THE MOUNTAIN BETWEEN US Review

“Long-term relationships, the ones that matter, are all about weathering the peaks and the valleys.”

 

 

 

Berada dalam sebuah relationship adalah sebuah kerja keras. Mempertahankan hubungan itu udah kayak berjuang bertahan hidup. The Mountain Between Us adalah cerita tentang keduanya; cerita survival dua orang yang terdampar di pegunungan bersalju. Sekaligus sebuah cerita romansa tentang dua orang yang tak menyangka mereka harus bekerja sama, saling support satu sama lain, demi melewati situasi yang sulit.

 

Penerbangan di Bandara Idaho terkendala oleh cuaca. Semua jadwal ditunda oleh kemungkinan datangnya badai salju. Membuat seorang jurnalis fotografi, Alex (tentu saja Kate Winslet bisa meranin cewek yang tangguh), seperti orang kebakaran jenggot. Besok dia akan menikah, jadi mana sudi terkunci di bandara. Tak beberapa jauh darinya, seorang dokter bernama Ben (ini adalah peran romantis pertama bagi Idris Elba) juga tampak angot ngobrol sama petugas bandara. Ada pasien yang harus segera ia tangani. Senang ngeliat ada orang dengan tujuan yang sama, Alex ngajakin Ben untuk berangkat dengan menyewa pesawat kecil. Mungkin takdir memang ingin melihat mereka bersama, pesawat carteran mereka jatuh, dan mereka mendarat dengan amat sangat tak-mulus di puncak gunung salju. Kondisi yang kritis, kaki Alex terluka, pilotnya tewas, untung Ben seorang dokter, dan di pesawat ada beberapa persedian makanan. Dan anjing si pilot yang setia. Namun sesungguhnya yang mereka punya hanyalah percakapan di antara mereka berdua yang sama sekali orang asing. Mereka harus belajar saling mengenal, saling membantu, dengan harapan mereka bisa selamat dari situasi yang berbahaya tersebut.

Di sana gunung, di sini gunung. Di tengah-tengah ada aku dan kamyuuu

 

Fakta bahwa Winslet dan Elba adalah pemain film yang fantastis membuat kita seketika peduli sama kedua tokoh mereka. Kita pengen liat Alex dan Ben selamat. Dan di atas itu semua, kita pengen jawaban yang sweet terhadap pertanyaan yang mendegup di hati kita; Alex dan Ben bakalan jadi sepasang kekasih gak sih? Film dengan cermat melandaskan betapa kedua orang ini tidak digariskan untuk hidup bersama. Ben sudah beristri, dan Alex, jika enggak nyangkut di gunung, pastilah sudah jadi istri orang. Yang harus digali oleh film ini adalah bagaimana proses mereka menjadi dekat, bukan saja karena mereka harus bekerja sama supaya bisa hidup, juga karena perasaan akrab itu timbul secara lebih personal.

Kate Winslet dan Idris Elba tidak akan menyuguhkan penampilan yang mengecewakan, aku pikir kita semua sudah tahu itu, dan tentu saja kita mengharapkan penampilan yang luar biasa menyakinkan dari mereka berdua. Elba seperti biasanya memang bermain menawan. Tokohnya adalah seorang yang punya masa lalu yang menyakitkan, dan kita dapat merasakan dia begitu terhantui karenanya. Winslet juga bermain dengan segenap hati, namun tokohnya di sini agak sedikit annoying buatku. Alex bukan penampilan terbaiknya. Masalah ini terutama datang dari penulisan, juga arahan yang enggak berhasil menggali apa yang cerita seperti ini perlukan.

Justru, aspek romansa di antara merekalah yang terutama melongsorkan film. Alih-alih mengolahnya dengan menarik, dialog-dialog film ini terdengar cheesy. Pencerminan survival di gunung dengan bertahan di dalam cinta dibuat sangat obvious sehingga tak menarik minat untuk menyimak pembicaraan mereka. Penulisan karakternya lemah, poin poin keputusan mereka dipancing oleh adegan-adegan yang overly melodramatis. Misalnya ketika mereka cari-carian di hutan, Alex teriak-teriak manggil nama Ben, dan kemudian dia jatuh ke dalam air, byuurrr, Ben pun terjun menyelamatkannya. Beneran, menulisnya saja aku sudah nyengir. Tapi adegan itu bukan apa-apa dibandingkan adegan ending film ini. Wuihhh, maha nyengir deh! Aku enggak ingat kapan terakhir kali aku melihat adegan secheesy itu di film Barat. Geli ngeliatnya haha!

 

Film ini sebenarnya punya sinematografi yang cakep. Gunung es dan padang putih itu ditembak dari sudut pandang yang membuat kita lupa narik napas. Sayangnya, keindahan tersebut tidak dibarengi dengan arahan yang unik. Ada perbedaan mendasar antara sinematografi dengan directing, kalian tahu, kadang kita sering bingung apa bedanya; kalo kita melihat film yang cantik, kita sering bertanya-tanya sendiri ini kerjaan sutradaranya atau karena kamera dan pemandangannya yang bagus sih. Well yea, kalo kita bekerja dengan sinematografer yang handal , maka tentu saja mereka akan memberikan hasil gambar yang menakjubkan. Kalo kita motion pemandangan, terang saja hasilnya kece. Nah,  tugas sutradara adalah berkomunikasi dengan juru kamera mengenai pengambilan gambar yang punya energi, yang punya kepentingan yang sesuai dengan film,  yang tujuannya tentu saja supaya film mengalir dengan benar. Supaya pacing dan pengadeganannya menarik. The Mountain Between Us punya gambar-gambar yang jelita, tetapi diarahkan dengan membosankan. Hampir tidak ada visi dari penempatan, ataupun dari flow narasi.

Naik kapal, nabrak gunung es. Naik pesawat, jatuh di gunung salju ckckck

 

Sebagai film survival, juga film ini tidak mampu mencapai keefektifan yang tinggi. Penyelesaian untuk masalah-masalah yang kedua tokoh ini hadapi dalam rangka bertahan hidup tampak sangat convenience; tampak mudah. Mereka nemu pondok kosong, mereka dapat persediaan makan sehingga mereka bisa bertahan tiga hari. Angka tiga tampaknya memang jadi angka keramat di sini, karena kaki Alex yang terkilir dapat sembuh setelah dia berjalan di dalam salju selama tiga hari. Ajaib, memang, film menyuruh kita untuk mempercayai itu. Para tokoh tidak pernah tampak benar-benar takut, mereka memang menyebut ingin hidup, tetapi mereka tidak kelihatan mencemaskan nasib mereka. Perjuangan hidup mereka tidak tertonjolkan. Praktisnya, mereka selalu menemukan apa yang mereka butuhkan. Dan mereka punya anjing yang paling patuh dan paling setia sedunia. Aku gak bisa membayangkan gimana perjuangan si anjing ngikutin sepasang manusia yang penuh drama ini. I mean, buat Alex dan Ben aja salju yang mereka lewati udah setinggi lutut, gimana cara si anjing berjalan ngikutin mereka coba.

Kita enggak bisa yakin kita bakal terdampar sama siapa. Tapi kita bisa memilih; untuk berjuang bersama, untuk mengalami ups-downs bareng, survival dalam cinta adalah soal siapa yang bertahan di sampingmu bahkan ketika situasi menjadi serba-berat.

 

 

 

Sungguh mengecewakan film ini gagal baik sebagai cerita cinta maupun kisah bertahan hidup. Penampilan akting yang baik, tampilan visual yang cantik, tentu saja membuat kita mengharapkan sebuah film yang sama bagusnya. Hanya saja film ini tersandung oleh arahan yang biasa banget. Ada banyak kebetulan, perjuangan para tokoh terlihat dimudahkan. Malahan, film ini menjadi terlalu cheesy untuk dianggap sebagai drama yang serius.
The Palace of Wisdom gives 4 out of 10 gold stars for THE MOUNTAIN BETWEEN US.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?

We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Selvi says:

    Entahlah, ada hal lain dinluar film ini, kita bisa ketemu jodoh dimanapun dalam situasi apapun dan dalam kondisi apapun. Haha eaaaa
    Btw, winslet ko ga menua yaa??

  2. John says:

    Hi brother , gw slalu suka melihat review setiap film elo. Tapi unexpected untuk yg satu ini gw beda ama versi elu. Soal chessy mmg iya gw sependapat tpi chessynya semuanya masih make sense kok, survivalnya keren walau ngk seextrem acara di national geographic, film ini menyenangkan , mnrt gw .endingnya pun terjelaskan dan ngk anti klimaks, gw sering berasumsi smua film itu ngk msuk akal klo gw full make logika gw. Kek quotesnya si Ben .he said Heart is just a muscle right. Dan kata2 itu jdi snjata makan tuan buat dia.
    Gw rasa dalam keadaan minus derajat spt itu . Even sama musuh yg paling lu benci pun bisa jatuh cinta juga lama2 , apalagi ada api unggun pula. Mkin sedapp kan tuh bedua.
    Mana yg lbh cheesy dibanding mereka konflik trs bunuh2 an jadinya malah thriler . Atau tuh anjing berubah jadi zombie karna digigit ama kucing salju. So i mean its beautifful klo point of viewnya ttg romansa dan survivor . Mudah ditebak iya but quiet classy.
    Ps; sorry telat nontonnya. Coment gw basi

    • arya says:

      iya bener, ide ceritanya bagus, make sense orang bisa saling cinta dari tempat dan kondisi yang tak terduga, dan memeprtahankan hubungan juga sama tak terduganya. Arahan lah yang bikin film ini enggak spesial. Adegan penutupnya itu, yang mereka berlari terus pelukan cheesy banget udah kayak comrom 90an. Masak iya pembuatnya gak bisa mikirin adegan yang lebih wajar lagi? Enggak mungkinlah pembuat filmnya cuma mampu mikir dua outcome kayak kita penonton; antara drama atau thriller pake ada zombie. Ada spektrum yang banyak dari drama romansa bertema survival, dan pembuat film ini just mengambil yang paling cheesy, sayangnya.

      mereka menyediakan anjing, mungkin sebagai perumpamaan anak atau sesuatu yang dijaga bersama pasangan, tapi tidak digunakan sebagai penambah bobot atau konflik, malah sebagai fasilitas kemudahan cerita aja. Sama kayak pondok kosong berisi makanan dan hal-hal kemudahan lain yang mereka jumpai. Gimana efek survival, baik survival literal di gunung maupun survival relationship bisa kerasa klao setiap adegan diolah cheesy dan kita enggak melihat mereka benar-benar kesusahan.

      • John says:

        Iya sih terlalu dipermudah ,apa mngkn gw udah ketutup akibat scene yg ditengah yg di dalam kabin itu ya. Jdi berasa flashback nonton titanic lagi. Bedanya kali ini ngk di dalam mobil uap.hahha.. Aniway dr awal hingga akhir spt yg brother bilang, knp ben hrs seorang dokter, kenapa ngk seorang perancang busana aja. unsur ketegangannya kurang dan di akhir mmg berbau drama remaja jaman old bgt. Mngkn krn itu brother ngerasa mual liatnya. Pokoknya gini brother , si kate winslet jgn di kritik pedas ya. Kalo yg lain i dont give a shit. Thx for reply me. Mantraapp

Leave a Reply