BENYAMIN BIANG KEROK Review

“Sometimes we need to step back”

 

 

Bersama-sama, sutradara Hanung Bramantyo dan aktor Reza Rahadian telah menghasilkan karya yang mengundang decak kagum banyak orang, seperti Rudy Habibie (2016), Kartini (2017), dan baru-baru ini tayang di festival adalah film The Gift yang aku belum dapet kesempatan untuk menonton. Dan kemudian, mereka menelurkan film seperti Benyamin Biang Kerok.

Aku enggak tahu apa memang banyak permintaan untuk menghidupkan kembali peran yang dibuat legendaris oleh legenda lawak Benyamin Sueb (bekennya disingkat Benyamin S doang). Apalagi ada orang yang menganggap Reza Rahadian bermain sebagai Benyamin adalah sebuah ide emas. Tentu saja, akan menarik melihat Johnny Deppnya Indonesia ini mencoba bermain di ranah yang baru. Film ini jelas memberinya tantangan dari poin terkecil Reza bukan orang betawi. Dari yang aku dengar juga, Reza katanya sangat kepengen bermain di film musikal – terlebih komedi musikal. Tetapi, Benyamin Biang Kerok ini mungkin bukan gimana tepatnya Reza membayangkan komedi berbumbu musikal yang bakal ia lakoni.

Kebiasaan ini memang belum bisa terjelaskan dengan baik, namun manusia suka untuk mengerem langkahnya. Terkadang kita merasa perlu untuk mengambil tempo. Seperti saat hendak melompat jauh, kita akan mengambil ancang-acang ke belakang beberapa langkah. Kita merasa aman, rileks, dengan sedikit memundurkan diri. Tapi seberapa jauh kita rela ataupun harus mundur? Film Benyamin Biang Kerok ini adalah langkah mundur yang dengan sukses diambil oleh Hanung dan Reza, terlebih jika mereka memang menginginkan sedikit change of pace dengan mengdowngrade diri mereka sedikit banyaknya.

 

Reza cukup berhasil membawakan kekhasan Benyamin, mulai dari suara tawa, mimik, hingga tantrumnya. Selain bakal diisi adegan musikal, aku enggak tahu harus mengharapkan seperti apa film ini sebelum menontonnya. Tadinya kupikir biografi Benyamin, ternyata bukan. Film ini lebih seperti reboot dari film jadul dengan tokoh bernama Pengki. Yang jelas, aku sama sekali tidak mengharapkan produk film yang se-terrible ini. Untuk sepenuhnya mengerti kenapa film ini ujung-ujungnya tidak bekerja dengan efektif, sebagaimana terhadap film-film pada umumnya, kita perlu melihat dan diyakinkan oleh sepuluh menit pertamanya.

Timingnya sih pas, film ini tayang deketan sama hari lahir Benyamin S

 

Sekuen pembuka film ini melibatkan Tora Sudiro yang sedang dalam misi undercover, menyusup ke dalam kasino dan ikut permainan Poker underground yang diselenggarakan oleh Komar (seru dan cukup meyakinkan juga aksi pelawak senior ini menjadi bos penjahat). Di dalam sana kita lihat berbagai teknologi canggih namun konyol seperti scanner wajah yang memperlihatkan status relationship orang. Si Komar, selain punya nama tokoh yang kreatif banget – Said Toni Rojim, juga punya robot cewek yang canggih dan creepy abis. Dibantu dua temennya; yang satu menyusup jadi orang dalam dan satunya lagi menjadi mata lewat kamera pengintai, Tora berusaha memenangkan uang sebanyak mungkin. Itulah tujuan mereka di sini. Namun kemudian polisi datang menggerebek, Tora kabur membawa apa yang bisa ia bawa, dan ternyata Tora adalah Benyamin alias Reza Rahadian alias Pengki yang sedang pake topeng! Kemudian Pengki dan teman-temannya kabur naik oplet mandra ke pasar, di mana mereka lantas nyanyi ondel-ondel bareng semua orang.

See? I was just ready to watch a completely absurd comedy. Sepuluh menit pertama film ini sebenarnya efektif sekali melandaskan betapa konyolnya film ini dibuat. Untuk adegan-adegan ke depan kita akan melihat orang diuppercut hingga menembus awan dan menabrak pesawat terbang. Kita akan kenalan sekilas sama cewek yang mengaum kayak harimau dan makanin orang. Kita akan bersisian sama tiruan Bane yang badannya berminyak. Sesungguhnya ini semua sah-sah saja, jika film memang ingin bersenang-senang dengan logika dan intelegensi, maka itu terserah mereka. Asalkan semuanya digarap dengan arahan yang pasti.

Akan tetapi, Benyamin Biang Kerok masih ingin tampil pintar. Masih berusaha tampil punya hati. Diberikannya Pengki persahabatan dengan dua temen dekatnya. Dituliskannya Pengki sebagai anak orang kaya dengan masalah keluarga – kedua orangtuanya sudah tidak bersama, Pengki tinggal dengan ibu yang menganggap anaknya adalah bocah tue yang paling males sedunia padahal di luar rumah Pengki adalah pemuda yang mengkhawatirkan hidup warga rusun pinggiran. Yang rela membahayakan nyawa demi uang mencegah rusun tersebut dari penggusuran. Pengki juga somehow adalah pelatih sepak bola untuk anak-anak di sana. Naskah juga memberikan Pengki kekasih, seorang artis cantik, yang ternyata adalah ‘calon istri’ dari Said si bandit yang pasukannya cewek semua. Di atas itu, film juga sempat-sempatnya melontarkan komentar yang relevan dengan situasi politik dan keadaan sosial dalam masyarakat Indonesia sekarang ini. Sayangnya, dengan tone yang begitu bercampur seperti ini – editing film pun kerap tampak sangat kasar antara adegan satu dengan adegan lain kelihatan banget beda take – sukar untuk kita menganggap serius pesan-pesan tersembunyi yang dibisikin oleh film.

Mencoba untuk memasukkan banyak elemen dari berbagai genre, film ini seperti campuran dari berbagai hal-hal konyol. Masing-masingnya lebih wacky dari sebelumnya. Sehingga tidak lagi menjadi lucu. Malahan, film ini cukup ‘menyakitkan’ untuk ditonton. Kayak melihat orang pintar yang berusaha terlalu keras untuk tampak bego supaya disukai dan membaur dengan sekelilingnya. They don’t feel comfortable at all. Menonton film ini seperti menonton seseorang yang sedang enggak mau menjadi dirinya sendiri.

 

Yang membuat semakin parah adalah relasi antara tokoh-tokohnya tidak pernah dibuat meyakinkan. Pengki dengan teman-teman partner in crimenya tidak dieksplorasi, bahkan mereka bertiga jarang berada dalam satu frame yang sama.  Ada satu adegan Ibu Pengki yang galak mengajaknya ikut melihat bagaimana carany berbisnis, tapi dilakukan dengan konyol, tanpa menambah banyak untuk cerita. Hubungan antara Pengki dengan demenannya pun tidak pernah tampak manis. Kecuali pada adegan-adegan musikal yang tampak berada di luar dinding cerita – yang mana membuat film ini sedikit membingungkan. Pengki dan Aida menjadi dekat dengan begitu cepat, sehingga kita tidak benar-benar peduli ketika Aida mulai dalam bahaya dalam cengkeraman Said. Stake dalam cerita serta merta tergampangkan. Pengki punya semua jawaban, entah itu dari uang ataupun dari alat-alat temuan temannya. Tak sekalipun kita merasakan ada yang benar-benar dalam bahaya – inilah tanda betapa elemen dalam film tidak tercampur dengan baik. Kita hanya dapet konyolnya saja, which is fine dalam komedi yang hanya menyasar komedi, tapi film ini menargetkan banyak hal pada narasinya.

unsur betawinya juga seperti ketinggalan entah di mana di tengah cerita

 

Buatku, the last straw adalah bagaimana cara film mengakhiri ceritanya. Hmm.. atau seharusnya aku menulis bagaimana cara film tidak mengakhiri ceritanya. It was very insulting memotong film di tengah-tengah sekuen seperti yang dilakukan oleh film ini.  Penonton berhak mendapat penutup. Kita sering mengejek film cinta-cintaan kayak ftv atau sinetron, padahal justru Benyamin Biang Kerok inilah yang sinetron layar lebar yang sebenarnya.  Mereka pretty much sama saja dengan menabuhkan tulisan ‘bersambung’ di layar dan tidak semestinya, tidak ada alasan, yang namanya film berakhir dengan demikian. Film seharusnya tertutup. Ada awal, tengah, akhir. Memotong akhir tanpa ada babak penyelesaian adalah tindakan yang lancang, bagaimana seorang bisa menyebut dirinya pembuat film jika ia tidak benar-benar membuat sesuai dengan kaidah film? Benyamin Biang Kerok hanyalah sebuah franchise ‘reborn’ berikutnya setelah Warkop DKI. Bahkan jika dibandingkan pun, Warkop DKI Reborn adalah film yang lebih baik karena mereka tidak pernah ingin menjadi lebih dari diri mereka yang sebenanrya; sebuah tontonan konyol. Seenggaknya Warkop DKI sedari awal sudah ‘mengakui’ film mereka berformat part 1 dan part 2. Dan mereka juga tidak memotong film di tengah-tengah aksi, mereka masih punya batasan penutup yang jelas di antara dua part. Wow , aku gak percaya tiba harinya aku membela film Warkop DKI Reborn, mungkin ini langkah mundur yang kuperlukan.

 

 

Kita memang kadang perlu mundur, tapi seberapa jauh. Satu pertanyaan lagi yang aku yakin menghinggapi benak kita saat menonton ini “Ini beneran film buatan Hanung, siapa biang kerok sebenarnya di sini?”. Bahkan menyebut ini sebagai film cari uang pun sesungguhnya tidak tepat. Karena ini actually bukanlah sebuah film. Ini adalah insult yang mengapitalisasi kenangan terhadap seorang seniman sebesar Benyamin Sueb.
The Palace of Wisdom gives 1 out of 10 gold stars for BENYAMIN BIANG KEROK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Aaron says:

    Skip deh untuk film ini. Another money grabbing movie by Falcon, sangat tidak menyangka filmnya diakhiri dengan cara seperti itu. Baca reviewnya saja sudah cukup.

  2. Fardam Zainal says:

    Liat poster dan trailernya aja udah eneg apalagi kalo hrs nntn.
    Heran bgt sm org2 yg bisa enjoy sm flm beginian. Mungkin basicly sedari kecil aku terbiasa konsumsi flm2 luar berkualitas jdnya pas giliran flm indonesia jstru trasa gimana gituh. Hehehe

    • arya says:

      Ahahahaha pada kurang hiburan kali. Kurang hiburan dan duit berlebih; aneh sih memang kalo udah diinsult terang-terangan sama film, tapi masih bisa bilang enjoy xD

  3. Raja Lubis says:

    Sayang sekali niatan menghidupkan sang legenda, dibuat oleh sutradara handal, aktor-aktor beken nan mumpuni, production design yang mewah, berakhir dengan sia-sia dan harus mengalah pada pemilik modal.

    Kekesalan terbesarku adalah memotong film menjadi 2 bagian, Hanung pun tidak mempertahankan sekuens pembabakan dengan baik.

    Teori bahwa Hanung nggak bisa bikin film jelek, akhirnya terbantahkan dengan hadirnya film ini. Sungguh disayangkan.

    • arya says:

      Padahal di tengah2 aku udah mulai nyaman ngikutin ceritanya… cuma memang terasa aneh aja; udah nyaris 90 menit tapi kok belum masuk-masuk sekuen resolusi sih.. Dan ternyata memang ceritanya enggak sampai ke resolusi karena dipotong. Bah! Merasa terhina banget, seketika terngiang suara tawa Pengky, “ha ha ha ha!” -,-

  4. Vivi says:

    Sadiiisss…cukup sesek napas bacanya mengingat promosinya yg lebih gila dibanding filem falcon sebelumnya, Dilan 1mau, sampe ngarak ondel ondel seantero jakarta. Rencana besok mau nonton bareng suami bakalan gagal kalo gini.

    Untung saya baca dulu, saya gak mau lagi ketipu promo gila gilaan falcon seperti yg terjadi di warkop reborn. Padahal saya baru aja berpikir kalo ini akan jadi salah satu karya ylterbaik Hanung Bramantio seandainya ia sukses menghidupkan kembali karakter banyamin melalui Reza. Tapi memang Bang Ben sulit terganti.

    • arya says:

      Kalo sama suami mau ngedate nonton buat lucu-lucuan sih, silahkan aja, Mbak. Tapi aku gajamin bakal ketawa karena filmnya lucu loh hihihi.

      Bahkan sutradara top pun ngalah juga sama yang punya modal yaa

  5. arya says:

    Dari sekian seringnya iklan film ini muncul di tivi, sempet gak sih mereka ngasih tau kalo filmnya dipotong di tengah? Ini nih yang sebenarnya paling membuat film ini jelek, malah hardly bisa disebut sebagai film.
    Cukuplah sama film reborn, kenapa gak berani bikin cerita original yang bener-bener baru, yang bukan adaptasi, yang enggak numpang di nama/brand yang udah dikenal, mestinya Falcon berani buktiin dong kalo marketing mereka beneran jago

  6. Andi says:

    good review…kemarin milih norton ini kin mau norton comedy, ketawa2 lah setelah1 minggu kerja. facts: saya tertidur 3 kali, nyaris nggak ketawa sama sekali, malah bingung kok ceritanya cepet bgt loncat2 padahal baru meleng sebentar.

    acting Reza sebenarnya bagus, yg lainnya juga cutup bagus. problem utama ada di storynya…nggak jelas mau kemana…

    • arya says:

      storynya berlebihan sekali, nyampurin-nyampurin semua genre jadinya malah gak jelas.. semoga Falcon cepat insaf deh, kembali ke jalan bikin film yang benar

  7. Nining says:

    Jeleknya pake banget.
    Alurnya .. o’o pusing lihatnya..
    Pake acara bersambung.. kalau tayang sambungannya ni film.. warbinasa nyeselnya klo beli tiket. Yg awal aja gitu.. apalagi yg ke2.

    Sungguh sanggat disayangkan membawa nama legendaris yg tdk sesuai dgn nama besarnya.

  8. Fajar says:

    Totally agree..kecewa dengan jalan cerita yg terkesan dipaksakan. Kesan Bang Ben yg konyol tp lucu penuh dengan kesederhanaan,lenyap dalam film ini.Cerita yg super fiktif pun seharusnya nggak ada,mending gali cerita dari background kampung yg mau digusur aja tanpa embel2 sains futuristik fiktif..akhir film yg dipotong seenaknya memjadi minus berikutnya

    • arya says:

      Setujuu, mestinya dibikin sederhana aja; cerita di kampung betawi yang kena modernisasi atau apapun yang lebih down to earth. Aku malah jadi males nonton sambungannya; buat apa bayar tiket dua kali untuk satu film yang dipotong, yagak

  9. Bathory45 says:

    Pas pertama liat cuplikan teaser di instagram, saya langsung ga minat untuk nonton sih. Kenapa? Karena pertama kali yang muncul di pikiran saya yaitu Reza sepertinya kurang cocok untuk memainkan sosok Benyamin (PS: Saya sendiri orang betawi dan sering nonton film Benyamin). Seperti ada sesuatu yang “kurang” dari Reza sendiri. Plus, pas lihat review ini, surely hit to my prediction. It doesn’t mean that i don’t like Reza. I really love his acting in some movies that he starred. But for this movie, ummm…. and thanks for the review!

    • arya says:

      samsamaaa..

      one of people’s biggest concern regarding casting’s choice- yang juga seharusnya jadi tantangan Reza mainin Pengki/Benyamin – adalah Reza terlalu ‘bersih’ untuk sosok ini. Tapi fil, ini malah membuat peran Reza di sini sebagai anak orang kaya banget, dan dia di sini enggak pula bermain ‘kotor-kotoran’ – jadi tantangan itu malah diignore sama pembuatnya

  10. gilang p says:

    sudah ku duga kerain ane nih film bakalan tayang semacam serial tv pas ngheliat iklanya, soalnya untuk iklan sekelas bioskop terlalu garing, sosoknya terlalu di paksain… untuk reza sebenarnya cocok aja untuk meranin peran benjamin asalkan jangan terlalu di paksain , di sini reza terkesan seperti profesor gila di film2 tahun 80/90 anlaah,.

  11. close2mrtj says:

    aduh, ini film… bener2 deh…
    saya punya kebiasaan yaitu ga mau liat review sebelum nonton. pokonya apapun itu sebelum nonton filmnya. biar surprise.
    dan begitupun saat mau nonton film ini. saya pikir, ini film pasti BAGUS!
    pertama, pemainnya Reza, sutradaranya Hanung, ada senior2 pula. PLUS, ini tentang Benyamin S, idola saya dari kecil. dan film favorite saya dari beliau adalah Benyamin Biang Kerok. semua ‘persyaratan’ sudah terpenuhi untuk menjadikan saya beranggapan film ini bagus, padahal belum nonton.

    Tapi, semuanya DROP!

    Saya sampe berulang2 mikirin, selama nonton, “Ini kenapa bikinnya gini sih?” “ini kok ga enak diliat sih filmnya.” “ini si Hanung yg bikin? lagi teler kali dia ya?”
    daaan ungkapan2 ketidaksukaan lainnya yg malah rame di pikiran saya. saking ramenya, saya sampe kecapean, dan mungkin ada 10 menit saya tidur.

    Saya emang paling males ngarepin apa2 ketika mau nonton sebuah film. bahwa filmnya harusnya gini, harusnya gitu, karena buat saya, film itu kaya sebuah sajian atau hidangan yang terserah mau digelar buat saya apapun itu. saya tinggal menerima apa adanya sajian itu. dan ya, ‘memperbolehkan’ mereka mau ngapain deh. biasanya lho ya.

    tapi kali ini, saya melanggar itu semua. karena semua persyaratan di atas tadi, yg udah sangat terpenuhi. kirain ya, ini film bakalan jadi film Benyamin Biang Kerok yg sangat saya suka itu, tapi versi sekarang. dengan segala kekonyolan dan ceritanya yg sama, tapi beda. disesuaikan dengan jaman sekarang gitu. eh, ga taunya. udah meleset, ngejoprak lagi!

    ketika jalan pulang pun, saya yg nontonnya sama nyokap (seperti ternyata banyak orang2 tua yg juga nonton, karena mungkin ngarep2 kaya saya dan nyokap saya gitu deh), saya ngebahas langsung sama nyokap (hal yg ga biasanya saya lakukan ama emak2); ngereview film.

    saya: “Mi, filmnya kok jelek ya?”
    emak: “Iya ya!”
    saya: “Itu sih ga usah pake nama atau tokoh Benyamin juga bisa. pake aja tokoh baru, trus ceritanya begitu, jadi film. ngapain bawa2 Benyamin ya?”
    saya: “IYA BENER!”

    emak gw setuju, cuy. 😀

    paling engga, saya emang dapet surprise sih. but not in a good way.

    eh, maaf ya, kepanjangan komennya. abis uneg2 nih. biar plong… 😀

    • arya says:

      Hahahaha gapapa, plong-in aja… gakebayang gimana awkwardnya film ini buat orangtua yang nonton karena kepikiran pengen liat regenerasi Benyamin, eh taunya filmnya malah begini.. Mereka gagal total di sini, jikalau tokohnya gak pake embel-embel Benyamin pun, penonton masih enggak suka lantaran cerita yang terlalu konyol

      • close2mrtj says:

        exactly! pas ngeliat mereka semua, ketika keluar dari bioskop, saya kok ada rasa, “Yah, Kong, Nyi, nyak, babe, maapin pilemnye ye… udeh ribet2 ke mari, kaga taunye begitu modelannye…” ngeliatnya dengan muka ngenes gitu saya. hahaha…

        mudah2an Hanung sama Reza baca2in deh review film mereka ini.karena kayanya ga ada yg ngasih penilaian bagus pastinya. raport merah deh buat yg ini hahaha

  12. makaramerahfcweb says:

    nice review!

    IMHO, maksain reza jd benyamin, sama aja maksain vino jd kasino, selera produser yg penting (wajah) menjual. padahal, esensi dr seorang benyamin adalah komedi, bukan rambut keriting, mimik lucu, logat betawi, reza jelas ga punya basic komedi (komedi itu soal bakat, genuine). banyak aktor komedian yg lbh pas, misal babe chabita yg secara fisik jg bisa ditarik kemiripannya dg benyamin atau ada vokalis jiung band yg aslinya emang niat mau ‘niru’ benyamin. sama halnya dg vino, lbh pas ence bagus yg asli komedian dan tengil buat jd kasino.

    akhir kata, alhamdulillah ga nonton film biang kerok ini.

    • arya says:

      benar, dan filmnya memang bergantung pada wajah menjual itu banget terbukti dari penulisan yang gak menggali komedi dari tokohnya. Mereka cuma punya hal-hal lebay, dan nama besar. Ini bukan film yang dibuat untuk menghormati penonton, ataupun bukan film yang punya cerita untuk disampaikan. Hanya punya produk untuk dijual.

      Selamat, Anda termasuk orang-orang yang beruntung XD

  13. pujadamayani says:

    Pas awal liat trailer di youtube film ini apaan sih? Pas liat Reza jadi Benyamin, hmmm kok rada maksa ya? Hehehe dan ngga nyangka ratingnya dikasih bang Arya cuma 1, hihihi sebegitu jeleknya kah film ini?

    Jadi ingat Reza juga yang main di Pendekar Tongkat Emas, semua pemain ngga ada dasar beladiri tapi maksa main film aksi, terus lebih mirip film aksi silat Cina ketimbang pencak silat Indonesia, mana kostum ala Cina lagi, haduh jadi ingat luka lama gara2 film ini, sebal dan kecewa berat, hehehe

    • arya says:

      malah ragu juga sebenarnya ini film apa bukan, mana ada film tapi strukturnya dipenggal haha

      aduuuh kalo inget Tongkat Emas xD.. film bela diri tapi adegan bela dirinya banyak yang diskip, final battlenya doang yang enggak

  14. arya says:

    hahaha gapapa, sejelek2nya Tongkat Emas dan Dilan, seenggaknya mereka lebih ‘film’ ketimbang Biang Kerok

    Wiro Sableng aku pasti bakal nonton sih, mestinya bisa lebih baik, cuma aku sedapat mungkin gak ngikutin perkembangan promonya, gak lihat teaser segala macem, biar gak ninggiin ekspektasi 😀

Leave a Reply