PADDINGTON 2 Review

“Don’t judge a book by it’s cover”

 

 

Prasangka itu masih ada. Enggak peduli berapa sering kita berkata jangan menilai orang atau sesuatu dari penampilan, kita tetep masih melihat kesan pertama sebagai faktor yang paling menentukan. Dan darimana lagi kesan pertama itu datang kalo bukan dari tampang luarnya. Bahkan dalam menilai film pun kita begitu. Sadar atau tidak sadar, aku sering begitu. Kita suka keburu menyimpulkan film meski baru ngelihat poster atau trailernya selayang pandang doang. Ataupun dari genre. Padahal kan yang enggak kita suka belum tentu jelek, film mana bisa dinilai sebelum ditonton.

Paddington 2 ini contohnya. Film yang paling teroverlook di 2017 kemaren. Ketika tayang di bioskop, aku hanya meliriknya sekali. Aku bahkan belum nonton film pertamanya yang tayang tahun 2015 yang lalu. Karena, dari kelihatannya – beruang CGI yang hidup bareng manusia beneran, not exactly new thing juga di sinema – aku keburu menilai film ini seperti film-film keluarga kebanyakan. Film untuk anak-anak. Yang bisa disepelekan. Kemudian orang-orang mulai banyak membicarakan film ini, skor yang diberikan kepadanya oleh orang-orang yang actually menonton, tinggi sekali. Maka menyesallah diriku, dan sedikit malu, sebab begitu selesai menonton ini di komputer alih-alih layar besar yang majestic, memang film ini adalah salah satu yang terbaik. Aku enggak bercanda ataupun bias, Paddington 2 adalah film keluarga untuk anak-anak yang penuh pesona, yang sama sekali tidak meremehkan atau menganggap bodoh karakter maupun penontonnya.

Paddington, si beruang muda yang berasal dari hutan, kini tinggal bersama keluarga yang mengadopsinya. Hidup mereka harmonis sekali, tapi bukan tanpa cela. Anak cewek keluarga itu misalnya, karena putus ama cowoknya, dia menemukan ‘cinta’ ama bikin koran sekolah sendiri, yang anggotanya cewek semua. Adiknya yang baru gede punya ‘kelainan’ lain, yang tadinya hobi main kereta api, jadi malu mengakui hobinya demi pengcitraan cool di depan teman-teman sekolah. Sementara itu, si Ayah kena krisis pede, lantaran promosinya di kantor kesalip ama karyawan yang lebih muda.

Sepertinya kita tahu kenapa Sally Hawkins bisa kuat berenang bolak-balik London Perancis

 

Melalu mata Paddington, kita melihat tingkah anggota keluarga yang lain tersebut sebagai sesuatu yang ajaib. Basically, ini adalah cerita fish-out-of-water; karakter Paddington dibenturkan dengan environment yang sama sekali asing baginya. Hati dan sikap Paddingtonlah yang menyatukan, tidak sekalipun dia ngejudge apa yang ia lihat. Kepolosan Paddington membuatnya melihat yang terbaik dari semua orang. Dan itu semua berkat nasihat dari Aunt Lucy, sosok ibu bagi Paddington. Menjelang ulangtahun keseratus Aunt Lucy, Paddington ingin mengirimi beruang wanita tersebut sebuah kado berupa buku. Well, yea, jangan nilai buku dari sampulnya karena buku yang ditemukan Paddington di toko barang antik berisi pop-up tempat-tempat terkenal di kota London yang cantik banget. Buku ini bakal jadi kado yang sempurna untuk Aunt Lucy karena bibi Paddington itu dari dulu kepengen banget melihat London. Jadi, Paddington mulai mengusahakan membeli buku tersebut. Dia bekerja kecil-kecilan, menabung koin demi koin. Tapi sebelum duitnya terkumpul lengkap, buku tersebut dicuri oleh mantan aktor terkenal bernama Phoenix Buchanan, sehingga Paddington yang berusaha mendapatkan kembali buku berisi rahasia tersebut harus terjebak dalam situasi yang sulit.

Sebagaimana begitu banyak orang terpesona oleh Paddington, pada gilirannya banyak penonton – bahkan kritik – yang terpesona oleh film Paddington 2. Oleh karena si Paddington itu sendiri benar-benar punya hati yang besar, serta sudut pandang yang unik. Oh bukan, bukan, tidak seperti Fahri di Ayat-Ayat Cinta 2 (2017), Paddington tidak punya uang banyak, ia tidak tampan orang tidak jatuh hati seketika kepadanya. Beruang ini bukan tokoh sempurna, in a way dia baik tetapi dia teramat berbeda dari yang lain dari cara ia memandang dunia. Sebagai satu-satunya beruang di tengah-tengah manusia, Paddington sering ‘salah’ dalam berkomunikasi. Dia tidak mengerti sinyal-sinyal percakapan. Dia mengalami kesusahan memahami apa yang orang sampaikan. Ditambah lagi, tidak jarang dia mengatakan sesuatu yang keluar sebagai perkataan yang gak bener. Baginya, melakukan hal-hal simpel, seperti bercakap-cakap, belumlah suatu konsep yang jelas batas-batasnya. Komedi film ini memang datang dari sini, kita melihat beberapa slapstick, namun lucu-lucuan tersebut tidak pernah datang dengan mengorbankan derajat Paddington. Film tidak mengarahkan adegannya sebagai bentuk hinaan kepada Paddington, film tidak meminta kita untuk melihat Paddington sebagai orang bego. Faktanya, para tokoh lain juga tidak pernah bereaksi seolah Paddington adalah makhluk dengan IQ paling jongkok di kota. Kita tidak melihat Paddington sebagai orang bodoh, kita justru bersimpati terhadap kepolosannya. Ketidakmengertiannya terhadap dunialah yang membuat tokoh ini sangat adorable.

Sebagai sebuah tontonan yang utamanya ditargetkan untuk anak-anak, tentu karakterisasi Paddington ini tersampaikan dengan sukses sebagai sebuah pesan yang sangat baik. Melihat Paddington, anak kecil akan merelate diri mereka sendiri yang juga belum sepenuhnya mengerti bagaimana cara kerja dunia. Sering kita melihat anak kecil yang ditertawakan orang tua ataupun orang dewasa di sekitarnya karena si anak mengucapkan perkataan yang di luar levelnya. Anak kecil sering dengan naifnya mengatakan sesuatu yang mereka anggap serius, dan film ini mengencourage mereka untuk terus melakukannya – karena mengungkapkan opini, bertindak sesuai hati dan keinginan adalah hal yang penting. Seperti Paddington yang belajar – dengan sedikit keras – seperti apa dunia. Kejadian yang datang menimpa Paddington pada akhirnya bukan untuk menjatuhkan, melainkan mengajarkannya kepada banyak hal.

Jangan judge beruang dari uangnya

 

Sejujurnya, menonton film ini tidak lagi seperti menonton film anak-anak. Berkat humor dan penokohannya sangat beradab. Memang ada lebay-lebaynya sih, mengingat ini adalah dunia di mana beruang bisa berbahasa Inggris lebih lancar dari diriku, tapi tidak berada di tingkatan yang bikin kita nyengir. Semua tokohnya terasa respectable. Sally Hawkins dan aktor-aktor lain terasa tulus memainkan karakter masing-masing. Mereka turut menuangkan hati lewat penampilan yang enggak sekenanya. Terasa sekali ada usaha untuk menjadikan film ini sepenting dan serealistis mungkin.Bahkan tokoh antagonis utamanya yang diperankan dengan meyakinkan oleh Hugh Grant juga enggak sekadar jahat. Well, yea kita geram melihat tipu muslihatnya, tapi seenggaknya dia punya hal menarik untuk dilakukan. Buchanan ini semacam orang ‘gila’, dia masih menyimpan kostum-kostum perannya dulu di atap rumah, dan kita melihat dia sering ngobrol nyusun rencana jahat dengan mereka, yang mana pada dasarnya ia bicara sendiri. So in that way, Hugh Grant bermain menjadi banyak tokoh di sini, sebuah peran yang lain dari yang lain baginya.

Kalo mau bicara kekurangan, palingan yang sedikit membuatku kurang puas adalah bagaimana film berakhir dengan lumayan mendadak, bagi beberapa tokoh. Mungkin sedikit tambahan durasi diperlukan untuk mengayomi beberapa resolusi tokoh yang lain. Seperti anggota keluarga Brown, ataupun tokoh koki sangar yang interaksinya dengan Paddington di tengah film benar-benar menarik, mereka jadi bekerja sama dipersatukan oleh makanan haha.. Film memperlihatkan kepada kita orang ini akhirnya menjadi apa lewat foto-foto di kredit penutup, yang menurutku akan lebih nice kalo kita diceritakan resolusi yang sedikit lebih banyak dari orang-orang seperti tokoh koki ini.

 

 

 

Setelah menonton ini aku ngerasa sangat terhook sehingga bukan saja aku jadi kepengen nonton film pertamanya, sekaligus juga ngarep akan ada seri ketiganya – supaya aku bisa nonton ini di bioskop. Punya pesan luar biasa positif untuk anak-anak, yang disampaikan dengan menyenangkan lewat humor-humor yang beradab, sehingga orang dewasa pun akan mengapresiasinya. Film ini menceritakan pesannya dengan arahan yang menawan. Animasinya, terutama di sekuens ketika Paddington masuk ke dalam buku pop-up tampak sangat indah. Struktur shot dan pengadeganan yang kita lihat di sini adalah salah satu yang terbaik pada film keluarga. Sekuen aksinya pun tak kalah seru dan imajinatif. Kita tidak akan pernah menyangka betapa wonderfulnya film ini jika hanya melihat tampilan luarnya.
The Palace of Wisdom gives 8 gold stars out of 10 for PADDINGTON 2.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Comments

Leave a Reply