AYAT-AYAT CINTA 2 Review

“Real people aren’t perfect.”

 

 

 

Tinggi-tinggi sekolah, ujungnya di dapur juga. Orang jaman dulu begitu tuh pandangannya, cewek gausah belajar pinter-pinter, tahan deh mimpi-mimpi itu, salurkan semuanya untuk jadi ibu rumah tangga yang baik. Istri yang berdedikasi. Tapi ya itu flashback bertahun-tahun yang lalu. Sekarang udah 2017. Pemikiran orang semakin dewasa. Banyak yang sudah berubah. Sembilan tahun yang lalu aja, waktu film Ayat-Ayat Cinta yang pertama keluar, aku masih belum peduli sama film. Apalagi film Indonesia.  Tapi ternyata aku tidak perlu khawatir saat menonton sekuelnya ini. Karena bagi Ayat-Ayat Cinta 2, waktu berjalan di tempat. Kita malah musti sedikit menyejajarkan diri ke belakang untuk dapat menikmati film ini.

Bukan berarti tidak ada yang berubah dalam kehidupan Fahri (ekspresi melotot Fedi Nuril kadang-kadang kocak juga). Sekarang pria ini adalah seorang dosen di Universitas Edinburgh, Skotlandia. Menjadi muslim di sana berarti menjadi minoritas. Fahri harus berurusan dengan pandangan-pandangan menghakimi, kerendahhatiannya tak dipandang oleh orang-orang yang marah atas peristiwa terorisme yang di berbagai belahan dunia. Tetangga Fahri, misalnya, Keira (Chelsea Islan sepertinya dilahirkan dengan dandanan pemain biola, cocok banget) dan adiknya blak-blakan menuding Fahri teroris. Mereka ‘meneror’ mobil Fahri sebagai wujud kebencian. Namun hal ini tidak mengusik si sabar Fahri segede kepergian Aisha menghantuinya. Sang istri diduga menjadi korban pengeboman di Palestina dan sejak itu Fahri gundah dengan kekosongan di hatinya. Kharisma cowok ini membuatnya populer di kalangan cewek-cewek, apalagi mahasiswinya, tapi dia menolak mereka semua.

Di saat film-film kekinian berlomba menulis tokoh wanita yang independen dan punya ‘strength’, film ini membuat tokoh-tokoh wanitanya terlibat dalam semacam kompetisi demi mendapatkan hati Fahri. Bahkan Sabina (Dewi Sandra banyak berekspresi dengan matanya saja), muslimah berkerudung yang ditampung Fahri sebagai asisten rumah tangga, tampak sedikit banyak memendam sesuatu terhadap Fahri. Dan kemudian muncullah Hulya (cowok mana sih yang keberatan kalo Tatjana Saphira yang motong pembicaraan mereka?) yang punya ‘keunggulan’ sebagai sepupu Aisha. Dengan cepat mereka menjadi akrab. So I guess, kita semua kudu penasaran, siapa yang akan dipilih oleh Fahri.

Tatjana dan Chelsea satu film, rahmat mana lagi yang engkau dustakan?

 

Atmosfernya terasa sangat grande, tata musiknya, gambarnya, desain produksi film ini termasuk di level atas. Penampilan aktingnya juga tepat mengenai sasaran nada dan emosi yang ingin disampaikan – kecuali adik cowok si Keira. Duduk di studio, di lautan penonton berambut panjang dan sebagian besar lainnya berhijab (aku paling ganteng dong!), babak set up film ini cukup menarik buatku. Ada beberapa aspek seperti Fahri yang beribadah di dalam kelas sebelum mengajar – enggak di belakang kelas, dia harus banget melakukannya di depan mata semua murid yang berasal dari latar yang berbeda-beda – yang tampak intriguing. Aku juga suka gimana mereka memanfaatkan cadar ke dalam penceritaan.  Namun, lama kelamaan, frekuensi aku menguap dengan mata kering menjadi semakin sering. Sampai ke titik aku tidak tahan melihat Fahri, karena tokoh utama idaman wanita ini begitu membosankan. Dia terlalu jauh dari kita.

Tokoh-tokoh superhero seperti Wonder Woman, mati-matian ditulis sangat grounded agar mereka tampak seperti manusia biasa, diselipkan adegan-adegan kecil yang memanusiawikan mereka, tidak melulu mereka superpower. Thor yang dewa, dibikin jadi konyol dalam Thor: Ragnarok (2017) juga dengan alasan ini; supaya kita relate ke dia. Ayat-Ayat Cinta 2, sebaliknya, punya Fahri yang seorang manusia biasa namun dibuat setinggi mungkin, semulia mungkin, tokoh ini punya kebaikan dan kesabaran kayak Nabi Muhammad sekaligus diceritakan punya ketampanan yang membuat wanita tergila-gila kayak Nabi Yusuf, sempurna sekali. Dia lebih baik dari superhero manapun. Fahri’s thing is he does right things. Sedikit saja kekurangan, mungkin bikin dia miskin atau apa, bisa membuat cerita lebih menarik. Membuat perjalanannya lebih compelling. Satu-satunya cela karakter Fahri di film ini adalah dia nutupin perasaannya sendiri.

Terlalu sempurna adalah kecacatan. Dan hal itu tidak membuat film yang bagus.

 

Benar film ini mengeksplorasi komentar sosial perihal Islam di mata publik; film ini relevan karena menyinggung isu-isu seperti bagaimana kedudukan wanita di mata Islam, bagaimana pandangan Islam terhadap perang dan terorisme. Akan tetapi, seperti yang di-foreshadow oleh salah satu adegannya, film ini tidak mengeksplorasinya lebih dalam. Film tidak menjatuhkan ‘bola’ kesempatan itu. Dia menusuknya dan mengempeskan semua hal-hal menarik yang mestinya dapat dikandung oleh cerita. Rintangan-rintangan yang dialami Fahri selesai dengan gampang, dalam rentang waktu satu adegan sahaja. Fahri punya semua jawaban. Menurutku bagus juga kebaikan dan amal soleh yang dilakukan oleh Fahri yang actually bicara tentang siapa Fahri kepada orang-orang, namun ini membuat dia seperti missing-in-action. Seperti ketika ditanya mahasiswa sok-pinter di kelas, Hulya yang memotong dan menyelesaikan jawaban. Pada sekuen adegan debat ilmiah yang dengan cepat menjadi personal, Fahri sama sekali gak membela diri, seorang nenek yang eventually stand up for him, membuatku kepikiran mungkin sebaiknya film ini mengganti tokoh utamanya.

Ketika mengadaptasi novel menjadi film, keputusan kreatif sepenuhnya di tangan pembuat film. Akan selalu ada tuntutan untuk setia dan sesama mungkin dengan novel sumbernya, namun pada dasarnya film berbeda dengan novel. Ada aturan-aturan penulisan screenplay; ada kewajiban untuk menjadikan film sebagai perjalanan tokoh. Tokoh kita harus engage penonton. Perubahan-perubahan kreatif demi alasan tersebut, hukumnya wajib untuk dilakukan. Katakanlah karena terlalu sempurna – sedangkan tokoh utama yang menarik adalah yang sedikit ‘bengkok’, Fahri enggak mesti jadi tokoh utama. Cerita bisa ditranslasi ke dalam sudut pandang tokoh lain. Keira bisa menjadi tokoh utama yang menarik di cerita ini – jika mereka mau mengubah arcnya sedikit. Atau Sabina. Aku gak mau spoiler banyak, but I tell you this: perhatikan tokoh ini baik-baik.

Asal jangan Hulya sih. Maksudku, tokoh ini karakternya apa sih? Apa yang ia lakukan, apa motivasi terdalamnya? Hulya adalah wanita yang pintar. Dia cukup mandiri. Tapi dia cuma ngikutin ke mana Fahri pergi. That’s it. Itulah karakter Hulya. Dia muncul gitu aja, dan undur diri dalam sirkumstansi yang random banget. Mereka harusnya bisa mengonstruksi konfrontasi final dengan lebih baik, di set up dengan lebih perhatian, tapi enggak. Bagian itu terjadi di suatu rest area pom bensin. Kebetulan yang mencengangkan, mukjizat,  pemirsa!

Perbuatan baik dapat pahala, perbuatan jahat bakal dikasih Fahri piala

 

 

Film ini ‘malas’ seperti itu. Sungguh ironis lantaran film ini lewat salah satu dialognya yang bukan eksposisi menasehati kita dengan  “Niat baik tanpa effort, dapat merusak hasil.” Dan turns out, film ini adalah perwujudan dari kalimat tersebut. Naskah film pada ujungnya hanya mengerucut menjadi drama-drama romansa yang over–the-top. Emosinya begitu melodramatis. Contoh simpel film ini favoring ke dramatis yang sintesis adalah mereka membuat adegan seorang ustadz yang berjalan dengan slow motion di dalam mesjid. Dibuat mendekat perlahan supaya tampak intens. I mean, natural aja di mesjid kan memang jalannya pelan-pelan, dan untuk membuat si ustadz tampak marah, mereka malah memelankan lagi yang udah pelan itu.  It really takes away the moment, karena padahal kalo mau bikin adegan yang ngekonflik  ya sekalian bikin ustadznya setengah berlari geram menuju Fahri.

Aku gak bisa menyimpulkan arc tokoh Fahri. Apa yang ia pelajari dari kejadian-kejadian penuh twist yang terjadi padanya. Aku semula mengira ini adalah soal Fahri yang belajar bahwa terlalu sempurna itu enggak baik, dia harus jujur pada diri sendiri.  Bahwa  tidak ada orang-orang nyata yang sempurna. Tapi enggak. Di akhir hari, film ini bicara tentang betapa pentingnya penampilan fisik. Mestinya cinta itu karena hati – cantik jelek tidak jadi soal. Di sini, kita punya seorang wanita yang merasa sudha begitu rusak physically, dia bersembunyi dari suaminya, dan dia setuju untuk berubah – out of insecurity – dan demi menyenangkan orang lain. Buatku it  just feels so wrong.

Dan ya, aku setuju dengan kalian yang menyebut ending film ini menggelikan. Ini adalah momen penting pada film. Banyak tokoh yang hidupnya berubah karena proses setelah ending tersebut. Tapi ketika kita melihat ke belakang, film ini bertempat di Britania Raya alasannya bukan lagi karena di sana adalah tempat dengan kebudayaan yang beragam, dengan perbedaan yang meriah. Melainkan agar aspek operasi di akhir cerita jadi mungkin untuk terjadi. Dan ini benar-benar menurunkan nilai dan kepentingan film.

Melihat Fahri yang begitu tinggi menjunjung toleransi, takpelak mengundang buah pemikiran; benarkah kita harus menoleransi yang tidak toleran? Jika dipikir-pikir, toleransi adalah sebuah paradoks. Katakanlah jika di bulan puasa kita menghormati yang tidak berpuasa – warung bebas dibuka, orang-orang tetap makan minum di jalan, maka di mana jadinya letak toleransi terhadap yang lagu berpuasa? Karl Popper, seorang filosofis, bilang ketika kita extend toleransi shingga ornag-orang bisa openly intolerance, maka yang toleran akan hilang bersama dengan sikap toleransi itu. Kesimpulannya adalah kebablasan toleransi akan membunuh sikap itu sendiri, dan guna mempertahankan toleransi kita butuh untuk enggak toleran terhadap yang gak-toleran.

 

 

 

Fahri bilang kita kadang harus mundur sedikit untuk dapat melompat lebih lanjut. Tapi film ini mengambil kemunduran yang terlalu jauh, dan akhirnya jatuh. Ini adalah film yang bagus jika ditonton di jaman Siti Nurbaya masih disuruh kawin. Dibawa ke jaman kekinian, generasi now, tokoh-tokoh film ini sangat outdated. Isu kekiniannya ditinggalkan begitu saja demi drama dan romansa yang digali berlebih-lebihan. Bicara tentang putting women in pedestal, namun twist film ini mendorong jatuh para wanita itu dari pedestalnya dalam setiap kesempatan. Tapinya lagi, mungkin kita memang masih berada di jaman jahiliyah sehingga masih bisa terbuai oleh ayat-ayat drama seperti ini.
The Palace of Wisdom gives 1 gold star out of 10 for AYAT-AYAT CINTA 2

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Comments

  1. zapufaa says:

    Gapaham sih imi reviewnya yang kerem cara penulisannya atau filmnya yang emng asli bikin penasaran hahaha. Film ini bener bener sempurna, ketika fedi nuril, chelsea islan dan tatjana dijadikan satu dalam layar :”)
    Anyway terima kasih kaak reviewnya! Jadi nggak perlu mikir lagi buat nonton sendiri haha

  2. Aaron says:

    film md entah kenapa selalu mengecewakan dalam hal penulisan naskah dan memilih menonjolkan aspek-aspek kurang penting. Style over substance.

    • arya says:

      zona nyaman mereka memang udah di style itu sih, jadi susah sendiri mau maju. padahal dengan fans base mereka udah kuat, selalu banyak yang nonton, udah saatnya md naikin kualitas

  3. Alexandra Lee says:

    Me too, i like this review and at the same time i approve it. Saya baru aja ngeliat filmnya, and begitu nonton jadi agak kecewa karna aku ngerasa blind feels.. ngga ada feelsnya. Konfliknya so flat, kurang bisa memacu adrenalin. Ada scene yg kesannya jump up terlalu jauh, jadi jalan cerita nya jadi ada holenya.. Or maybe my opinion is too subjective because i have finished reading the novel.. 😀

    • arya says:

      sekalinya ada konflik dikit, eh langsung beres karena duit dan kebaikan Fahri.

      Aku penasaran, kalo di novel sama persis gak sih kejadian-kejadiannya?

  4. Anggi says:

    This is my first time hopping onto your blog and your review is just so great! I love it! #salfokbukankefilmnya haha. Salam kenal anyway!a

  5. Jia says:

    Hi there~
    thanks bgt udah bikin review ini hahaha, dari trailernya sih emang agak meragukan ya, i’m not judging but… film ini sepertinya kurang research.. dan rada gak masuk akal. karakter fahri yang seperti nabi terlalu mustahil di dunia nyata..
    padahal dari segi sinematografi dan pemilihan tempat pada oke oke bgt. huft
    thanks for made this review anyway!
    Salam kenal^^

  6. Sarah Aina says:

    Assalamu’alaikum Wr Wb

    Salam kenal, saya suka baca review film2 di blog ini, menarik & ngasih sudut pandang yg berbeda,,hehe..makanya begitu tau AAC2 dapet nilai cuma 1 dari blog ini jadi sedih juga bacanya >.<

    memang klo dibandingkan dgn novelnya, dgn deretan artis papan atas dan soundtrack yg sangat mewakili karakter tokoh2nya, eksekusi film ini bisa dibilang cukup mengecewakan para penggemar kisah2 dari Kang Abik. Cerita yang ditampilkan versi filmnya hanya mengambil inti-intinya saja sementara latar belakang dr alasan2 kenapa adegan itu ada krg banyak ditampilkan di film ini jadi bisa bikin penonton kebingungan knapa tiba2 Keira minta dinikahin Fahri dan ada adegan operasi plastik di endingnya yg secara detail disampaikan dgn apik melalui novelnya. Sehingga saya pribadi krg setuju dgn pendapat pengambilan tempat di Britania Raya semata-mata utk mendukung adegan tsb.

    Selain itu sosok Fahri yg terlalu sempurna memang rasanya tdk mungkin di tengah2 kehidupan saat ini, tpi hal itu terjawab dgn jawaban Fedi Nuril sang pemeran Fahri melalui IG dan Twitterny, karena pada dasarnya sosok2 sempurna tsb sebenarnya pernah ada di dunia ini melalui sosok para sahabat Rasul dan saat ini pun masih ada meskipun jumlahnya sangat langka dan hanya org2 tertentu yg diberi kesempatan utk bertemu dgn keteladan seperti itu.

    Kekurangan Fahri juga disampaikan pada novelnya dengan banyaknya konfilk bathin yg dialami oleh sang tokoh, termasuk ketika bertemu langsung dgn Sabina yg memilik banyak kemiripan dgn istrinya yang hilang. Sayangnya konflik bathin itu krg ditampilkan dlm film sehingga ceritanya terkesan tdk masuk akal dan mengada-ada yg mengakibatkan pesan-pesan dan nilai2 moralnya krg tersampaikan.

    Maaf ya jadi kepanjangan..hehehe..

    • arya says:

      Wa’alaikummusalam wr wb

      Salam kenal jugaa.
      Sebenarnya aku gak punya masalah dengan kesempurnaan tokoh Fahri, penokohan tentu saja terserah kreatifitas empunya cerita. Tapi penulisan untuk film juga ada aturan sendiri; tokoh utama harus banyak konflik, banyak ngambil keputusan, banyak aksi, dsb supaya menarik. Aku belum baca novelnya, namun dari nontonnya aku bisa melihat film ini diadaptasi mentah mentah dari novel, dan ini terconfirm oleh komen Mbak Sarah.

      Ayat Ayat Cinta 2 sepertinya adalah materi yang kompleks, tapi diadaptasi gitu aja tanpa ada penyesuaian lebih dalam ke penulisan film. Jadinya ya datar, banyak hal-hal yang jatohnya ‘aneh’ oleh penonton film. Aku gak tau, mungkin biar pembaca gak protes kalo dibikin beda apa gimana, tapi mestinya gak dosa kok kalo film adaptasi novel ngambil tokoh utama yang beda dari tokoh utama novel, ngerubah yang dirasa perlu – supaya lebih sesuai dan menarik sama aspek perjalanan naskah film.

  7. Dans says:

    aku setuju banget sama review ini, menurutku bener2 objektif.

    aku baru banget nonton dan emang kecewa walau mungkin aku ga ngerti dunia pefilman, tapi aku bener2 gak dapet feel nya..
    padahal aku kagum sama sosok aisyah disini yng strong banget, tpi ceritanya bener2 apa ya.. gak paham, tapi bisa dibilang ya gak bagus jadinya,
    aku juga ngerasa kalo Hulya disini flirt abis, jadi ilfil gitu,
    dan lebih gasuka lagi sama eendingnya yang menghilangkan salah satu tokoh untuk happy ending, which is sama kayak di aac1..
    walau emang, aku sih berharapnya fahri cuma sama aisyah doang, tapi jalan ceritanya gitu :”
    dan bagian yang tentang debat, itu kayak sidang deh bukaan debat wkwkkw.
    i mean, debatnya ga berisi dan cuma sekali doang..
    hmm:(
    semua konflik yang ada terselesaikan begitu cepat.
    aku juga kecewa sama endingnya yang wajah aisyah diganti wajah hulya, bisa gak ya fahri tetep inget itu aisyah bukan hulya? atau sebaliknya?
    gatau, tapi aku gak puas banget,
    maaf kalo komentarku mungkin ga enakin, tapi aku lagi jujur banget dari hati :”

    • arya says:

      Anaknya ntar jadi gimana tu ya kalo udah gede.. bisa mengundang fitnah juga ‘kok anaknya gak mirip ibunya?” apa sekalian dirahasiain soal ganti wajah mumpung Aisha berhijab yang wajahnya gak kelihatan? hahaha pelik memang jadinya masalah wajah itu.

      AAC yang pertama ceritanya ada tokoh yang dimatiin/diilangin juga? Aku belum nonton sih filmnya hhehe

      Hulya yang paling lemah karakternya, purpose hidupnya sepertinya memang cuma buat nikah sama Fahri, ngeflirt trus abis nikah dia dimatiin sama cerita.

      Film ini kayak anekdot lucu tentang cewek yang nyukur alis, hanya untuk digambar lagi; ada Aisha, yang dibikin rusak wajahnya, hanya untuk ‘digambar’ lagi dengan wajah baru xD

  8. cinta says:

    Kalau kritik itu dari keseluruhan aspek. Kalau cuman dari satu aspek terus kesimpulannya jd buruk, itu adalah ekspektasi yang terlalu tinggi tapi ketika melihat filmnya tidak memenuhi ekspektasinya. Kalau menurut saya filmnya sudah cukup bagus, meskipun ada beberapa part yang masih miss, tp mas Guntur lebih soft pembawaannya ketimbang yg sebelumnya.

    • arya says:

      bener, setuju.. makanya reviewku suka kepanjangan demi memuat banyak aspek penilaian, semoga gak ada poin yang enggak ketinggalan sama pembaca. Kita harus melihat film sebagaimana kita melihat dunia; sebagaimana mestinya. Kan tujuannya supaya lebih baik. Ayat Ayat Cinta 2 ini punya pesan yang bagus tapi tidak diterjemahkan dengan baik ke dalam bahasa film; masih cari aman dan ‘malas’ mengeksplorasi hal menarik lain yang dikandung materi ceritanya.

      • cinta says:

        Yang aku gak terima kenapa hanya punya 1 poin. Sedangkan aku lihat poin untuk film2 lain lebih tinggi yg aku rada secara penceritaan dan keseluruhan aac2 lebih bagus ketimbang film lain tsb. Thanks.

        • arya says:

          haha iyaa, first of all, seobjektif apapun kelihatannya, review tetap hanyalah pendapat satu orang. jadi ya wajar beda-beda. Dan film yang bisa membagi penonton kayak gini justru bagus.

          Jadi, buatku AAC 2 tidak bisa dimasukin bareng kelompok nilai yang lebih tinggi. Penilaianku; aku melihat tokoh utamanya gak punya plot (dia gak berubah banyak dari awal hingga akhir cerita) – dan di gradeku film-film yang tokoh utamanya begini dikelompokkan di posisi yang tak lebih dari bintang 5. Jadi nilai paling tinggi yang bisa kuberi buat AAC 2 sebenarnya adalah 5/10. Kemudian tentu saja dilihat dari aspek-aspek lain pun, nilai AAC 2 terus berkurang, di antaranya karena terlalu banyak kebetulan, tokoh pendukung kayak Hulya yang tidak dikembangkan, dan beberapa lagi yang kubahas di tubuh ulasan. Penyelamatnya adalah aspek produksi

  9. yusup ahmad says:

    Ini film paling bagus yang saya tonton dan butuh iman yang kuat untuk menontonnnyavsampai akhir.bagian klimaksnya adalah ketika keira meminta kawin sama fahri.dan keira mengatakan itu di hadapan fahri dan istrinya hulya(penulis ceritanya begitu jenius dan mengerti hati wanita) dan fahri menolaknya dengan kata2 yang akan bikin semua wanita termehek2(he is so stupid)saya tak tahu apa harus terharu nangis atau muntah.semoga tak ada aac 3

Leave a Reply