ARUNA & LIDAHNYA Review

“Just add water and stir.”

 

 

 

Aruna ngerasa semua makanan gak ada yang benar-benar spesial enak di poin hidupnya yang sekarang. Padahal Aruna ini cewek yang hobi banget makan. Waktu kecil aja kuda catur dimakan ama dia. Tapi sekarang dia kebingungan, dia sulit mencicip makanan. Bukan karena dia sariawan. Aruna merasa ada yang kurang, tetapi dia tidak tahu apa. Aruna pengen masak nasi goreng mboknya, but she can’t get it right. Atau paling tidak, ia merasa enaknya enggak sama

Aruna & Lidahnya adalah perjalanan Aruna mencari rasa. Tapi bukan dalam artian klise gimana seorang merasa bosan dengan hidupnya dan berangkat menemukan percikan. Aruna perfectly fine. Dia senang dengan hidup. Lingkungan persahabatannya erat, mereka sering ngumpul dan makan bareng sambil ngobrol haha hihi tentang apa saja. Kerjaannya juga lancar. Dia cakap dalam apa yang ia lakukan, baik itu sebagai ahli wabah maupun seorang pecinta masakan. Dan tentu saja dia mencintai pekerjaannya tersebut. Dalam film ini kita akan melihat Aruna dikirim kantornya untuk menginvestigasi penyebaran wabah flu burung hingga ke Borneo sana. Aruna mengajak sahabat-sahabatnya, Bono si chef dengan segudang insight mengenai masakan (bayangkan filosofi kopi, namun makanan alih-alih secangkir kopi) dan Nadheza yang nulis buku kritik masakan, sehingga mereka bisa sekalian wisata kuliner. Dalam tugas rangkap liburannya tersebut, Aruna disupervisi langsung oleh Farish, cowok yang ia taksir but she never really do anything about him before. Hidup Aruna meriah dan penuh bumbu. Hanya saja ia masih merasa hambar. Dalam tingkatan ini, film bersuara seperti nyanyian Alessia Cara di lagu Growing Pains. Aruna tidak merasakan apa yang seharusnya ia rasa. Masalah psikologis inilah yang berusaha untuk diselesaikan oleh Aruna.

jadi ini bukan cerita tentang Aruna dan lidahnya yang sariawan

 

 

Aruna sendiri sudah seperti masakan. Terlihat simpel, namun sebenarnya kompleks. Film ini berhasil menggali kedalaman dari tokoh ini, menggunakan banyak hal sebagai device. Sedari ceritanya saja, film sudah punya banyak lapisan. Aruna harus bernagivasi di antara masalahnya dengan para sahabat, dengan cowok yang ia taksir – di mana dia ngarep untuk punya hubungan yang normal, semua itu sembari dia berusaha memecahkan ‘misteri’ di balik laporan penyelidikan flu burung yang ia dapati tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Aruna berkoneksi dengan banyak orang. Melihatnya berinteraksi, apakah itu ngobrol sambil makan ataupun bicara tentang makan sambil kerja, adalah apa yang membuat film ini terasa asik. Sifatnya ini (dan potongan rambut) membuatku teringat sama Otome di The Night is Short, Walk on Girl (2018), bedanya Otome bertualang dengan mencoba minuman.

Dian Sastrowardoyo merupakan cast yang tepat buat Aruna; dari caranya bertutur yang sedikit jutek tapi lucu, gimana cara dia kerap mempertanyakan sesuatu dengan nada yang ironis. Perannya di sini juga turut memberikan rasa baru bagi pengalaman akting Dian, karena Aruna bakal sering breaking the fourth wall, menjelaskan langsung kepada kita penonton mengenai yang ia pikirkan. Aruna mungkin tidak sepenuhnya ‘jujur’ kepada sahabatnya, dan ketika dia begitu kita akan menjadi orang yang pertama kali ia kasih tau apa yang sebenarnya ia rasakan lewat ekspresi yang ia perlihatkan langsung kepada kita. Yang paling aku suka adalah adegan-adegan mimpi Aruna yang dibuat bernuansa surealis. Quirky dan creepy di saat yang bersamaan!

Meski kadang audionya terdengar aneh, keakraban tokoh-tokoh yang tertangkap oleh kamera terlihat betul-betul meyakinkan. Mereka beneran terlihat seperti sahabat sejak lama. Kalian tahu gimana kalian dan teman segeng kalo udah ngumpul, nyerocos bareng di tempat makan, ngobrolin apa aja sampe mulut pada item? Nah seperti itu jualah geng Aruna ini terasa. Dialog-dialog mereka membahas tentang hidup terdengar akrab. Film berusaha memasukkan lumayan banyak isu yang berkaitan dengan tema cinta, dan bahkan pandangan mengenai sakit dan fungsinya dari berbagai sudut. Yang mana bisa saja terdengar menjadi pretentious jika disampaikan secara sembarangan dan tanpa perhitungan akting yang matang. This is not the case in this film. Ambil pasangan manapun dari film ini, entah itu Aruna dan Bono, Aruna dan Nad, atau bahkan Bono dan Farish, semua pemain mampu menyampaikan bantering yang emosinya nyampe. Fakta bahwa Nicholas Saputra dan Dian Sastro di sini berperan bukan sebagai pasangan kekasih saja sudah cukup untuk bikin film terasa seger.

Dalam hidup, mungkin semua bumbu sudah kita dapatkan. Kita melakukan apa yang kita suka. Kita bersama orang-orang yang kita cinta. Tetapi jika bumbu-bumbu tersebut tidak diaduk, tetap aja akan hambar jadinya. Inilah yang ingin disampaikan oleh bawah sadar Aruna lewat mimpi-mimpi aneh tersebut. Ini jualah yang dipelajari Aruna dari sahabatnya yang suka selingkuh. That she doesn’t confront her life enough. Bahwa Aruna butuh untuk mengaduk bumbu-bumbu pada hidupnya, baru kemudian bisa mencicip rasa.

 

Masing-masing kita bisa menikmati film ini dalam takaran yang berbeda-beda. Segitu kompleksnya cerita yang disajikan oleh Edwin ini. Kita bisa kenyang oleh berbagai kuliner lokal yang ditampilkan, mulai dari sop buntut, nasi goreng, soto lamongan, hingga mie kenyal yang ada kepitingnya itu. Sejujurnya, di awal aku sempat annoyed juga, karena pada menit-menit awal setiap adegan film ini selalu menampilkan orang yang lagi makan. Aku pikir itu bakal dijadikan semacam gimmick; bahwa film bersikeras menemukan cara ‘pintar’ ngelihatin orang makan alih-alih bercerita. Tapi kemudian, ceritanya baru masuk, dan lambat laun film menjadi enak untuk dinikmati. Ya, walaupun beberapa makanan seperti masuk kecepetan dan gak benar-benar integral sama cerita sih, tapi kupikir itu masalah editingnya. Yang mau menikmati isu sosial dan kesehatannya, juga silahkan. Aruna & Lidahnya cukup kritis membahas permasalahan ini, meski narasi bagian ini terasa sangat lambat majunya. Setelah lewat mid-point, mereka masih membahas soal menyebarkan ketakutan; pembahasan mengenai hal tersebut gak benar-benar maju. Paling sedap, sih, memang ketika cerita diaduk oleh hubungan keempat tokoh sentral. Permasalahan humanis ‘orang kantoran’ romantis yang begitu relatable dan ditangani secara dewasa membuat film yang tadinya stale di awal, menjadi enak untuk diikuti.

yang mindblown adalah sedari awal Aruna sebenarnya sudah bener dalam memasak nasi goreng, she just can’t taste it yet

 

 

Sebaliknya, diaduk tanpa ada bumbu juga bakal menghasilkan sesuatu yang sama hambarnya. Seperti bagian pembuka film ini, aku gak yakin mereka mengambil keputusan yang benar dengan mengawali film dari potongan adegan di masa depan, hanya supaya film terlihat seru. Akan lebih baik jika film bercerita dengan linear saja. Dimulai dari awal Aruna masak sop buntut, terus ke akhir. Dan by the way, antara kalimat Aruna pas makan sop buntut itu dengan kalimat terakhir yang ia ucapkan, benar-benar menunjukkan progresi sudut pandang karakternya. Entah kenapa, film malah memulai dari potongan adegan di mobil, kemudian cut back seolah alurnya mundur dan kita akan kembali melihat potongan adegan di awal tadi di tengah-tengah cerita as the story progress. Jadinya openingnya terasa gak ngefek aja, karena kita belum tahu siapa ‘bumbu-bumbu’ tersebut.

Pada Posesif (2017) aku merasa keputusan mengakhiri film dengan freeze frame adalah keputusan yang cheesy. Edwin kembali melakukan hal yang serupa pada Aruna dan Lidahnya. Kali ini, tidak jatuh over-the-top. Mungkin mengakhiri film dengan freeze frame dijadikan semacam signature oleh Edwin, aku gak yakin karena baru dua ini filmnya yang aku tonton, tapi aku bisa respek keputusan itu sekarang. Malahan tidak lagi jadi soal, asalkan Edwin ke depannya terus menggali sisi psikologis dari drama-drama keseharian yang dekat seperti ini.

 

 

 

 

 

Film ini sendirinya pun terasa seperti sepiring masakan yang penuh bumbu (penampilan, sinematografi, bahkan musik), tapi perlu diaduk lebih sering lagi. Atau mungkin diaduk dengan timing yang lebih diperhatikan lagi. Ada bagian-bagian ketika ceritanya terasa stale. Dan baru benar-benar nikmat setelah konflik-konflik para tokoh saling berhimpitan satu sama lain. Butuh waktu untuk kita beneran mulai peduli sama tokoh-tokohnya. Dan ya, film ini terasa lebih panjang dari durasi sebenarnya. Tapi ya bener juga sih, kalo dinikmati bersama-sama, tentulah film ini akan terasa sangat lezat. Menurutku memang cara terbaik menikmati film ini adalah dengan bareng-bareng bersama sahabat, atau mungkin sama pacar. You certainly will have a good time watching this. Sajian merakyat yang berselera tinggi.
The Palace of Wisdom gives 6.5 out of 10 gold stars for ARUNA & LIDAHNYA.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Ditanyain Chef Bono tuh, “apa opini lo soal makanan?”

Kalo aku sih, memang aku rada setuju sama Aruna di awal. Buatku makan itu sama kayak nonton, my only concern ya ke makanan atau filmnya aja, tidak peduli siapa temennya. Tapi sejujurnya, aku gak suka makan di tempat yang ramai. Waktu sekolah dulu aja, kalian akan jarang sekali menemukan aku di kantin. Aku jengkel mendengar suara denting alat makan dan suara obrolan. Aku lebih suka makan sambil nonton atau baca buku. Dan ini jadi konflik ketika aku harus membuka kafe eskrim, di mana aku harus merasakan suasana ruang makan yang ‘berisik’ itu nyaris 24 jam sehari. Itu ceritaku tentang makan, sekali lagi, bagaimana cerita dan pendapat kalian?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Comments

  1. aruna says:

    Wah ada film akuuu! Ehehe.

    Pas pertama kali liat posternya, aku cuma penasaran sm film ini karena judulnya aja, kan sama yaa sama namaku di wp. Tapi setelah liat trailernya malah jadi “Eh, kok lucu sih.. LOH LOH KOK ADA RANGGA???” Kkk lawak ah. Nah jadilah beralih ke mau nonton filmnya karena pengen liat interaksi Cinta dan Rangga di universe yang lainnya. Hah, AADC memang terlalu membekas di sanubariku (tutupmuka)

    Anyway timakasi yaa sudah mereview film ini, gak sabar mau nontooon!

  2. Anang Filya says:

    Barusan nonton semalem, jujur gue nonton film ini karena designer yang bikin postera adalah salah satu designer favorit gue wkwkw. Pas nonton film, gue ngerasa ini tuh bener-bener natural, udah kayak kehidupan sehari-hari aja dan gue suka banget sama akting semua pemeran. Gue kayak ngerasa nggak ada yang diada-adain dari penokohannya. Adegan favorit gue pas si Aruna ngomong “anjing” wkkwkw. Tapi gue ngerasa kok penyelesaian konflik di film ini terlalu gampang ya? Kek semuanya serba kebetulan gitu. Apa emang sengaja begitu?

    • arya says:

      kalo aku sukanya pas Aruna pindah ke mobil Farish, digodain ama Nad, reaksi Aruna “kampret” itu kocak banget hihihi

      iya, aku pun ngelihatnya begitu, kayak ‘ah segampang itu, kenapa gak selesai dari tadi aja’ saking beresnya instan begitu. Kalo Aruna nelpon mamanya, dia bisa langsung tau kan soal nasi goreng. Tapi kan kayak sengaja dibikin di akhir biar panjang filmnya haha

  3. Erni says:

    Jawab pertanyaan Bono.
    Kalau aku entah kenapa gak ada syarat tertentu untuk menikmati makan. Aku menikmati aja semuanya asal emang lagi pas moodnya. Misal makan sambil jalan sama enaknya dengan makan di resto atau warteg. Asal emang aku lagi pengennya gitu.
    Sebenarnya suka gemes sama skor yg penulis kasih. Kadang gue udh suka bgt sama film tapi skornya itu kayak ngehina gue. But, gue hargai. Dari situ gue kalau gue slalu nunggu review disini. Buat pertimbangan menilai.
    Kalau film Aruna. Wahh, subjektif bgt nih gue. Soalnya gue bgt sama castnya. Apalagi si couple AADC. Oka sama Hannah juga keren bgt. Ditambah sutradara yg kalian tau lah. Tema yg dipilih itu juga fresh bgt. Plus ada bumbu konspirasi yg menurut gue kejutan bgt sih. Gur gak tau ini objektif atau gak tapi semoga iya wkwk. Disini Dian kelihatan bgt bakat aktingnya. Dia punya mikro ekspresi yg memikat. Dan yah gue juga baru tahu Nico bisa sekonyol itu. Cinta Rangga kayak absen dari mereka.
    Yg paling ganggu waktu iklan trav*loka muncul. Sumpah itu gue berasa dibohongin. Tapi namanya masakan emang harus dinikmatin untuk menemukan enaknya.

    • arya says:

      gubrak banget itu pas “oh iya aku lupa print tiket” ahahaha

      Dian Sastro udah level Tom Hardy, akting pakai mata aja bisa kena banget

      Film itu kan pengalaman personal, tiap orang beda-beda.. nah tapi susah juga kalo kita menganggap film terlalu personal; seakan menilai film jelek berarti menghina selera kita secara langsung. Bahkan pas mau review juga kadang susah kalo terlalu personal, gak bagus tapi suka banget – malah bisabisa jadi bias. Padahal kan kalo nilai, kudu objektif juga. Ya harus belajar misahin aja, kenalin apa yang disuka, like, ya gapapa kan kalo kita suka ama yang jelek. Star wars favoritku aja Episode 1, aku suka ama Padme dan Anakin kecil tapi ya it’s a horrible movie so be it. Gak harus jadi gak suka juga sama film yang dinilai jelek.

      Dan oh btw, Aruna dan Lidahnya ini gak termasuk film jelek kok. Ini masuk kategori “film gak jelek tapi mestinya bisa lebih baik lagi” 😀

  4. Auliyah S Nabila (@laauliyah) says:

    nontonnya bikin laper:( nyesel gak beli popcorn, wkwk. filmnya bagus, tapi entah kenapa waktu pas mau ke akhir rada2 gimanaa gitu. trus setuju sama editingnya. waktu yg perahu aja, kyknya itu salah edit atau salah penempatan, harusnya duduknya aruna sama bono itu sejajar, tapi arunanya malah duduk di belakang hehe. suka sama adegan yg bono muji2 nad, dan aruna sampe hapal apa pujiannya XD

    • arya says:

      Hahaha ngeliat yang mana yang paling bikin laper?

      Adegan yang di perahu itu seolah Aruna ada pindah-pindah tempat duduk kan ya haha.. Trus yang pas makanan, ada shot yang sama digunakan dua kali, makanya jadi terasa kurang efektif… keren banget sih gimana film nunjukin keeratan persahabatan mereka 😀

  5. Aaron says:

    Nonton di hari pertama dan film ini just flows naturally. Tidak ada kesan dibuat-buat dalam karakter-karakternya. Berasa ngikutin kerja, wisata kuliner, mengolah makanan dll. Setuju sama pendapat beberapa orang kalau penyelesaian konflik di film ini terlalu mudah. Padahal berharap bakal ada penjelasan lebih soal resep nasi goreng, ternyata cuma lewat telepon. Semoga weekend ini orang-orang pada nonton ini film karena film ini worth untuk ditonton ketimbang film ajaib berhadiah sembako.

    • arya says:

      mestinya lebih tepat film ini ya yang berhadiah sembako, paling enggak sesama makanan, dibanding film horor itu yang kagak tau juntrungannya – hantu kok ngasih sembako ahahaha

      • Aaron says:

        Ah, janganlah nanti jatuhnya norak. Film ini sudah do the right thing dengan memperkenalkan karakternya lewat makanan dan minuman. One thing yang mengganggu saya adalah entah penonton film Indonesia yang belum bisa melihat film mana film yang bagus mana film yang bikin stres. Aruna dan lidahnya deserves more audience.

        • arya says:

          jumlah penonton film bikin stress lebih dari dua kali lipatnya jumlah penonton Aruna ya weleh weleehhh.. kalo menurutku sih, penonton film indonesia bukan seleranya yang jelek, tetapi justru mereka belum punya selera – nontonnya ya masih kemakan promosi, pemain, dan lain sebagainya, seleranya belum kebentuk.

          Semoga Aruna nanti kenyang mamam awards di festival yaa

  6. arya says:

    layarnya pada berkurang loh mbaaakk, ayo segerakan supaya Mbak Aruna dan lidahnya bisa bercuap-cuap membantu Aruna & Lidahnya bertahan di bioskop hihi

Leave a Reply