“Failures are great learning tools..”
Sejak jaman Jules Verne, manusia sudah mendambakan terbang ke bulan. Manusia butuh sesuatu yang tinggi sebagai simbol dari cerahnya harapan, sebagai tolak ukur pencapaian. Kita mendongak menatap sesuatu yang ingin kita gapai. Puncak perjalanan manusia kala itu adalah sampai ke bulan. Bahkan menjadi sebuah kompetisi, but it really moves human forward. Dan setelah asap roket dan asap kompetisi itu sirna, Neil Armstrong adalah sosok yang berdiri di sana, yang menjejakkan harapan umat manusia ke tempat setinggi-tingginya. Apa yang ia rasakan di atas situ. Apa makna perjalan tersebut bagi dirinya. First Man adalah cerita tentang diri Neil Armstrong, sebagai seorang manusia.
Ini bukan lagi soal kemajuan teknologi semata. Ini bukan perihal memenangkan perlombaan. Ini bukan catatan kemenangan negara yang superpower. Ini bahkan bukan tentang menjadi pahlawan yang dielu-elukan berhasil menjalankan misi. Ini adalah cerita tentang seorang manusia yang selama hidupnya pertama kali merasakan dirinya terbang oleh determinasinya untuk survive dari duka kehilangan dan kegagalan.
Sejak George Melies ngajak kakek-nenek buyut kita jalan-jalan ke bulan lewat film pendeknya (A Trip to the Moon – 1902), para pembuat film juga berlomba-lomba menceritakan kisah perjalanan manusia ke luar angkasa. Mengeksplorasi ruang tanpa batas, menjelajah tempat yang tidak diketahui dengan ilmu pengetahuan, akan menjadi porsi utama cerita-cerita tersebut. First Man, berbeda dari lainnya, membawa kita ke atas sana sembari tetap menjejakkan kaki kita sedalam-dalamnya ke tanah paling akrab yang disebut dengan kemanusiaan yang berkekeluargaan.
Fokus cerita adalah Neil Armstrong dan keluarganya yang kehilangan putri pertama karena kondisi kesehatan. Grief yang selalu terpatri di dalam diri Armstrong, yang ia akui akan terus memberikan pengaruh kepada pekerjaannya sebagai seorang astronot NASA. Armstrong mengajukan diri dan terpilih dalam program antariksa terbang mencapai bulan. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan program tersebut, dan bagaimana itu semua mempengaruhi pribadinya, bagaimana dampaknya terhadap keluarga lah yang benar-benar dijadikan inti utama. Film ini tidak mengandalkan efek komputer sebanyak mereka mengandalkan penampilan akting Ryan Gosling dan Claire Foy (tuan dan nyonya Armstrong themselves) yang fenomenal. Gosling benar-benar membawakan ruh Armstrong ke dalam dirinya. Kita kerap mendapati permainan peran yang tersirat dan enggak exactly meledak-ledak dari Gosling, dan sebagai Armstrong pun dia menyuguhkan penampilan yang serupa. Tapi kadang terasa aneh juga, kekaleman Armstrong ini membuat kita terlepas dari cerita karena kita tidak pernah betul-betul tahu banyak ‘siapa dan darimana’ dirinya.
Alih-alih menyuguhkan sajian blockbuster memperlihatkan misi manusia yang berangkat ke bulan, Damien Chazelle mengembangkan cerita dari perspektif yang sangat personal. Bahkan, sang sutradara sendiri pun beranjak keluar dari zona nyamannya; Chazelle biasanya menggarap cerita yang bertemakan musik, namun dalam First Man kita akan melihat gimana Armstrong, yang disebutkan cakap bermain piano, menolak memainkan alat musik tersebut. Saat menonton First Man, kita tidak menjadi excited dengan melihat efek ledakan ataupun keseruan dari misi eksplorasi yang gone wrong. Hati kita jumpalitan melihat adegan Armstrong duduk bersama keluarganya di meja makan, malam sebelum ia menjalankan misi mencoba terbang ke bulan. Seorang ayah yang harus menjelaskan kepada putra-putranya dia harus pergi dan mungkin tidak akan pernah kembali. Seorang ibu yang duduk terdiam di sana, memahami situasi dan menelan rasa khawatirnya bulat-bulat sehingga ia tidak berteriak menuntut suaminya untuk menjalani pekerjaan normal seperti yang ia impikan.
Konflik kemanusiaan dalam ceritanya yang membuat kita bertahan duduk menghabiskan durasi film yang memang cukup panjang. Di lain kesempatan, film memparalelkan apa yang dirasakan oleh Armstrong mengenai pergi dan mengorbankan yang ia miliki demi sesuatu yang nun jauh di sana dengan keadaan sosial politik yang menimpa rakyat Amerika kala itu sehubungan dengan program ruang angkasa yang hendak ia jalani. Pemakaman sudah seperti menjadi jamuan bulanan buat Armstrong dan istrinya. Dia sudah kehilangan begitu banyak teman dan rekan kerja sesama ‘pelaut luar angkasa’ dalam usaha mereka menjalankan program tersebut. Dalam satu momen yang langka; Armstrong meninggikan suaranya, ia berseru bahwa kegagalan adalah keharusan lantaran mereka sudah sepatutnya gagal dan belajar dari kegagalan tersebut mumpung masih di bawah sini, supaya tidak ada kegagalan begitu sudah sampai ke atas sana. Bentrokannya adalah; at what cost? Film memperlihatkan gejolak dari masyarakat yang mempertanyakan keputusan pemerintah mengeluarkan dana besar untuk sesuatu yang berbahaya dan tak pasti, padahal masih ada hal yang lebih dekat lagi yang semestinya diberikan aliran dana.
Film berusaha menangkap semua aspek ceritanya dalam tampilan yang natural. Enggak dibuat-buat. Maka dari itu, aku menyarankan untuk tidak menonton film ini dalam keadaan perut yang kosong. Karena sebagai kontras dari adegan drama dan masalah keluarga yang direkam dengan relatif tenang, adegan-adegan yang berhubungan dengan astronot dan percobaan luar angkasa pun betul-betul dibuat senyata mungkin. Maksudku, kameranya – yang sedari awal sudah dibuat grainy biar sesuai dengan waktu kala itu – juga ditangani dengan sangat praktikal. Chazelle menggunakan teknik kamera handheld untuk sebagian besar adegan; di satu pihak dia berhasil menyatukan efek-efek dengan mulus, membuat setiap adegan tersebut sangat menakutkan dan penuh suspens. Namun di pihak lain, itu berarti kamera akan sering bergoyang hebat. Membuat kita seperti persis berada di dalam roket, mengalami semua guncangan yang dirasakan Armstrong dan teman-temannya. Dan ini bisa menjadi pengalaman yang membuat mual. Menonton ini aku jadi bersyukur aku kepentok dalam cita-citaku menjadi astronot, karena jika nonton film ini aja aku udah merasa mau muntah karena goyang-goyangnya, gimana kalo aku jadi pilot roket ke bulan beneran? Belum ninggalin atmosfer, bisa-bisa aku sudah pingsan duluan dengan bola mata berputar-putar kayak di film-film kartun.
Salah satu yang paling menakjubkan itu adalaha ketika Armstrong beneran nyampe ke bulan. Pengalaman menontonnya benar-benar terasa mengharukan. Suasana yang mendadak hening karena di sana enggak ada angin, padahal kita tahu di Bumi sana orang seluruh dunia mendengarkan siaran langsung misi mereka. Suara kresek-kresek komunikasi satelit mereka dengan menara NASA. Kalimat ikonik yang diucapkan oleh Armstrong. Seolah kita menjadi orang ketiga yang ikut, yang menjejakkan kaki di sana. Melihat dirinya terdiam di atas sana, hanya berdiri untuk beberapa saat.. Merinding! Atau paling tidak, aku merasa seperti orang-orang yang mendengarkan langsung siarannya saat peristiwa tersebut beneran terjadi bertahun lalu. Kita banyak mendengar berita bahwa film ini diprotes oleh warga Amerika lantaran tidak memperlihatkan adegan spesifik penancapan bendera. Setelah melihat film ini, dan menyaksikan sendiri sekuen di bulan tersebut, aku bisa melihat kenapa adegan penancapan bendera itu tidak disorot. Dan itu bukan karena pembuatnya gak nasionalis. Melainkan karena adegan tersebut akan mengganggu kekonsistenan tema film; sebab ini adalah tentang pencapaian manusia seutuhnya, yang diwakili oleh Armstrong di luar kewarganegaraannya.
Jika ada satu hal yang membuatku penasaran dari bagian di bulan tersebut, maka itu adalah hal personal yang dilakukan oleh Armstrong saat dia memandang kawah bulan dari dekat. Kalo disebutin, akan spoiler banget, aku yakin kalian keberatan jika terlalu spoiler. Maka aku hanya bisa bilang, aku cukup mendua perihal adegan tersebut. Adegan yang menyentuh tersebut, akan berkurang kekuatannya jika tidak benar-benar dilakukan oleh Armstrong di dunia nyata; dia hanya bersifat teatrikal belaka. Lain halnya jika hal itu beneran terjadi, dan kita baru pertama kali melihat sisi tersebut dari sosok Armstrong. Saat membuat film ini, diberitakan mereka memang melakukan riset dengan langsung mewawancarai keluarga Armstrong, jadi adegan yang kumaksudkan di sini bisa saja beneran terjadi, akan tetapi tidak ada informasi lebih jauh yang bisa mengonfirmasi hal tersebut.
Usaha yang sungguh-sungguh menjadikan cerita sejarah ini sebagai pandangan yang sangat personal tentang cinta, harapan, dan keluarga. Segala aspek dan teknis diperhatikan dengan seksama, sehingga terciptalah nuansa pengalaman yang otentik dan keaslian. Sedikit mengecewakan adalah koneksi emosi kita dengan Neil Armstrong yang kerap terasa terputus, karena tokohnya dimainkan dengan emosi yang terlampau detached pada tipe cerita yang mengajak kita untuk berpegang erat kepada karakternya. Ini bukan tentang kejadian apa, melainkan siapa yang mengalaminya. Kita ingin berkomunikasi lebih banyak dengan tokoh utamanya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold stars for FIRST MAN.
That’s all we have for now.
Apa yang kira-kira kalian lakukan jika kalian tahu tidak akan gagal? Apakah sesuatu hanya berharga jika berhasil dilakukan?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
weh cepet bener nih review udah keluar. nonton yg jam pertama ya hhaha. baru ‘ngeh’ kalau film ini ngambil sudut pandang dari Neill Amstrong.. makanya sepanjang film ngerasa kurangnya informasi tentang misi ke bulan sendiri. Gemini itu apa,dari Apollo 1 kebakar kok tiba2 lompat langsung Apollo 11.
ahahaha iya nih, nonton yang paling pagi jadwalnya xD
iya penjelasan kejadiannya gak terlalu dipapar, karena sebenarnya ada unsur politiknya juga kan di balik misi ke bulan; semacam kompetisi antar dua negara adidaya saat itu
aku adalah salah satu yg percaya teori konspirasi jika tidak pernah ada first moon landing, proyek hoax amerika untuk kepentingan propaganda, jadi perlu mikir 2 kali mau nonton
filmnya juga sepertinya disetir menjauh dari isu ini, makanya fokusnya di Neil Armstrong aja. Kita bisa menikmati film ini sebagai cerita seorang ‘fiksi’ bernama Neil Armstrong yang merasa gagal dalam misi melindungi satu anaknya.
Selain dari karakter yang (sedikit) kurang membangun koneksi dengan baik dengan para penontonnya, saya tidak melihat kekurangan lainnya dari Review bang Arya untuk film ini. Dan, maaf sedikit OOT, (personal) rating tertinggi untuk sebuah film dari bang Arya berapa? jujur, saya sangat penasaran, dari yang saya tahu, Rating paling tinggi bang Arya (dari beberapa review yang sudah saya baca, Lady Bird & Inside Out) adalah 9 out 10. Dan (lagi), Kriteria film seperti apa yang-menurut Bang Arya layak mendapatkan score 10 out 10 (atau setidaknya, 9,5 out 10)?
Sebenarnya ada lagi sih, tapi aku gak yakin itu kekurangan atau bukan, yaitu pas keputusan masukin adegan Neil dengan benda kenangan putrinya di bulan. Lagipula saat ngasih rating, yang jadi pertimbanganku adalah gimana yang rasanya kurang itu, bukan semata jumlah kekurangannya. Jadi apakah kekurangan itu berasal dari keputusan kreatif pembuatnya, atau resiko yang diambil, atau berupa kekurangan yang bisa diganti tanpa ngurangi esensi cerita, atau seberapa besar effortnya. Rating 6 itu biasanya kukasih buat film yang terdapat kekurangan yang mestinya bisa mereka perbaiki, yang di luar creative decision, yang gak bisa aku lihat alasan kenapa harus begitu. Nah, di First Man aku ngelihatnya Armstrong gak harus dimainkan seperti itu, karena ya koneksi jadi kurang – di sebuah film yang character-driven seperti begini.
Kalo kriteria 10, aku juga belum kebayang deh sebagus apa film yang pantas dikasih 10. Mungkin aku berhenti nulis review kalo nemu film sesempurna itu, karena tujuanku nyari film bagus sudah tercapai hahaha.. Ada lagi yang kukasih 9; anime Your Name, dan Room nya Jacob Tremblay. Film-film itu estetiknya tinggi, simbolis dan artsynya masuk, idealisme dan visi pembuatnya sangat kuat, strukturnya benar, menghibur banget pula, bisa dengan mudah konek buat banyak orang.
Aku belum pernah nulis review yang 9.5, tapi kalo mau dikasih rating beberapa film jadul yang pernah kutonton; 12 Angry Men, 2001: A Space Odyssey, Seven Samurai, tiga itu pantas buatku dapet 9.5
Bikin review tentang 10 film terfavoritnya dong..
pengeen, tapi susah nentuin sepuluhnya karena masih terus lanjut nonton kan… tapi setiap tahun aku bikin 8 film favorit di tahun itu kok…
dan, kalo mau tahu film paling favoritku – MULHOLLAND DRIVE- bisa dibaca di sini: https://mydirtsheet.com/2016/08/27/sixteen-reasons-why-i-love-mulholland-drive/
Tumben filmnya damien sukses bikin menguap beberapa kali, ga seperti 2 film sebelumnya yg oke whiplash dan lalaland. Tp apa iya harus bawa istri tiap bikin film hehe..Mgkn ga bakalan dominan di oscar, kecuali musik dan akting claire foy yg lbh bersinar drpd ryan gosling yg datar
Whiplash masih film Chazelle yang paling masterpiece ya haha… wah akhirnya ada yang setuju sama aku si Armstrong hehehe
https://www.facebook.com/TuhanPenguasaKedalaman/