THREE BILLBOARDS OUTSIDE EBBING, MISSOURI Review

“There was never an angry man that thought his anger unjust”

 

 

Mau keluh kesah, masalah, atau jeritan minta tolongmu didengar banyak orang? Gampang. Iklanin aja. Pasang gede-gede di papan reklame. Dijamin efektif. Bahkan jika tempatmu memasang reklame jarang dilewati orang. Tiga papan iklan di pinggir jalan perbatasan kota Ebbing, Missouri yang dipasang oleh Mildred Hayes, seorang ibu yang tampaknya have seen better days, sukses mengguncang kota kecil mereka. Akan ada banyak orang yang terpengaruh, yang berubah hidupnya oleh papan-papan merah yang  bertuliskan kalimat-kalimat simpel berwarna hitam. Pemandangan kontras ini mewarnai para penduduk. Ada yang setuju dan mendukung Mildred; membantu wanita itu membayar biaya pemasangan yang enggak kecil. Ada juga yang menganggap pesan yang dipajang tersebut sebagai kalimat yang enggak pantas, bahwa Mildred yang gak pernah senyum dan kasar itu hanya menyebarkan kebencian. Ngomong-ngomong, apa sih bunyi ketiga papan iklan Mildred? Sini kuberitahu:

“Sekarat-sekarat diperkosa.”

“Tapi belum ada yang ditangkep.”

“Tanya kenapa, Pak Polisi Willoughby?”

kenapa pas kutranslate bunyinya jadi kayak headline koran Lampu Merah ya?

 

Mildred tentu saja mengacu kepada kasus pemerkosaan yang menghilangkan nyawa putri remajanya. Kasus yang udah setengah tahun ditangani oleh Kepolisian Ebbing, namun tak kunjung mendapat titik terang. Mildred malah merasa kasusnya ‘dicuekin’ gitu aja, enggak ada progres yang memuaskan. Jadi, dia memasang reklame blak-blakan tersebut demi menegur kepala polisi. Mengingatkan juga kepada penduduk lain bahwasanya keadilan belum lagi ditegakkan. Pelakunya masih di luar sana, entah siapa. Tentu saja ada prasangka; apakah polisi sengaja menutupi kasus, apakah ada pihak yang mereka lindungi, atau apakah mereka bener-bener gak kompeten kayak polisi bernama Jason Dixon yang kerjanya mabok? Sesungguhnya semua itu turut menjadi bahan bakar kemarahan Mildred. Dia menuntut keadilan, dan sekarang setelah begitu lama diacuhkan, dia bertekad untuk memastikan dengan tenaganya sendiri keadilan itu ditegakkan.

Ketika dihadapkan pada sebuah tragedi, sekelompok orang akan mengalami reaksi yang beragam. Lebih sering daripada enggak, masyrakat akan mencoba untuk melupakannya. Just move on. Namun saat tragedi tersebut diingatkan kembali, dengan paksa, seperti selancang yang dilakukan Mildred, ‘zona nyaman’ tersebut terguncang. Sebab kita lebih suka untuk melupakan, terlebih jika tidak menyangkut diri kita. Film ini mengeksplorasi dengan hebat masalah yang timbul saat kenyamanan publik, persetujuan untuk melupakan itu diganggu oleh seorang yang masih membiarkan api itu menyala. Ini adalah potret sebuah api yang dilawan dengan api.

 

Judul yang ribet dan terlalu panjang bisa saja diniatkan sebagai isyarat betapa unik dan ‘mengganggunya’ film ini. Tidak ada yang menetramkan telinga dalam cerita ini. Film ini menyelami sisi gelap manusia; yakni KEMARAHAN. Tapi tidak lantas menjadi depressing ataupun karena banyak terdapat humor-humor kelam terkandung di dalam penceritaannya. Bukan hanya tokoh utama, penduduk film ini semuanya akan mengejutkan hati kita yang damai dengan perkataan dan perbuatan yang tanpa tedeng aling-aling, tanpa sensor. Sesungguhnya ini adalah langkah yang nekat dan cerdas. Kalian tahu, menggunakan tokoh cerita untuk menyampaikan candaan yang kasar, namun actually mempunyai makna. Sutradara Martin McDonagh menyinggung isu-isu relevan yang tidak berani dibicarakan orang; tentang menyebar kebencian, tentang memandang rendah aparat, media, akan ada banyak momen yang bikin kita nyengir-ga-enak. Dan setelah itu kita bakal mikirin apa yang barus saja kita saksikan,  dan kemudian kita tersadar bahwa yang barusan tadi adalah sindiran yang halus, yang dimainkan dengan cantik.

marah sih, tapi berani sebut merek?

 

Kita tidak bisa menebak apa yang terjadi sepanjang film ini. Percayalah, aku mencobanya. Tapi setelah adegan interogasi antara Mildred dengan Willoughby yang benar-benar tak disangka akan berakhir seperti demikian, aku berhenti memprediksi ke mana langkah cerita selanjutnya. Bahkan sedari awal aja aku udah salah. Ini bukan cerita detektif, kita tidak akan melihat Mildred memecahkan petunjuk, mengetahui apa yang sebenarnya terjadi kepada putrinya, ataupun dia akan berhasil membalaskan dendam terhadap siapapun pelaku tindakan keji tersebut. Ini adalah drama tentang pengaruh ekspos tragedi terhadap kemanusiaan. Plot poin-plot poinnya tidak terkuak seperti yang kita tahu dari pengalaman menonton. Tokoh-tokohnya mengambil langkah yang tidak bisa kita lihat kemungkinannya. Kita mengharapkan mereka “oh ternyata dia..” atau “oh pasti dia bakal” dan ternyata enggak.

Mildred adalah seorang yang sangat kuat tekadnya, salah satu tokoh film terkuat yang pernah aku tonton sejauh ini. Dia begitu marah. Penampilan Frances McDorman memainkan karakter yang menatap semua kebencian dan melawannya, menangkis segala anggapan bahwa yang ia lakukan adalah hal yang salah, akan menjadi sebuah penampilan yang melegenda, lihat saja.  Lapisan tokoh ini semakin menebal oleh hubungannya yang tidak baik dengan putrinya tersebut, jadi di balik luapan marah itu terkadang kita bisa menangkap secercah penyelasan, sedikit penyalahan diri sendiri. Adegan Mildred bicara satu arah dengan rusa terasa surreal, dan I personally think it was beautiful. Sam Rockwell sebagai polisi rasis yang, oke orang ini adalah personifikasi dari segala yang buruk-buruk yang pernah kita dengar tentang polisi, juga bermain dengan sangat meyakinkan. Tokoh ini actually punya arc yang ingkarannya lebih gede, karakternya bertransformasi. Paralel antara Mildred dan Dixon terbentuk dari tokoh kepala polisi yang diperankan excellent oleh Woody Harrelson. Kita tidak akan bisa menebak sejauh tindakan yang diambil oleh seseorang yang menginginkan keadilan. Dengan cepat hitam dan putih itu jadi abu-abu, malahan perlahan kita bakal mempertimbangkan untuk berpihak kepada Dixon alih-alih Mildred.

Gimana bisa kita enggak marah-marah sama kehidupan yang penuh dengan ketidakadilan? Hidup memisahkan anak dari orangtuanya. Hidup merenggut orang-orang baik di saat mereka masih muda. Menahan marah tidak akan menyembuhkan kita dari perasaan kehilangan. Kebenaran tidak akan berubah dengan kita menelan amarah bulat-bulat. Sebaliknya, marah adalah jalan yang harus ditempuh. Salurkan. Berjuang, berkelahi jika perlu. Dan setelah semua asap huru hara itu menghilang, barulah kita akan mendapati simpati, pemahaman, dan empati berdiri di permukaan.

 

 

 

 

Sesungguhnya film yang baik adalah film yang mampu membuat kita terus memikirkan apa yang selanjutnya terjadi kepada para tokoh. Bahwasanya kita merasakan mereka melanjutkan hidup bahkan setelah film berakhir. Aku gak yakin apakah ini kekurangan atau malah kelebihan yang dimiliki oleh film ini, yang jelas kita sudah begitu terinvest terhadap perkembangan para tokoh sehingga saat cerita ditutup literally di tengah jalan. Film sedikit tidak adil lantaran kita ngerasa kita perlu melihat sedikit lagi – satu adegan saja- apa yang terjadi terhadap Mildred. Film ini terasa melegakan, dan juga kurang memuaskan di saat yang bersamaan. Seperti halnya dia memancing kita untuk menangis sekaligus tertawa menyaksikan apa yang dihadapi oleh tokohnya. Salah satu tontonan terbaik, dan paling punya nyali, tahun ini.
The Palace of Wisdom gives 8 out of 10 gold stars for THREE BILLBOARDS OUTSIDE EBBING, MISSOURI.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Zainal A (@zenzonk) says:

    ..saya setuju, Frances McDorman memainkan karakternya dengan sangat baik. Melihat filmnya 15 menit pertama saya langsung suka karakternya yang powerfull~tegas dan nekat. Lee Chandler-nya Cassey Affleck di Manchester by The Sea mungkin sama kuatnya atau bahkan melebihi. Tinggal kita menyaksikan penampilan Sally Hawkins di Shape of The Water yg katanya juga bermain apik disana—saingat berat di GG,

  2. Nanda Insadani says:

    Saya baru nonton ini film. Itupun gegara dia menyabet GG, makanya aku tertarik. Biasanya penilaian para juri GG berlainan sama penilaianku. Tapi kali ini nggak.
    TBOEM memang film yang recommend banget untuk ditonton, diresapi, direnungi. Disini saya belajar bahwa yang penting itu adalah prosesnya bukan hasil akhirnya. Toh saya tetap lega walaupun di film Midred belum sampai titik menghabisi si pemerkosa. Sebab dari 3 papan iklan itu ia telah mengubah cara berpikir dan menyadarkan orang banyak, walaupun dari 3 papan itu juga terjadi beberapa kerusuhan dan penderitaan orangorang.
    Haha, pokoke jossss!

    • arya says:

      Udah bukan jadi masalah ya siapa pelakunya, karena benar 3 papan iklan itu udah mengubah banyak orang, mengubah kota kecil itu menjadi tempat yang sedikit lebih baik. Antara keinginan dan apa yang dibutuhkan oleh Mildred di sini tertulis dengan mantap, taj heran deh dapet Skenario Terbaik di GG 😀

  3. jebing says:

    Saya suka adegan makan malam sama pak cebol. Setidaknya itu bisa jadi titik balik dari sikap mildred juga. Ngga semua masalah bisa dihadapi dengan kemarahan kan?? Using anger to manage anger will only brings more problem and trouble.

    • arya says:

      setuju, ini salah satu adegan yang paling penting di film. Di situ Mildred menyadari dengan menyimpan kemarahan, dia adalah orang yang paling kerdil di restoran itu.

      • irfan says:

        dan bahkan mildred dan dixon jadi merasa tidak cukup yakin untuk meresolusi masalah mereka saat akan berangkat menghukum si rapist. menjadi sama2 tidak yakin apakah dg kemarahan (ke rapist) akan bisa menyembuhkan mereka.

        btw saya cukup menyesal br menonton film ini kemarin wkwk saya kurang berusaha buat cari film ini haha

        • arya says:

          hahaha rasanya ketinggalan banget ya baru nonton film bagus, aku juga ngerasa gitu baru nonton Parasite setelah lama heboh di internet XD

          suka banget aku sama pesan di ending Three Billboards, cuma ada rasa kesel juga karena udah dibuat penasaran sedari awal hahaha

Leave a Reply