SEKALA NISKALA Review

“Reality of things is hidden in the realm of the unseen.”

 

 

Tuhan menciptakan setiap hal berpasangan-pasangan agar dunia seimbang. Sekilas, memang tampaknya berujung pada spektrum yang berbeda – pada kubu positif dan negatif; baik dan jahat, sehat dan sakit. Namun sejatinya dua hal yang berseberangan berfungsi bersama membentuk sebuah harmoni.  Sebab kedua sisi tersebut sejatinya ekual dan sama pentingnya. Ketika sisi yang satu tidak bisa ada tanpa sisi satunya. Seperti ada laki-laki, maka ada perempuan. Setelah siang, maka akan ada malam. Ada kenyataan dan juga ada impian ketika kita bangun dan, pada gilirannya, tertidur.

Bayangkan permainan jungkat-jungkit yang banyak dijumpai di sekolahan balita baru gede alias TK. Yea, of course, mungkin kalian punya pengalaman buruk naik ini saat teman kalian di ujung yang satunya mendadak pergi begitu kalian masih di atas, sehingga kalian jatuh turun berdebam keras. Poinku adalah, permainan tersebut tidak bisa dimainkan dengan aman jika kedua ujungnya tidak berisi orang. Demikianlah juga cara kerja dunia, keseimbangan tidak akan tercapai jika tidak ada yang di atas dan di bawah di saat bersamaan. Jika dualitas itu tidak tercapai, maka chaoslah yang akan terjadi

ada yang terlihat, dan ada yang John Cena

 

The whole concept of duality inilah yang diceritakan oleh Sekala Niskala dalam simbolisasi dan penggambaran yang sungguh-sungguh tidak biasa. Hampir bikin pipis di celana, malah. Lantaran begitu surreal dan creepynya pengadeganan dan cerita yang digunakan. Dan yang membuat menonton film ini menjadi sebuah pengalaman yang bikin merinding, di atas desain suara dan sinematografi yang mistis banget, adalah betapa tipisnya garis antara realita dengan hal-hal surealis itu ditampakkan. Film tidak pernah repot-repot menjelaskan perkara yang sedang terjadi, apakah yang sedang kita lihat itu hanya produk imajiner di dalam kepala tokohnya, ataukah memang ada unsur mistis di sana. Namun tidak sekalipun kita dibuat kebingungan. Kita akan merasa tidak yakin apa yang sedang terjadi, dan dari sinilah ketertarikan untuk menyaksikan datang tanpa ada akhirnya.

Berlatar tempat di sebuah daerah kecil di Bali, kita akan memanggil protagonis kepada seorang anak cewek yang usianya tak lebih dari sepuluh tahun. Mereprentasikan perbedaan-yang-merupakan-satu-keutuhan, Tantri ini punya saudara kembar. Cowok, namanya Tantra. Sepertinya bukan cuma di Gravity Falls aja kembar buncing (kembar beda kelamin) dianggap menarik hal gaib dan petaka. Tantra mendadak sakit keras. Dia tidak bisa merespon, seluruh inderanya sudah lupa bagaimana caranya bekerja. Tidak banyak harapan bagi Tantra selain menunggu kematian datang menjemput. Menginggalkan Tantri dalam nestapa, karena bukan saja dia kehilangan teman bermain, dia juga kehilangan sosok ‘yang’ yang melengkapi ‘yin’nya. Tidak ada konflik besar dalam cerita film ini. Delapan-puluh-lima-menitan  yang kita saksikan adalah momen-momen ketika Tantra harus berurusan dengan kegelisahan dan kecemasan yang coba ia tangkal. Di sinilah penceritaan film menunjukkan kemagisannya. Tantri berusaha untuk terus bersama dengan Tantra dalam berbagai adegan yang bikin merinding yang sengaja banget dibikin kabur entah itu mimpi atau perwujudan dari hubungan batin antara Tantri dan Tantra sebagai anak kembar.

Sutradara Kamila Andini punya keterampilan tak biasa dalam menghadirkan emosi lewat berbagai hal subtil dan perlambangan. Menyaksikan film ini akan seperti menonton film  bisu yang terkadang bisa menjadi pemandangan yang sungguh pilu karena keindahannya. Bulan tampak mengambil peran penting dalam cerita. Dimulai dengan Tantra yang mendongeng lewat media bayangan perihal bagaimana dirinya sama seperti rembulan yang perlahan menghilang sinarnya, hingga ke adegan paling cantik di film ini saat Tantri menari di bawah bulan purnama, yang sepertinya menyimbolkan Tantri sedang menari bersama Tantra. In fact, menurutku bulan bisa menjadi kunci untuk menebak apa yang sesungguhnya sedang terjadi.

I do have a theory soal ini; kupikir film ingin melandaskan bahwa setiap kemunculan Tantra dan hal-hal ganjil yang terjadi di malam hari adalah benar kedua tokoh kita sedang berkomunikasi lewat hubungan khusus seperti telepati mereka sebagai anak kembar, you know, anak kembar dipercaya punya ikatan tak terjelaskan di mana yang satu akan bisa mengetahui apa yang dipikirkan oleh yang lain. Pertemuan kembali Tantri dengan Tantra pertama kali terjadi di malam hari. Barulah semakin cerita berjalan, kita mulai melihat Tantra ‘aktif’ di siang hari – mereka bermain ayam-ayaman dalam tarian lain yang sama creepynya – yang pada titik ini Tantra semakin mencemaskan potensi dia berpisah; jadi mungkin semua kejadian di siang hari yang melibatkan Tantra adalah hasil kreasi kepala Tantri belaka.

ohiya, aku lupa bilang bahwa mereka juga senantiasa ditemani oleh anak-anak kecil berpakaian putih yang mengepak-ngepak dan berguling-guling kayak janin

 

Selain bulan, telur juga menjadi relik kunci yang mengantarkan kita lebih jauh ke dalam ranah di mana fantasi dan psikologi beradu. Betapa halusnya film membuat adegan sebiasa dua anak yang makan telur mata sapi, dengan Tantri hanya memakan putihnya, dan memberikan bagian kuning telur untuk Tantra. Kemudian kamera lingering di depan kedua piring makan mereka, sedikit terlalu lama, untuk memastikan kita menangkap imaji dua entitas yang mestinya saling melengkapi. Kemudian telur ini mengantarkan kita ke satu lagi adegan surealis yang bakal lama terngiang di kepalaku; yakni saat Tantri makan telur rebus, dan dengan ajaibnya dia tidak menemukan bagian kuning telur. Momen Tantri mengubek-ngubek telur tersebut hingga menjadi berantakan, selain sangat powerful dan disturbing, sekaligus menjadi pertanda buat kita bahwa Tantri sudah kehilangan bagian dari dirinya, Tantra – kuning dari putih utuhnya telur eksistensi mereka.

Unsur kebudayaan Bali yang menganggap hal-hal surreal sebagai sebuah eksistensi menguar kuat lewat tari-tarian dan kostum yang dikenakan oleh para tokoh, yang tentu saja dianyam dengan benang-benang fantasi. Membuat film ini semakin tampak aneh namun sangat menghipnotis. Penampilan akting para pemain akan membuat kita teringat kepada pertunjukan teater panggung yang penuh dengan gestur-gestur dan dialog yang tidak tembak-langsung. Tokoh anak-anak dalam film ini, terutama pemeran Tantri – Ni Kadek Thaly Titi Kasih – yang sangat menggetarkan jiwa. Aku gak bisa pastikan apakah ini dari arahan atau memang insting natural dari Kadek karena aku gak berada di sana saat mereka syuting, tapi timing Tantri terasa sangat real dan sungguh precise. Pace film ini sengaja dibikin sangat lambat, adegan-adegan yang kita lihat kadang tampak tak banyak faedahnya seperti kita melihat Tantri dan ibunya berjalan masuk rumah sakit, dan kamera menyorot langkah perlahan mereka. Setiap kali kita dipantekkan ke sosok Tantri, entah itu dia turun dari mobil, dia menari, ataupun dia bertingkah kayak hewan yang ia tiru, Tantri bergerak di zonanya sendiri, lambatnya benar-benar tampak lebih dan actually memberi banyak bobot kepada penceritaan karakternya. Aku juga suka sama penampilan Ayu Laksmi sebagai Ibu dari si kembar. Aku pikir cukup menggelikan perannya sebagai tokoh hantu di Pengabdi Setan (2017) mendapat penghargaan. Di Sekala Niskala ini kita baru bisa melihat kepiawaiannya bermain peran dengan tokoh yang benar melakukan sesuatu;  Tokohnya punya cara ‘naas’ tersendiri dalam mengekspresikan kehilangan.

Senada dengan The Breadwinner (2017), film ini juga bicara tentang menemukan kedamaian dengan menyelam ke dalam kepala; dengan berusaha melihat hal-hal yang tak terlihat demi mencari realita yang kita sendiri diri harus diyakinkan kepadanya.

 

 

 

Interpretasi yang sangat haunting dari bagaimana benak anak kecil bekerja dalam menghadapi kehilangan. Dalam diamnya, film ini meriah oleh bahasa visual dan pemandangan ganjil nan subtil – yang bukan efek komputer! – dan memang benar dirinya bekerja terbaik saat melakukan itu. Desain produksi dan arahan membuat film ini luar biasa unik. Sebaliknya dalam dialog, kadang film ini masih cenderung untuk menjelaskan hal yang tak perlu dibeberkan. Pace yang sangat lambat juga tentunya jadi hambatan buat penonton kasual menikmati film ini, let alone berkontemplasi dengan kedalaman ceritanya. Sama seperti judulnya, film ini turut bermain dengan hal-hal yang tak terlihat, yang menjadikan penceritaannya begitu kuat. Tapi beberapa aspek yang terlihat oleh banyak orang, could actually memberatkan buat dirinya sendiri. Setelah mengatakan itu, aku tetap menyarankan untuk segera menonton ini jika kalian ingin menyaksikan sesuatu yang mungkin tidak bakal terlihat lagi yang serupa dengan ini dalam waktu dekat.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for SEKALA NISKALA.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Zainal A (@zenzonk) says:

    Jujur, menonton film ini seperti menonton film horor..haha– terlebih ketika adegan rombongan anak dan saat tantri menari, seperti ada hal mistik yang ingin disampaikan.tapi beberapa orang mengatakan sekala niskala ini kental menyangkut kepercayaan mereka.

    entalah, sepertinya harus ada riset dulu sebelum menyimpulkan, karena filmnya sendiri gak banyak menjelaskan, lebih banyak bercerita lewat visual..

Leave a Reply