jakarta atau di Bandung, sebab di awal-awal Lala dan Yudhis jalan-jalan di NuArt yang terletak di Bandung – aku tahu karena pernah ke sana dan nekat moto-moto daerah workshop patung, kemudian dibentak satpam yang meminta foto-foto yang kuambil di sana harus dihapus; yea, bicara tentang aturan, right..

Soal status anak baru Yudhis juga cukup membuatku mengangkat sebelah alis, dia pindahan dari mana, kenapa dia pindah sekolah di tahun terakhir, apakah ada indikasi sifat violentnya yang menyebabkan dia pindah sekolah, apakah cinta pertama itu di pihak Lala saja – like, apakah sebelum ini Yudhis yang ganteng pernah terlibat cinta ga-sehat dengan cewek lain dan kekerasan yang dilakukannya membuatnya harus pindah sekolah? Menurutku latar belakang Yudhis perlu digali sedikit lagi, karena bisa saja mereka malah meninggalkan backstory yang menarik.

Konteks cerita juga membuat tidak ada konsekuensi nyata yang diperlihatkan oleh film mengenai apa yang dilakukan Yudhis. Yang membuat film ini terasa setengah-setengah. Ini bukan cerita romansa biasa, sekaligus tidak pernah mekar sebagai thriller yang benar-benar mengerikan. Kesan yang diincar adalah keragu-raguan, semua orang melakukan kesalahan, namun dengan absennya konsekuensi yang benar-benar nyata, pesan film tidak sampai pada ketinggian loncat yang diinginkan.

 

 

Cinta bisa jadi adalah ilusi yang tercipta dari kebutuhan kita akan sesuatu yang nyaman, yang terbentuk bukan dari pilihan kita melainkan dari jawaban tergesa atas tuntunan dari luar. Film ini akan mengingatkan kita semua akan itu, dia tidak ragu untuk menjadi menakutkan dalam menyampaikannya. Karena, seperti Lala, terkadang kita harus belajar dalam cara yang keras. Kisah cinta bukan semata milik suka ria. Film ini paham betul dia punya pesan penting, dan dia rela menerjunkan diri di dalam kolam mainstream, menempuh riak resiko kreatif, ini bukan film sempurna, melainkan sebuah kesempatan penting untuk berefleksi diri yang sayang untuk tidak dimiliki.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for POSESIF.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Comments

  1. Muji Hidayat says:

    Setuju bgt. Apalagi dengan bagain menjelang akhir yang seharusnya bisa jauh lebih kokoh lagi sih, tapi overall msh ketutup sama chemistry putri Marino dan adpati yg sangat nyata dsini. Terutama adipati, belum pernah liat dia tampil sematang ini sebelumnya. Anyway, saya masih di bkin takjub sama point of view anda yg bsa blg teliti bgt, terutama pas bagian bahas mslh hp yudhis yg ketinggalan dg karakternya, I mean, jeli bgt bisa liat dri sudut pandang seperti itu. Salute!

    • arya says:

      sepertinya ini beneran penampilan terbaik Adipati ya sejauh ini, good for him.

      haha makasih mas, soalnya plot device ketinggalan hp trus dilihat sama orang itu sebenarnya udah sering, itu yang ‘mengganggu’ – dan ketika berusaha memaklumi kenapa adegan itu harus ada, semakin terasa enggak klop ke karakternya. Kayak bukan Yudhis banget

      • Muji Hidayat says:

        Makin g Yudhis bgt, ketika adegan lanjutan nya ketika Yudhis curiga hp nya di otak atik sama lala, dan ketika lala jawab ‘g ada apa2’ , anehnya Yudhis (yang notabene nya posesif dan emosional) lgsg percaya dan milih diam.

        • arya says:

          bener, lagian lucu banget, lagi diisiin bensin, masih di kursi driver, malah pergi ke wc – ntar yang majuin mobil siapa. Seluruh adegan tersebut maksa, dan mestinya adegan untuk keperluan supaya Lala tahu tentang mobil itu bisa dihandle dengan cara yang lebih masuk akal dan klop ke karakter lagi.

  2. kara says:

    ka aku ketinggalan 15menit di awal apa itu mengaruhin ending soalnya ga ngerti sama endingnya:(. bisa jelasin ga ka? terima kasih

    • arya says:

      adegan pembuka persis kayak yang di ending, cuma di pembuka kita belum tau itu Yudhis; Lala lari pagi, terus ada yang ngikutin. Terus adegan di sekolah, Yudhis anak baru gak tahu peraturan seragam sepatu, terus Lala dan Yudhis dihukum bareng.

  3. taufikkkk says:

    Pas adegan yudis ninggalin lala di mobil cewe2 di belakang gw ngoceh2 idih najis cowo bajingan bla bla bla..

    Padahal itu keputusan paling baik dan dewasa dari yudis . Gue suka cara film membuat tiap karakter berada di garis abu-abu bukan di hitam atau putih

    • matchalova says:

      personally gw agak baper sih pas yudhis ninggalin lala. kalo mereka tetap pergi ke bali pasti jatuhnya ke bittersweet ending ntar. seperti di ending film “the graduate”.

      • arya says:

        hahaha bisa jadi, tapi kalo Yudhis ga ninggalin Lala, arcnya Yudhis enggak mantep beresnya. Dari dia yang posesif, jadi dia sendiri yang ninggalin Lala, itu pasti berat banget buat Yudhis

  4. Winny says:

    Honestly i don’t get the ending though. Why is Yudhis still following Lala?
    Dan ekspresi mereka pas terakhir itu juga agak bingung karna yudhis kayak senyum tumpulyg bilang here i am dan lala yang datar banget gitu ekspresinya and then freeze frame. Udah. What does it mean?????

    • arya says:

      iya makanya, endingnya kayak gayakin mesti dibuat gimana, jadi dipanjang-panjangin biar misterius… padahal ceritanya udah nutup pas Lala pulang ke rumah

      • Aaron says:

        Apa Yudhis di ending film cuma ilusi Lala? Soalnya Lala seperti masih berharap Yudhis bakal muncul dan kembali ke dia lagi, seperti ke mana pun aku pergi aku selalu cari kamu.

  5. abila says:

    suka bgt kak sama reviewnya. aku setuju film ini kyk angin segar di perfilman indonesia, yg aku suka juga, kelihatan bgt risetnya mendalam, mulai dari perilaku Yudhis yg manipulatif dan nggak jujur (nggak mau mengakui perbuatannya ngelaser Jihan, nabrak Rino dll.) sebelum dia mulai abusif ke Lala. aku malah baper bgt pas Yudhis hampir mukul Lala lagi di mobil tp dia tahan dan dia dgn meledak-ledak bilang “Aku jujur aja sekarang aku nggak tahu iya apa enggak, bisa aja aku lagi manipulasi kamu La” kayak… Ya Allah… Mas Yudhis… pukul aja aku!!!! pukul!!!! HUHUHUHU aku malah lebih baper nonton ini drpd Dilan

    • arya says:

      hahaha bener, konfliknya kuat banget itu, antara yudhis lala, lala dengan dirinya sendiri, yudhis dengan dirinya sendiri juga, dicampur semua sama film, jadinya perasaan kemelutnya dapet banget.. apalagi fisikal kan, jadi tambah intens. Mantaplah

    • arya says:

      terima kasiih, salam juga
      sure, I will not go anywhere, paling cuma rehat sejenak kala internet lagi mati seperti sekarang ini.. nanti aku mampir blogmu yaa

Leave a Reply