KOKI-KOKI CILIK Review

“Don’t do something just because you ‘should’”

 

 

 

Daftar menu perfilman tanah air bertambah lengkap berkat kehadiran Koki-Koki Cilik. I mean, film anak-anak aja jarang kita dapatkan, film tentang masak memasak apalagi. Dan Koki-Koki Cilik ini berani dan kreatif sekali menggabungkan keduanya. Enggak sekadar hadir sebagai alternatif penggembira dalam industri perfilman kita; sendirinya Koki-Koki Cilik adalah sajian film yang lengkap dan bergizi tinggi! (Hmmm.. psst… sekiranya ada produser ataupun filmmaker yang baca ulasan ini, aku punya dua cerita yang belum nemu ‘jodoh’ loh; satu  tentang anak-anak, dan satu lagi tentang masakan, bikin juga yuk ahayyy)

Dua hal yang dibutuhkan oleh anak kecil adalah dianggap ‘bisa’ oleh orang dewasa dan mendapatkan kebebasan untuk bermain menyalurkan hobi mereka.  Berdasarkan inilah cerita Koki-Koki Cilik dibangun. Tokoh utamanya, Bima, sudah dikenal sama orang-orang di kampung tempat tinggalnya sebagai anak baik yang suka memasak. Makanya, begitu tabungan Bima dan ibunya ternyata tidak cukup untuk membayar biasa masuk sebuah kemah memasak khusus untuk anak-anak, para tetangga di rumah patungan untuk membantu. Bima senang. Hatinya riang. Di cooking camp yang berlokasi di perbukitan hijau itu, Bima bertemu dengan dua-puluh anak-anak lain yang juga hobi memasak. Mereka bermain bersama, beraktivitas sehubungan dengan memasak bareng-bareng, dan ya berkompetisi. Gol di perkemahan itu adalah memilih juara pertama, yang paling jago masak. Untuk menentukan ini, akan ada babak-babak seleksi segala macem. Buat Bima yang masuk karena murni kecintaannya pada memasak, keadaan di kemah dapat menjadi sangat menekan.  Bima tidak bisa membuat menu-menu modern ala masakan hotel, dia belum pernah makan sushi, dan dia diledek dan dimarahi karenanya. Dia hanya tahu masakan yang tertulis dalam buku resep warisan almarhum ayahnya.  Stress sempat membuat Bima pengen pulang saja, tapi ia tetap berusaha belajar. Dan demi mentor yang ia kagumi di camp, Bima berjuang untuk menjadi koki jawara.

bentuknya boleh gak cantik, tapi masakan Bima punya kepribadian yang bagus

 

Since kita bicara tentang anak-anak dan kompetisi, maka aku akan membandingkan film ini dengan satu lagi film anak yang baru saja tayang, dan sudah kureview; Kulari ke Pantai (2018). Kedua film ini sama-sama menyenangkan, sama-sama sarat pelajaran berharga; mereka melaksanakan misinya sebagai tontonan yang bisa dinikmati oleh anak-anak bareng keluarga. Bukan hanya keceriaan dan tawa yang dibawa pulang oleh penonton cilik sehabis keluar dari bioskop. Akan tetapi, penulisan Koki-Koki Cilik jauh lebih baik. Perspektif tokoh utamanya terhampar kuat. Sekuen-sekuen yang tersusun dalam tiga babak film ini mengalir dengan rapi. Tokoh utama pada Kulari ke Pantai tidak benar-benar merasakan rintangan, kita lebih gravitate ke arah karakter yang lain; Happy lebih relatable buat penonton anak-anak kekinian dibandingkan Sam. Sedangkan Bima pada Koki-Koki Cilik, man, anak ini digempur habis-habisan. Untuk alasan entah apa, kepala koki di kemah itu galak kepadanya. Dia dipandang remeh karena masakannya sederhana.  Dia juga digalak-galakin sama mentornya, Chef Rama (Morgan Oey tampak sudah terestablish sebagai aktor kawakan di sini).

Kita akan konek instantly kepada Bima. Bukan karena dia anak miskin yang perlu menabung setahun untuk bisa sampai di sana, tapi karena dia adalah underdog yang menempuh banyak halangan bahkan untuk terdaftar sebagai peserta saja.

 

 

Film bijaksana sekali dalam membangun tokoh Bima.  Kita begitu peduli saat anak ini menangis dan merasa tidak sanggup melanjutkan, dan kita kembali turut ceria melihat teman-teman camp, yang sudah tersentuh oleh pribadi Bima yang elok, berusaha untuk membuat Bima bersenang hati. Diberikan range emosi yang jauh, enggak gampang buat anak cowok berakting nangis dan merasakan banyak hal menyerangnya dari segala arah, Faras Fatik gemilang memainkan tokoh ini. Bima memang dibuat sebagai anak yang menyebalkan dengan kebawelannya, tapi dia tidak pernah terasa annoying buat kita. Dia adalah anak yang mau belajar. Dia bikin catatan sendiri mengenai masakan. Dia mendengarkan apa yang diajarkan. Dia membuat keputusan yang menguarkan kreativitasnya sendiri. Salah satu kait emosi pada film ini adalah hubungan yang terjalin antara Bima dengan Chef Rama, yang awalnya menolak untuk mengajari Bima – pada dasarnya, Rama menolak untuk terlibat, dia merahasiakan kemampuan masaknya kepada semua orang. Kita diperlihatkan backstory antara Bima dengan almarhum ayahnya. Juga backstory tentang siapa Rama sebenarnya. Dan keduanya akan bertemu, menambahkan kedalaman terhadap kedua karakter ini. Aku suka gimana di babak final Bima membuat keputusan yang menunjukkan dia benar-benar bergerak sesuai pilihan hatinya dan it means a lot karena gentian, kini Bima yang ngajarin Rama suatu hal tentang kemenangan di dalam hidup. In the end, Bimalah yang pulang dengan membawa ‘hadiah’.

Jika ini “Kulari ke Pantai”, maka chef-chef di kamp itu akan menyuruh anak-anak untuk memasak masakan tradisional, mengatakan masakan indonesia akan punah jika tak ada yang memasak. Koki-Koki Cilik, sebaliknya, tahu untuk lebih baik tidak melarang anak-anak melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Film ini paham cara untuk menghargai budaya nasional. Masakan tradisional buatan Bima dinilai paling enak, dan Bima pun tidak segan untuk belajar gimana cara membuat makanan modern. Tidak ada pengguruan secara subtil di dalam film ini. Actually, kita akan menemukan adegan di mana Audrey, juara bertahan yang jadi ‘saingan’ Bima, diminta untuk ngobrol berbahasa Indonesia. Aku juga membahas masalah ini dalam review “Kulari ke Pantai” karena ada adegan yang mirip. Hanya saja,  Koki-Koki Cilik memainkan adegan ini dalam konteks yang enggak menggurui. Bimalah yang meminta Audrey untuk tidak berbahasa Inggris, dan itu karena Bima memang tidak bisa bahasa Inggris. Bima bukan bule ataupun anak yang ngerti Inggris. Jadi adegan ini enggak come-off sebagai ngejudge dan menyuruh, melainkan untuk memberi tahu sedikit-banyak tentang toleransi; kepada bukan saja anak kecil, melainkan kepada kita semua. Mengajarkan untuk menempatkan sesuatu pada tempatnya.

sebelum dipake pastikan dulu enggak ada kepala emak-emak di dalam rice cookernya ya, Dek

 

 

Lebih baik memang untuk membuat hal simpel supaya enggak menyulitkan dan gak bikin bosen anak-anak. Film ini enggak melakukan banyak, namun cukup untuk membuat tokoh-tokoh yang ada pada ceritanya hidup dan sukses menghibur kita. Ada anak yang difungsikan untuk total ngelawak dengan lagaknya yang kecentilan sok kayak orang dewasa. Ada anak yang saat tidur juga masih meluk snack. Yang kocak, ada anak yang mengecek data diri peserta lain di internet, dan di layar kita bisa lihat data yang ditampilkan tidak hanya sebatas nama dan umur, bahkan sampai sifatnya “cool, bully” benar-benar tertulis di sana hahaha…  I mean, dari mana yang bikin data tersebut tahu sifat anak itu suka ngebully.

Audrey, si penyendiri,  digambarkan membawa headphone ke mana-mana sebagai bagian dari karakternya. Anak-anak ini, bersama Bima, akan melakukan kegiatan polos khas anak-anak, entah itu membebaskan kambing yang mereka curigai bakal dijadikan bahan pelajaran masak selanjutanya ataupun menransfer kegembiraan lewat telapak tangan. Dan hal yang mereka lakukan itu sangat menyenangkan untuk diikuti. Hubungan antara Audrey dengan Bima juga berkembang menjadi persahabatan yang manis. Semua orang tersentuh oleh pribadi Bima, dari situlah kehangatan cerita ini hadir. Film juga mengeksplorasi bagaimana anak-anak ini berinteraksi dengan orang dewasa di sekitar mereka. Sebagian besar memang ditampilkan polos sehingga menjadi lucu. But on a slightly serious note, film juga memperlihatkan gimana BERBEDANYA ANAK-ANAK DAN ORANG DEWASA DALAM MEMANDANG SEBUAH AJANG KOMPETISI. Pun, cerita tidak berpaling dari konsekuensi. Film tidak punya masalah untuk menghukum anak kecil, demi mengajarkan mereka tanggung jawab. Misalnya ketika ada anak yang ketahuan berbohong dan nyaris membuat Bima dikeluarkan dari perkemahan, anak tersebut dihukum dengan dipulangkan ke rumah.

Kita tidak selalu harus menang untuk ‘menang’. Melakukan sesuatu karena hal tersebut adalah pilihan kita, actually akan berdampak sangat berbeda dengan ketika kita melakukan sesuatu karena kita diharuskan untuk melakukannya. Perbedaan di antara keduanya itulah yang membuat Bima menjadi labih ‘jago’ dibandingkan teman-temannya.

 

 

Aku enggak merasa pengen makan saat menonton film ini. Aku justru jadi kangen bekerja di dapur kafe dibuat olehnya. You know, bereksperimen membuat menu-menu baru dan berusaha untuk menjualnya ke orang. Karena dalam film ini, kita akan melihat anak-anak tersebut masak dan menyiapkan hidangan-hidangan menggugah selera. Well, sort of. Karena yang kita lihat actually adalah proses penyajian makanan secara close-up. Pernah lihat foto-foto makanan cantik di instagram? kurang lebih kayak begitulah masakan dalam film ini. But we do get to see anak-anak tersebut beraktivitas memetik bahan-bahan makanan, menyirami sayuran, ini seperti metafora bahwa mereka perlu memupuk persahabatan sebelum dapat menikmati indahnya.

Bima harus, dan rela, bekerja lebih keras daripada yang lain. Membuat kita ngecheer perjuangan dia. Persis kayak formula cerita serial anime My Hero Academia. Tokoh utama yang justru gak punya kekuatan superhero, ia dipinjami kekuatan, dan dengan itu ia berusaha keras mengejar ketinggalannya daripada yang lain, demi mencapai keinginannya untuk menjadi superhero terhebat. In turn, teman-teman di akademi terkena bias semangat dan kegigihan hatinya. Bima juga begini. Dia yang paling kurang dalam pengetahuan dan teknik memasak, dia butuh banyak bantuan, namun dia tidak berleha-leha dengan bantuan tersebut. Bima yang baik hati justru yang belajar paling giat, memberikan pengaruh positif kepada orang di sekitarnya. Bahkan, hubungan Bima dengan anak cewek bernama Niki juga sama kayak Deku dan Uraraka di “My Hero Academia”. I’m not saying film ini mengopi, kemungkinannya tipis sekali Ifa Isfansyah dan tim di balik film ini menonton anime tersebut. Aku ingin menunjukkan bahwa film ini berhasil menemukan resep cerita yang sama, karena memang beginilah cerita tentang underdog yang menarik ditulis.

Tapi toh ada juga beberapa elemen cerita yang membuatku teringat sama Harry Potter. Seperti pada saat Lima Besar sebelum penyisihan ke Semifinal, Bima dan peserta lain ditantang untuk membuat sushi. Bima membalik-balik halaman buku resepnya, dan dia come out dengan membuat lemper. Seperti Harry Potter yang disuruh membuat penawar racun, dia mencari-cari di buku ramuan si Half-Blood Prince, only to come out dengan lancang menunjukkan bezoar kepada gurunya. Bagian ini mungkin cukup ‘jauh’ dan kelihatan lebih seperti kebetulan ketimbang disengaja. Namun kemudian di menjelang akhir, kita akan lihat ada anak – si Bully – yang berpura-pura tangannya patah supaya Bima berada dalam masalah. Sama seperti Malfoy membuat cedera tangan berkali lebih parah pada film ketiga Harry Potter. Patah tangan di sini adalah insiden yang bisa diganti, mereka tidak harus melakukan ini. Like, ada banyak cara untuk membuat tokoh ini nyalahin Bima, dan mereka memilih insiden yang pernah terjadi di Harry Potter. Sengaja atau tidak, buatku, sudah strike two.

 

 

 

 

Kalo ini adalah makanan, maka ini adalah paket komplit dengan minuman sekalian. Lucu, hangat, musiknya catchy, tidak merendahkan anak-anak, seru karena memberikan kepada kita pandangan dari dunia kuliner. It is a very good movie, dengan skenario yang kuat. Lebih baik daripada Kulari ke Pantai. Saat berurusan dengan anak-anak, kita bisa menjadi sedikit lunak. Aku harap aku bisa ‘lunakkan’ aturan penilaian angkaku karena ini film anak anak, but I won’t. Aku tidak ingin membedakan mereka dengan film orang gede. Dengan script sengelingker ini, cukup disayangkan juga kenapa di akhir cerita hanya Bima yang kelihatannya bener-bener berakhir sebagai koki. Judulnya toh jamak, aku pengen melihat teman-teman Bima mendapat arc yang menutup seperti Audrey. Juga ada elemen-elemen yang membuat film ini tak-terasa terlalu orisinil, meski memang dia mengekspan menu perfilman kita dengan sukses. Semoga filmmaker yang lain jadi ngiler dan kepancing untuk bikin lebih banyak film anak-anak yang berani berkompetisi dengan naskah film ini.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KOKI-KOKI CILIK.

 

 

 

That’s all we have for now.

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Aaron says:

    Personally masih lebih suka Kulari ke Pantai but this one is a good movie as well. Jarang-jarang ada film anak apalagi film lokal. Cerita dan pemain cukup natural, relatable dan fun. Transfer energi nya bagian yang memorable. Tante Aura Kasih naik kelas semenjak Surat Kecil Untuk Tuhan.

    • arya says:

      Biar memorable, film kudu berikan sesuatu yang unik yang dilakukan tokoh-tokohnya, Koki-Koki Cilik paham ini; nilai plus lagi mereka bikin ‘transfer energi’ bukan sekedar lucu-lucuan, melainkan benar-benar untuk menambah bobot cerita. Top

Leave a Reply