DETROIT Review

“There is no justice, but it is the fight for justice that sustains you”

 

 

 

Ngelihat pak polisi di jalanan, biasanya bawaan kita negatif melulu. Kalo enggak takut, ya sebel. Kita putar balik  kalo tiba-tiba melihat ada razia. Kita mengutuk pas  jalanan macet, padahal ada polisi yang lagi ngatur lalu lintas. Anak kecil yang bandelnya kumat biasanya juga didiemin dengan anceman nanti ditangkap polisi. Pandangan sinis kita terhadap penegak hukum itu muncul karena enggak jarang kita mendengar berita tentang betapa polisi-polisi melakukan banyak hal yang dinilai ‘kejam’ terhadap orang-orang yang tak bersalah. Ketemu polisi itu berarti masalah, duitlah, apa-lah.  Dalam film Detroit, malah, pengalaman bertemu polisi itu digambarkan sebagai sebuah pengalaman yang ngalahin horornya ketemu hantu. Ada salah satu adegan yang menampilkan dua orang yang ingin keluar lewat pintu belakang, dan pada background kita melihat seorang polisi berjalan masuk lewat pintu belakang, dan kedua orang tadi seketika lari kembali ke tempat mereka datang. Film ini membuat polisi sebagai sebuah momok, adegan tersebut berhasil menguarkan perasaan mencekam, dan kita peduli kepada dua orang tadi. Bukan karena kita dituntut untuk membenci polisi. Hanya saja, lewat film ini, kita bisa melihat ada beberapa hal salah yang mestinya bisa diluruskan, tetapi semua orang bertindak begitu gegabah karena mereka diatur oleh sistem yang salah.

“salahkah bila diriku terlalu menggertakimu”

 

Tahun 1960 sudah tercatat di buku sejarah sebagai periode yang cukup kelam bagi kemanusiaan. Di Indonesia, masalah pemberontakan PKI mewarnai tanah di sejumlah daerah dengan darah. Di Amerika, kota Detroit yang menjadi medan pembantaian. Ketakutan merajalela di jalanan. Kerusuhan dan penjarahan tak pandang bulu. Dan sama seperti di Indonesia, orang-orang tak bersalah yang jadi korban; dipenjara, dipukuli. Dibunuh. Detroit benar-benar menggambarkan peristiwa kelam Amerika itu dengan intens dan kejam. Penggunaan kamera yang bergoyang-goyang menambah perasaan nyata itu berkali lipat, seoah kita mundur ke masa itu dan menyaksikan sendiri secara langsung. Film ini tidak terasa seperti film, if anything, dia hampir mirip seperti dokumenter. Kita akan ditaruh langsung ke tengah-tengah kota Detroit yang keamanannya sangat tak stabil, terutama pada malam hari.  Kita akan melihat pesta persembahan untuk tentara yang berjuang di Vietnam dengan cepat menjadi rusuh. Kita kemudian akan melihat seorang penyanyi teater yang harus mengcancel pertunjukannya karena suasana di luar mendadak menjadi begitu kacau. Kita juga akan kenalan dengan tokoh yang diperankan John Boyega yang malam itu kebagian shift jaga malam sebagai malam di toko. Tokoh-tokoh ini akan bertemu di Motel Algiers. Jika kalian ngikutin sejarah, kalian tahu apa yang terjadi di tempat itu. Basically, kejadian di Algiers ini jualah yang menjadi panggung utama film. Semua pengenalan karakter berujung pada sekuens panjang nan shocking di motel Algiers. Sejumlah remaja kulit hitam, termasuk penyanyi tadi, dan dua wanita kulit putih dijejerin menghadap dinding. Sejumlah polisi, aparat militer, dan pasukan gabungan lain mengepung mereka demi mencari sumber letusan senjata yang terdengar beberapa saat lalu. Polisi percaya salah satu dari merekalah yang membuat keonaran, tapi tidak ada satupun yang mengaku. Maka permainan ancam-ancaman maut itu pun dimulai. Berujung kepada tewasnya tiga orang yang tak jelas salahnya apa atau bahkan mereka tidak membahayakan siapapun.

Nonton film ini akan bikin kita geram, baik kepada polisi maupun kepada para rmeaja itu sendiri. Adegan yang ditampilkan bukanlah adegan yang gampang untuk kita lupakan. Dari awal hingga akhir, aku menonton dengan perasaan yang campur aduk. Marah, kalo boleh dibilang. Satu adegan di awal-awal cerita, di mana militer menyisir kota dan mereka menembak gitu aja salah satu jendela apartemen karena menyangka gerakan kecil yang mereka spot on adalah aktivitas sniper, padahal… yah, sedari permulaan, perasaan kesal ngelihat ketidakadilan itu sudah mulai menghinggapi kita. Film ini akan benar-benar menyedot kita masuk. Tentu saja elemen rasis turut menjadi poin vokal film ini. Di zaman itu, dalam keadaan chaos begitu, sebagian besar polisi-polisi di sana benar-benar digambarkan sebagai bajingan rasis yang melakukan tindakan-tindakan kurang berperikemanusiaan. Makanya, tokoh yang diperankan Boyega menjadi sangat menarik. Kita bisa melihat dia lumayan dihormati polisi lain hanya karena ia berseragam. Tapi sebenarnya, polisi itu tetap memandang rendah dirinya.  Mereka ‘membully’nya secara subtil, sementara tokoh Boyega itu menyaksikan banyak hal yang bikin ia geram, tapi perasaan tersebut harus ia sembunyikan rapat-rapat. Dan pada gilirannya, membuat kita berbalik kesal terhadapnya. Juga tehadap pihak-pihak lain yang tidak melakukan apa-apa padahal ketidakadilan dan kekerasan berlangsung di depan mata mereka. Geram aja gitu, demi ngelihat seharusnya ‘interogasi maut’ di motel itu bisa dihentikan dengan cepat, namun tidak ada yang mengambil tindakan hanya karena para polisi yang lain, polisi-polisi yang hatinya masih bener, tak bisa melanggar yurisdiksi dan sistem yang mengatur mereka, jadi mereka membutakan diri terhadap tindakan keji tersebut.

thus, membuat semua polisi di film ini jahat.

 

Salah satu aspek paling bikin miris adalah film ini bercerita dengan sesekali menyisipkan potongan footage berita kejadian yang asli, lengkap dengan foto-foto korban yang sebenarnya. Adegan filmnya memang dibuat sama persis, tokoh-tokoh yang jadi korban dibuat sedemikian rupa sehingga posisinya menyerupai tragisnya korban beneran, meskipun kejadiannya didramatisir. Malahan, tentu saja, kita tidak akan pernah tahu gimana kejadian yang sebenarnya. Kesaksian para saksi tak ayal berbeda dengan kesaksian para polisi yang menjadi pelaku, persis begitu juga yang diceritakan oleh film.

Film ini adalah tangisan keras bukan hanya buat korban dan kerabat peristiwa tersebut, melainkan juga bagi orang orang-orang di luar sana yang merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari aparat; dari sistem. Film ini berusaha memberikan keadilan tersebut bagi mereka yang sampai sekarang masih belum dapat tidur nyenyak supaya orang-orang tersebut bisa mendapat, jika bukan kejelasan, maka paling tidak mereka mendapat pandangan yang mampu menjawab gulana. Sebab apa yang mereka alami perlu untuk dilihat oleh banyak orang.

 

 

Dilema nonton film dari kejadian nyata seperti begini adalah aku pengen ngelihat kejadiannya sesuai mungkin sama kenyataan, tapi sekaligus melihatnya sebagai penceritaan yang ‘bener’ sesuai kaidah film. Dan mencapai keseimbangan antara kedua hal tersebut sungguh susah. Detroit ini misalnya, mereka berhasil menunjukkan banyak hal yang terjadi seputar peristiwa tersebut, namun tokoh-tokohnya enggak semua yang diberikan arc sinematis. Tokoh si John Boyega dibahas dengan paling menarik, tetapi penyelesaian arcnya sama sekali enggak kerasa ‘nendang’. Pembelaan yang bisa kita temukan untuk ini adalah di dunia nyata, kejadian-kejadian buruk menimpa manusia, dan bahwa terkadang keadilan itu memang tidak ada. Kita hanya bisa berusaha move on dari kejadian buruk tersebut, dan begitulah yang dialami oleh tokoh yang dimainkan Boyega.

Untuk kasus film Detroit, kejadian yang diceritakan tersebut memang tidak benar-benar dijelaskan, like, kita tidak akan tahu ke arah mana cerita bermuara jika kita tidak mengetahui peristiwa yang sebenarnya. Seperti yang kutulis di atas, kita langsung dilempar ke tengah-tengah peristiwa. Cerita sama sekali tidak membahas kenapa orang-orang kulit hitam tersebut begitu panas dan polisi harus menangani mereka dengan tangan besi, kecuali bagian opening film. Akan ada narasi yang menerangkan latar belakang kerusuhan, hanya saja diceritakan lewat montase animasi yang tampak begitu aneh dan enggak cocok sama tone cerita, sehingga aku curiga jangan-jangan bagian opening animasi ini ditambahkan begitu film sudah selesai digarap, karena banyak orang yang gak ngerti pada apa yang terjadi.

 

 

 

 

Para aktor bermain maksimal, enggak gampang memainkan peran yang begitu fisikal sekaligus subtil secara bersamaan. Film ini tidak membuat mereka seperti bintang, mereka benar-benar seperti peran yang mereka mainkan. Pun, ceritanya sukses untuk tidak tampil teatrikal. Sedikit kepanjangan sih, durasi ini terasa ketika kita serasa terlambat masuk ke bagian motel yang sesungguhnya jadi kejadian utama. Film terlalu asik bercerita tentang kerusuhan, memperkenalkan karakter, namun secara keseluruhan dia ingin memperlihatkan peristiwa ‘sebenarnya’ di motel demi keadilan, dan setelah ini pun film terasa ngedrag dengan adegan resolusi di pengadilan yang tidak benar-benar menutup arc dari tokoh-tokohnya. Ada banyak kekerasan, hal-hal rasis, dan sikap-sikap manusia yang bakal bikin kita geram sendiri saat menonton. Inilah yang membuat film terasa menyayat hati, dan pada puncaknya menjadi lebih seram daripada film horor.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of gold stars for DETROIT.

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Dimas says:

    kelar nonton film ini belum tau kalau ternyata based on true event. jadinya mikir ini film apaan coba,serem sih tapi terlalu bertele-tele introgasi di hotel. then setelah google baru tau adegan kejam nan miris di hotel itu memang BENAR TERJADI..!! wow..

    • arya says:

      tahun 60an kayaknya tahun yang menyeramkan bgt ya.. tapi adegan interogasi di film ini sebenarnya kayak senior lagi ngospek mahasiswa baru ahahah

Leave a Reply