GENERASI MICIN Review

“The kids are alright”

 

 

Terkadang, kita suka menggunakan jargon atau ungkapan-ungkapan untuk melabeli hal yang tidak sepenuhnya kita mengerti, memberikannya semacam ilusi bahwa kita sudah memahami hal tersebut. Sama teman aja, kita suka ngasih mereka nickname, supaya memanggil mereka terasa lebih akrab. Untuk satu hal, memang label seperti demikian itu bagus, karena sejatinya adalah usaha kita untuk mencari tahu – bukannya menjauhi. Namun yang perlu diingat adalah, mengenali orang atau hal tidak sepatutnya berhenti di satu label atau jargon saja. Kita harus ingat masih ada aspek lain yang belum kita ketahui dari mereka.

Generasi Z, misalnya. Generasi yang terlahir dari tahun 1995 hingga 2012, dalam artian para remaja saat ini, mereka kita baptis dengan sebutan Generasi Micin. Karena dari yang kita lihat, memang anak-anak jaman now kelakuannya pada aneh. Istilah tersebut hadir dikaitkan dengan konsumsi micin alias MSG yang dapet konotasi negatif sebagai bahan penyedap yang membodohkan. Kerjaan anak generasi ini nonton hape sepanjang waktu, curhat enggak jelas di sosial media, gampang ribut sama hal remeh temeh dan bahkan hoax, serta segalanya mereka mau yang instan-instan. Bandingkan dengan kita, Generasi Millenial, yang lebih menghargai proses ketimbang hasil. Kita lebih menghargai pengalamannya. Semua itu adalah sebagai akibat dari kita hidup melewati berbagai perkembangan teknologi; kita ada saat masa emas pertelevisian, masa kemunculan telepon dan handphone, kita ngikutin perubahan komputer dari disket, kita dengerin musik dari pita kaset hingga teknologi teranyar. As opposed to Generasi Micin yang sejak lahir sudah dimanjakan oleh kenyamanan. Tapi tentu saja, itu tidak berarti mereka tidak lebih pintar daripada kita. Bukan berarti mereka yang menurut kita manja, tidak bisa lebih kritis daripada kita. Faktanya, seorang jurnalis New York Times sempet surprise melihat  justru remaja-remaja yang sangat vokal dan berani menggalakkan gerakan AntiSenjata di tengah konflik kepemilikan senjata api di Amerika beberapa waktu yang lalu. “Are Today’s Teenager Smarter and Better Than We Think?” katanya menuliskan judul artikel tentang Generasi Kekinian.

Fajar Nugros, lewat balutan komedi, mempersembahkan kepada kita film Generasi Micin sebagai jendela untuk memandang remaja-remaja lebih jauh dari layar smartphone dan akun media sosial mereka. Memperlihatkan tantangan yang remaja hadapi di dunia yang terus berputar. Tidak ada yang salah dengan anak-anak jaman sekarang.  Bahwa sebenarnya tidak ada generasi yang lebih hebat daripada yang lainnya. Setiap generasi, pada kenyataannya, akan selalu menghasilkan remaja-remaja yang melakukan hal-hal menakjubkan terhadap zaman mereka.

 

Kevin mirip-mirip Raditya Dika 

 

Kevin Anggara (youtuber dan penulis buku ini memainkan dirinya sendiri) memasuki tahun ketiga di SMU Harapan Mrs. Ana. Sekolah adalah tempat paling membosankan baginya, dia pengen tahun terakhirnya ini menjadi waktu yang paling berkesan. Tapi apa yang bisa ia lakukan? Temannya sudah duluan tenar bikin vlog keseharian di sekolah. Dia enggak cukup fasih untuk ikutan klub Inggris bareng cewek sahabat masa kecilnya. Kevin lumayan socially awkward sehingga satu-satunya dia terlihat ‘fasih’ bicara adalah ketika dia gugup dan serabutan ngomong berbagai hal dari Naruto hingga Pintu Ajaib Doraemon. Kevin lebih nyaman curhat di blog, yang sekarang sudah tak ia lakukan lagi lantaran malu dikatain alay. Dia merasa sudah cukup dengan dilabeli #tertuduhmicin. Jadi apa yang Kevin lakukan demi mengisi hari-hari terakhir di sekolah? Dia ikutan website prank, dia ngajakin teman-teman sekelasnya (literally tiga orang) untuk berbuat jahil kepada guru-guru dan penghuni sekolah. Peringkat dan status Kevin di website tersebut boleh saja meroket, tapi orang-orang di sekitar Kevin jadi susah karena ulahnya. Hubungan Kevin dengan sahabat kece yang diam-diam ia taksir tersebut jadi renggang. Kevin harus melakukan sesuatu sebelum dia benar-benar membuat kecewa Ayah dan Ibunya. Juga seisi sekolahnya.

Film mencoba memberikan gambaran perbandingan antara generasi Z dengan Millennial, atau bahkan dengan generasi X yang jauh lebih ‘tua’. Kita akan melihat keluarga Kevin, gimana sudut pandang ayahnya yang buka toko sehari-hari tentang bisnis dan moral. Kevin actually punya ‘paman’ yang masih muda, tinggal serumah dengan mereka, dan banyak adegan yang mencakup Kevin dengan pamannya dengan ayah ibunya merupakan komentar mengenai gimana bedanya cara ‘kerja’ hal-hal dalam setiap generasi. Menjelang akhir, kita akan melihat adegan debat berbahasa inggris yang membahas topik dan ‘pembelaan’ terhadap generasi Micin. Dan ini sebenarnya mengecewakan buatku, karena komentar terhadap pandangan antargenerasi tersebut semestinya bisa dihadirkan dengan lebih baik. Film punya tokoh-tokoh yang sudah cukup mewakili, mereka seharusnya bisa memikirkan cara yang lebih mulus dalam menceritakan tema, dalam membangun cerita sesuai konteks yang dipunya. Menggunakan lomba debat yang adegannya hanya peserta ngomong bergantian, bahkan tanpa benar-benar ada debat pendapat yang dramatis, membuatnya hanya seperti dakwah yang enggak exactly mulus menyatu dengan keseluruhan film. Ohiya, dan si Kevin enggak ikut ambil bagian dalam debat tersebut.

Yang membuat penulisan cerita ini tampak membingungkan adalah posisi Kevin, si tokoh utama, yang enggak jelas ada di mana. Secara umur, dia termasuk generasi micin, tapi dia tidak bersikap seperti demikian. Bahkan poster film ini cukup mengundang pertanyaan, I mean, di IMDB dan situs LSF judul resminya adalah Generasi Micin, namun coba lihat posternya; aku sendiri merasa judul film ini memang lebih cocok jika ditambah dengan ‘vs. Kevin’. Karena Kevin berbeda dengan teman-temannya yang beneran mencerminkan pola pikir dan tindak generasi Z.

Salah satu keunggulan Generasi Z adalah gimana mereka dengan gampangnya mengekspresikan diri. Segala tool dan fasilitas yang ada itu, mereka gunakan untuk berkarya. Mereka paham untuk tidak malu dengan diri sendiri. Mereka dikatakan lebih narsis karena memang mereka sangat menghargai tinggi diri sendiri.

 

Teman Kevin ada yang bikin vlog dengan konten joget-joget absurd, ada juga yang begitu suka ama Korea dan dia tidak punya masalah mengekspresikan diri sebagai K-Popers (meskipun untuk sebagian besar waktu aku tidak mengerti candaan yang diucap oleh si Dimas ini). Dia berjoget di game center, sedangkan Kevin disuruh ikutan, malah malu. Alay, katanya. Untuk alasan yang sama juga Kevin berhenti menulis blog. Malahan, Kevin tidak melakukan apa-apa selain pasang tampang I-don’t-wanna-be-here sepanjang waktu. Dia bersungut “tidak ada yang mengerti dunia gue”, tapi dunia apa? Yang kita lihat kerjaannya setiap hari adalah mengurung diri di kamar bermain game sepak bola. Kevin tak-menarik, terlihat fake (dia tak pernah terlihat beneran jahil ataupun beneran angsty atau apapun). Didukung permainan akting yang bland yang membuatku bertanya-tanya sendiri kenapa mereka tidak menggunakan aktor beneran aja, Kevin adalah tokoh utama yang begitu uninspired.

Kita bahkan enggak tahu kenapa dia milih masuk IPA sementara teman-teman yang lain, yang segenerasi, berbondong masuk IPS. Berbeda dengan teman-temannya, Kevin masih punya mindset melakukan sesuatu untuk menghasilkan impresi dari orang lain. Dia ikutan website prank biar dianggap keren. Dia melakukan hal bukan untuk mengekspresikan diri, makanya dia ini sering banget berkilah “malu dibilang alay”. Tahukah kamu; Di luar sebuah perbuatan yang salah, malu hanya ada karena kita memikirkan pendapat orang lain tentang kita. Menjelang akhirpun, Kevin sepertinya belum menyadari ‘harga’ dari generasinya sendiri. Dia hanya berhenti ngeprank dan kembali menulis setelah dijauhi oleh teman-temannya. Dia berpikir kompetisi itu penting, dan film yang mengambil sudut pandangnya sebagai fokus, mendukung Kevin dengan membuat sekolah mereka menang kompetisi dalam setiap cabang. Seolah kemenangan adalah hal yang penting, mengimpresi berada di atas sekedar mengekspresikan diri. Dan ini semua terjadi bahkan setelah dia mendapat wejangan dari ayahnya seputar banyak lebih berharga dari ‘uang’.

semenarik itukah musik dan komentar dalam video game sepak bola sehingga harus banget pasang headphone?

 

 

Misi film ini adalah memperlihatkan keunggulan generasi yang selama ini diremehkan, hanya karena mereka belum punya cukup waktu untuk membuktikan diri. Tapi susah untuk konek dan percaya kepada suara tersebut lantaran dunia yang diperlihatkan terlalu laughable dan susah dianggap serius. Menurutku, tone cerita tidak musti terlalu over untuk mencapai komedi. Guru-guru yang ketiduran sambil berdiri, yang bicara sambil bernyanyi, yang mendikte buku pelajaran tanpa mengetahui anak muridnya yang hanya empat orang keluar dari kelas, kelewat bego sehingga tidak lagi lucu – hanya berfungsi sebagai distraksi dari isi cerita. We could have normal teachers and still make a funny story, right? Membuat yang lain ‘gak normal’ bukan lantas menjadikan subjek cerita ‘normal’. Lewat sudut pandang Kevin, film tidak benar-benar berhasil memperlihatkan kebolehan generasi Z. Pembelaan yang dilakukan film terhadapnya adalah dengan mengatakan generasi ini menghadapi tantangan yang lebih besar; mereka langsung dijugde begitu berbuat salah, nama mereka seketika bisa hancur di social media, dan semacamnya. Akan tetapi, bukankah kehidupan – apapun generasinya memang begitu? Ibaratnya, segala yang kita usahakan toh memang bisa dalam sekejap mata musnah karena bencana seperti gempa, kebakaran, ataupun kematian.

 

 

 

 

Film ini pun sepertinya lebih ingin mengimpress people, alih-alih mengekspresikan suaranya tentang perbedaan antargenerasi. Atau mungkin, justru film ingin memperlihatkan bahwa manusia tidak seharusnya dibagi-bagi ke dalam kelompok generasi? Yang jelas, ending film ini yang tampak draggy hanya seperti ingin memperlihatkan Kevin sayang banget ama Chelsea. Dan itu tak ada hubungannya dengan keseluruhan eksplorasi cerita. Delivery komedinya lebih sering miss ketimbang hit, dan menurutku hal tersebut erat hubungannya dengan kualitas penampilan akting dari beberapa pemainnya. Tema menarik seperti ini, seharusnya penulisan bisa dilakukan dengan lebih baik lagi.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for GENERASI MICIN.

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian kenapa generasi remaja sekarang mendapat bad rap sehingga dijuluki sebagai Generasi Micin? Apakah kita didefinisikan oleh generasi kelahiran?

Apakah kemajuan teknologi ada hubungannya dengan deteoritas manusia? Have smartphones destroyed a generation?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

    • arya says:

      dialognya sih lumayan lucu, hahaha iya, paling annoying “ni bocah knapa ya?” diulang-ulang terus. Sekali mungkin lucu, terus-terusan ya datar juga hhihi

  1. AO says:

    Aku suka banget Kevin Anggara sejak dia nerbitin novel pertamanya dan masih sering buat indovidgram gitu, tapi hanya karena udah ngefans dari lama bukan berarti aku suka semua karyanya.
    Asli, kecewa banget setelah nonton ini. Feelnya setengah-setengah, sedih nggak, seru nggak, bahkan unsur komedinya kaya maksa banget. Untuk orang secuek Kevin ngapain ikut-ikutan prank website gak jelas coba?
    Btw nama sekolahnya kan Buana bukan Mrs. Ana wkwkwk.

    • arya says:

      soalnya pas adegan debat inggris, nama sekolah mereka dibecandain kayak gitu sama MC acaranya hihihi

      iya, mana dia tahu soal website itu kayak tiba-tiba; ada brosur di dalam kantong celananya kan, kayak kebetulan sekali

Leave a Reply