PYEWACKET Review

“We are our own worst enemy.”

 

 

Beberapa helai rambut Ibu yang nempel di sisir sudah dikumpulkan. Simbol kegelapan sudah dipasang di pohon-pohon. Tanah untuk menanam rambut sudah digali. Mantra juga telah dihapal. Menyayat tangan sendiri sebagai darah persembahan pun sudah siap sedia untuk dilakukan oleh Leah. Salahnya sendiri, siapa suruh ibu begitu rese membawa mereka berdua pindah ke rumah di pinggiran kota, Leah yang masih lima-belas tahun jadi tidak bisa lagi ikutan kumpul-kumpul sama temannya sepulang sekolah. Dan lagi, apa salahnya Leah bergaul dengan mereka, berdandan seperti mereka; kenapa pula ibu mengatai mereka bodoh karena tertarik pada ilmu hitam. Mestinya ibu ngerti dong, Leah hanya mencari pelarian sebagai usaha untuk dealing dengan kematian ayah. Tapi ibu malah menganggap ekspresi dari depresi Leah sebagai hal yang mestinya ada di tempat sampah. Jadi, terserah. Leah hidup sendiri saja, sama Janice dan teman-teman yang sehati dan mengerti dirinya. Biarin sana Ibu ditangkap sama Pyewacket!

Kita semua pasti pernah seperti Leah. Bukan, bukan literally manggil setan untuk bunuh orang, kalo soal itu aku gak tahu. Mungkin memang ada dukun hitam beneran di antara kalian? Who knows, kan. Yang kumaksud adalah kita pernah seperti Leah yang marah besar sama Ibunya. Kita juga mesti pernah begitu marah sama keluarga, sama orang yang kita cintai, sampe-sampe kita ingin melakukan hal yang mengerikan terhadap mereka. Waktu kecil, aku pernah berantem sama adikku, sehingga waktu dia main di luar, aku masuk ke kamarnya dan menendang rumah bonekanya sampai jebol. Dan sama seperti Leah, sesegera mungkin setelah aksi ‘serangan’ mengerikan terlaksana, rasa penyesalan itu datang dengan teramat kuat. Dalam Pyewacket, kita melihat Leah sungguh menyesali setiap keputusan yang sudah ia bikin. Kerja karakter dalam film ini sangat kuat; momen ketika ibunya membersihkan luka di lengan Leah – luka yang dengan sengaja dibuat Leah untuk menyelesaikan ritual ilmu hitam dengan niat mencelakai ibunya beberapa menit yang lalu – terasa sangat menyayat hati. Film juga dengan mulus mentranslasikan penyesalan Leah menjadi rasa ketakutan ketika entitas tak terlihat mulai datang meneror mereka.

tokoh cewek jaman now suka nyayat diri sendiri yaa

 

Ketika bicara horor indie, biasanya kita akan bicarain horor-horor yang ‘menjijikkan’, yang efek prostetiknya bikin mual, banyak darah, potongan tubuh. Dan yea, film-film seperti itu memang fun – sebuah daya tarik yang efektif. Dari segi pembuatan, ini adalah langkah yang menunjukkan kemampuan si pembuat. Gimana mereka bisa bekerja memanfaatkan sebaik-baiknya dari apa yang bisa diusahakan oleh kantong duit yang enggak tebel. Alih-alih memakai banjir darah dan pake adegan tokoh cewek dengan busana minim dikejar-kejar monster, sutradara yang tadinya aktor,  Adam MacDonald, memilih untuk menggantungkan kekuatan filmnya pada momen-momen karakter. Jelas sama sekali enggak mahal memperkuat elemen horor dari sisi emosi dan karakter para tokoh – lagipula bukankah horor sejati memang berasal dari dalam para tokoh sendiri, ya gak?

Apa yang kita sangka kita butuhkan dalam hidup, kemudian kita berjuang keras untuk menggapainya, terkadang bisa saja menjadi titik balik kehancuran kita sendiri. Karena sesungguhnya musuh utama kita, monster yang semestinya kita takuti, seringkali adalah diri kita sendiri. Tak jarang kita kurang masak berpikir sebelum mengambil tindakan. Manusia adalah makhluk impulsif yang mengambil tindakan berdasarkan satu momen kemarahan, keputusasaan. Dan menurut film Pyewacket, hal tersebut sungguh sebuah hal yang berbahaya.

 

MacDonald paham bagaimana membangun karakter dan situasi yang mengantarkan kepada tensi, yang sebenarnya pun enggak necessarily benar-benar makhluk horor. Dalam Pyewacket, kengerian datang seringkali dari keputusan-keputusan yang diambil oleh Leah. Jika aspek setan misterius dan hal-hal goibnya kita tinggalkan sebentar, kita akan mendapatkan drama tentang hubungan ibu dan anak yang sama-sama dealing dengan tragedi; kehilangan ayah – kehilangan suami. Ketegangan film ini berakar pada hubungan Leah dengan ibunya yang semakin hari semakin runtuh, meski mereka berusaha untuk terus menatanya. Tetapi selalu ada miskomunikasi, selalu ada hati yang tersinggung. Itulah salah satu alasan kenapa film bekerja dengan efektif, sebagai horor dan sebagai drama ibu-anak. Karakter para tokohnya sangat ter-flesh out. Tentu saja semua hal tersebut menjadi mentah kalo film salah mengcasting pemeran. Leah dan ibunya adalah pusat dari film, dan kedua pemerannya pun bermain dengan gemilang. Nicole Munoz sebagai Leah berhasil mendeliver perasaan frustasi, yang kemudian berubah menjadi ketakutan, dan kengerian luar biasa, dengan sangat meyakinkan. Permainannya ini diimbangi oleh Laurie Holden sebagai ibu yang terasa jauh oleh Leah, ada sense misteri yang berhasil dikuarkan oleh Holden pada perannya di sini. Pada bagian akhir, interaksi mereka mengingatkanku kepada Tara Basro dan Christine Hakim di film Hoax (2018). Tokoh Leah dan ibunya diset up dengan cara yang menarik yang membuat kita menjadi benar-benar peduli saat cerita mulai berbelok ke ranah horor.

hampir seperti Lady Bird dengan rasa setan

 

Film ini menggunakan efek minimal untuk membangun kengerian dari desain suara, juga dari keterbatasan kamera. Kesan low-budget benar-benar terasa, dan oleh film dimanfaatkan sebagai penunjang penceritaan. Film-film horor kebanyakan akan menggunakan musik untuk menambah efek ngeri saat kamera menangkap hal ganjil di layar. MacDonald membiarkan pemandangan ganjil terpampang gitu aja, tanpa petunjuk suara yang mendadak membesar. Misalnya, menjelang babak kedua film ini, kita akan diberikan wide shot Leah di tengah hutan. Setelah lumayan lama mengerjap, barulah aku menyadari ada bayangan hitam di salah satu pohon di belakang Leah, dan buatku itu adalah detik yang bikin merinding. You know, discover things like that. Begitulah film ini menangani penampakannya. Kamera melakukan wide shot seolah bilang “cari ya, ada yang seram loh di sini” dan memang elemen paling seram di shot tersebut biasanya akan kita temukan di latar belakang. Kita harus benar-benar melotot nontonin film ini. Saking seringnya kamera menyembunyikan ‘sesuatu’, kita enggak bakal melihatnya terus-terusan.

Selain wide shot, MacDonald juga sering beralih ke kamera handheld untuk memperkuat atmosfer seram. Taktik kamera begini biasanya akan membuat film terlihat murahan, sih, namun Pyewacket justru terbantu lantaran kita jadi semakin terasa seperti mengobservasi para tokoh melewati suatu kejadian mengerikan secara langsung, dari mata setannya! Kita melayang di atas orang yang lagi tidur – yang sukses membuatku berdoa si tokoh enggak bangun supaya aku gak melihat pantulan di bola matanya. Beneran, film begitu saja berpindah sudut pandang sehingga rasanya unsettling sekali seolah kitalah setannya.

Penting untuk film horor mengerti kapan harus berhenti; sama kayak manusia, berhentilah saat di puncak ketinggian karir, supaya orang mengingatmu dalam keadaan terbaik. Film horor yang baik juga biasanya menghentikan cerita di saat drama lagi tinggi-tingginya, ketakutan lagi memuncak, momen gede itu dicut gitu aja. Contohnya The Blair Witch Project (1999) yang legendaris, kita bahkan belum lihat penyihirnya dan filmnya tamat. Namun toh film tersebut membuat kita memikirkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Pyewacket juga begini. Tentu, endingnya terasa sedikit diburu-buruin, menurutku kita paling enggak butuh beberapa menit lagi melihat para tokoh untuk mencerna apa yang terjadi. Namun sebenarnya, film ini meminta kita untuk berpikir sendiri, menyusun puzzle yang kepingannya sudah selesai mereka bagikan. Itulah tugas film ini; sebagai pemberi kepingan puzzle yang kita butuhkan. Begitu semua sudah terhampar, film akan berakhir, dan giliran kita untuk memproses ceritanya yang memang ternyata mengikat dengan sempurna.

 

 

 

 

Buatku, ini adalah horor yang sangat efektif. Menghantarkan sisi emosional dengan baik, juga kengerian yang mampu bikin merinding. Sedikit yang membuat terlepas dari cerita adalah kenyataan bahwa film ini berbudget rendah; ada beberapa adegan mengandalkan spesial efek yang jika duitnya lebih banyak, niscaya akan lebih baik. Namun film dengan bijaksana menampilkan spesial efek ini dengan wide shot dari jauh. Juga ada satu adegan di sekitar pertengahan film saat dua tokoh berjalan di hutan malam-malam, yang menurutku sia-sia dan enggak perlu. Adegan tersebut sebenarnya punya nuansa seram yang kuat, hanya saja ternyata berakhir sebagai sebuah lelucon dari satu tokoh ke tokoh yang lain, like, ada tokoh yang pura-pura kesurupan. Mencelos banget rasanya melihat adegan ini, enggak klop sama keseluruhan film. Selain hal tersebut, film ini terasa sangat mencekat, salah satu contoh terbaik dari horor jalur indie.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for PYEWACKET.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. De VerFekli InSein says:

    Pas pertama rilis di internet, aku gak tertarik download film ini, karena ratingnya cunman 5 sekian, lumayan syok pas liat bang Arya ngereview film ini. Pas cek lagi ternyata ratingnya naik jadi 6 sekian dan itu sudah standar wah untuk horror di IMDB. Download dulu ah filmya. Thanks review bang!
    Udah nonton “Better Watch Out” bang, itu film “home alone” versi horror dengan twist ok loh.

  2. De VerFekli InSein says:

    Balik lagi. Udah selesai nonton soalnya. Hehehehe
    Filmnya keren, aku pribadi justru merasa film ini lebih mirip seperti animasi pixar “Brave” versi horror, kisah anak yang membenci ibunya.
    Baru kali ini nonton horror tapi berharap tidak ada penampakan, karena ada beberapa adegan yang membuatku hampir memalingkan wajah padahal tidak ada penampakan apa-apa loh (Loteng & Hutan malam), film yang hebat membangun atmosfir, contoh film horror manakutkan tanpa perlu menakut-nakuti penonton.
    Kekurangannya sih cinematografinya terlalu amatir bagi mata, padahal banyak film low budget tapi cinamatografinya bagus, sama endingnya sih bagiku terlalu pendek, tiba-tiba udah habis gitu doang. Dan emosi Leah dalam memperbaiki kesalahan pada Ibunya bagiku kurang nendang. Selain itu filmnya sangat Oke.
    6,5 Rating dariku

    • arya says:

      hahaha iya bener juga, aku baru kepikiran Brave… sama-sama berantem habis tu nyesel yaa. Iya nih, sinematografinya sengaja mereka buat biasa banget, mungkin maksudnya biar nampilin rasa unsettling yang real, kalo terlalu dipoles atau di-artsy-in kesannya bisa jadi surreal sehingga gasesuai dengan yang mereka harapkan

Leave a Reply