“None of us wants to be reminded that dementia is random, relentless, and frighteningly common.”
Kuntilanak itu bernama Asih. Tapi pada saat masih hidup, dia bernama Kasih. Kenapa perubahan namanya itu penting banget untuk dikasih tahu dalam cerita, aku juga tidak tahu. Malahan, tadinya aku mengira spin-off dari semesta Danur (adapatasi dari cerita Risa Saraswati) ini akan membahas banyak mengenai origin si Asih, kayak, kita akan melihat kehidupan dia semasa masih manusia, lebih jauh mengungkap siapa dirinya sebelum peristiwa naas yang ‘mengubah’ dirinya menjadi hantu. Tapi ternyata informasi lebih dalam tentang Asih paling penting menurut film ini adalah bahwa nama aslinya bukan Asih. Jadi, kita tidak melihat Asih semasa hidup lebih banyak dari apa yang sudah kita lihat di film pertama Danur: I Can See Ghosts (2017).
Kisah tragis Asih menjelang kematian dan tie-in-nya dengan Danur pertama diputer kembali di menit-menit awal, membuat penonton yang baru pertama kali menonton semesta kisah ini mengerti apa yang harus dihadapi. Buat penonton yang ketiduran di menit awal tersebut, film akan mengulang flashback penjelasan siapa Asih di sekuen pengungkapan. Tujuh-puluh-delapan menit durasi cerita akan terasa semakin singkat lagi berkat ‘usaha’ mereka menjalin satu cerita yang utuh. Jadi, ini adalah cerita tentang Asih saat dia masih jadi ABH. Pada tahu ABH gak? Sama kayak ABG, namun ‘Gede’nya diganti dengan ‘Hantu’. Baru seminggu dia menjadi hantu, Asih menyerang keluarga pasangan Citra Kirana dan Darius Sinathrya yang lagi bersiap menyambut kelahiran bayi Amelia. Tak bisa kita sangkal memang, Shareefa Daanish sungguh menyeramkan dengan dandanan setan. Enggak butuh efek sound yang menggelegar sebenarnya, jika kita sudah punya penampakan Danish yang lagi in-character sebagai hatu. Tapi di samping fakta bahwa dia adalah hantu, dan hantu kudu mengganggu orang yang masih hidup, kita tidak pernah benar-benar diajak menyelami konflik personal para tokohnya; akar yang menjadi penyebab kejadian-kejadian dalam film ini terjadi.
Mitos, pamali, superstition, apapun namanya, tahun 1980 adalah masa keemasan bagi kepercayaan gaib semacam itu. Tidak banyak yang mempertanyakan, apalagi menentang. Suasana ini dijadikan panggung cerita oleh film. Ari-ari bayi yang harus dikubur dengan cara tertentu di pekarangan rumah, bunyi ciap-ciap anak ayam di malam hari, elemen-elemen mistis ini dimasukkan ke dalam cerita demi membangun suspens. It is interesting. Dan cukup berhasil menguarkan keseraman. Film juga membuat ‘aturan’ sendiri, seperti diceritakan jika kita mendengar bunyi pukulan ronda yang jumlah ketukannya lebih satu dari pukul berapa malam itu, maka itu berarti bukan karena si Penjaga Malam sudah pikun. Melainkan itu sebagai tanda ada makhluk halus tak-diundang yang berada di sekitar daerah tersebut. Eventually, ketika bunyi pukulan tiang itu beneran terdengar oleh tokoh film, kita bakal ikutan menghitung ketokannya sambil menahan napas.
Tingkatan tertinggi yang bisa dicapai oleh film ini adalah mereka sebenarnya bisa membuat Asih sebagai cerita tentang ketakutan orang tua terhadap kepikunan (senile). Kita melihat tokoh nenek yang sudah mulai pikun merasa kesulitan menangani kejadian-kejadian yang ada di sekitarnya. Nenek ini bingung, satu kali dia mandi lupa mengambil handuk. Kali berikutnya dia merasa sudah memindahkan bayi ke teras, tapi ternyata bayi beserta kereta dorong (yang dalam nada polos yang kocak ia sebutkan lebih tua daripada usianya) tersebut masih mandi matahari yang panas di halaman rumah. Terduga pikun atau bukan ini actually menciptakan friksi dengan anggota keluarga lain, khususnya tokoh Citra Kirana. Dan menurutku bisa dikembangkan menjadi bagaimana jika orang yang muda juga mulai merasa dirinya pikun alias dementia. Film ini punya potensi menjadi sangat cerdas memparalelkan hantu dengan dementia, dia bisa memiliki sudut pandang yang unik dengan menggali aspek tersebut. Tapi film tidak mengacuhkan aspek cerita ini, karena film hanya mengincar nilai hiburan.
Menurunnya kemampuan mengingat atau istilah seramnya kehilangan ingatan secara perlahan adalah salah satu hal paling menakutkan yang bisa menimpa manusia. Lebih mengerikan daripada menjadi hantu. Buktinya, kita percaya, hantu ada karena mereka masih penasaran sebab terpisah oleh sesuatu yang ia sayangi. Yang berarti bahkan sebagai hantu sekalipun, kenangan atau ingatan itu masih ada; kita mau percaya bahwa ingatan adalah satu-satunya yang dipunya oleh hantu. Kengerian dementia lebih besar daripada itu karena kita bisa lupa pada apa yang kita cinta, bahkan saat kita masih hidup.
Selain tokoh si nenek yang barely punya karakter. Karakternya adalah kepikunannya, tokoh-tokoh yang lain tampil total polos. Tokoh Citra Kirana hanya seorang ibu yang mengkhawatirkan keselamatan putri yang baru lahir. Tokoh Darius Sinathrya adalah suami yang tidak percaya kepada kekhawatiran istrinya. Si bayi pada ujungnya akan diculik, seperti pada cerita-cerita horor Awi Suryadi sebelumnya. Dan tentu saja, ada paranormal misterius, dan nanti akan ada tokoh utama yang kesurupan. Pretty basic, dengan struktur cerita yang ala kadar, plot yang kosong. Tapi nilai hiburan film ini memang meningkat. Dalam artian, film mulai mengembrace kekonyolan yang ada, mereka kini tampak mengincar status “so bad, it’s good”. Eksposisi dilakukan dengan komedi. Adegan satpam dengan penjual nasi goreng itu tak ada kepentingan dan kelanjutan selain untuk membuat kita tertawa sembari mereka menjelaskan info seputar mitos menyeramkan. Adegan para tokoh berpegangan di meja makan adalah adegan paling kocak seantero semesta Danur. Menginteferensi tone, memang, tapi film sesungguhnya sudah membangun selera humornya yang aneh ini sedari awal-awal cerita. Selain lelucon, kita juga akan diajak bermain-main dengan jumpscare yang kali ini timingnya lebih diatur dan volumenya lebih dinaikkan lagi.
Dan segitulah batas kengerian film ini. Loud dan ngagetin. Sebagian besar adegan seram berawal dari seseorang yang merasa melihat orang lain lagi lewat di lorong rumah. Atau mereka merasa ada yang ganjil gitu aja ketika lagi nyuci atau lagi sembahyang. Dan mereka lanjut teriak-teriak mencari penghuni rumah yang lain. Kejadian begini sungguh amat lemah, usaha yang minimal sekali dalam memancing kengerian dalam film horor. I mean, masih mending jika setting cerita adalah di hutan dan para tokoh tersesat sehingga mereka teriak mencari rekannya. Perlu diingat, Asih mengambil tempat di dalam lingkungan sebuah rumah, yang bahkan tidak terlalu besar. Terus-terusan melihat orang dewasa penghuni berteriak-teriak mencari orang yang bahkan enggak hilang di lingkungan ‘sempit’ tersebut seolah mereka bocah kecil yang nyasar di mall memanggil emaknya, sungguhlah sebuah pengalaman yang jauh dari menyeramkan.
Coba tebak apa yang terjadi begitu si tokoh menemukan orang yang ia cari?
Yup, dialog menjemukan “Ibu tadi lewat sana?” “Enggak kok.” Dan kita supposedly merasa merinding menyaksikan percakapan mereka yang begitu-begitu melulu seperti demikian. Jeng-jeng!
Adegan ngagetin yang dimaksudkan sebagai adegan seram -> eksposisi yang disamarkan dengan komedi -> development karakter berupa tokoh yang tadinya tak percaya menjadi percaya. Begitulah siklus penceritaan film ini. Buat yang belum pikun, film ini terasa enggak benar-benar unggul dari dua film Danur sebelumnya; ceritanya masih kosong, nyaris tanpa plot. Menakjubkan dengan durasi begini singkat betapa banyak flashback dan pengulangan adegan disuguhkan, seolah filmnya kesulitan mengisi durasi. Tapi paling tidak, arahannya mulai berani mengembrace aspek konyol, demi misi mereka membuat film untuk hiburan hantu-hantuan.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for ASIH.
That’s all we have for now.
Jika hantu ada karena ingatannya, maka apakah orang yang terkena dementia atau malah hilang ingatan tidak akan bisa menjadi hantu?
Bagaimana reaksi kalian jika disuruh melupakan suatu hal yang berharga seperti Asih yang harus melupakan tentang anaknya?
Remember, in life there are winners.
And there are losers.
We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017
Jadi, film Asih ini kaya menceritakan teror pertama dari Asih sebelum film Danur ya mas?
yup benar sekali
Wah, berarti jatuhnya kaya Valak pas di The Nun ya?
hahaha iya ya, kayak Valak pas The Nun 😀
Dengan kata lain, buat yang sudah membaca novel Danur series dan mengharapkan tontonan yang mampu mempresentasikan inti cerita yang ada di novel akan kecewa. Based on novelnya yang sudah saya baca, ceritanya tentang Kasih yang ingin melihat dunia, ingin sukses, membahagiakan keluarganya, merantaulah ia ke kota sampai kejadian ia hamil di luar nikah. Bakal tetap nonton sih walau dari trailer udah tahu film ini gak bahas hal signifikan soal Asih.
waaah kaan, mestinya Kasih yang itu yang dibahas, backstory dia yang manusiawi itu yang digali, sayang sekali yaa
tiap setannya keluar atau mau keluar pasti gedumbrangan, jreeng, braaang, brrrooongg ampe sesaat setelah bosen kaget dgn metode yg sama jadi merenung ini film setan atau tes sound speaker soundrenaline… buat yg demen film horror bermutu, mendingan cari film lain drpd ntn film yg seharusnya lgs tayang di layar sinetron stasiun ikan terbang…. 78 menit yang terkuras sia2 di kamis malam
saking gedumbrangnya ampe suara setannya gak kedengaran lagi, ampe harus lihat subtitle biar tahu setannya ngomong apa. Danur universe ini sebenarnya universe horor lokal yang paling konsisten; dalam artian arahannya gitu-gitu aja, sedikit sekali peningkatan – konsisten di sekitar angka 2 hhihi
lewat komengar ini saya mengurungkan niat nonton bersama pacar wkwk
eh nanti Asih ngambek loh hihihi
Nah ini yg aku rasakan pas nonton semalem, ini film tentang Asih, tapi mana cerita Asihnya? Sayang banget padahal kalo digarap bener memang sih mungkin gak masuk ke kategori horror tapi kalo seandainya dia punya plot yang kuat si film ini bisa ngasih makna juga…based on book sih lebih oke karena disitu juga diceritain seorang Kasih yang punya cita-cita luhur tapi kenyataannya tidak seindah yang dia bayangkan, jadi setelah beres nonton emang ngga meninggalkan kesan positif, malah kesel perasaan adegan lagi sembahyang ada terus, kesannya malah bikin orang males ibadah gara-gara bisa diganggu setan hahahaha
jadi bikin gak khusyuk solat subuh sendirian yaa ahahaha
justru di situ tantangannya buat si filmmaker, bikin cerita tentang Asih waktu masih Kasih, sekaligus masih ada unsur horornya. I mean, seberapa susah sih buat filmmaker-beneran bikin cerita horor yang ada plot yang kuat, ya gak
Tampaknya si penulis naskah ini tidak membaca secara keseluruhan novel Asih, hanya melihat-lihat bagian-bagian tertentu buku. Sangat ironis bagi saya klaim bahwa film Asih ini based on novel dan ternyata film ini sama sekali tidak merepresentasikan hal berarti dari novel.
atau bisa juga karena tuntutan produser; mungkin harus bikin yang 80 menit, apa gimana… jadi ya bingung juga nulis ceritanya gimana… makanya jadi kayak mereka cuma asal nama tokohnya bener aja haha, ceritanya ala kadar yang penting ada kaget kagetannya
Bang kapan review filmnya Joko Anwar yang tayang di HBO Asia, A Mother’s Love?
udah aku ulas, tapi di twitter haha.. soalnya bingung juga itu dibikinnya dengan format/struktur film apa bukan, soalnya kan disiarin sebagai episode dari serial… kan gak lucu kalo nanti aku review di sini sebagai objek-a, ternyata dia objek-b 😀
Iya itu serem bngt meskipun film pendek tp lumayan menegangkan dan menguras emosi serta fikiran
wewe gombel aja luluh lihat cinta ibu ya hahaha
Oke, langsung ke tkp twiiternya.
Bang nggak review Apostle-nya Gareth Evans?
Belum nonton niih, sip nanti direview abis nonton
Meskipun ceritanya kosong dan nyaris tanpa plot (katanya)… Seenggaknya Novel Risa Sarasvati masih lebih laku daripada “Review Jaman Now” … wkwkwkwkwk
Hahaha iya, makanya novelnya difilmkan, eh taunya filmnya jelek, tapi tetep bangga soalnya yang nonton banyak 😀
jadi fans novelnya masuk kantong tukang bikin film.. melek doong, minta film yang lebih bagus gitu, yang lebih kayak di noveelll