“Don’t shake hands with the devil”
Mengabdi setan boleh jadi memang banyak untungnya. Prospek apa saja bisa kita dapatkan, semua masalah bisa sekejap dilenyapkan, tak pelak begitu menggiurkan. Tinggal datang ke dukun. Film garapan Azhar Kinoi Lubis yang biasa bermain di ranah drama ini berusaha mendramatisasi horror yang datang dari perihal dukun berdukun tersebut. Di dalam Kafir kita akan melihat satu keluarga yang dihantui oleh kekuatan tak terlihat yang bermaksud menghabisi satu persatu nyawa mereka, sebagai bagian dari skema grande sebuah balas dendam.
Ibu (Putri Ayudya dengan penampilan terbaik yang bisa kita saksikan dalam genre horror lokal) tidak mau lagi mendengar lagu kesukaan Bapak diputar di rumah. Ibu tidak mau memasak ayam gulai lagi. Belum empat-puluh hari sejak Bapak memuntahkan beling di meja makan. Arwah Bapak masih di rumah. Begitu kata Ibu. Ingin meyakinkan dirinya sendiri, lebih kepada meyakinkan anak-anaknya, Andi dan Dina, yang tak tahu apa-apa. Ibu yang hobi pake daster putih malam-malam ini ingin kejadian aneh yang ia lihat di rumah pasca kematian Bapak benar-benar disebabkan oleh arwah gentayangan, karena ia menyadari ada kemungkinan satu ilmu jahat sedang mengintai mereka dari balik derasnya hujan yang senantiasa mengguyur.
Suasana gelap dan sambaran cahaya kilat dengan efektif dimanfaatkan oleh film ini dalam mengeksplorasi gambar-gambar yang memancing bulu kuduk kita untuk berdiri. Akan ada banyak shot ketika kita berusaha melihat satu objek dalam pencahayaan yang minim dan kemudian sepersekian detik ruangannya terang oleh sambaran kilat. Efektif sekali membuat imajinasi kita melayang ke sudut-sudut tergelap yang bisa terpikir oleh kita. Suara-suara diegetic (yang didengar oleh para tokoh) akan turut membuat kita merasa was-was. Film ini pun dengan bijak tidak semudah itu menyalurkan rasa takut kita. Mereka menghimpun dulu untuk beberapa adegan. Kita hampir tidak melihat wajah seram dalam film ini. Hantu-hantunya hanya berupa bayangan-bayangan ganjil. Nonton Kafir, mestinya kita senang, karena film ini percaya kita bakal memperhatikan. Kengerian datang dari saat kita melihat , dan memahami konteks cerita.
Kafir punya gambar-gambar yang begitu memukau. Entah itu pemandangan pepohonan dari sudut rendah, maupun close up dua tokoh yang lagi berbincang dengan tegang. Semua gambarnya mengundang kita untuk masuk ke dalam dunianya. It is unfortunate, tho, karakter film ini tidak dirancang sebagai sinematografinya. Tokoh utama dalam cerita ini adalah Ibu, namun seolah ada tembok yang dibangun untuk mencegah kita menyelami pikirannya. Disantet, tidak tahu dari siapa, seharusnya adalah pengalaman yang menyeramkan. Tapi kita hanya takut demi si Ibu Sri. Kita tidak takut bersamanya. Karena cerita membutuhkan sebuah pengungkapan, siapa Sri, bagaimana cara pikirnya, kita tidak diberikan kesempatan untuk mengetahui ini hingga akhir cerita. Mungkin jika ditonton dua kali, kita bisa lebih menikmati, karena kita jadi tahu bahwa Sri ini sebenarnya punya dugaan – dia enggak sehelpless yang terlihat. Sri punya rencana sendiri untuk melawan balik. Tapi sebagai tontonan pertama, kita akan merasa seperti tamu yang diundang masuk ke rumah, lalu diabaikan. Tidak ada yang bisa kita ikuti.
Bersekutu dengan setan itu gak mesti jauh-jauh pergi ke dukun dulu. Ungkapan tersebut sebenarnya berarti jika kita melakukan sesuatu yang jahat, kita akan menunai hasil yang tidak baik pula. Dengan berbuat jahat, praktisnya kita sama saja seperti setan – atau paling tidak, berteman dengannya. Apa yang terjadi pada tokoh film ini adalah buah dari perbuatannya di masa lampau. Karena kita tidak akan bisa lari dari konsekuensi setiap perbuatan yang kita kerjakan.
Tokoh Dina yang diperankan oleh Nadya Arina mestinya bisa dijadikan karakter utama. Kita lihat dia suka baca novel detektif. Dia tertarik sama misteri, ia tidak menutup diri pada klenik. Tidak seperti abangnya yang punya karakter begitu tak tertahankan; keras kepala gak jelas. Yang satu suka misteri, yang satu percaya pada dokter. Tapi tidak satupun dari mereka yang melakukan hal yang masuk akal. Kenapa tidak ada yang berpikir untuk membuang beling, misalnya. Dina dan Andi adalah contoh dari karakter yang terkungkung oleh narasi. Mereka punya sifat namun aksi dan keputusannya sengaja dihambat-hambat untuk kepentingan twist di akhir cerita. Like, kalo mereka benar-benar bertindak seperti sifat mereka, cerita pastilah sudah maju karena seseorang akan ketahuan lebih cepat. Kita actually akan melihat Dina menelusuri misteri masa lalu keluarga bak detektif, mengunjungi tempat-tempat yang ia dapat dari petunjuk-petunjuk. Hanya saja kita tidak mecahin misteri bersamanya. Kita bahkan tidak melihat semua apa yang ia lihat, ada yang disimpan untuk bagian pengungkapan di akhir.
Twist film ini sebenarnya ditulis dengan bagus, ia ditanam sedari awal. Twist itu bukan semata karena gak bisa kita tebak, tapi twist adalah satu-satunya kelokan yang bisa diambil oleh cerita. Kafir paham bahwa twist perlu dibangun terlebih dahulu, enggak lantas belok saja di akhir. Masalahnya adalah untuk sampai ke pengungkapannya film terpaksa mengorbankan banyak.
Ketika seseorang dipercaya kafir, warga yang lain pun akan menjauhi sampai-sampai mayatnya pun ditolak untuk dikuburkan bersama dengan pemakaman warga yang lain. Elemen ini sebenarnya menarik. Film bisa bicara toleransi, kesempatan untuk meninggalkan zona hitam-putih, tapi film dengan lantas berpaling. Elemen ini hanya menjadi afterthought, karena dijatuhkan kepada seorang dukun di desa tempat tinggal mereka. Tokoh yang benar-benar minor karena dianggap sebagai sosok ‘mentor’ buat tokoh utama pun, si dukun ini enggak nyampe penulisan tokohnya. Meski begitu Sudjiwo Tedjo memainkannya dengan sangat over-the-top. Ah, itulah kata yang cocok untuk menggambarkan film ini. Over-the-top. Lebay. Tokoh antagonisnya pun nanti akan berubah bersikap over, mereka lebih kayak orang gila daripada orang yang mau balas dendam.
Sumbernya memang pada arahan. Film bermaksud subtil dalam menakuti. Kita dapatkan gamabr-gamabr kayak noda di atap yang paralel dengan memar di betis Sri. Namun kita juga masih mendapati fake jumpscare kayak orang dikagetin oleh tokoh lain yang bukan hantu. Kalo ada yang bilang film ini gak ada jumpscare, itu semata karena fake jumpscare pada film ini beneran enggak seram. Kita dianugerahi gambar-gamabr keren yang menambah bobot cerita, namun masih ada juga shot yang dilakuan dengan sedikit di luar kebutuhan. Aku gak tau apa memang ada maksud subtil tertentu, tapi adegan ngobrol di meja makan bersama pacar Andi di awal-awal itu membingungkan sekali untuk dilihat. Kamera ditaruh di dua titik tengah (antara satu tokoh dengan tokoh lain), kita melihat keempat orang ini kayak melihat dari titik tengah X yang diposisikan horizontal. Kemudian kamera berpindah-pindah gitu aja di antara dua titik tengah tersebut, membuat mata kita bekerja ekstra terus mencari siapa sekarang sedang berbicara.
Gestur di opening begitu mengganjal buatku hingga aku mengetik ulasan ini. Mengganjal karena tampak ganjil. Yaitu ketika si Bapak berusaha mengeluarkan beling dari tenggorokannya. Coba ya, apa yang kita lakukan kalo lagi tersedak, mencoba mengeluarkan sesuatu dari mulut? Secara normal kita akan membungkuk, menjulurkan leher ke depan. Orang yang melihat mungkin akan datang menepuk punggung kita. Tapi Bapak dalam film ini justru menengadah kayak pesulap di sirkus yang sedang menarik pedang dari tenggorokan dalam sebuah atraksi nelan pedang. Bukannya kalo bendanya gak dipegang, benda tersebut akan tertelan ya, kalo dibawa menengadah? Ini penting buatku karena saat melihat adegan ini, aku otomatis menganggap si Bapak sedang melakukan sebuah trik. Like, dia sebenarnya gak sakit bahkan mungkin dia penjahatnya. Tapi kan enggak. Dampaknya ini membuat filmnya agak gak meyakinkan buatku.
Kalian tahu, film ini punya satu adegan lebay ultimate yang bisa dimasukin sebagai adegan klasik khas cult horror movie; Andi menendang tokoh jahat yang kembali hidup dengan tubuh penuh kobaran api. Laughable banget, tinggal tambah punchline kata-kata cheesy aja tuh! hihihi
Mengecewakan cerita filmnya tak digarap sebaik gambarnya yang bagus-bagus. Penampilan para pemain terbilang oke, hanya arahannya saja yang entah kenapa mengincar titik over-the-top. Aku ingin percaya film ini lebih baik daripada Pengabdi Setan (2017) yang dipuja-puja. I want this film to be good, ceritanya udah nutup dan segala macem. Tapi enggak. Jatuhnya malah menggelikan. Seramnya subtil, namun pada akhirnya hanya akan dikenang sebagai perang santet dengan dukun dan ilmu-ilmu yang lebay.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for KAFIR: BERSEKUTU DENGAN SETAN.
That’s all we have for now.
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Over all saya ckup suka daripada belasan horor sebelumnya tapi endingnya agak kurang mungkin film ini tidak mau seperti pengabdi setan yg endingya banyak yg ngak ngerti,
setuju, film ini jelas bukan di level belasan horor yang lain. Dibanding dengan Pengabdi Setan pun ini penulisannya lebih baik karena ceritanya ketutup. Makanya aku ingin bisa bilang film ini bagus. Aku gak tau kenapa jadinya malah menggelikan, kebanyakan nambah bumbu kayaknya di dapur produksi di sana
wahahahah nice! kenapa tuh kenapa, apa yang menyebabkan film ini setara ama Alas Pati menurut kamu?
Gk ada serem2nya ini film menurut gw, sampe jarwo jadi setanpun ga notice kalau dia setan. dr pertengahan udh bisa ketebak si hanum tokoh antagonis.
Lah endingnya malah kocak, persis sinetron
Sepanjang film cuma nahan kantuk, padahal di deretan kursi cuma ada gw Seorang diri haha.
twist sebenarnya di film ini bukan siapa antagonisnya, melainkan ternyata.. filmnya…. adalah semacam sinetron!!! Ahahaha
wah prestasi tuh buat Kafir; ada yang nonton sendiri tapi bukannya takut malah ngantuk
(spoiler-ish)
untuk jump cut pas scene dinner di awal emang distracting banget sih, tapi gua malah notice ada 2 karakter yang ga pernah dipasangin padahal duduk sebelahan, which is borderline genius dan annoying.
tapi sinematografinya beneran asik sih, third-act nya yang over-the-top juga bisa rada dimaklumi deh dengan scene utamanya yang dibikin ala2 teater.
also, 2 karakter itu juga hampir ga pernah barengan jadi focus di tiap scene sampe ke third-actnya
Dina sama Hanum kah?
Berani memang film mengontraskan seperti demikian, tapi jadi unintentionally funny gitu.. mengotakkan setiap yang tau santet jadi kayak ‘gila’ yang diekspresikan dengan cara yang sama, membuat tokohnya jadi monoton, dan udah susah dianggap serius. Babak ketiga itu udah nyaris kayak B-Horor movie klasik yang lebih banyak bikin kita tertawa
nope, sri sama hanum. ga pernah jadi focus barengan di scene manapun sebelum scene nyisir di cermin, kerasa banget subtle hintnya.
I don’t mind the cheesiness and the pelakor drama tho.
kalo gak salah mereka ada momen nyuapin sop ayam itu, yang jadi olok-olokan Hanum di akhir cerita
ya, makanya film ini kutaro di 5; buat film-film yang ngecult kayak gini – bisa dibilang Kafir ini Dilan nya film horor lah hhihi
menurut gw buat standar film indonesia film ini bisa di bilang bagus, mulai dari visual, scoring, sampai storytelling masih lebih bagus dari pengabdi setan malah menurut gw,
iya ending nya agak kurang, apalagi yg antagonis nya tiba tiba ketawa ketawa ga jelas kaya orang gila, bukannya serem malah yg ada annoying,
tapi sekali lagi menurut gw ending yg kurang itu pun masih lebih baik ketimbang ending puluhan film horror lain, termasuk ending zombie attack-nya si pengabdi setan
kalo gw, gw kasih 7,5 dengan perbandingan pengabdi setan gw kasih 6,5
makanya aku sebut aku pengen film ini mestinya lebih baik dari Pengabdi Setan adalah karena Kafir ini punya penyelesaian, Pengabdi Setan tidak; ini kelemahan Pengabdi yang membuatku memasangnya di 6
Kafir, buatku, penentu posisinya di mana adalah dari kekuatan arahannya. Kafir memutuskan memilih untuk jadi over-the-top, dengan perdukunan, gaya dukun dan antagonisnya, elemen-elemen kayak di B-Horor yang awesome tapi norak. Pada akhirnya, film ini secara keseluruhan menjadi less-serious dan kurang urgen dibanding Pengabdi Setan, meskipun kekuatan film ini adalah ia mampu mengakhiri ceritanya. But again, keputusan menutup dengan adegan si penjahat masih hidup; cheesy.
Btw aku abis nonton film Nya, dari dulu aku penggemar film horror dan suka banget banding2in buat pribadi Aja.
Aku ga pernah dan ga pandAi review film, tapi setelah nonton kafir jujur aku 10x lebih meriding setelah keluar bioskop ketimbang waktu habis nonton pengabdi setan.
Kafir Emg setan Nya ga semengerikan film horor2 lain, tapi Ada beberapa adegan yg murni bikin merinding dan jarang aku temuin di film horror indo yg lumayan kece. Contoh Nya adegan waktu Ibu baca Ayat Kursi dan dengan pedenya si jarwo yg udh Mati Malah ngikutin do’a. Jujur itu jumpscare yg simple tapi dalem sih,, jadi Klo Menurut pandangan aku film ini cukup baik sih. Apalagi alur Nya. Dari awal aku udh nebak Kalau karakter tokoh yg main itu kaya gmn, tapi film ini Pinter banget bikin aku ga boring karna ternyata bikin aku jadi labil dan menerka sendiri karakter tokoh antagonis Nya. Well, Kalau aku bakal kasih 7,5 dari 10
Btw thanks for the review~~
Habis Pengabdi Setan justru yang kerasa hampa ya, bingung, karena gak ada penyelesaian.. kurang di penulisannya itu sih film itu. Teknik menakuti dua film ini punya ciri khas masing-masing, dan buatku dua-duanya bekerja dengan baik. Cuma menurutku, PS masih bisa diperbaiki, sedang Kafir semua elemennya seperti sudah fix; jadi over-the-topnya itu terlihat sebagai bukan kesalahan, melainkan keputusan.
Cuma ya, buatku, Kafir bekerja paling baik saat enggak ada setannya. Adegan paling seram buatku adalah momen sebelum sup ayam Sri tumpah, yang ketika dia melihat anaknya pulang padahal belum. Creepy sekali, dari perspektif dia kejadian tersebut bisa saja karena dia ngebayangin yang enggak-enggak, atau memang ada hantu, or worse dia tahu ada dalang di baliknya. Adegan Ayat Kursi itu juga, seperti adegan-adegan lain pada film ini, juga digarap dengan sangat baik. Hanya saja, begitu kita sudah tau konteksnya, seramnya jadi jauh berkurang. Tidak lagi terlihat seperti orang yang minta tolong ke Tuhan karena diganggu setan. Tapi hanya sebagai usaha terakhir Sri karena dia sudah tidak punya dukun penolong; orang yang sudah bersekutu dengan setan doanya tentu tak mujarab lagi.
Kalo ini film yang diniatkan untuk psikologikal, maka tentu kita akan sudah mengenal Sri sedari awal, kita akan tahu konteks adegan tersebut di eksak momen adegannya berlangsung. Experience yang hadir tentu akan berbeda sekali. Tapi itulah kusebut di ulasan dengan film ini membuat dinding di antara kita dan Sri. Karena film memang mengarahkan kepada twist, dan untuk kepentingan hiburan. Film hanya ingin kita melihat dukun-dukun jahat, dan memang berhasil cuma sampai di situlah batasan film ini. Tidak bisa lebih.
Sudah nonton ini film di hari pertama saking penasaran sama filmnya. Entah karena sering lihat trailer sama teaser film Kafir ini, surprise film ini jadi berkurang alias punya gambaran bakal terjadi apa. Unggulnya, film Kafir punya penyelesaian kalau PS tidak (entah penulisan atau diniatkan sebagai style Joko). Beberapa adegan cukup seram meski rada ambigu intentionnya. Karakter antagonisnya transisi kurang mulus (seperti tiba-tiba begitu), ada sedikit creepy tapi juga cheesy karena kayak orang gila. Lucunya, masih bisa hidup saat seharusnya sudah mati. Endingnya bisa dibuat sedikit detail dengan interaksi antar tokoh.
setuju sekali dengan komentar iniiii.. intention filmnya jadi berasa berubah setelah antagonisnya keungkap
Sebelum menonton, aku berpikir kalau dalangnya adalah si dukun. Tapi setelah nonton filmnya, ternyata tidak persis iya. Lalu di film agak sedikit aneh, masing-masing tokoh (dukun, ibu, dan masa lalu) sama-sama bermain dukun sehingga fokus film jadi tidak jelas, lebih ke perang santet malah.
Mending sekalian aja ya dari awal bikin jelas tentang perang santet; ayah ibu mati kena santet, terus Andi dapat surat yang ngasih tau kalo dia juga diwarisi ilmu santet dan diundang masuk ke sekolah dukun. Wuih jadi Andi Potter tuh hahahaha
Jadi Mas Arya, judul Kafir: Bersekutu dengan Setan itu ditujukan ke ketiga tokoh kah atau si Sri ? Menurut saya, di situ letak ambigu film ini.
Sri, sama penjahatnya tuh yang bersekutu dengan setan – pada main dukun. Anak-anak Sri kan pada gak tau apa-apa
Wah, akhirnya keluar juga reviewnya? Kalau menurut saya pribadi sih endingnya kurang nampol gitu ya? Lah, Kok cuma gitu aja, coba misalnya dikembangin lagi biar berkesan dan gila gitu misal banyakin darah atau apalah biar heboh, soalnya penulisnya udah senior, saya nebak dari trailer yang jahat siapa? Eh ketebak betul pas nonton filmnya, hahaha
Hmm, hal yang Patut diapresiai dari film ini, sinematografinya sih juara terus dengan pedenya berani mengangkat kearifan lokal dan ogah ikut-ikutan style horor Hollywood, Bagus sih serasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, hal2 seperti itu masih bisa kita temukan. Mungkin scene memorable pas si cewek sama emaknya yang nari-nari ngga jelas, boleh juga hahaha.
Pengabdi Setan menurut saya pribadi sih ngga seram juga tapi bolehlah, kalau kafir saya suka jalan ceritanya walaupun tanpa jumpscare. Fix, nungguin review Sebelum Iblis Menjemput yang juga udah banyak berseliweran di lini masa banyak yang bilang Bagus.
Terima Kasih Reviewnya, sukses selalu.
terima kasih terima kasih, setuju sih, jadi kurang berkesan – filmnya jadi sedikit terlalu cheesy..
Siiplah, setelah Iblis tayang di bioskop, aku pasti review 😀
terima kasih atas diskusinya di atas, agar menyakinkan saya menonton kafir nanti malam, karena 4 jam lagi saya akan menonton film ini, hhhee … thnks ya … ntr aku ikut review
siaapp, baiknya sih memang film musti ditonton sendiri, ga langsung nerima review orang-orang..
ditungga mbak Hana reviewnyaaa, selamat menontoon 😀