WIRO SABLENG 212 Review

“Do not seek revenge and call it justice”

 

 

 

Alasan kenapa Wiro dilatih silat dengan jurus-jurus yang konyol dan menyenangkan sama dengan kenapa pemuda ini diberikan baju berwarna putih; supaya Wiro senantiasa jauh-jauh dari aliran kegelapan. Namun, tak sama dengan baju putih yang gampang kotor, Wiro membuktikan hatinya tidak gampang untuk ternoda. Gemblengan Sinto Gendeng yang meski asik tapi luar biasa keras sudah menempa Wiro menjadi pendekar sakti baik budi. Kekurangannya, ya cuma satu – SABLENG!

Bagi pembaca novelnya, ataupun bagi pemirsa yang (beruntung) pernah menyaksikan serial televisi Wiro Sableng di tahun 90an, tentunya tidak akan asing dengan gimana sih Wiro Sableng itu.  Buat yang sama sekali awam, ada baiknya menyimak penggalan lirik lagu serial tersebut “sikapnya lucu, tingkahnya aneh, seperti orang yang kurang ingatan dan tak sadar – dia slenge’an tapi cinta damai” sungguh tepat menyimpulkan seperti apa Wiro Sableng. Film kerjasama Lifelike Pictures dengan 20th Century Fox ini dengan sangat tepat menghadirkan kembali style dan ruh dari serial lama itu. Film ini exactly terasa seperti menonton serialnya, dengan kualitas visual dan set produksi yang jauh lebih mahal.  Ajiannya sekarang bukan efek tepung, tapi efek komputer. Kostumnya tradisional dan sederhana tapi tak tampak kuno sebab diasimilasikan dengan gaya moderen.

Satu orang yang paling bangga sedunia oleh film ini tentu saja adalah Vino G. Bastian. Jikalau dia sempat merasa beban mengangkat semesta karangan ayahnya ini, maka aku bisa pastikan dengan tayangnya filmnya ini Vino merasa sangat bangga. Dia menangkap passion dan gaya dan esensi Wiro Sableng itu sendiri. Si Bocah Kunyuk kembali hidup di tangannya! Bayangkan Deadpool tapi minus crudeness, bayangkan Sun Go Kong si Kera Sakti namun sedikit dijinakkan. Itulah Wiro Sableng.

Sekuen di kedai itu contohnya; classic Wiro Sableng banget. Gimana aksinya, gimana cara dia ‘menghukum’ penjahat. Wiro selalu seperti orang blo’on yang tampak enggak tahu dengan apa yang ia sendiri lakukan. Ketika orang memandangnya sebelah mata, menghinanya, saat itulah Wiro menyerang, and he was so good at it. Tau-tau musuhnya sudah terkapar kena kacang dari jurus Kunyuk Melempar Buah. Nuts! Film ini kocak dan menyenangkan, persis kayak tokoh Wiro Sableng itu sendiri. Adu mulut Wiro dengan eyang gurunya udah kayak percakapan orang beneran yang lagi tertawa-tawa bercanda, mereka hampir seperti keluar dari karakter, that’s how fun it is. Pose jurus silat – dan nama jurus-jurusnya – yang over-the-top, orang pake jurus terbang dengan gerakan yang kaku, orang ditendang ngerubuhin tembok, dialog yang mungkin akan terdengar cringey, leluconnya mungkin ada yang vulgar, penjahatnya memang bisa tampak sangat bego dan lemah (wong Wironya kuat gitu). Namun memang begitulah fitrah film ini, over-the-top – lebay adalah nadi dari cerita dunia persilatan ini. Wiro Sableng 212 butuh untuk menjadi over-the-top. Jika kita punya cerita di mana tokohnya dijuluki sebagai Dia yang Menertawakan Dunia, film kita tidak boleh berpaling dari semua itu. Jangan sampai menjadi terlalu serius. Karena justru dari sinilah datangnya pesan yang kuat dan rasa terhibur saat menonton.

menggelinjang melihat Vino dan cameo Kenken melakukan pose 212

 

 

Alur ceritanya pun sesederhana dunia persilatan; ada kekuatan baik, dan ada kekuatan yang jahat. Seorang penjahat memimpin gerombolan bandit untuk merusak desa dan Voldemort-in orangtua Wiro yang masih tak lebih dari seorang bocah. Sinto Gendeng muncul dan menyelematkan Wiro kecil dari dekapan penjahat. Wiro dididik untuk mewarisi Kapak Maut Naga Geni 212, sehingga dia bisa mengemban tugas mencari mantan murid Sinto Gendeng yang kini sudah menjadi penjahat kelas kakap – bos dari gerakan “Ganti Raja” di kerajaan sekitar tempat Wiro Sableng. Turung gunung, Wiro harus segera menangkap si Mahesa Birawa ini, yang actually juga adalah orang yang sama dengan yang membunuh ayah dan ibunya tujuh belas tahun yang lalu.

Ilmu Putih atau Ilmu Hitam sebenarnya adalah ilmu yang sama. Bayangkan setiap kepandaian yang kita miliki sebagai jurus silat kita. Adalah terserah kepada kita untuk memilih menggunakan ilmu tersebut untuk apa. Tapi menurutku film sebenarnya berpesan lebih dalam dari ini. Masukkan Mahesa Birawa yang diperankan oleh Yayan Ruhian dengan amat garang dan keji. Sosok ini adalah antagonis yang perfecto buat karakter Wiro Sableng. Mahesa percaya setiap orang berhak mendapatkan apa yang pantas mereka dapatkan. Jika mereka punya ilmu, maka mereka berhak untuk mengejar harta, nama, ataupun kuasa. Setiap orang mengambil jalan hidupnya masing-masing. Begitulah yang ditapaki oleh Mahesa. Dia merasa pantas, dia ingin punya Kapak Maut, he went for it. Dia ingin mengubah tatanan dunia, dia ingin menjadi raja, dan dia berusaha untuk mengambil apa yang menurutnya sudah jadi haknya. Ini berkebalikan dengan yang Wiro pelajari. Ia bergerak atas dasar tugas. Kewajiban Wiro adalah untuk menegakkan kebenaran, menumbangkan kejahatan. Seperti juga Kapak Maut yang hanya berhak digunakannya setelah ia diakui dan hanya bisa menariknya dalam kondisi hidup atau mati. Moral Wiro lantas bentrok ketika dia mengetahui kenyataan yang disembunyikan oleh Sinto Gendeng; bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya.

Pertanyaan yang mesti dijawab oleh Wiro adalah apakah balas dendam itu merupakan hak? Sesuatu yang menjadi miliknya. Apakah seseorang berhak untuk melakukan pembalasan setimpal. Jawaban film ini jelas; Wiro tak dapat lagi memanggil kapak yang tadinya bisa ia main-mainkan seolah senjata itu pesawat mainan.

 

 

Sayangnya, dibandingkan dengan Mahesa Birawa yang motivasinya mengancam dengan kuat, Wiro Sableng sendiri selalu dilemparkan ke dalam situasi. Dia disetir oleh Sinto Gendeng yang sengaja menyimpan informasi penting tentang Birawa. Wiro hanya tahu informasi dari orang-orang yang ia temui. Tidak sekalipun Wiro tampak bergerak dengan motivasinya sendiri. Dia bahkan tak terasa beneran peduli sama lingkungan sekitarnya yang bukan cewek dan bukan bernama Mahesa Birawa. Dia datang, bertemu orang-orang – yang juga mendadak jadi ikut petualangannya, mereka terlibat pertempuran bareng. Wiro beneran seperti seorang kelana; dia hanya ada di sana. Dia tak tahu banyak, kita bahkan lebih tahu daripada dia. Kita tahu lebih dahulu bahwa Birawa adalah pembunuh orangtuanya, kita expect dia akan mendendam, ini sungguh cara yang aneh dalam menuturkan cerita. Akan menjadi lebih menarik jika Wiro belajar sendiri bahwa Birawa adalah orang yang membuatnya tak punya ayah dan ibu, dia kemudian bergerak dengan amarah dan dendam untuk beberapa waktu, sebelum akhirnya kalah, dan cerita berlanjut sebagaimana yang diperlihatkan oleh film – supaya dia tidak melulu disuapin, agar dia menciptakan kondisi – menyetir cerita alih-alih terbawa arus naskah.

Ada banyak yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih jauh perihal karakterisasi. Karena bukan hanya Wiro, semua tokoh di sini tampak datang dan pergi. Nice to see Sherina Munaf terjun kembali ke dunia akting, namun motivasi karakter Anggini yang ia perankan terasa mentah begitu saja. Yang paling parah adalah Bujang Gila Tapak Sakti yang seperti siluman Patkai (aku gak menyangka suara Fariz Alfarazi melengking seperti itu). Sama sekali tidak ada alasan kenapa tokoh ini ada di sana. Bantering dia dengan Wiro memang salah satu yang jadi pemantik tawa, namun karakternya seperti pemanjangan dari karakter lucu Wiro belaka. Hampir seperti tokoh ini ada di sana untuk menjamin Wiro enggak garing. Seperti ketika mereka menyusup dengan menyamar menjadi rombongan penari wanita; kenapa yang menyamar musti Wiro dan Bujang, sedangkan Anggini yang cewek beneran malah masuk lewat jalan lain – kenapa bukan Wiro dan Anggini? Mereka akan menghadapi penjahat yang buaanyak banget, yang udah terkenal di Wiro Sableng Universe. Dan sama seperti mereka, para penjahat juga ada di sana buat berantem doang. Backstory mereka tipis sekali,  keteteran. Mereka hanya jahat. Bahkan enggak semua penonton langsung tahu jahatnya mereka itu sebenarnya gimana. Sebagian mereka hanya tampak jahat by association buat sebagian besar penonton. Padahal mestinya bisa digali lebih, sebab kita tahu mereka berkoalisi untuk meruntuhkan pemerintahan raja saat itu

paling enggak akhirnya kita dapat Pendekar Pemetik Bunga yang kemayunya ke arah cool ketimbang kumisan dan total pervert

 

Sebagai film laga, elemen fantasi benar-benar digunakan untuk mempertajam elemen hiburan di sini. Hal tersebut memastikan koreografinya menarik untuk disimak. Karena setiap orang punya jurus berbeda. Mereka berkelahi di environment yang berbeda-beda. Kamera juga cukup bijak untuk enggak kebanyakan goyang, dan paham apa yang harus diperlihatkan, mana yang enggak. Teknik editingnya pas berantemnya bisa jadi sedikit mengganggu karena sering cut yang berpindah-pindah, yang tadinya kupikir untuk mengakomodasikan keperluan stuntman dengan pemeran asli, seperti Wiro yang harus selalu bertingkah konyol di sela-sela berkelahi.

 

 

 

Jurus-jurus yang dipunya membuat film ini menghibur – dia tidak ingin menjadi lebih dari serialnya dulu, kecuali semuanya sekarang tampak lebih mentereng. Bahkan cerita film ini ditutup dengan para jagoan kita berpisah gitu aja, kayak akhir episode di tv. Ceritanya sepertinya dibuat sama dengan yang di buku, mereka enggak mengubah banyak. Actually film ini adalah bagian pertama dari entah berapa sekuel yang mereka rencanakan. Dan tentu saja ini jadi sumber masalah, sebab film ini pun jadi punya mindset ‘kalo ada yang kurang, nanti dijelasin kok sama sekuelnya’ ataupun ‘di buku dijelasin kok’ Padahal kan mestinya film bisa berdiri sendir, walaupun dia adaptasi atau bagian dari trilogy atau semacamnya. Film ini mestinya bisa diceritakan dengan lebih baik lagi. Enggak seriusnya lumayan bablas, karena kita udah melihat contoh full-bercanda namun bukan berarti tidak serius pada Thor: Ragnarok (2017), film ini mestinya juga bisa mencapai prestasi yang sama.
The Palace of Wisdom gives 5.5 out of 10 gold stars for WIRO SABLENG 212

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Tapi aku sebenarnya punya satu teori, atau bisa disebut prediksi, karena aku gak yakin film ini berani mengambil langkah yang beda dengan buku. Akan menarik sekali sih kalo berani.
Aku merasa masih ada sesuatu rahasia perihal Mahesa Birawa. There’s more of him dari seorang murid durhaka dan pembunuh. Mahesa tidak bertindak secara acak. Dia kelihatan kenal sama ayah dan ibu Wiro. Motivasinya selalu dia ingin mengambil apa yang menjadi haknya. Di hari naas itu, kita tahu Mahesa ada di sana untuk mengambil sesuatu yang ia percaya adalah miliknya, tapi apa? Dia seperti tak berniat membunuh Suci, sampai dia tertusuk. Begitu pun terhadap Wiro. Dia tampak sedikit terkejut saat melihat Wiro, awalnya dia menyuruh Kalingundil untuk membawa bocah tersebut; tidak membunuhnya. Kemudian saat Wiro gede, dia memanggil Wiro dengan sebutan ‘anak haram’.

Could it be, ayah dan ibu Wiro bukan pasangan suami istri?

Mungkinkah, Mahesa Birawa akan diungkap sebagai ayah tiri Wiro?
To be honest, saat menonton aku sudah siap untuk momen seperti ‘Luke, I am your father.’

Bagaimana menurut kalian soal teori ini?

 

 

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. delinaare says:

    Ih samaa aku mikir jg karakter wiro ini kayak kera sakti :))
    Teorinya masuk akal. Aku penasaran jg sebenernya ada apa antara si Mahesa sama kedua orang tua Wiro. Itu ga dijelasin sama film 🙁 trs aku berharap lebih sama si kapak yg ikonik ini bisa wow macem palunya Thor, ternyata menurut aku b aja wkw

    • arya says:

      hahaha kunyuk sakti xD Trus temennya yang celeng itu kayak Patkai

      iya kan, musti ada sesuatu tuh di antara Mahesa ama Orangtua Wiro… Kalo ada yang baca bukunya ampe tamat, mungkin kita bisa tanya

  2. gin-andtonic says:

    Jujur gue lumayan kecewa banyak sama film ini. Gue ngerasa beberapa karakter emang ada cuma buat tempelan. Cuma buat nemenin dan ngebantuin aja, gak lebih. Mereka kurang digali, naskahnya lemah bgt sih sayangnya. 5.5 emg pas banget sih, dan gue gak tau kenapa ya, gue ngerasa ada beberapa moment yang terkesan dipaksakan untuk terlihat lucu, even i didn’t laugh at some scenes which make other audiences lol. Apa memang begitu keadaannya, atau selera humor gue yg bermasalah. Hmmmm.

    • arya says:

      iya, belum.. dan iya juga, siapa tau mereka mau bikin beda… karena dari serialnya juga beda kan ya? Sinto mungut Wiro masih balita banget, sedang di sini Wironya sudah anak-anak, sudah bisa mengingat kejadian

  3. BukanAnakFilm says:

    wah kalo ada i am your father gw pusing juga sih tapi juga seneng. Kalau ngikutin sinetron dan novelnya mah film ini bakal ada puluhan pasti. orang lawannya banyak banget gitu. nevelnya juga berjilid-jilid

    personally gw yang suka film sinetron 90annya kecewa berat karena ga ada adegan menggunakan wire (terbang). Kita inget wiro dan musuhnya sering banget terbang pas berantem. kemudian suka ngomong jurusnya sebelum ngeluarin jurus di sini diem aja dia.
    review lengkap gw bisa dibaca di
    https://bukananakfilm.wordpress.com/2018/08/30/review-wiro-sableng-pendekar-kapak-maut-naga-geni-212-fun-tapi-kurang-meyakinkan/
    numpang shifu hehe

    • Anggini says:

      Kak, wiro sabkeng ga pake stunt man yg bilang vino sendiri karena si vino ga mau oake stunt man. Harus kului bercandaannya receh ga kucu. Tapi, overall not bad dan masih bagus aja ratenya aku kasih 8/10 mungkin krn alur novek yg 3 buah menjadi 1 fikm sehingga ceritanyabterasa tidak lengkap

      • arya says:

        oh bener begitu tah, kalo begitu aku ralat yang direview… tapi jadinya aneh dong, kameranya sering pindah-pindah itu buat apa kalo ternyata bukan untuk nyamarin stuntman?

        iya terlalu banyak itu 3 novel jadi satu.. kenapa gak dibikin satu buku satu film aja ya ahaha, kan jaidnya bisa banyak filmnya, bisa lebih lama existnya

  4. Room Man says:

    Suci itu dulu pacaranya mahesa, tapi suci sebenarnya gak suka alias terpaksa. Trus pas mahesa pergi berguru ke sinto gendeng, suci bertemu rana weleng, akhirnya menikah. Hmm seperti drama LDR gitu ya, trus ditinggal merit

    • arya says:

      wah ini detil yang hilang dari filmnya, jadi mahesa itu kayak snape ya, hanya dia beneran jahat.. Mestinya backstory ini ditampilkan di film biar mahesa dan wiro nya lebih menapak lagi

      • Michel says:

        Nope. kalau baca di novelnya serie pertama Empat Brewok Dari Goa Sanggreng. Suranyali alias Mahesa Birawa memang cinta abis dengan Suci. Tapi Suci suka dengan Ranaweleng. Suranyali akhirnya pergi berguru ke Gunung Lawu, tapi bukan berguru kepada Sinto Gendeng (Karena tempat tinggal Sinto Gendeng di Gunung Gede). Setahun kemudian, Suranyali turun gunung dan mendapati kalau Suci sudah menikah dengan Ranaweleng dan mempunyai seorang anak yang masih bayi bernama Wira Saksana. Suranyali alias Mahesa Birawa marah besar dan menuduh SUci mengkhianati cintanya, padahal memang Suci tidak pernah menyukai Mahesa Birawa. Kemudian Mahesa Birawa membunuh Ranaweleng. Wiro diselamatkan oleh Eyang Sinto Gendeng dan digembleng menjadi Pendekar Kapak Naga Geni 212.

        Tokoh Bujang Gila Tapak Sakti sebenarnya kalau di novel baru muncul di serie 65 “Hari Hari Terkutuk”. Tapi saat itu namanya belum disebutkan. Karakternya baru diberitahukan dalam seri 071 “Bujang Gila Tapak Sakti”.

        • arya says:

          sayang sekali ya film gak bahas ini, mereka melewatkan kesempatan untuk bikin Mahesa, Wiro, dan karakter-karakter lain lebih manusiawi. Yang gak baca bukunya pasti gak bakal ngerti Mahesa pernah ada hubungan sama Suci

    • Angga says:

      Yang berbeda dari film dengan Cersil adalah, Suci bunuh diri setelah diperkosa Suranyali. Bukan dibunuh seperti di film. Kan suranyali Cinta, ga mungkinlah bunuh Suci. Kalau menodai bisa karena cinta buta. Mungkin ceritanya disesuaikan karena kejar rating PG13

  5. Rala Martin says:

    Mahesa Birawa dulunya pernah mencintai Suci,ibu wiro. Tapi suci memilih menikah dgn Ranaweleng pujaan hatinya,makanya Mahesa Birawa dendam kpd Ranaweleng yg berhasil memiliki Suci.

  6. Sableng says:

    Suci bukan pacar mahesa, mahesa dulunya suka ama suci, sucinya cuek mulu, karna kasian, lama2 suci nanggepin jg, bukan berarti nerima cintanya mahesa. Tp si mahesa salah tanggap, dn pamitan ama suci buat berguru ilmu dn menyuruh suci menunggunya pulang. Suci ga smpat beri pnjelasan apa2. Sblum mahesa pergi. Akhirnya kawin ama ranaweleng.

  7. Ulik says:

    Gua termasuk orang yang mengikuti cerita Wiro Sableng walaupun Nggak semuanya tapi aku agak kecewa nggak tahu ekspektasi gua terlalu tinggi mungkin karena udah nunggu selama 1 tahun tapi yang paling bikin kurang adalah adegan action nya seharusnya bisa lebih Wow lagi mengingat kalau dari novelnya yang paling seru itu adalah action nya dan jurus-jurus yang dipakai seharusnya disini menyertakan seperti di serial nya dulu setiap ada jurus yang dikeluarkan ditulis atau diucapkan karena itu yang menjadi icon dari novel Wiro Sableng

    • arya says:

      ah iya, dulu di serialnya juga pake tulisan nama jurus kan ya, jadi penontonnya tahu ama nama-nama jurus yang iconic itu. Di film ini mah gak ada, aku nebak aja yang jurus lempar kacang di kedai itu jurus Kunyuk Melempar Buah xD

  8. Ali Reza says:

    Ikut nimbrung ah. Kebetulan gw blom nonton, dan mungkin nggak akan nonton, apalagi kebantu review ini jadi bisa save money buat nonton The Nun atau The Predator.
    Sebenarnya gw agak pesimis film ini dapet rating tinggi sejak lihat trailernya. Satu hal yang sering gw perhatiin di film kolosal itu kostum. Kalau kostumnya udah kelihatan baru/modern, udah deh udah jempol kebawah aja. Bayangan gw setting film ini kayak Ong Bak atau Pirates of The Carribean lah.
    Gw juga setuju dialog atau adegan komedi, bukan hanya film ini, tapi di hampir semua film Indonesia itu lucunya terlalu dipaksakan.

    • arya says:

      Soal kostum, pihak film memang sudah pernah menuturkan bahwa mereka memang sengaja bikin yang seperti asimilasi budaya dengan gaya modern, jadi ya udah creative decisionsnya begitu apa boleh buat. Personally, aku pun malah sebenarnya lebih suka desain Kapak Naga Geni yang di serial, kelihatan lebih sangar dibanding kapak di film ini yang kayak mainan.

  9. Khajjar RV says:

    Saya selalu suka baca review film dari sini. Analisisnya dalem banget, dan selalu kasih saran atau opini yang lebih menarik dari jalan cerita. Kadang nonton film cuma buat buktiin bener gak sih kek yg ditulis mydirtsheet? Dan mostly aku setuju. Aku udah nonton filmnya dan lagi2 yes, “kayak yg dibilang Bang Arya!”

    • arya says:

      wah terimakasih Khajjar sudah suka baca-bacaa

      haha iyaa, perlu itu nonton filmnya sendiri, siapa tau aku nulisnya ngasal.. atau mungkin setelah nonton jadi tetiba punya pendapat berbeda, kan jadinya makin seruu 😀

      • Khajjar RV says:

        Seneng juga sama inti cerita dari film yang sering dibuat jadi kalimat impresif. Contoh kayak yang aku baca di review sebelumnya, Film Sultan Agung: “Everyone is more interested in being a hero than in being right.”

        • arya says:

          haha iya, kalimat itu berfungsi sebagai judul bahasan reviewnya; Inti cerita filmnya yang kutangkap, kucarikan quote yang cocok – biasanya nemu dari bacaan, kutipan terkenal, peribahasa, bahkan lirik lagu sampe dialog dari film lain xD

    • arya says:

      makasih juga udah baca.. benar, bikin yang mahal dan modern bukan otomatis jadi konek dan gak murahan, Wiro Sableng butuh usaha lebih keras, masih banyak ruang untuk jadi lebih baik

  10. The Razaks says:

    ga ada yg tergerak ‘mempersoalkan’ sosok bidadari yg nongol ga jelas? suuzhon nya ini karakter cuma buat ngasih job buat bininya vino, mgkn demi dapur ngebul. note: gw ga pernah baca novel wiro, jd ga tau apa bener ada tokoh bidadari, tp kalopun bener ada kemunculannya jd gak penting, kecuali hanya utk nyelamatin nyawa wiro yg berarti nyelamatin durasi film juga.

    • arya says:

      hahaha di serialnya dulu kalo gak salah tokoh itu memang ada sih, major crush Wiro juga. Tapi memang di film ini, tokoh Bidadari itu sama sekali gak dikasih penjelasan apa-apa, kemunculannya sebatas pengenalan dan hanya alat untuk mempermudah Wiro dkk – malah jadi poin minus ya buat filmnya

    • andy says:

      hahahhahaha ini salah satu yg ganggu juga di film.. terlalu maksa buat muncul tokoh nya… sayang sekali sosok bidadari angin timur yg gesit malah jadi seperti ini…

  11. andy says:

    gw termasuk salah satu penggemar berat novel Wiro Sableng yang kecewa setelah nonton film nya, bisa dibilang sudah terlalu berharap lebih kepada para karakter yang dimunculkan di film ini.. penggemar tentu tahu dan hapal banget karakter masing2 tokoh dan mempunyai imajinasi tersendiri bakalan seperti apa jika divisualisasikan di film, seperti yg dibilang untuk sosok Anggini, sayang sekali Sherina sangat jauh dari karakter Anggini yang selama ini muncul di novel nya, termasuk akting nya yg terasa kaku…. Sinto Gendeng kurang menyeramkan, kurang angker sebagai sosok dedengkot dunia persilatan, apalagi Bidadari Angin Timur yang seolah olah dipaksakan muncul… banyak karakter disini yang muncul (terutama tokoh golongan hitam) hanya sekilas dan mati begitu saja hanya untuk tambahan dalam film.. dan Bujang Gila Tapak Sakti terlalu cepat dimunculkan… satu lagi… kostum nya sangat disayangkan tidak sesuai dengan Zamannya meskipun alasannya adalah moderenisasi… sudah lihat film Wiro Sableng versi layar lebar akhir 80an yang diperankan oleh Tony Hidayat ?? itu menurut gw masih lebih baik dari sekarang.. silahkan cari film Siluman Teluk Gonggo, Sepasang Iblis Betina, Neraka Lembah Tengkorak dll…. jadi Kenken bukan lah orang yang pertama kali memerankan Wiro Sableng walau dia yang populer karena serial ini sudah dibuat dalam bentuk sinetron…

    • arya says:

      Wah sudah ada filmnya juga ya dulu.. dari judul-judul yang mas sebut, itu berarti mereka dulu memfilmkannya per buku? sepertinya memang lebih baik begitu ya, jadi cerita bisa lebih padu.. Wiro yang ini memang masalahnya di cerita, yang gak baca bukunya aja bisa ngeliat cerita campur baur sekenanya biar banyak tokoh bisa muncul.
      Haha iya aku kesel tuh kenapa penjahatnya pada berguguran dengan gampang, masa iya mereka kayak Pemetik Bunga, Kala Hijau, itu gak ada cerita yang bakal digali sama sekali

      Kalo soal kostum, ataupun artistik, sebenarnya itu sudah murni keputusan kreatif yang bikin – apalagi ini genre fantasi.. mereka gak harus politically correct atau gimana; komik dragonball aja kan settingnya di masa lalu, masih ada dinosaurus tapi udah ada radar, mesin, teknologi kapsul yang modern.

      • andy says:

        sebenarnya film ini kalau saya lihat berdasarkan 2 buku pertama, Empat Brewok daro Goa Sanggreng dan Maut Bernyanyi di Pajajaran, hanya ya tadi itu banyak karakter yang terlalu dipaksakan muncul, padahal dg memaksimalkan tokok yg ada dikedua novel itu saja sudah cukup.. satu lagi yg mengganggu pikiran saya saat nonton… sudah tau kan Pukulan Sinar Matahari ? kalau sudah baca novel nya pasti hapal betul bagaimana ajian tersebut dikeluarkan berikut imajinasi kita bagaimana dari mulai sikut sampai ujung kuku memutih dan memancarkan sinar keperakan yg menyilaukan.. sayang nya di film malah jadi aneh… sangat aneh…. dengan teknologi sekarang sangat mungkin dibuat jurus2 tersebut… terus kemanakah jurus Dewa Topan Menggusur Gunung, Kunyuk Melempar Buah, Benteng Topan Melanda Samudera dll…. hahahahha jadi kangen baca novel nya lagi… #buka koleksi novel Wiro Sableng#

        • arya says:

          kalo di film tangannya jadi merah kayak bara api gitu kan ya, kalo di serial dulu Pukulan Sinar Mataharinya memang warna perak sih.

          aku asumsinya yang Wiro lempar kacang pas berantem di kedai itu jurus Kunyuk Melempar Buah ahahaha

          Yang dipake Mahesa Birawa pas bunuh bapak Wiro namanya jurus apa?

  12. uhuy says:

    Dari awal lihat trailernya itu bener2 gak sreg.. walau aku gak bisa acting, cuma bisa nonton, tapi actingnya vino memang gak sreg. Aku lebih suka actingnya abimana dalam memerankan Dono kemarin, vino sebagai kasino itu bagiku juga gak terlalu dapat karakternya. Save money untuk nonton yang lain aja..

  13. arya says:

    Mungkin mereka punya niatan untuk nyetak ulang dan ngejual kembali novel-novelnya? Who knows, sepertinya logis dilakukan oleh pihak yang memang berniat jualan haha

    Berasalan sih skeptisnya. Jangan sampai ntar pas di sekuel adegannya Wiro dalam bahaya terus tahu-tahu muncul Bujang Gila, atau Anggini, atau siapapunlah di film pertama ini nyelametin, terus mereka saling senyum dan kembali ikut gabung cerita tanpa ada motif apa-apa (lagi) 🙁

Leave a Reply