RED SPARROW Review

“Everything happens for a reason.”

 

 

Moralitas cuma sikap sentimental manusia. Sedangkan harga diri selalu adalah yang lebih dahulu jatuh. Jadi buat apa menunggu? Pemuda pemudi Rusia yang digembleng oleh agensi State School 4 mendapat doktrin seperti demikian demi mengobarkan semangat patriotisme mereka. Sebab dalam aksi membela negara, mereka semua harus rela mengorbankan apapun. Jiwa raga mereka milik negara  yang selama ini telah memberikan mereka tempat berlindung, tempat untuk tinggal. Dan sekarang adalah giliran mereka untuk berjuang atas nama negara, dengan menjadikan tubuh sebagai senjata utama.

Menjadi mata-mata tidak selamanya berarti menguasai alat-alat berteknologi canggih, enggak selalu bahaya yang mereka hadapi berupa merayap elegan di antara laser-laser dengan kostum hitam. Film Red Sparrow tidak memewah-mewahkan kehidupan sembunyi-sembunyi penuh rahasia itu. Ataupun membuat penontonnya ingin menjadi mata-mata kece. Sesungguhnya film ini diadaptasi dari buku novel karangan Jason Matthews; seorang mantan anggota CIA. Jadi at heart, cerita film ini tahu persis seperti apa ‘sisi buruk’ dari pekerjaan tersebut. Materi yang disambut dengan bijak oleh sutradara Francis Lawrence, ini lebih sebagai sebuah cerita thriller dibandingkan kisah aksi. Menonton Red Sparrow, kita akan merasakan betapa OTENTIKNYA GAMBARAN DARI KEHIDUPAN SEORANG MATA-MATA. Iya sih, menjadi mata-mata berarti hidup kita menjadi glamor seketika; bercinta dengan orang-orang penting, orang-orang kaya. Namun, melalui film ini kita akan melihat sebenarnya itu adalah sebuah hidup yang sangat mengerikan. Percaya deh, enggak akan ada yang mau berada dalam sepatu Dominika Egorova. Tokoh utama kita ini adalah seorang ballerina yang direkrut ke dalam barisan Sparrow yang kerjaannya secara sederhana adalah merayu orang untuk mendapatkan informasi. Sebuah pekerjaan yang mengerikan sekaligus menyedihkan. Dan tentu saja, penuh resiko.

Di Rusia, supaya tenang setelah kejadian traumatis, orang-orangnya enggak minum air putih. Mereka merokok.

 

Kita tidak mau melihat Dominika menjadi mata-mata yang sukses, kita ingin melihat cewek ini berhenti menjadi mata-mata dan kabur saja keluar dari dunia yang ia geluti. Hidup yang ia jalani was just so horrible, namun walaupun cerita tidak pernah memuja keputusan yang diambilnya, membenarkan apa yang ia pilih, Red Sparrow masih berkodrat sebagai sebuah film. Cerita film ini disusun sedemikian rupa supaya menarik, jadi kita tetap mendapatkan trope-trope thriller Perang Dingin – Misi utama Dominika, pertanyaan pada lapisan terluar cerita film ini, berpusat pada apakah Dominika akan berhasil mengendus mata-mata yang ia cari? Juga ada kisah cinta antara dua mata-mata beda negara yang tentu saja menambah stake berupa apakah pihak yang lain itu bisa dipercaya, siapa yang bakal mengkhianati siapa. Kalian ngertilah, kita masih akan menjumpai sedikit dramatisasi pada cerita. In fact, salah satu sekuen yang paling efektif nunjukin sensasi thriller dalam film ini adalah sepuluh menit pertama ketika kita dibikin berpindah-pindah antara pertunjukan balet Dominika dengan pertemuan rahasia tokoh Joel Edgerton, sementara scoring yang sangat memikat mengalun di latar belakang. Di dalam film akan ada sekuen berantem yang lumayan sadis. Ada adegan pemukulan dan penyiksaan yang bukan konsumsi penonton yang perutnya lemah.

Selain itu, juga banyak adegan ‘buka baju’ yang bakal bikin kita risih menontonnya – yang membuat bioskop di sini mesti melakukan sensor dengan mengezoom pada adegan kurang senonoh sehingga kita hanya melihat kepala tokohnya saja. Dan untuk itu, aku sangat salut kepada Jennifer Lawrence yang sungguh bernyali. Setelah hal-hal gila yang aktris ini lakukan di Mother! (2017), di Red Sparrow dia menaikkan tingkat kenekatannya dengan melakukan berbagai adegan yang bikin kita meringis. Sepertinya tidak ada adegan menantang yang enggan dilakukan oleh JenLaw, semuanya dijabanin.  Perlu kutekankan sedikit, meskipun memang banyak adegan seksual yang awkward dan kasar – di kelas di ‘sekolah mata-matanya’, Dominika dan murid-murid yang lain kerap disuruh buka baju dan melakukan gituan di depan semua orang – perasaan disturbing yang kita rasakan ketika menonton film ini tidak terbatas berasal dari sana. Malahan, justru adegan tokohnya Mary-Louise Parker yang bikin penonton di studioku tadi barengan memekin tertahan, padahal adegannya bukan adegan seksual.

Aku bisa paham dan membayangkan kalo Red Sparrow bakal banyak diboikot, lantaran film ini juga menggambarkan iklim politik yang disturbingly relevan terutama buat penonton Amerika. Red Sparrow mengemukakan wacana soal kebudayaan Amerika yang berubah akibat sosial media dan teknologi dan bagaimana Rusia mencoba mengapitalisasi tensi di antara kedua negara. Dan kita tahu, semenjak election 2016 santer kabar ada campur tangan Rusia di dalamnya. Mungkin kata-kata mentor Dominika ada benarnya. Mungkin Perang Dingin tidak akan pernah berakhir.

 

Sebagai sebuah cerita, film ini punya sisi menarik. Kita ditaruh di tengah-tengah situasi politik di mana kita enggak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun di atas itu, yang membuat film ini susah untuk ditonton adalah betapa protagonis kita luar biasa tak tertebak. Film ini dengan sengaja mengaburkan isi kepala Dominika kepada kita, membuat kita tidak pernah sepenuhnya memahami keputusan yang ia buat. Tidak seperti pada Molly’s Game (2018)  di mana kita bisa mengerti apa yang membuat tokoh Jessica Chastain berpindah dari atlit ski, memilih menjadi Bandar Poker, kita paham mindsetnya, pilihan-pilihan yang dia ambil, pada Red Sparrow kita tidak mengerti bagaimana cara kerja pikiran Dominika. Kita mengerti dia terjebak dalam situasi yang tidak ia sukai, tapi kita enggak tahu apa tepatnya yang menyebabkan dia ada di sana. Transisi dari dia yang balerina sukses menjadi, katakanlah, pion dalam permainan spionase maut terasa sangat abrupt. Keputusan-keputusan Dominika disimpan rapat di dalam kepalanya sendiri, dan kita hanya melihat tindaknya dari luar. Mmebuat kita sulit peduli dan mendukung tokohnya. Dan sejauh yang bisa aku usahakan untuk mengerti, keputusan agensi Sparrow merekrut Dominika adalah karena masalah pelik keluarga, semacam nepotisme, dan karena Dominika punya paras cantik yang merupakan aset berharga jika kau mencari kandidat sempurna untuk mata-mata.

you don’t want to be a volunteer for this kind of job

 

Tidak ada yang namanya kebetulan di muka bumi. Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua hal terjadi karena suatu alasan. Ini adalah pelajaran berharga yang dipelajari dengan cara yang sangat keras oleh Dominika. Semuanya itu bersangkutan dengan kebutuhan manusia, sebagai makhuk sosial. Pada gilirannya, Dominika menjadi sangat tangkas dalam menebak apa yang diinginkan oleh target operasinya, tak terkecuali orang-orang di sekitarnya. Inilah yang membuatnya begitu cakap sebagai seorang mata-mata. Sebegitu handalnya sehingga Dominika dapat membalikkan kebutuhan orang sebagai keuntungan yang memenuhi kebutuhannya.

 

Film ini banyak bicara tentang bagaimana setiap manusia mempunyai kebutuhan. Akan ada banyak percakapan yang menanyakan “apa yang kau mau?” kepada seorang tokoh. Kebutuhan manusia menjadi poin vokal dalam narasi, tapi kita dengan sengaja dibuat tidak mengetahui kebutuhan sejati dari tokoh utama. Kita paham dia ingin ibunya yang sakit terurus dengan baik, tetapi gambar besar dari tujuannya sengaja ditutupi. Film seolah membuat pagar pertahanan di sekeliling tokoh utama yang mencegah kita untuk masuk dan peduli dan mengerti, dan hanya di saat-saat terakhir pagar ini membuka. Film banyak memanjang-manjangkan adegan yang kelihatan seperti momen gede padahal enggak benar-benar mengangkat cerita, hanya untuk memperlihatkan kepada kita kemampuan dan arah moral yang dipegang oleh Dominika. Karena sebenarnya hanya ada satu adegan kecil yang perlu kita tahu di akhir, adegan yang akhirnya membuat kita melihat Dominika seutuhnya.

 

 

 

Manusia adalah teka-teki kebutuhan. Film memilih untuk menggambarkan itu dengan tepat kepada tokoh utama sehingga kita bisa menjadi begitu frustasi saat menontonnya. Ceritanya tidak membingungkan, elemen politiknya bisa dipahami dengan sedikit perjuangan, mendukung tokoh utamanyalah yang merupakan tugas yang sulit. Kita bisa suka kepada setengah bagian dari film ini, karena dia begitu bernyali, punya adegan-adegan dan desain musik dan suara yang memikat. Sementara yang setengahnya lagi, kita akan kebingungan.
The Palace of Wisdom gives 5.5 gold stars out of 10 for RED SPARROW.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

Leave a Reply