NAURA DAN GENK JUARA Review

“There are more important things in life than winning or losing.”

 

 

Bikin film anak-anak itu enggak gampang. Terutama, karena orang dewasa pembuat filmnya sudah lupa gimana caranya menjadi anak-anak. Nanti dulu bicara soal karena susah mengatur dan mengarahkan mereka, kita yang udah gede ini udah lumayan susye untuk tidak menyepelekan anak kecil. Kita bersikap terlalu manis kepada mereka, dengan alasan menjaga hati. Kita bicara dengan mengecilkan mereka, we’re sugarcoated everything for them, karena kita menganggap mereka tidak mengerti. Padahal kalo diingat-ingat lagi, sewaktu kecil kita justru paling keki kalo dianggap ‘anak ingusan’ sama orangtua.

Tidak ada penghargaan yang lebih besar buat anak kecil ketika mereka diperlakukan setara dengan orang dewasa, ketika mereka dipercaya untuk bertindak dan menyelesaikan masalah sendiri. Film Naura dan Genk Juara berusaha untuk memahami itu.

Para tokoh cilik film ini diberikan kesempatan untuk ‘menang’ di atas orang dewasa yang meremehkan mereka, bekerja sama memecahkan masalah sebelum orangtua menyadari, dan mereka melakukan semua itu dengan bersenang hati. Mereka nari dan bernyanyi!

 

Film ini ringan dan benar-benar menekankan kepada pentingnya persahabatan. Ceritanya dapat menginspirasi anak-anak. Naura berhasil menjadi ketua rombongan sekolah mereka di acara Kemah Kreatif. Ya, di film ini kita akan melihat anak-anak menggunakan teknologi untuk kegiatan yang kreatif dan positif. Karena pengalaman dan sifat memimpinnya, Naura kepilih walaupun proyek GPS pelacak binatang yang ia rancang masih kalah poin dari drone si Bimo . Peristiwa tersebut sempat menimbulkan tensi di antara mereka, membuat sekolah mereka agak tertinggal dari sekolah lain di perkemahan. Sebuah peristiwa penculikan hewan-hewan di penangkaran perkemahanlah yang membuat Naura dan Bimo dan Kipli dan teman-teman lain  bersatu. Mereka mengusut misteri sindikat penculikan, yang juga menyulik salah satu teman sekelas Naura, dan eventually anak-anak ini harus menggagalkan aksi pencuri sendirian, sebab para ranger pengawas sudah dikecoh oleh para penjahat.

“Jaket? Kaos kaki? Baju? Obat?” well Papa sih gak nanyain celana panjang, ketinggalan deh punya Naura

 

Sedikit lebih berwarna, akan sulit bagi kita untuk tidak membanding-bandingkan film ini dengan Petualangan Sherina yang tayang tahun 2000 waktu aku masih unyu-unyu. Keduanya sama-sama musikal. Keduanya berlokasi di hutan. Keduanya punya tokoh utama anak cewek. Sherina dalam film itu adalah seorang murid baru yang dikerjain oleh anak laki-laki badung, Sherina ini mandiri, kita ngeliat dia sengaja nempelin bandage luka di badannya biar kayak jagoan. Petualangan Sherina arahan Riri Riza terasa meyakinkan dan menarik karena hal-hal kecil seperti itu; Sesuatu yang tidak dimiliki oleh film Naura dan Genk Juara. Naura, sebagai tokoh utama, ditulis sebagai karakter yang…. actually, aku agak bengong kalo ditanya Naura ini anaknya bagaimana. Dia ingin sekolahnya juara. Dia bisa bernyanyi dengan baik, dia bisa ngedance dengan keren. Dia anak baik, and that’s it. Kita tidak tahu apa kebiasaannya, tidak ada yang memberi petunjuk tentang siapa tokoh ini lebih dalem lagi. Dia jarang membuat pilihan, dia tidak diberikan konflik internal. Semua yang ia capai diberikan begitu saja kepadanya. Naura bahkan enggak ‘berjuang’ demi alatnya sendiri, yang berantem membelanya malah temen yang lain. Di babak terakhir pun, Naura tidak secara langsung ikut ‘berperang’ bareng anak-anak yang lain. Plot karakter Bimo justru yang lebih menarik, malah menurutku kita bisa bikin cerita anak yang sedikit lebih kelam jika mengeksplorasi Bimo sebagai tokoh utama.

Petualangan Sherina membuat tokoh Sherina berbeda dari tokoh lain dengan memberinya karakter, hobi, motivasi yang kuat. Sedangkan film Naura dan genk Juara membuat Naura stands out dari anak-anak yang lain dengan memberinya hotpants. Pilihan pakaian tersebut merupakan bukti kelemahan penulisan film ini.

Tidak ada gunanya juara, jika kita tidak bisa melakukan sesuatu yang berguna lantaran kita sibuk memikirkan diri sendiri. Apa gunanya kita menang sendiri, sementara kemenangan tersebut tidak dishare bersama teman-teman. Atau lebih parah, tidak punya teman untuk dishare. Persahabatan adalah piala yang lebih berharga daripada piagam manapun di dunia.

 

Nilai lebih yang diberikan oleh sutradara Eugene Panji pada film ini adalah dia tidak ragu menghadirkan tokoh penjahat yang lebih menacing. Penjahat di sini enggak dibikin bego-bego amat. Mereka masih terlihat sebagai ancaman, dan kita melihat anak-anak itu benar-benar dibentak. Menurutku, ini adalah pilihan yang bagus karena biasanya tokoh penjahat di film anak, sepenuhnya dijadikan bagian komedi, sehingga stake dan bahaya itu enggak benar-benar terasa. Sekali lagi, karena kita biasanya memandang rendah kemampuan anak-anak, dalam hal ini mentalnya. Makanya banyak film anak yang punya masalah di tone cerita. However, film ini dengan elemen penjahat pun, tone-nya tetap berhasil tampil seimbang.

Lirik dan irama lagu-lagu dalam film ini catchy, gampang banget deh buat disukai. Tetapi, beberapa adegan musikal terasa terpisah dari narasi. Ada tokoh yang keluar-dari-karakter ketika bernyanyi. Tidak ada kesinambungan feel antara adegan nyanyi dengan adegan sesudahnya. Malah terkadang mereka bernyanyi gitu aja tanpa ada alasan, karena film enggak mampu merangkai adegan tersebut dengan baik ke dalam cerita. Sampai-sampai kita ngerasa ‘ini si Naura kerjaannya nyanyi doang sementara teman-teman di sekitarnya sibuk ngerakit alat-alat untuk proyek science.’ Kamera jadi tampak kebingungan antara ngesyut adegan anak-anak merakit atau Naura ngedance. Dan jadinya memang terlihat frantic banget. Apalagi di adegan opening di sekolah, editing film cepet banget berpindah dari anak-anak bikin percobaan ke adegan menari. Padahal menurutku, perlu juga dong memperlihatkan proses actual pembuatan percobaan-percobaan itu supaya anak-anak bisa tertarik untuk mencobanya di rumah, jadi bukan hanya nyobain narinya.

Satu lagi yang aku kurang sreg dari musikalnya adalah pemilihan lokasi. Serius deh, mereka syuting di hutan wisata, tapi nyanyi-nyanyi disyut di tempat yang itu –itu melulu. Ini bukan salah di kreativitas sih, menurutku, film hanya ingin tampil efisien – supaya syutingnya gampang or whatever. Yang jelas, film jadi sedikit membosankan.   Dan melihat banyaknya adegan iklan sisipan, sepertinya film ini punya sokongan dana yang enggak sedikit. Adegan pembukanya malah memperkenalkan kita dengan para tokoh lewat animasi tiga-dimensi yang halus. Actually, di menjelang babak ketiga kita bakal ngeliat satu lagi adegan animasi, kali ini kayak kartun klasik Jepang, yang aku gak paham entah apa maksudnya film memasukkan dua animasi dengan style yang berbeda.

ajarin kakak bikin hantu-hantuan dari asap dooongg

 

Aku sebenarnya gak suka membicarakan hal-hal lain di luar film, kayak gosip pemain, kehidupan pribadi si pembuat film, ataupun kontroversi seputar film. Karena ketika ngulas film, mestinya kita membicarakan tentang film itu thok! Apa yang bekerja pada unsur-unsurnya, apa yang tidak, mana yang kusuka, mana yang enggak sreg. Tapi mengenai film Naura ini banyak banget yang menanyakan, kita semua pasti sudah mendengar ada beberapa penonton yang enggak suka dengan penggambaran salah satu tokoh pada film ini, penggambaran yang dianggap melecehkan. Well, aku, bahkan pembuat filmnya pun sebenarnya enggak bisa berbuat apa-apa selain mungkin mereka menjelaskan dan menenangkan yang tersinggung. Ketika membuatnya, adalah langkah yang keren untuk membuat film terasa nyata oleh tokoh-tokohnya, tapi reaksi penonton tidak bisa dikendalikan sebab film adalah pengalaman personal.

Dan secara pribadi, dengan menonton langsung, aku tidak melihat hal-hal yang menyinggung dalam film ini. Malahan, di luar perkiraanku, film ini berhasil ngehindarin berbagai jebakan stereotipe, meski memang karakter-karakter yang ada berdimensi satu, di luar fungsinya sebagai pemantik komedi. Untuk kalimat istighfar dan takbir yang dipermasalahkan, aku menangkapnya bukan sebagai lelucon komentar budaya. Akan tetapi hanya sebatas seperti si tokoh kaget hingga latah, dan dalam latahnya itu ia mengucapkan Astaghfirullah. But still, mestinya kita-kita bisa mengambil tindakan positif. Gak musti langsung melarang orang menonton. Buat yang bikin pun, sepatah kata maaf juga sepertinya cukup untuk menenangkan. Karena seperti yang disampaikan cerita Naura – aku harus keluar dari karakter blog sebentar – tidak ada yang menang atau kalah kan di sini.

 

 

Buat yang susah nyari tontonan yang aman buat anak atau adiknya, film ini sangat bisa jadi pilihan tontonan keluarga. Anak-anak akan suka, sukur-sukur jadi kepancing untuk jadi ilmuwan nyiptain sesuatu yang berguna. Mereka bakal ingin seperti Naura yang jago nyanyi, tapi sebagian besar mungkin akan pengen terkenal seperti tokoh Naura yang diperankan oleh Adyla Rafa Naura Ayu. Karena tokoh film yang mereka ikuti di sini tidak benar-benar memberikan impresi dari sikapnya/ Dari wataknya. Penonton butuh tokoh yang bisa mereka cintai, bukan yang mereka sukai. Cinta itu datang dari tokoh yang terasa dekat, yang bercela seperti mereka. Film hanya tampil standar despite dirinya sangat dibutuhkan dalam scene perfilman tanah air yang kering hiburan untuk anak-anak.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for NAURA DAN GENK JUARA.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We? We be the judge.

Leave a Reply