DILAN 1990 Review

“The last generation’s worst fears become the next one’s B-grade entertainment

 

 

Tidak hingga duduk di bioskop menonton Dilan 1990lah, aku baru menyadari bahwa tahun 1990 itu sudah begitu jauh tertinggal di belakang. I mean, kita lebih dekat ke 2030 ketimbang balik ke masa Dilan pacaran lewat telepon umum sama Milea. Bayangkan ini sejenak, pliss.. Ini bukan masalah aku merasa tua (dooo yang tua gak mau ngakuu), tetapi melihat apa yang Dilan dan Milea lakukan, kebiasaan-kebiasaan mereka sehari-hari, gaya pacaran mereka yang tampak ajaib dan sangat menarik bagi penonton remaja di dalam studio tadi, membuatku tersadar;

Memang perjuangan generasi lain terbukti adalah hiburan buat generasi sesudahnya.

 

Jika ditayangkan di era 90an, film ini pastilah laris manis sebagai kisah cinta yang juga manis. Tapi, bagi kita yang menontonnya di tahun 2018, Dilan 1990 adalah sebuah romansa remaja yang unik. Di sinilah letak kekuatan film; dirinya terlihat beda sekaligus masih relevan dengan kondisi kekinian. Dilan, Milea, orangtua, guru, dan teman-teman mereka terasa seperti orang-orang di sekitar kita. Apa yang mereka lakukanlah yang bakal menarik minat kita, terutama Dilan. Hal-hal kecil kayak kerupuk dan percakapan sepele dan terlihat gak-jelas mereka memang romantis in their own unique way. Sebagian besar penonton mungkin gak akan pernah mengalami rasanya deg-degan nelfon ke rumah gebetan dengan stake bokap yang galak bisa saja yang mengangkat telfon. Atau belum pada pernah kan nelpon gebetan tapi yang ngangkat malah pembantu yang gak kalah genitnya? haha… Belum lagi mempertaruhkan koin untuk membayar telpon umum. Film ini menggambarkan itu semua dengan sederhana, sehingga tak pelak menjadi kocak.

Kisah adaptasi novel ini dibuka dengan sosok Milea yang sudah dewasa mengetik di laptopnya. Dia menulis cerita semasa SMA, ketika dia pindah ke Bandung, dan menjadi murid baru. Cerita yang ditulis Milea inilah yang menjelma jadi tontonan kita. Milea yang cakep (Vanesha Prescilla tampak seperti gak berakting di debutnya ini) lantas jadi primadona baru. Banyak yang naksir. Terutama si Dilan (meski sempat diragukan penggemar novel, Iqbal Ramadhan menghidupkan tokohnya dengan cukup kompeten). Cowok anak geng motor ini punya cara yang paling berbeda dalam mendekati Milea. Dia mengaku peramal. Ramalan ngasal, hadiah-hadiah aneh,  dan kegigihan Dilan tampaknya memang cukup ampuh. Milea luluh. Dan kita dibuat terenyuh melihat akrab dan dekatnya mereka. Sedikit konflik yang dihadirkan film ini adalah ketika masa lalu Milea datang, begitupun saat dunia geng motor Dilan menyebrang di lalu lintas roman mereka.

easter egg menyenangkan buatku; Vanesha membaca Olga dan Sepatu Roda, dan kakak Vanesha – Sissy – pernah meranin Olga di serial tv~

 

Hampir mustahil untuk membenci film ini, it’s a very lighthearted teenage… um, aku mau bilang ‘teenage drama’ tapi sepertinya kurang tepat. Lantaran there’s hardly  any dramas presented here. Konflik dalam cerita muncul di akhir-akhir dan semacam datang gitu aja. Klimaksnya nyaris enggak ada. Ini tentu saja dapat jadi ‘meh’ buat sebagian penonton, terutama yang menginginkan tantangan dalam cerita. Buatku, Dilan 1990 berlalu begitu saja. Aku tidak merasakan apa-apa kepada film ini. Kecuali mungkin sedikit kebosanan. Aku gak tahu ke arah mana narasi berjalan. Bahkan hingga ke menit 100an pun, aku belum bisa meraba apa end game film ini. Maksudnya, KENAPA MILEA DEWASA MENCERITAKAN SEMUA ITU KEPADA KITA. Motivasi Milea ingin menceritakan tentang cowok yang mengiriminya TTS yang udah diisi – kenapa kita harus peduli tentang itu? Kenapa kita wajib tahu siapa yang mengajarin dia pentingnya mengucapkan selamat tidur setiap malam? Film sangat kurang dalam mengeksplorasi ini. Bukan tanpa tujuan, hanya saja tujuannya sangat enggak penting, enggak mencengkeram. Katakanlah, jika kita melihat pada saat dewasa mereka tidak bersama, atau eventually menikah, atau ada sesuatu yang terjadi kepada Dilan saat dewasa, film ini akan terasa terpenuhi. Tapi film tidak memberikan alasan untuk kita peduli kepada apa yang terjadi, alasan kenapa kita harus menonton semua ini selain materinya berasa dari novel yang sangat populer.

Sebagai karakter, Milea kayak kertas putih. Kertas yang bakal ditulisi oleh tokoh-tokoh lain.Milea nyaris tidak punya karakter sendiri. Kita tidak melihat siapa dia on the inside untuk setengah film. Aku mempertanyakan pilihan cerita ketika Milea dijadikan sektretaris tanpa alasan, padahal itu adalah waktu yang bagus untuk menunjukkan traits baik yang dimiliki oleh karakternya. Keputusan personal yang dibuat sendiri oleh Milea muncul di paruh akhir, ketika dia ngelarang Dilan ikut berantem dengan geng motor. Film harusnya berputar membahas ini lebih banyak. Ada satu sekuen yang menurutku akan menarik sekali jika ditarik konflik, yaitu saat Milea memutuskan untuk membereskan kamar Dilan. Ini merefleksikan Milea ingin ‘memperbaiki’ Dilan, dan menurutku gak bakal ada yang senang disuruh berubah, bahkan oleh pasangan. You don’t just go around fixing people stuff. Tapi nyatanya, sekuen ini hanya digunakan oleh narasi sebagai device Milea mengetahui puisi buatan Dilan.

Rindu itu berat. Kadang pelampiasan yang bisa kita usahakan hanya dengan menuliskannya. Hanya kenangan yang dipunya Milea.

 

Ada alasannya kenapa aku lebih suka baca Lupus dan Olga ketimbang membaca novel seperti Dilan. Dalam Lupus, kalimat romantis yang kita temui adalah semacam “Masih ada becak yang bakal mangkal”. Kedengarannya lebih akrab, dan lebih mungkin untuk diucapkan tanpa mengurangi maknanya. Mendengar bahasa Dilan kepada Milea, kadang terasa menggelikan. Dilan ini udah kayak Gusur digabung ama Boim kalo di novel Lupus. Dia enggak exactly tokoh yang menguar karisma karena film tidak pernah benar-benar adil dalam menyorotnya. Dilan menghajar guru karena leher bajunya ditarik. Dia tidak berasal dari keluarga broken home, seperti trope kebanyakan. Dari kutipan poster di kamarnya, kita dapat melihat motivasi kenapa Dilan bergabung dalam geng motor, kenapa dia bandel, tapi moral Dilan tidak pernah benar-benar convincing. Kita mestinya bersimpati padanya, tapi aku bahkan gak tau kenapa Dilan jatuh cinta kepada Milea.

Setiap Dilang ngomong, pengen nimpalin dengan “Eaaaa!” “Eaaaaa!”

 

Tidak ada layer di dalam cerita; sesungguhnya ini pun turut menjadi masalah pada film-film remaja lokal yang lain. Kebanyakan hanya tentang bad boy yang sebenarnya baek, pacaran ama cewek baek-baek (yang seringnya sih anak baru), lalu ada cinta segitiga, dan ada sobat cewek yang biasanya cupu dan naksir diem-diem. Ini trope usang yang selau dipake di romansa remaja film Indonesia. Menonton aspek ini setelah di dunia ada yang namanya Lady Bird (2017) adalah kemunduran yang nyata. Sebagian besar waktu, film tampak dibuat dengan kompeten. Mereka berusaha mewujudkan periode 1990 ke layar, dan seperti yang kubilang tadi aspek ini adalah yang menonjol baik dalam Dilan 1990. Di babak awal saja, konstruksi adegannya monoton; kita akan sering banget melihat adegan semacam Milea lagi diskusi atau ngobrol, kemudian datang distraksi dari Dilan entah itu dalam wujud surat atau memang hadir langsung, dan ditutup dengan Milea ngerasa canggung dan musik yang so sweet mengalun di latar. Juga ada adegan berantem, yang menurutku masih perlu banyak ‘dikerjain’ lagi. Kamera masih goyang gak jelas. Turut mengganggu pula beberapa penggunaan CGI, green-screen yang gak benar-benar diperlukan. Begitu pula halnya dengan penggunaan montase flashback yang memberikan sensasi manis yang palsu, dan merendahkan daya ingat penonton.

 

 

Kalo remaja mencari jati diri, maka film ini adalah remaja abadi yang terus mencari tanpa dirinya pernah tahu di mana pentingnya yang ia diceritakan. Romansa yang ditampilkan memang unik dan menyenangkan, banyak remaja akan suka film ini. Pemainnya pun kece-kece. Tapi film mestinya lebih dari sebuah pemandangan cinta. Aku gak membenci film ini, malahan aku bilang hampir mustahil ada yang nonton dan bilang benci. Selain bosan dan geli-geli, film ini tidak memberikanku apa-apa lagi karena poin narasinya tidak pernah membuat kita benar-benar peduli. Mungkin urgensi itu tertinggal di tahun 90an. Aku gak tahu. Aku bukan peramal.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for DILAN 1990

 

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got the PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

    • arya says:

      oh ada tiga buku ya aslinya. ntar yang kedua, yang cerita si Dilan, gitu?
      kalo gak, mestinya dilihatin aja nasib mereka saat dewasa di film ini, biar ada purpose ceritanya

      • Dzikri says:

        Di Buku kedua masih lanjutan dari kisah milea. Justru konflik lebih banyak di buku kedua. Nah klo buku ketiga baru dari sudut pandang Dilan mengenai apa yg mereka alami dan apa yg memotivasi Dilan menjadi seseorang yg seperti Milea ceritakan di buku 1 dan 2. Film pertama ini persis sekali dengan apa yg ada di novelnya.

        • arya says:

          hmm.. setelah baca kata teman-teman sekalian yang udah baca novel-novelnya, aku pikir mungkin mestinya film Dilan ini langsung mengadaptasi ketiga novelnya sekaligus jadi satu film biar konflik, motivasi, dsbnya komplit. Karena yang kita dapatkan sekarang ini, Dilan 1990 terasa kayak babak satu yang dipanjang-panjangin dari sebuah bigger picture (film) yang utuh

      • Dzikri says:

        Iya, emang pendapat saya juga seperti itu. Biar orang yg belum baca novelnya lebih memahami jalan ceritanya.

        Memang pada awalnya Novel ini ga akan di bikin film katanya. Cuma mungkin Falcon Pictures berhasil membujuk si penulis. Setelah ada berita akan dibuat film, fans garis keras novel ini banyak yang protes hingga akhirnya mereka pengen kalaupun dibuat film maka harus sesuai dengan Novelnya. Ya hasilnya jadinya seperti yang sudah tayang dibioskop ini, tidak terlalu jauh dari isi Novel yg pertama.

        Kabarnya akan ada yg kedua nya juga, adaptasi dari novel kedua.

        • arya says:

          Hahaha iya, maka pembaca novelnya kudu bisa objektif. Filmnya enggak bagus, bukan berarti novel atau materi aslinya enggak bagus. Apalagi kalo ada tuntutan harus sama persis segalanya ama novel. Kalo mau sama-sama bagus ya biarkan filmmaker bekerja sesuai dengan rolenya

  1. osyad35 says:

    Saya termasuk yg pesinis sm iqbal, ternyata bagus kah ? Btw sy baca novelnya dan harusnya ada purpose soal ending hub mereka, tp sy terkejut ternyata g ada disini, g ada klimaks dong di sini ? Berarti dinprospek buat sequel kayaknya.

    Soal alasan dilan suka ke milea, justru itu adalah sisi membumi dr hub mereka. Sbg remaja, kadang kt suka ke seseorang ya krn suka aja, gt aja terjadi, minimal krn cantik dan care aja, dan novelnya emang gamblang krn milea cantik bg dilan, udah gt aja, jujur.

    • arya says:

      Aku gabilang bagus, sih, cuma pasti bakal banyak yang suka sama filmnya.

      Mestinya aspek ‘alasan’ Dilan itu yang dibikin kentara, elemen cinta monyet itu yang hilang, rootnya kurang tergambar. Maksudku, adegan pertama Dilan ketemu Milea aja, Dilan ngeliat Milea jalan dari belakang, terus disusul – jadi penonton gak lihat dia suka karena cantik. Dari omongan, ya, itungannya bisa aja cuma gombal. Apakah Dilan tertarik karena Milea anak baru, atau pada dasarnya dia memang suka godain cewek, mestinya dieksplor lagi

  2. Diva khalifah harun says:

    Kayanya emg harus baca semua novel nya dulu sampe kelar biar bisa dapet feel dan ngerti juga, karna mungkin kalo yg belum baca novel nya ga akan dapet ke-gemes-an dari setiap joke/gombalan nya dilan like ‘apaan sih garing’. Terus kalo gabaca semua bukunya emg ga akan dapet ending nya, satu buku satu film

    • arya says:

      Benar, itulah makanya kenapa film ini enggak benar-benar bagus, karena ceritanya gak bisa berdiri sendiri. Film adaptasi yang baik mestinya mampu menyampaikan inti cerita bukunya, kan namanya juga adaptasi – kalo mesti baca dulu baru ngerti berarti naskahnya gak jalan sebagai film adaptasi

  3. rz says:

    dilan 1990 itu dari sudut pandang milea. makanya ga terlalu di eksplor gimana lia nya. dilan 1990 jg cuma cerita masa pdkt. akan ada kelanjutannya di dilan 1991 masa masa pacaran mereka hingga mereka menikah (walau dgn pasangan masing2). dilan 1991 itu jg masih sudut pandang lia. di buku ketiga suara dari dilan, baru dilihat dari sudut pandang dilan. bukan sbg kelanjutan cerita dilan 1991 (karna udh emg end di 1991) tapi suara dari dilan bercerita ttg pandangan dilan kepada lia mulai dari masa pdkt, pacaran, dan masalah2 yg ada. buku ketiga jg menjelaskan yg menurut pembaca masih ada yg “menggantung” di kedua novel sebelumnya.

    • arya says:

      oh begitu runtutan bukunya, semoga film-film adaptasi Dilan berikutnya jauh lebih baik dan benar-benar bertindak sebagai film – enggak mengulangi kelemahan di film Dilan 1990 ini

    • arya says:

      haha iya kan, kayaknya ‘dosa’nya sama ama Ayat-Ayat Cinta 2; menjadikan novelnya film mentah-mentah. Novel boleh aja ngalir tanpa tujuan atau bahkan seperti buku diari, tapi film harus ada journey, konflik, dan unsur-unsur film lain yang penempatannya punya struktur yang beda ama novel.

      • zapufaa says:

        Tapi kadang org kalau ga sesuai sama bukunya sering kecewa gitu jatuhnya. Jd seringnya aku milih, kalau ga baca bukunya, nonton filmnya. Hahaha
        Anyway, film kesukaaan kaka yg diadaptasi dr buku apa?

        • arya says:

          iyaa kadang kita lupa kalo novel sama film itu gabisa disamain persis.

          Aku suka One Flew Over the Cuckoo’s Nest, itu tokoh utamanya dibikin beda ama yang di novel. Ceritanya sama, gak diubah, cuma sudut pandangnya yang beda. Tokoh utama di film ini adalah tokoh pembantu di novel. Jadinya seru pas nonton, ada penggalian yang lain.
          A Clockwork Orange juga bagus, aku suka mereka mengalter endingnya sedikit.
          Harry Potter juga adaptasi yang bagus, tujuh-tujuhnya, gak sama persisi juga ama yang di buku.

          Film adaptasi terbaru yang aku suka Gerald’s Game, adaptasi buku Stephen King

    • BrownBlueBee says:

      nah iya saya jg sempet mikir gitu, klo dibandingin sama setingan di reply 1988 gimana yah, toh jg ga jauh2 bgt dr taun 90,,, soalnya tu drama buat saya bener2 oke dr setingan lokasi, properti yg dibikin sedetil mungkin, dan stylenya.
      tapi saya blm sempet nonton dilan jg haha

      atau klo sama film coming-of-age nya taiwan yg sempet rame tahun 2015 kmaren, our times

      • arya says:

        Aku belum nonton Reply 1988 ama Our Times jadi gabisa bandingin sih.
        Cuma kalo di Dilan, memang ceritanya gak ngasih kesempatan banyak buat latarnya untuk keluar, katakanlah menjadi tokoh, karena fokus cerita di sepasang tokoh ini melulu. Tapi mereka menggunakan telpon umum, ‘rintangan’ nelpon telpon rumah dan sebagainya dimanfaatkan sebagai device majunya jalan cerita (walaupun memang jalan ceritanya gak maju jauh-jauh banget), dan ini seenggaknya cukup untuk membuat film Dilan gak bisa dipindahwaktukan

  4. IAmpradita says:

    kalo menurut aku sih mending milih aja, mau nonton film nya aja atau novel nya aja…..tapi kalo memang udah baca novel dan mau nonton film nya memang kudu siap-siap bakal ngeluh (kok cuma gini atau yang lainnya deh)….karena yg pasti film memang susah untuk sama dengan isi novelnya, gak bisa d pungkiri kalo di novel pasti semua nya hampir jelas, tapi kalo film kan tergerus karena durasi ( setauku memang ada durasi dr bioskop-bioskop ). mungkin yg pas baca novelnya kalian bakal sering ngakak tapi pas nonton nya malah banyak cie-cie….hhahahaa

  5. Efi Fitriyyah says:

    Aku lebih suka versi novelnya daripada filmnya. Amaze juga pas nonton tadi peminatnya banyak abegeh. Mereka ketawa pas Dilan ngegombal. Sementara aku lebih fokus sama nuansa 90s nya. Walau pas di lokasi jalan asia afrika kayaknya ada bocor dikit heuheu… Aku mati-matian nahan ngantuk. Mileanya cantik tapi kurang greget kecuali kalau lagi marah :).
    Mungkin gini ya kalau film diadaptasi dari novel. Tantangannya gede banget karena yang udah baca novelnya pujlnya bayangan yang beda satu sama lain.

    • arya says:

      mungkin sama abegeh sudah jadi becandaan biasa kali ya gombal-gombal ala Dilan itu? ga tau juga sih ahhaha..

      bocor keliatan apa teh? apa ada sesuatu yang gak lazim ada di tahun 90an?

      Adiknya Milea lebih punya karakter dibanding Milea.
      Kurang banget filmnya. Konflik minim, klimaks ga sampe. Kalo di novel mungkin memang asik karena bacanya banyak ngebayangin, tapi difilmin jadi kayak babak satu ga pindah-pindah ke babak berikutnya xD

  6. pujadamayani says:

    Wow menarik sekali ulasannya, jujur dari hati, banyak yang ngeluh katanya sinematografi nya kurang rapih untuk film yang dari awal pemilihan castnya aja udah happening banget sampai pro dan kontra dan informasi nya ada kebocoran beberapa scene misalnya plat mobil yang mati 2022 padahal setingan 1990, saya baca dari review orang juga habisnya belum nonton.

    Film Dilan 1990 ini juga mengingatkan saya sama film Dear Nathan yang rilis tahun lalu, sama2 menggunakan formula cowok badboy naksir cewek baik. Kalau Dilan 1990 setting ditahun 90an Dear Nathan setting nya kekinian, masa putih abu2 juga alias SMA jadi agak sulit juga memisahkan kedua film ini karena temanya hampir2 sama, serupa namun tak sama.

    Wah jadi penasaran komparasi antara kedua film ini, dari segi akting, karakter, cerita dan aspek film lainnya.

    • arya says:

      secara fisik memang filmnya kurang dipoles, coba kalo ada satu cowok rambutnya belah tengah aja yaa ahahah..
      tapi kalo lihat dari ceritanya toh kita juga bisa ngerti film ini bukan berlatar tahun 2000an

  7. neina says:

    mungkin harus baca novelnya dulu..dan perlu diketahui di novel pertama ini memang hanya menggambarkan bagaimana seorang pelajar cowo naksir sama pelajar cewe dan dia memiliki sesuatu yang jarang dilakukan oleh cowo yang lain.. dan hal yang ingin disampaikan bahwa dunia remaja khususnya anak sma memang diisi dengan cerita cinta yang akan ga akan dilupakan.. cerita kasmaran disini digambarkan dengan cara yang tidak biasa.. cara yang unik..dan kasmarannya memang dibatasi bagaimana si cowo meluluhkan hati si cowo sampai pada akhirnya mereka berpacaran.. kalau sudah baca novelnya, film ini merupakan visualisasi terbaik dari novelnya.. dan menurut saya film ini dibuat sangat mirip sekali dengan novelnya.. sejauh ini untuk film yang diangkat dari novel, film dilan 1990 berada di peringkat pertama..
    dan novel ini masih berlanjut di novel ke-2 dan ke-3..dan dijabarkan di novel tersebut diceritakn konflik yang lebih kompleks dibandingkan novel pertamanya..

    • arya says:

      iya, tampaknya memang harus baca novelnya dulu.

      Kalo baca novelnya, semua ceritanya nyampe. Kalo nonton filmnya aja, enggak. Itu kan bukti/tanda nya film ini enggak bagus. Film ini enggak mampu bercerita tanpa bantuan pemahaman kita terhadap novelnya. In a way, Dilan 1990 hanya berupa visualisasi novel. Belum sebuah film panjang yang utuh dan baik.

      • Puja Damayani (@pujadamayani) says:

        Saya setuju dengan pendapat agan, di review vlogger film di youtube, beberapa oknum mencari pembenaran bahwa kalau filmnnya lebih bagus di tonton dengan membaca novelnya dahulu, bagaimana dengan orang yang tidak suka baca novel namun pengen nonton filmnya? Kan ngga mungkin juga memaksa mereka membaca novel sebelum nonton filmnya.

        Kalau menurut saya sebagai orang awam novel ya novel, film ya film, seharusnya keduanya memiliki ruh masing2 ,film berupa adaptasi visual dari novel seharusnya penceritaannya dapat berdiri sendiri dengan tetap berakar pada sumber aslinya, penonton dibawa masuk kedalam cerita tanpa harus membaca novelnya terlebih dahulu, sebagai contoh ada beberapa film diluar negeri sana yang Filmnya tampil all out lebih bagus dari novel aslinya ada juga film yang lebih jelek dari novel aslinya karena mungkin sutradara tidak mampu menyampaikan visualiasi dengan baik.

        Seharusnya sih adaptasi Dilan 1990 ini dapat menjadi film yang bagus, namun yah… melihat beberapa review yang jujur, yah…

        • arya says:

          Dikatakan dengan baik sekali!
          Memang betul mestinya demikian, mbak Puja. Namun kadang kita suka sama novel jadi masih bias, kita masih melihat film adaptasinya sebagai novel, padahal film ya film, novel ya novel kayak kata mbak Puja

      • cocoaxostore says:

        Sebenernya sih menurut saya film dan novelnnya sama percis cuma beda-beda dikit (banyak adegan yg di potong) mungkin karena ayah pidi baiq memang pingin filmnya ngga melenceng dari novelnya… jadi wajar sih kalo yg belum baca novelnya pasti bingung , dan mikir “udah segini aja? Mana konfliknya?” Toh karena di novelnya juga seperti itu dan saya sendiri bahkan yg baca novelnya juga mikir hal kayak gitu (walaupun tetep suka dan ngakak sih waktu baca novelnya) nah baru waktu baca novel kedua dan ketiga akhirnya saya ngerti jadi novel pertama nyeritain awal kenalan sampai pacaran, novel 2 masuk konflik, novel 3 cerita dari sudut pandang dilan, jadi sih menurut opini saya (pembaca novelnya) sebenernya bukan kayak maksa buat yang nonton untuk baca novelnya tapi ngasih tau aja sih kalo emang alur di novelnya kayak gitu. Disini saya bukan penggemar garis keras saya bahkan suka sama reviewnya dan ada point2 yg saya setuju. Mungkin saya yg orang awam puas aja sama filmnya karena mirip sama novelnya, tapi mungkin kalo yg emang ngerti bakalan kurang sreg yah… sepertinya saya mulai ngelantur hehe sudah deh tapi overall saya suka reviewnya xxx

        • arya says:

          makasih mas Cocooo

          haha iya, aku juga gak merasa terpaksa harus baca novelnya karena pengen tahu konflik atau apa yang terlewatkan oleh film. Iya juga, clearly filmnya diniatkan sama persis ama novel.
          Aku cuma berusaha mengulas film ini dengan melihatnya secara objektif; dengan melihatnya sebagai sebuah film, karena mestinya begitulah cara kita semua melihat film apapun, ya sebagai satu film yang utuh – ada konflik, klimaks, dan segala macam struktur dan unsur film. Di lain pihak, kemiripan dengan novel itu adalah subjektivitas/keinginan kita saja sebagai penggemar. Kalo udah persis, ya kita gampang terbiaskan – ngeoverlook unsur filmnya. Padahal tidak tertutup kemungkinan kalo ntar misalnya ada sutradara lain yang ngadaptasi, dia menambah konflik, atau menjadikan 3 novel sebagai satu film, dan hasilnya lebih bagus, ya kan

      • Neina says:

        Saya pernah lihat di youtube, ayah pidi baiq menyampaikan bahwa novel dilan 1990 dibuat bukan untuk menyampaikan konflik..tetapi menyampaikan bagaimana laki2 ke perempuan, ke temen2, dengan cara yg dia punya..dan novel ini dibuat hanya untuk menciptakan rasa bahagia..
        Dan ketika film dibuat saya sangat senang karena langsung diarahkan oleh ayah pidi baiq sendiri..skenario pun tetap ditulis oleh beliau..beliau benar2 ingin membuat novel tervisualisasikan..novel ini ringan, begitu juga dengan filmnya..
        Untuk sebuah karya novel yg difilmkan, ini merupakan karya terbaik..menurut saya yah..

        • arya says:

          “untuk sebuah karya novel yang difilmkan, ini merupakan karya terbaik” ya benar novelnya yang baik, bukan filmnya. Untuk sebuah film dari novel, ini merupakan karya yang tidak benar-benar baik, sebab orang masih menyebut kebaikan dari novelnya – bahkan dari sekuel-sekuel novelnya.

          coba deh kita melihat satu film ya dari film itu sendiri aja, kalopun mau dibandingkan, lakukan dengan film juga – yang medianya sama.
          Maksudku, kita gak bisa gitu aja nyebut film yang ada sekarang bagus karena nanti ada sekuel-sekuelnya yang melengkapi. Sekuelnya nanti punya nilainya sendiri. Novelnya juga ada yang ngulas khusus. Film Dilan 1990 ya film Dilan 1990, dan skornya ‘enggak bagus tapi banyak yang suka’

      • Amirsyah says:

        Ngomong y sih mudah…..bikin karya yg bisa memuaskan semua pihak itu mustahil…..dg juml penonton yg berjuta2 itu jadi bukti berhasil y sbh film….

        • arya says:

          Memang mustahil, makanya jangan nurutin ‘maunya orang’, nurutin kata hati dengan sesuai pada kotaknya aja – kalo film ya film.
          Jumlah penonton berjuta-juta itu bukti filmnya berhasil menarik pasar. Karena ‘Suka’ dengan ‘Bagus’ itu memang enggak mesti sejalan. Kita boleh kok suka sama yang jelek. Kita cuma harus fair dan mampu aja melihatnya, jangan bias.

  8. Puja Damayani (@pujadamayani) says:

    Film ini berhasil menarik pasar itu benar adanya dan tak terbantahkan, good job buat kinerja marketingnya, Okelah kita bilang Dilan 1990 settingnya jadul era 90an. Namun saya sebagai generasi 90an film ini berpendapat film ini biasa aja sih, bukan selera saya apalagi saya pernah merasakan kehidupan 90an. Dilan too cheesy buat saya.

    Pasar suka film ini bukan karena fans base nya berasal dari tahun 1990an namun karena nyatanya fans base Dilan 1990 adalah generasi jaman now, fansnya juga militan ya anti menerima saran dan kritikan. Kalau ada yang mengulas kekurangan film ini, langsung deh diserang membabi buta bisa di cek di youtube, dan saya malah berpikiran karena ulah fansnya tsb film ini alay banget deh, hilang sudah keidealisan novelnya nya waktu udah jadi film.

    Saya sebagai pembaca setia blog mydirtsheet.com sejak lama setuju2 aja sih sama reviewnya agan empunya blog, blog ini kan sudah lama dan berpengalaman jadi reviewnya selalu jujur dari hati dan saya sebagai pembaca boleh dong mengutarakan pendapat, kerena isi kepala manusia ngga semuanya sama.

    • arya says:

      Fenomena menarik memang Dilan 1990 ini; sebuah cerita dari masalalu yang hits banget buat generasi sekarang. Memang appeal past generation itu gede – barat malah ngidupin tahun 80an lewat Stranger Things, It, dll, dan kisah cinta memang timeless. Tapi kalo aku generasi now, aku keberatan juga kalo Dilan 1990 dibilang penanda generasi; disebut AADCnya generasi kekinian. Pertama karena filmnya enggak begitu bagus, kedua karena masa iya sih enggak ada film lain yang lebih menunjukkan identitas generasi sekarang – sebenarnya ada banyak tapi kenapa enggak se-wah film ini?

      Dilan 1990 adalah keberhasilan promosi, tidak ada bantahan soal itu. Pertanyaannya yang masih nyisa adalah identitas generasi sekarang ini apa sih, ada dong ya?

  9. Ipangpong says:

    Ya, saya sepakat sama review ini. Dilan 1990 ini memang cukup menghibur sih, tapi udah sampai situ aja. Konfliknya gak terasa penting, dan banyak hal-hal yang harusnya bisa dijadiin bahan tapi malah nggak, beresin kamar Dilan itu good point. Lainnya mungkin ketika seorang ‘Panglima Perang’ ninggalin pasukannya tanpa konsekuensi yang terasa berat. Belum lagi kelahi di lapangan upacara. Adakah yang jaman sekolah dulu berantemnya di lapangan sekolah dan dilerainya sama guru? Cukup banyak yang disayangkan sih sebetulnya. Satu2nya yang bikin saya nyaman hanya ketika bagian narrator, rasanya familiar sekali dengan suaranya. Jika ini suara Vanessa, terlalu mirip sama suara kakaknya. Tapi ternyata benar saja, memang sang kakak yang mengisi suara narratornya. Langsung terbayang sosok Mili yang lemot tapi gemash dengan seragam SMA.

    • arya says:

      sedikit terlalu manis untuk film ya haha..

      waaahh aku baru tahu kalo kakaknya Vanesha yang jadi narator, ketauan banget aku langsung pulang pas kredit penutup xD Keren juga kalo ntar Sissy jadi Milea dewasa

  10. sinta oktavia says:

    Aku udah nonton kmren , kurang sunda sih hhee, iqbal ckup berhasil jadi dilan, lumayan lah wlaupun ttep kurang keliatan badboy nya haha, yg gak sesuai ekspetasi itu wati, aku pikir dia itu orgnya nyablak,rame,bodor, tapi ternyata di film malah kelihatan cute,manis cenderung lbih pendiam hahahha, aktingnya anhar sbgai anak SMA jg kya berlebihan gt hhee ,tapi bagus sih filmnya ga muna ko emang menikmati jg pas nonton hihi

    • arya says:

      haha iya kurang kerasa Sunda, apalagi nama mereka nama kekinian semua hahaha
      naskahnya juga kurang nonjolin sisi badboynya yang humanis sih, nunjukin yang ‘ekstrim’ aja..
      Gemasgemas geli memang interaksi mereka hhihi

  11. Vivi says:

    Baru aja nonton filemnya setelah sekian lama tayang. Sama persis ama novelnya. Pembaca novel Dilan ini jumlahnya kan jutaan, fanbase pecinta novel Dilan 1990, 1991 dan Milea yang militan parah. Jadi memang sepertinya ketika akhirnya filem ini disetujui diangkatkan ke layar lebar oleh si penulis, si produser sudah tau soal pasarnya. Maksudnya, mungkin produser gak terlalu perlu memikirkan pasar yang belum membaca novelnya, karena pasar yang sudah membaca novelnya jumlahnya buanyak banget. Walau pun akhirnya pembaca novelnya ini terpecah antara yang setuju difilemkan atau yang tidak setuju karena meraka takut bayangan mereka akan Dilan seketika buyar. Kalau saya ada di pihak yang setuju.

    Di buku satu memang lebih kepada siapa Dilan. Ada banyak hal yang sebenarnya menjadi point penting untuk disampaikan, cuma saya juga bingung mengapa tidak disampaikan dalam skenarionya. Seperti saat Dilan melawan Suripto, di filem tidak dijelaskan apa masalah dasarnya, atau hanya dijelaskan karena Suripto menampar Dilan saat upacara. Ini bisa jadi kritik sosial negatif sih dari filem ini.

    Padahal di buku jelas disampaikan mengapa Dilan begitu membenci Suripto. Mulai dari Suripto yang menyerahkan siswanya berhadapan dengan polisi tanpa pendampingan, Suripto yang pernah memanggil Dilan dengan sebutan ***, kasus pelecehan seksual, yang disampaikan Dilan di depan kepala sekolah, banyaknya anak-anak yang ditampar di ruang BP namun tak ada yang berani bersuara, dll. Dan puncaknya adalah saat upacara bendera. Itu point yang gak boleh lupa menurut saya. Ya, karena ternyata penonton filem ini ternyata bukan hanya yang pernah membaca novelnya. Tentu ini bisa menjadi salah kaprah. Pada dasarnya konflik yang bisa dibangun di buku satu ini adalah bukan konflik asmara, tapi lebih kepada konflik tentang anak-anak sekolah tahun 1990an, yang mana mereka punya geng motor yang sering tawuran, guru BP yang sewenang-wenang dan tak ada yang berani melawan.

    Ada satu yang menarik fenomena 90annya, karena saya pun generasi 90an, dan saya anak FIS,di zaman 1992 dulu, hampir rata-rata siswa laki-laki yang nakal itu masuk kelas FIS, anak-anak wanita cantik itu di kelas BIO dan untuk kelas SOS random. Padahal, maafkan kalau saya salah, justru sekarang seperti dibalik, yang kutu-kutu buku di IPA yang begajulan ke IPS. Dengan tokoh Dilan dan Piyan yang notabenenya anak nakal dan dari kelas FIS, sepertinya istilah “lo boleh nakal tapi jangan bego” itu memang tepat untuk menggambarkan mental anak-anak 90an.

    Oya, konflik lainnya sebenarnya adalah saat Milea melarang Dilan menyerang. Kalau saat membaca buku saya merasakan itu sebagai konflik, dimana saya sempet mulai merasa bahwa Milea perlahan akan merubah karakter Dilan yang berani menjadi lemah. Dan DIlan pun tampak gelisah. Tapi penonton harus bersabar, pemerontakan DIlan atas sikap Milea ini baru terjadi di buku ke dua, dimana akhirnya konflik datang bertubi-tubi.

    Saya rasa sih ini PR untuk sekuelnya. Novel Dilan ini terlihat novel receh atau hanya percintaan remaja, tapi sebenarnya bisa berat kalo dibaca dengan detail. Justru jika konflik berat ini disajikan ke filem pertama, rasa novel ini akan hilang. Karena jelas sudah tujuannya, novel/filem pertama ingin membuat pembaca atau mungkin penonton jatuh cinta dengan Dilan. Novel/filem kedua ingin membuat pembaca dan penonton tidak suka dengan Dilan. Dan novel ketiga ingin membuat pembaca dan penonton akhirnya mengetahui alasan-alasan Dilan melakukan semuanya. Dan alasan mengapa Dilan menyerah pun akhirnya bisa saya terima dengan lapang dada, karena saya tau alasan inilah yang paling bijak untuk diterapkan di dunia nyata, jika ada yang bernasip sama dengan Dilan.

    • arya says:

      wah membaca ini, tergambar jelas Dilan 1990 melewatkan banyak kesempatan untuk menjadi lebih besar lagi. “Konflik tentang anak-anak sekolah tahun 1990an, yang mana mereka punya geng motor yang sering tawuran, guru BP yang sewenang-wenang dan tak ada yang berani melawan.” dijadikan layer dalam kisah asmara tentu akan membuat film lebih seru dan bergizi. Tapi yah, kalo memang filmnya menyasar jumlah penonton, mereka berhasil banget. Dengan angka segitu, jelas penonton film yang gak baca bukunya pun akan tergoda kembali lagi untuk nonton sekuelnya.

      • konsleta says:

        hahaha…begitulah. Semoga sekuelnya lebih rapi. Terus terang dari ketiga bukunya saya paling suka versi yang paling terakhir, “Suara Dilan”. Mungkin saya merasa, ketika Milea yang menceritakan terlalu banyak emosi di dalamnya, sedang ketika Dilan yang menceritakan, dia lebih bisa realistis dan menjaga emosinya sebagai pria.

  12. Mondo says:

    Ini film bener” bajingan lah.. Semua orang di sekitar gw sebut” nama DILAN. gk di sosmed gk di lingkungan gw semua sebut dilan. Emg ini DILAN bocah mana sie ?? Fuuckkk lah…

    • arya says:

      no particular reason sih, lebih ke ‘kewajiban’ blog harus ‘nonton film indonesia seminggu sekali’. Alasan aku milih Dilan over film indonesia lain di kamis itu karena yang mainnya Gadis Sampul hehehe

  13. lisakelyn says:

    Baca review film Dilan yang ditulis di blog ini, sangat mewakili apa yang kurasakan pas nonton filmnya. Motivasiku akhirnya nonton karena penasaran aja, kok bisa booming banget. Kalau dipresentasi, menikmati 20%, 80% bosan, apa karena kebayang-bayang dan gak bisa move on sama film bioskop yang sebelumnya kutonton yaaa.. “The Greatest Showman”– hehe gak bisa dibandingin sih. Tapi, tetep aku salut film Indonesia bisa nggaet 6 jt orang buat nonton. hehe.. Berharap film Indonesia yang bisa nggaet jutaan penonton itu film yang bagus segalanya, bukan karena faktor marketing aja, tapi materi dan hasilnya yang bener-bener berbobot. ^^

    • arya says:

      Amiiinlah, harapan sejuta umat itu ahahaha, tapi sejauh ini antara materi dan hasilnya masih berbanding terbalikk
      kebanyakan yang kutanya juga nonton Dilan karena termotivasi rasa penasaran

      • lisakelyn says:

        hehhee.. btw film dengan gold terbanyak yang udah Mimin review apa? akan kumasukkan ke daftar film yang musti kutonton.. ^^

        • arya says:

          Ada empat film yang kukasih reviewan bintang 9; Room (2015), Your Name (2016), ama Ladybird (2017). Yang satu lagi Habibie & Ainun, tapi honestly aku nulis tentang film itu sebelum bener-bener ‘ngerti’ film, referensi ku juga masih kurang waktu itu – pas baru bikin blog banget, jadi mungkin kalo aku nonton Habibie lagi skornya bisa berubah atau bisa aja tetep hehe

          kalo kamu lagi nyari referensi film-film bagus, coba 12 Angry Men (belum aku review secara tertulis sih soalnya jadul banget, tapi film ini yang pantas mendapat score 10/10 menurut kacamataku). Atau kalo suka yang aneh coba Mulholland Drive (still my favorite film of all times to this day)

  14. eljez says:

    Reviewer sepertinya belum baca bukunya? Atau sudah? Kalau sudah soalnya tampak seperti belum baca. Semua pertanyaan reviewer seputar tujuan di balik setiap tindak tanduk tokoh itu memang tidak dijelaskan juga sama si penulis buku. Dipilih jd sekretaris ya memang gitu doang aja juga di buku. Ceritanya seperti leeat gitu aja? Bukunya juga begitu hahaha. Terhibur adalah efek utama dr baca buku dan itu selaras dengan efek nonton filmnya. Film ini stay true dengan bukunya.
    Rasanya sih tujuan buku dan film pertama menghibur adl utk menarik supaya siap dengan konflik di dilan 1991. 1990 bercerita ttg pdkt, 1991 ttg sulitnya pacaran, milea adl ttg suara dr sisi dilan.

    • arya says:

      iya itu dia masalahnya, film enggak bisa disamain ama buku – setia ama buku artinya jalan ceritanya aja yang sama, gak harus setiap adegan buku dipaksain disalin jadi film. Karena film punya struktur sendiri. Tokoh utama film harus melalui banyak rintangan, harus melakukan banyak pilihan. Sudah semestinya saat mengadaptasi buku menjadi film, penceritaannya disesuaikan dengan kaidah film, itulah yang namanya kreativitas filmmaker

    • Ulya says:

      nah justru itu gasih? sebuah film meskipun gabisa kompleks harus tetep bisa explain sama.penonton mau yang udah baca atau belum, karena ga semua orang baca. film diproduksi bukan buat pembaca buku aja. lagipula banyak film hasil adaptasi buku yang masih bisa explain dan punya ‘rasa’, jujur ini hambar banget

  15. Ulya says:

    Sebagian besar dari review ini gue setuju bgt sih, dan gue salah satu kaum yang merasa ‘meh’ setelah nonton ini, bener2 gaada klimaks nya, sinematografi sama color gradingnya yaa standar lah menurut gue. Gue cuma beda pendapat di settingnya, menurut gue ga dapet samsek, I didn’t even think that they did that much research about 90s. beberapa set dan wardrobe cuma berdasar stereotype aja, bahkan gue lihat banyak pemeran yg rambutnya di curl ujung ala2 anak hitz sekarang, I don’t think tahun segitu rambutnya begitu. interior juga gitu, banyak yg terlalu modern, meskipun exteriornya udah ok. detail kaya gitu kaya sepele sih, banyak yg ga peduli juga, but it does bother some people including myself. Dan iya, gue juga abis nonton Lady Bird terus nonton ini, so I know what you feel lol. tp ya okelah kalo buat seru2an aja, kalo pengen nonton film ringan ala2 anak SMA. but does it deserves the hype? I guess not.

    • arya says:

      iya setelah dipikir-pikir, bener juga sih ya, set film ini kurang usaha – yang benaer bener kerasa 90annya yang udah tertulis di novel aja – telefon umu, poster-poster, tapi ketika untuk kerja filmnya sendiri banyak yang bocor kayak dandanan rambut itu.. most overrated movie di tahun 2018 sih sejauh ini

Leave a Reply