MARROWBONE Review

“Shame is the feeling of being something wrong.”

 

 

Ibu membuat garis di lantai rumah tua yang berdebu. “Cerita kita dimulai dari sini” katanya. Dengan mantap ia membimbing keempat anaknya melangkahi garis tersebut sebagai simbol mereka memulai hidup yang baru. Dengan mengganti nama keluarga menjadi Marrowbone, mereka wujudkan keinginan mereka untuk hidup terasing. Jauh dari masa lalu. Malahan rumah gede yang mereka tempati sekarang jauh dari mana-mana. Tetangga terdekat mereka di bukit depan, satu jembatan jaraknya. Namun tak lama, Ibu meninggal dunia. Tragedi masa lalu pun sampai pula mengejar Jack dan tiga orang adiknya. Marrowbone sesungguhnya adalah cerita menyedihkan tentang kakak beradik yang berusaha untuk hidup tenang, tetapi terus diteror oleh ‘hantu’. Rumah tangga mereka terbangun atas dasar trauma dan rahasia, sehingga kita bisa saja membuang elemen hantu dalam narasi dan tetap saja film ini akan terasa sangat pilu.

ah, move on dari kenangan tidak pernah segampang melangkahi garis di lantai

 

Aku perlu menegaskan bahwa meskipun kerja paling baik dari Marrowbone adalah ketika film ini mengeksplorasi elemen supranatural, sesungguhnya kalian tidak akan mendapatkan horor sebenar-benarnya film hantu saat menonton ini. Menulis skenario drama seperti ini jelas bukan masalah besar bagi Sergio G. Sanchez yang sebelumnya turut ikutan menulis The Orphanage (2007) yang punya tone serupa dengan film ini. Tapi Marrowbone juga adalah debutnya duduk di kursi sutradara. Ketika bermain-main dengan build up, dengan mengarahkan para karakter, membuat rumah besar itu menjadi penuh misteri dengan segala bunyi-bunyi, cermin-cermin yang ditutupi, noda-noda tak terjelaskan di langit-langit, Marrowbone terlihat sangat efektif. Kita bisa ikut merasakan atmosfer dan suasananya. Ada sensasi terkungkung, ketakutan di layar sana yang menarik kita masuk.

Yang membuat kita betah mengikuti adalah penampilan akting dari para pemain yang masih pada muda-muda. Tokoh utama kita adalah Jack, si anak tertua. Sepeninggal Ibu, dia menjadi kepala keluarga. George Mackay butuh mengerahkan usaha yang esktra sebab perannya ini enggak hanya diwajibkan untuk tampil tertutup serba berahasia. Namun sekaligus juga bingung, ia ingin memenuhi wasiat ibunya, ingin melindungi adik-adiknya, tapi dia tidak sepenuhnya menyadari apa yang terjadi – pada dirinya, pada sekitarnya. Dia juga punya saingan cinta yang membuat tokoh ini lebih berwarna lagi, dan bahkan range emosi  semakin meluas ketika cerita sampai ke titik pengungkapan. Adik-adik Jack, sebaliknya, tidak diberikan kesempatan melakukan banyak. Mereka bersembunyi dari ayah dan dilarang keluar rumah oleh Jack demi keselamatan mereka. Mia Goth dan alumni Stranger Things Charlie Heaton memang agak disayangkan kebagian porsi yang sedikit, tapi mereka deliver apa-apa yang diminta oleh naskah dengan baik.

Sama seperti yang ia lakukan dalam The Witch (2016), Split (2017), dan Morgan (2016), Anya Taylor-Joy mencuri sorotan dan menjadi elemen terbaik yang dipunya oleh film. Di pertengahan film, perannya agak berkurang. Anya bermain sebagai Allie, tetangga terdekat sekaligus pacar dari Jack. Dia keluar-masuk cerita, barulah di babak terakhir perannya kebagian tindakan gede, Secara konstan penampilan Anya di sini baik sekali. Emosional, tokohnya enggak bego, tokohnya memang satu-satunya yang enggak menyimpan rahasia, dan dia bermain sama jujurnya – amat meyakinkan. Akan tetapi, serealistisnya penampilan Anya, dia tetap tidak mampu membuat keseluruhan film tampak menarik dan meyakinkan. Misteri-misteri yang dimasukkan tidak pernah menjadi misteri, maksudku mereka membingungkan oleh alasan yang lain. Kita tahu apa yang terjadi. Kita hanya tidak tahu apakah memasukkan elemen itu adalah keputusan yang tepat untuk film ini.

Keluarga Jack mengasingkan diri sebagai reaksi dari perlakuan kejam sang ayah, dan ironisnya mereka juga berusaha melarikan diri dari social shame. Mereka kehilangan self respect. Mereka menjadi lunak. Tapi untuk hidup, mereka harus kuat. Ditekan oleh banyak hal seperti ini, malu, takut, keinginan untuk bertahan, bisa dengan gampang merusak seseorang, jika ia menjalani hidupnya sendirian. Inilah yang disadari oleh Jack dan Allie di akhir cerita, bahwa seberapapun parahnya keadaan, mereka harus mengusahakan untuk tidak merasa sendirian.

 

sembunyi di balik kain transparan, kayak twist film ini

 

 

Susah untuk menceritakan garis besar Marrowbone tanpa membeberkan terlalu banyak poin yang semestinya dirahasiakan. Film ini adalah film yang tulang punggungnya ada pada twist, dan film ini paham twist yang baik adalah twist yang merupakan satu-satunya terusan yang logis buat cerita, bukan sekedar belokan tajam untuk mengecoh.  Beberapa film ragu memberikan petunjuk karena mereka menyangka twist yang bagus itu adalah yang tak-tertebak. Jadi pada kebanyakan film kita tau-tau dikejutkan oleh pengungkapan seperti siapa yang ternyata siapa, yang jahat ternyata si yang paling pendiam, atau semacamnya yang tak pernah dibuild up. Film ini tidak mempermasalahkan twistnya yang mudah tertebak. Sejak peluru pertama ditembakkan dan kita lompat ke enam bulan kemudian di sepuluh menitan pertama, aku yakin banyak di antara kita yang sudah bisa menebak apa yang sebenarnya terjadi di bawah atap rumah Marrowbone. Film tetap pada track dan dia terus membangun suspens supaya ketika jawaban itu sudah di depan mata, kita dapat merasakan sensasi emosi yang gempita.

Gakpapa untuk sebuah film punya twist yang gampang ditebak, namun toh rasa malu itu tetap ada. Sama seperti kita yang sadar betul narsis itu udah lumrah, tapi kita kadang tetap merasa malu ngepost foto narsis sehingga kita memakai caption nyontek quote-nya Tere Liye supaya kita bisa jadi ada alasan bagus buat ngepost foto narsis. Trope-trope film lain, serta berbagai supplot serabutan, adalah laksana quote Tere Liye di foto selfie narsis bagi Marrowbone. Film ini melemparkan elemen cinta segitiga, rumah hantu, misteri pembunuhan, anak kecil yang paling peka sama yang goib-goib, ada juga blackmail soal duit, untuk menutupi twist yang sudah disiapkan. Dan tidak satupun yang tercampur dengan baik. Narasi menjadi amat berbelit. Mereka tidak membuat kita lupa terhadap twist, sama sekali tidak mengaburkannya, yang ada hanyalah elemen-elemen tersebut membuat film menjadi sesak dan tidak mencapai potensi suspens drama yang semestinya bisa dicapai.

 

 




Sejatinya ini adalah drama keluarga yang amat melankolis dengan dibayangi oleh lapisan supernatural. Mengeksplorasi tentang rasa bersalah, rasa malu, dan ketakutan. Punya tema, desain produksi, dan penampilan akting yang bakal menarik minat penggemar horor arthouse. Dibangun berdasarkan twist, membuat film ini pun ikut dilirik oleh penonton mainstream. Para aktor muda berusaha semampu mereka, sama seperti film ini berusaha sekuat tenaga untuk menutupi twist yang mereka tahu gampang ditebak. Jadinya, ada banyak elemen yang kita jumpai, yang hanya membuat plotnya convoluted. And it just doesn’t work. Banyak adegan yang kehilangan bobot karena kita gak sepenuhnya yakin itu hantu beneran, atau imajinasi, atau apakah mereka semua beneran ada di sana.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for MARROWBONE.

 




That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We? We be the judge.



Comments

  1. Rani says:

    Hi.. Boleh tanya. Kenapa di akhir ceritaa, Alie membiarkan Jack tetap seperti itu. Tetap berhalusinasi. Dan obat nya ga pernah diminumkan.thx u

    • arya says:

      Buatku itu adalah bentuk dari respek Alie kepada Jack, di awal-awal Jack sudah berjanji kepada adik-adiknya bahwa tidak ada yang bisa memisahkan mereka semua. Jadi Alie tidak akan melakukan hal tersebut, dia berusaha menyembuhkan Jack dengan caranya sendiri

Leave a Reply