TOMB RAIDER Review

“You need to be independent in order to survive in the world.”

 

 

Lara tidak seperti Croft yang lain. Dalam film ini, kalimat tersebut merujuk ke dalam konteks bahwa tokoh utama kita, Lara Croft, berbeda dari ayahnya; seorang bisnisman yang punya perusahaan besar.  Yang bagi Lara, ayahnya adalah sosok orang sibuk yang sering bepergian, sehingga meninggalkan Lara  seorang diri. Jadi, Lara enggak mau semua itu. Dia tidak tinggal di rumah yang besar. Dia bekerja sebagai kurir makanan bersepeda.

Kalimat ‘Lara tidak seperti Croft yang lain’ tersebut, however, juga bekerja di dalam konteks bahwasanya di dalam versi FILM REBOOT YANG DIADAPTASI DARI REBOOT VIDEO GAME ini, Lara Croft yang kita jumpai tidak sama dengan Lara Croft yang ikonik berbibir tebal seksi, berkepang panjang hingga ke pinggulnya yang sangat ramping, sementara dadanya, well yea, sudah jadi joke umum di kalangan gamer, Lara di PSX punya upper body yang begitu ‘menonjol’ sehingga grafik yang dahulu masih terbatas malah membuatnya tampak seperti segitiga alih-alih membundar.  Secara sederhana, kita bisa lihat masalahnya ketika para fans langsung membandingkan antara Angelina Jolie yang berperan di Lara Croft: Tomb Raider (2001) dengan aktris Alicia Vikander di film ini. Selain masalah fisik, Lara kali ini juga punya sepak terjang yang berbeda – perbedaaan gedenya adalah Lara tampak sangat vulnerable. Meski sisi adventurous, kecerdasan, ketertarikannya sama kode dan  tempat tersembunyi cewek ini udah kelihatan bahkan dari saat dirinya masih bocah, namun Lara Croft bukanlah jagoan. Setidaknya belum.

Dia pasti jago main Pandora Experience

 

Cerita petualangan aksi Tomb Raider ini memang bertindak sebagai origin karena pada intinya kita melihat siapa Lara Croft sebelum dia mulai menjelajahi makam dan kuil-kuil kuno penuh jebakan dan tak jarang kutukan mistis untuk mencari benda-benda peninggalan yang berkekuatan misterius. Lara Croft di film ini terlihat sangat vulnerable, dan Alicia Vikander benar-benar hebat memerankan setiap emosi yang harus dia jabanin. Aksennya juga pas, terdengar menguar ketegasan sekaligus sedikit rebellious. Film berhasil menyeimbangkan eksplorasi yang dilakukan oleh Lara, baik itu eksplorasi medan beneran maupun pencarian ke dalam dirinya, dengan aksi-aksi berlari, pengalaman  hidup-mati, yang mengdegup jantung. Sense of discovery yang disampaikan terasa lumayan kuat, karena terkadang kita diberikan kesempatan untuk memecahkan teka-teki bareng Lara. Misteri kebudayaan yang melapisi cerita film juga menarik. Kisah Legenda Himiko, yang supposedly adalah antagonis dalam film, dibuat sedikit berbeda dengan versi video game demi melandaskan keparalelan dengan salah satu layer perjalanan Lara Croft.

Saat film dimulai, kita sudah melihat Lara babak belur. Dia kalah saat latih tanding martial arts. Dia gagal dapet duit hadiah di permainan kejar-kejaran bersepeda. Ranselnya bahkan hampir dibawa kabur oleh berandalan. Lara memang sudah sedikit belajar tentang pentingnya mempertahankan diri – dia berusaha untuk hidup mandiri. Tapi cewek ini punya satu masalah yang membayangi setiap geraknya. Hati pada cerita ini adalah pada bagaimana Lara sangat menyintai sang ayah, sosok yang baginya sekaligus sebagai seorang ibu, walaupun ayahnya sering pergi-pergi dan Lara sendiri belum tahu apa yang ‘pekerjaan’ ayah yang sebenarnya. Aku suka gimana film membuat Lara tidak mau menandatangani surat wasiat dari si ayah, sebab kita tahu bahwa alasannya tidak semata karena Lara memilih hidup sederhana. Melainkan karena dengan menandatangani surat itu, Lara berarti sudah mengamini ayahnya yang hilang sudah meninggal.

Dalam penceritaan video game (yea, video game juga punya cerita layaknya tontonan sinematis) ada satu aturan baku standar yang udah jadi semacam pakem yang diikuti oleh banyak cerita, yakni: Jikalau tokoh utama punya sanak yang diceritakan sudah meninggal, tapi kita sebagai tokoh utama enggak pernah melihat mayatnya, maka sanak keluarga tersebut pastilah sebenarnya masih hidup. Dalam film juga sebenarnya elemen cerita begini sering dipakai, namun Tomb Raider menggunakan trope ini bukan tanpa sebab. Inilah yang menjadi motivasi perjalanan Lara – bagaimana apa yang ia inginkan akan berbuah menjadi hal yang tak ia inginkan. Lara butuh untuk melihat ayahnya masih hidup, untuk kemudian direnggut lagi darinya demi menyadari apa yang ia butuhkan; kemandirian sesungguhnya dari seorang penyintas sejati, her true self.

Kemampuan untuk mandiri tidak dimiliki oleh semua orang. Kadang tanpa disadari, kita bergantung terlalu banyak kepada orang lain, lebih dari yang kita perlukan. Di penghujung hari,  toh,  kita hanya akan punya diri sendiri. Kita perlu untuk mandiri demi bertahan hidup, dalam hal apapun. Adalah sangat penting untuk kita bisa mengambil keputusan, bisa mengambil tindakan, tanpa perlu selalu kompromi dengan orang lain. Betapa sangat berdayanya mengetahui bahwa kita mengendalikan hidup dan pilihan sendiri. Apalagi jika pilihannya adalah sepenting berkorban atau tidak.

 

Totally jalannya enggak lagi kebentur-bentur dinding kayak di game originalnya

 

Mengelak dari perangkap cerita origin yang biasanya menghabiskan satu film untuk mengubah karakter menjadi yang kita kenal, Tomb Raider hanya butuh satu jam kurang untuk kita dapat melihat glimpse dari Lara yang sebenarnya. Sangat empowering melihat Lara Croft yang tadinya seperti underdog, yang berani namun senantiasa ragu-ragu di dalam sehingga selalu gagal, menjadi semakin pede ketika dia mendaratkan kakinya di pulau tak berpenghuni itu. Alih-alih rubuh oleh bertubi-tubinya benturan fisik dan mental, Lara menjadi semakin kuat oleh setiap tantangan. Turning point bagi Lara adalah ketika dia harus mengalahkan – dia harus membunuh satu orang – yang mana adalah Lara’s first kill di seri ini, karena di titik itu dia mulai mengerti bahwa dia harus berjuang sekuat itu untuk bertahan hidup. Sendiri. Film menggarap adegan tersebut dengan lumayan menyentuh, mereka mengambil waktu untuk memperlihatkan ekspresi di wajah Lara, yang tentu saja dimainkan sangat meyakinkan oleh Vikander. It was a strong moment. Untuk kemudian diikuti dengan Lara bertemu dengan orang yang selama ini dicarinya, yang membuat inner-nya semakin berkonflik lagi lantaran dia kembali punya keinginan untuk menjadi putri kecil. Film membuat keputusan bagus untuk menampakkan momen-momen karakter seperti begini, aliran pengembangannya – naik turun karakter – dijaga sehingga menarik. Di bagian pacing-lah film ini sedikit terlalu kedodoran.

Cerita berlalu dengan cepat, antara adegan aksi satu dengan adegan aksi berikutnya, film akan mengerem dengan development karakter dan beberapa dialog eksposisi. Secara kesuluruhan, akibat eskposisi yang melambatkan film nyaris seolah secara mendadak, dengan aksi seru yang direkam dengan kecepatan tinggi, menonton film ini rasanya kayak melihat video ornag berlari yang kadang dislow-motion. Ada aspek-aspek cerita tertentu yang membuat kita “hey, darimana datangnya?”. Beberapa adegan flashback juga turut membebani jalannya cerita dengan perlambatan yang tidak perlu. Kita tidak butuh begitu sering kembali ke masa lalu, yang kadang adegannya itu-itu melulu. Menurutku, yang dibutuhkan film ini untuk mengerem justru  adalah momen-momen survival seperti memperlihatkan Lara membunuh hewan untuk makan, seperti pada video game. Tapi film malah melewatkan itu.

Kematian adalah petualangan. Salah satu aspek seru dari video game yang juga disadur oleh film ini adalah momen-momen berbahaya yang siap menerjang Lara. Dalam video game, kita bisa sengaja game over hanya untuk melihat adegan kematian yang kadang over-the-top namun menyenangkan. Film ini juga sama seperti itu, banyak adegan aksi yang bisa dibilang lebay dan agak gak masuk akal; Lara yang lompatannya jauh sekali, Lara menarik pecahan yang menembus perutnya padahal kalo luka tembus sebaiknya jangan dicabut karena pendarahannya akan semakin parah, akan tetapi kita tetap enjoy menontonnya. Adegan-adegan tersebut juga dijaga sehingga tidak mengakibatkan film menjadi konyol, menjadi terlalu Hollywood, menjadi guilty pleasure seperti film Tomb Raider terdahulu. Ada satu sekuen seru banget yang dicomot dari video game, yang bakal bikin penggemar video gamenya girang, yang melibatkan Lara dengan bangkai pesawat, namun basically sekuen ini hanyalah versi lain dari adegan kaca belakang bus di Jurassic Park. So yea, aksi dalam film ini seru dan menyenangkan, hanya saja memang tampak generic, film tidak menampilkan sesuatu yang benar-benar baru.

 

 

 

Menonton ini seperti memainkan video game yang punya replay value yang tinggi. Kita sudah bermain berkali-kali, kita sudah hapal, namun kita tetap suka. Kita ingin mencari cara lain untuk menamatkannya – karena film ini mampu bekerja dengan efektif, baik sebagai eksplorasi karakter maupun sebagai pure action adventure. Bicara soal mandiri, filmnya sendiri juga cukup mandiri. Di balik usaha film untuk membangun landasan universe, untuk membuat kait ke film berikutnya, film bertindak bijak dengan memastikan kita mendapat cerita yang contained, dengan plot tokoh yang melingkar tertutup. Di samping beberapa aspek penceritaan yang mestinya bisa dibuat lebih tight lagi, flashback dan eksposisi mestinya dapat dikurangi, ini tetap adalah salah satu adaptasi video game terbaik. Karena semua orang dibuat peduli sama tokohnya, kita bisa merasakan tokoh tersebut, kita ingin dia berhasil, walaupun kita enggak pernah memainkan video gamenya sebelum ini.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for TOMB RAIDER.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Herman Susanto says:

    Kalau penjiwaan Alicia VIkander begitu kuat, tidak heran karena dia punya bakat akting kualitas OSCAR.Dan itu yg diekspos oleh sutradara.

    • arya says:

      Mirroring Jolie banget, samasama dicast karena dapat Best Supporting Actrees, cuma bedanya Tomb Raider yang ini juga ditulis dengan sedikit effort ngimbangin pemerannya

Leave a Reply