LADY BIRD Review

Familiarity is the root of the closest friendships, as well as the intensest hatreds

 

 

Dikasih nama sama orangtua, ngikut aje. Giliran ke Tuhan, sok-sok gak percaye. Hueeee. Begitu kira-kira cibiran Christine kalo dia jadi orang betawi. Tapi Christine McPherson ini anak Sacramento, dia juga adalah anak yang menentang orangtua, terutama ibunya. Jadi dia melakukan ‘perlawanan’. Dia harus keterima kuliah di luar kota sehingga begitu lulus dari SMA Katoliknya, dia bisa sesegera mungkin meninggalkan kampung halaman yang udah bikin dia gerah secara batin. Dia ingin jauh dari orangtua. Dia ingin mandiri. Dia ingin jadi bagian dari tempat yang berbudaya. Dan sebagaimana yang selalu cewek berambut merah ini ingatkan kepada kerabat, sahabat, dan semua orang yang berada di dekatnya, panggil dia dengan nama Lady Bird. “Itu namaku!”

Jika diibaratkan, memang film ini adalah salah satu dari banyak telur-telur di dalam keranjang yang bertuliskan “Perjalanan remaja mencari atensi dan jati diri”. Namun ketika menetas, Lady Bird bukan saja burung yang punya warna paling unik, dia juga lebih besar dan berkicau paling vokal di antara yang lain. Ini bukan sekedar tentang seorang remaja cewek yang ‘berkelana’ di hari-hari akhir sekolahnya, dia dapat pacar, dia akhirnya fit in dengan teman-teman yang lebih populer, dan eventually dia ‘terbang’ mengalami banyak hal hebat yang belum pernah ia tahu. Sebagai cerita coming-of-age, Lady Bird tentunya juga menempuh poin-poin tersebut. Dia sempat deket dengan beberapa cowok, namun fokus cerita bukanlah soal pacaran.

Lady Bird adalah kisah ‘romansa’ antara ibu dengan anak perempuannya. Dan ini juga berbeda dari kebanyakan. Mereka enggak terjebak roadtrip bareng. Ini bukan soal mereka jarang ketemu, ataupun soal kegagalan berkomunikasi seperti Susah Sinyal (2017). Lady Bird pastinya enggak diam-diam menjadikan ibunya sebagai suri tauladan, sebab mereka berdua begitu berbeda dengan dahsyatnya. Anak dan ibu ini benar-benar bertolak belakang, bayangkan dua sisi mata uang, mereka saling pasif agresif. Keunikan film ini datang dari bagaimana Lady Bird membuat hidup ibunya susah dan begitu juga sebaliknya. Di adegan pembuka, Lady Bird meloncat turun dari mobil yang sedang berjalan gitu aja (!), di tengah-tengah adu mulut dengan ibu. Kita tahu seberapa besar mereka love each other sesungguhnya, namun mereka mengekspresikannya dengan cara yang berbeda. Film ini sangat menyenangkan untuk ditonton, aku ngakak ketika adegan Lady Bird nyobain baju di kamar pas, dan dia minta pendapat ke sang ibu – she needs her opinions so much – tapi Ibunya dengan sengaja berikan saran dengan menyindir-nyindir. Dan ujung-ujungnya mereka berantem lagi. Kejadian-kejadian semacam itu juga benar-benar berdering kenyataan buatku, karena aku punya adek cewek yang kerjaannya berantem melulu sama Mama, persis seperti tokoh film ini.

“I miss you but I hate you, Mo-theeeer~”

 

Cerita ini pastilah juga sangat personal buat pembuatnya. Aktris yang kini duduk di kursi sutradara, Greta Gerwig, mati-matian berusaha membuat setiap adegan film ini well-realized. Lady Bird yang adalah debutnya terbang solo sebagai sutradara bisa jadi adalah kisah hidup diri Gerwig sendiri, karena kita bisa merasakan betapa passionate film ini digarap. Tidak ada poin lemah di jajaran penampil. Semua pemain tampil enggak dibuat-buat. Gerwig menghormati setiap tokoh sampai ke karakter yang paling minor sekalipun. Saoirse Ronan luar biasa manusiawi di film ini. Lady Bird tak pelak adalah penampilan terbaiknya, emosi-emosi yang dia sampaikan terasa kayak beneran. Langkah, keputusan, bahkan bohong-bohong pencitraan yang dia lakukan tampak natural dan kita paham alasan di baliknya. Arahan film ini sukses berat menyeimbangkan antara momen-momen canggung dengan momen-momen yang serius. Ada banyak adegan yang bikin kita nyengir menonton si Lady Bird, tapi bukan karena kita merasa dia sangat pretentious, melainkan karena kita sedikit banyaknya ikut berefleksi pernah mengalami hal serupa.

Yang bikin penasaran adalah dialog-dialognya. Percakapan mereka enggak kayak pake naskah, seperti dimprovisasi gitu aja. Menyimak para tokoh berbincang, beradu argument, melihat mereka berinteraksi, membuat kita pengen ikutan nimbrung. Aku ingin berteman dengan mereka, aku totally ter-invest sama apa yang terjadi, aku benar-benar dibuat peduli. Kita akan lupa kalo yang kita saksikan selama 93 menit ini adalah sebuah film. Dan inilah satu-satunya kekurangan film ini; kurang panjang. Kita pengen melihat apa yang selanjutnya terjadi pada mereka semua. Rasanya sedikit sedih ketika film berakhir, seperti berpisah dengan orang yang sudah deket. Begitulah bukti betapa menakjubkannya Gerwig menyetir narasi, cara berceritanya benar-benar membawa kita hanyut.

Meskipun kedengarannya aneh, banyak dari kita yang merasakan kebencian terhadap orang yang kita sayangi. Semakin sayang, tuh orang justru semakin nyebelin.  Kadang secara tanpa sadar, kita melakukan itu demi mencari perhatian. Cinta dan benci actually bukanlah hal yang berlawanan, makanya kita sering mendengar ungkapan “benci lama-lama jadi cinta” ataupun “jangan terlalu cinta, nanti malah jadi benci”. Kedua hal tersebut adalah perwujudan berbeda dari perasaan yang sama. Actually adalah affection yang sama yang kita rasakan ketika kita ingin berteman dengan seseorang – kita bohong dengan harapan mereka lebih menyukai kita. Hidup memang canggung dan ‘lucu’ seperti itu.

Lady Bird paling malu kalo ketahuan sama teman-teman sekolah dia bukan anak gedongan

 

 

Hal yang menarik dari cara bercerita film ini adalah konstruksi per adegan yang dilakukan oleh Gerwig. Dalam penulisan screenplay toh tidak ada peraturan baku mengenai keharusan memulai adegan. Namun memang kebanyakan lebih suka membuat adegan yang runut, seperti tokoh masuk ruangan, mulai ngobrol dengan tokoh lain, percakapan mereka memanas, dan ditutup dengan punchline ataupun momen dramatis – kebanyakan adegan dibangun dengan permulaan, untuk kemudian terus menuntun penonton ke poin penting yang ingin disampaikan. Kadang kita bisa menghabiskan banyak waktu untuk mikirin memulai adegan dari mana, you know, supaya penonton tertarik dan penasaran. Film Lady Bird enggak pusing-pusing mikirin permulaan adegan-adegannya. Gerwig membuat sebagian besar adegan film ini tidak punya permulaan. Kita dilempar begitu saja ke tengah percakapan para tokoh. Sering kita masuk ke satu adegan dan tokoh-tokohnya sedang melakukan atau berbicara seru tentang sesuatu. Menyerahkan kepada kita sepennuhnya untuk melakukan observasi, dan dengan melakukannya bukan saja kita jadi mengerti, tapi kita juga merasa ter-include ke dalam setiap adegan. Inilah salah satu yang menyebabkan kenapa Lady Bird terasa begitu nyata.

Semua klise genre berhasil dihindari oleh Lady Bird. Sekolah Katolik tempat tokoh utama kita menimba ilmu tidak pernah ditonjolkan sebagai tempat yang mengekang. Sekolah dan segala peraturannya bukanlah sangkar bagi film ini. Melainkan hanyalah sebuah fase, sebuah urusan yang harus diselesaikan. Tentu saja ada banyak rintangan yang menghalangi tokoh kita untuk berkembang menjadi pribadi yang ia inginkan, tetapi film tidak menyorot sekolah ini dalam cahaya yang negatif. Film tidak menyuruh kita menjauhi sekolah agama. Film hanya menunjukkan momen-momen yang kita hadapi kalo kita berada dalam situasi Lady Bird.

Kita mungkin tidak pernah mengecat rambut menjadi pink ketika remaja, namun apa yang dialami Lady Bird bukan tidak mungkin pernah kita semua alami. Kita mengantagoniskan orang-orang, pihak-pihak, karena kita sendiri belum yakin siapa dan mau jadi apa kita. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu membangun citra, kita mencegah orang-orang untuk melihat siapa sebenarnya diri kita, seperti apa keluarga kita, sampai-sampai kita sendiri tidak lagi bisa benar-benar melihat yang sebenarnya.

 

 

 

 

Film menggambarkan semua yang mungkin kita alami saat beranjak dewasa dengan so refreshingly real. Dan bukan hanya yang senang-senang saja yang diperlihatkan. Perjalanan beranjak dewasa tak pernah mudah. Arahan Gerwig yang raw banget – para aktor bermain dengan sangat genuine – membuat film terasa sangat personal, sehingga membuat kita-kita yang mungkin pernah meninggalkan sarang, menjadi teringat dan ingin kembali ke tempat kita memulai langkah.
The Palace of Wisdom gives 9 out of 10 gold stars for LADY BIRD.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Zainal A (@zenzonk) says:

    “Kita akan lupa kalo yang kita saksikan selama 93 menit ini adalah sebuah film. Dan inilah satu-satunya kekurangan film ini; kurang panjang. Kita pengen melihat apa yang selanjutnya terjadi pada mereka semua. Rasanya sedikit sedih ketika film berakhir, seperti berpisah dengan orang yang sudah deket.”—–sama ketika membaca review mas Arya, sy sedih (reviewnya masih kurang puanjang), masih ingin membacanya. Terpaksa baca pelan supaya gak cepat habis..hahaha–

    ..beneran 9/10? gak terbawa euforia filmnya kan? hahaha..
    maksudnya gak nyangka aja sih.

    sy mau nonton dgn listening sih, tapi terlalu “cemas” melewatkan setiap detail moment film ini tanpa dukungan pemahaman yg jelas (sub).

    • arya says:

      Pake headphone, nontonnya udah kayak ujian toefl ahahaha.

      Bener deh ciyus, sekali ini aku setuju sama hype filmnya. Feel menyenangkannya sama kayak tahun lalu aku nonton Your Name (juga kukasih 9).

      Hubungannya Lady Bird ama temen-temennya memang gak kuceritain sih, padahal penting juga, tapi kalo dibahas jadi ngurangin kenikmatan nonton

  2. Hadi says:

    Yup, setuju sekali sama mas arya. Give standing ovation juga kepada Laurie metcalf Yang bener2 keren meranin karakter yang super unik abis. Saya pribadi gk tau deh kalo punya orang tua macam gitu, kebayang pasti cekcok mulu setiap hari macam Lady bird. Calon aktris terbaik tahun ini, paling saingannya gk bakal jauh dari Octavia spencer…

    film ini benar2 memukau saya sama halnya The perks of being a wallflower

    • arya says:

      Rumah udah kayak medan perang, adik cewekku sama ibu dulu persis kayak gini. Lagi sisiran aja bisa ujug-ujug ribut, karena gaya rambut disindir atau apalah, bahan ‘berantemnya’ pun bisa terbang sampai ke mana-mana. dan seluruh penghuni rumah dijamin kena getahnya ahahaha..

      Selalu suka klao film bisa dengan tepat gambarin kejadian-kejadian nyata hubungan antarmanusia seperti film ini.

  3. eMKa says:

    Entah kenapa aku kurang ngena nonton film ini, padahal ada yg bilang ini film coming-of-age terbaik yg pernah dibuat. Tapi aku lebih bisa menikmati film coming-of-age tahun kemaren Everybody Wants Some (2016), dan kalau ditanya film coming-of-age terbaik, jawaban ku sampai sekarang masih Boyhood (2014).

    Just my opinion ☺

    • arya says:

      haha iya, itu identitas filmnya.
      Setiap film punya identitas.
      Kita juga harus punya identitas sendiri-sendiri dong, jangan niruin identitas orang 😀

  4. Agung says:

    Let’s be honest here, 2017 was the year of A24! Belum selesai dibuat kagum dengan Brooklyn Prince di The Florida Project dengan aktingnya yang sangat natural, di akhir tahun kemarin Saoirse Ronan tampil sangat memukai dalam Lady Bird. Boleh dikata Lady Bird nantinya dapat dengan percaya diri berjalan di karpet merah dengan nominasi Best Supporting Actress, Best Actress, Best Directing, Best Original Screenplay, dan Best Picture. Ane dari kemarin memang sudah suka lihat Irish-Galway girl ini setelah menyaksikannya di Atonement, The Grand Budapest Hotel dan Brooklyn, tapi di Lady Bird ini, Ronan sangat pantas disejajarkan dengan aktris senior Frances Mcdormand (Three Billboards Outside Ebbing, Missouri) untuk nominasi Best Actress tahun ini, she’s flawless in this one! Setelah nonton ini, dalam batin berkata, “Ternyata menjadi seorang perempuan seribet itu yah?” It’s unlike any other coming-of-age movies. Fun fact, Ronan’s still 23, yet she’s already nominated three times (two for leading role and one for supporting role) in Academy Awards, will she take the same path as the “Highly Overrated” Meryl Streep? We’ll see. Overall 9/10

      • Agung says:

        Semoga, tapi gak bisa tutup mata sih, Best Actreess mungkin akan digaet kepada Frances Dormand, she’s in another level in Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. Weel, seenggaknya bisa lihat dia di karpet merah lagi, demen banget lihat dia soalnya

        • arya says:

          Dormand memang kuat banget, tapi toh setiap award punya ‘agenda’ masing-masing, kali aja Oscar ‘agenda’nya tahun ini sejalan ama Ronan hhihi

  5. nael says:

    Saya sangat menikmati film ini. Cerita, adegan dan dialog nya jujur sekali. Kbetulan saya seorang Katolik yang menghabiskan masa sekolah juga di sekolah Katolik. Sehingga bisa sangat relate dengan sudut sudut pandang yang dikisahkan di film Lady Bird.

    Karakter Lady Bird bisa dibilang tipikal ABG, tetapi dibawakan cukup realistis. Tema cerita juga sebenarnya sederhana dan biasa, coming of age, sudah banyak film-film lain dengan tema seperti ini. Yang seru dan menjadi unsur pembeda film ini adalah banyaknya ‘twist n turn’ yg tidak terduga selama runtime 93 menit. Membuat film ini tetap menarik dari awal hingga habis dan memberikan pengalaman menonton yang memuaskan. Banyak emosi yang timbul selama nonton, terutama membuat penonton jadi rooting for si Lady Bird.

    Lewat film ini juga saya jadi nostalgia dengan lagu ‘Crash Into Me’ nya Dave Matthews Band hahaha.

    • arya says:

      wah relatable banget dong ya film ini buat kamu

      iya, bahkan twist and turn nya juga sederhana tapi ngena banget ke kehidupan remaja. Aku suka gimana Lady Bird akhirnya menyadari yang ia antagoniskan, sekolahnya, teman-teman populernya, dan ibunya, ternyata enggak seyang dia pikirkan – justru dia yang ‘jahat’ ama mereka

      • nael says:

        yup, jadi pas memang dengan endingnya. dikasi open ending. lady bird sudah dapat yang dia inginkan, lalu bagaimana? entah apa yg akan dia lakukan selanjutnya karena di scene terakhir juga raut nya tampak belum puas/bahagia dan masih penuh kegalauan. Ada 1 tanda bahwa dia akan memulai perjalanan nya menjadi dewasa, yaitu dah pakai nama aslinya, Christine.

        • arya says:

          bener, itu momen karakter yang kuat banget ketika dia akhirnya menanggalkan Lady Bird, di mana dia sudah sadar dan menerima kebahagiaan maupun kegalauannya itu enggak sepenuhnya datang dari luar

Leave a Reply