OVERLORD Review

“Heroism has a dark side”

 

 

Hari-H memang bikin deg-degan. Kita belajar mati-matian menjelang ujian, dan menit-menit dalam perjalanan ke sekolah, kita diam tak bergeming mikirin segala hal yang buruk-buruk tentang kemungkinan kita gak lulus ujian. Di lain tempat, ada yang bersuka cita mau menikah, dan di malam hari tepat sebelum nikahan, nervous itu datang membuat terdiam duduk mikirin gimana kalo ternyata pilihan kita salah. Mungkin karena H-nya itu singkatan dari Hantu, kali ya, makanya bikin gugup dan gelisah. Membuat takut. Kita cuma bisa membayangkan gimana kecamuknya hati dan kepala para tentara yang dikirim untuk berperang. Yang pergi membela negara di medan tumpah darah. Yang beberapa saat lagi bakal dibunuh atau membunuh duluan. Yang tidak peduli lagi mana salah, mana yang benar.

“Kita harus jadi sebusuk para musuh” kata komandan dalam film Overlord, mencoba sebisa mungkin terdengar seperti Samuel L. Jackson. Dan itu bukan sekedar remark-sindiran dariku, karena poinku adalah film ini berusaha membuat kita bersimpati (nada dan gaya bicara Jackson memang terdengar penuh wibawa dan simpatis) dengan pilihan yang harus diambil oleh para protagonis dalam cerita perang di mana satu sisinya memang pure evil.

Kita bisa bilang film ini bermain-main dengan genre film perang lebih banyak daripada ia berusaha menggali dilema moral seperti layaknya cerita perang itu sendiri. Adegan pembukanya terlihat menggoda kita dengan memberikan komentar tentang kejadian di opening Saving Private Ryan (1998), film perang karya Stephen Spielberg. Lebih baik di atas pesawat daripada masuk medan dengan kapal-kapal, kata salah satu tokoh Overlord saat mereka dari udara mengawasi garis pantai Perancis. Saat itu malam buta, kala Perang Dunia Kedua, platon protagonis kita bersiap untuk melakukan pendaratan ke pedesaan Perancis yang sudah dikuasai oleh tentara Nazi Jerman. Dan tokoh utama kita, duduk diam di sana. Gemetar di dalam sepatunya sendiri. Si luapan perasaan bimbang dan takut itu namanya Boyce (Jovan Adepo memainkan tipe karakter yang biasanya mati duluan). Dia sempat diolok-olok oleh teman-temannya, dikatain enggak cocok berada di medan perang. Dan kemudian pesawat mereka diberondong peluru. Dalam sebuah long-shot keren, kita melihat Boyce berjuang selamat dengan terjun payung sementara backgroundnya penuh huru-hara.

Ngeliat si Boyce yang tadinya duduk cemas menunggu bahaya pasti akan datang, aku serta merta kepikiran; gimana ya kalo ada Final Destination yang set ceritanya tentang tentara mau perang kayak begini. Tokohnya mendapat penglihatan tentang peristiwa naas, yang kemudian membuatnya jadi bisa menolong teman-teman seperjuangan selamat dari perang. Kupikir itu akan memberi twist buat franchise tersebut, tapi aku tidak bisa mengkhayal terlalu lama, karena Overlord segera menarikku masuk kembali berkat ceritanya yang benar-benar menggigit. Misi pasukan Boyce adalah meledakkan menara komunikasi di desa. Film memastikan tone tegang dan berdarah-darah itu tetap menguar sedari awal, dan tak pernah terputus saat cerita berbelok menjadi sci-fi horor oleh pengungkapan yang disaksikan oleh Boyce. Nazi yang mereka hadapi bukan jahat sembarang jahat. Mereka literally gak manusiawi.

klop banget tadi malam aku habis menghajar beberapa Zombie Nazi di game South Park: The Stick of Truth (2014)

 

Menonton Overlord adalah pengalaman yang menyenangkan, terutama jika kita suka sama adegan-adegan laga bersimbah darah. Drama perangnya masih ada, tokoh utama kita adalah seorang dengan moral kompas yang lurus, dia enggak setuju dengan cara interogasi menghajar musuh. Bahkan ada cerita menarik dari masa-masa pelatihan mereka soal Boyce yang enggak sampai hati membunuh tikus, yang berujung seluruh pasukan mereka dihukum fisik. Hanya saja, kedalaman lapisan moral itu semakin mendangkal mendekati akhir film. Di mana cerita berubah menjadi sajian horor kemanusiaan melawan monster. Narasi tetap mengalir koheren, tetapi gizi itu lama-lama semakin menghilang. Menonton film ini kayak menyantap seporsi lengkap mie. Awalnya masih ada telor, ayam, mungkin sayur mayur. Ketika semua itu habis, hanya tersisa bumbu mie yang enggak begitu bergizi, namun rasanya masih enak untuk dinikmati.

Arc Boyce adalah soal gimana dia mempertahankan moral kemanusiaan dirinya. Dia berubah dari yang ogah-ogahan, gak cocok berperang, menjadi penyintas yang bahkan lebih dari berkompeten untuk memimpin pasukan kecilnya sendiri. Tapi dia tidak pernah kehilangan sense baik-buruk tersebut. Dia tidak pernah melanggar garis yang membuatnya menjadi sekeji pihak yang ia lawan. Sepanjang film, pilihan-pilihan yang diambil oleh Boyce yang membuat narasi bergerak maju. Yang membuat dirinya termasuk ke dalam situasi mengerikan, dan kita mendapatkan aksi-aksi yang seru. Tidak ada yang salah dari Boyce sebagai tokoh utama. Pemeranannya pun meyakinkan. Tapi aku tidak bisa bilang menyukai tokoh ini. Dia terlihat ‘terlalu sempurna’ di sana, kayak Pak Ustadz di dalam kelab malam. Dia terlalu lurus sehingga tampak lebih membosankan daripada temannya, Chase, yang lebih suka menembak dengan kamera alih-alih dengan senapan.

Kepahlawanan punya sisi gelap. Perang begitu mengkhawatirkan, karena tidak seperti ujian sekolah, kita tidak pernah benar-benar seutuhnya menang dalam peperangan. Dan, ironisnya, seperti ujian sekolah; kita perlu perang untuk menggenjot diri naik ke tingkat selanjutnya. 

 

 

Pun, plot tokoh seperti Boyce sudah sering kita temukan. Hal penting yang harus dilakukan pada plot semacam ini adalah kita diperlihatkan perubahan si tokoh, untuk itu kita harus tahu dia seperti apa sebelum sampai di medan perang. Full Metal Jacket (1987) bisa dijadikan acuan. Dalam film tersebut, Kubrick mengambil keputusan beresiko. Dia membuat kita melihat si tokoh sedari masa pelatihan, gimana dia lebih memilih jadi posisi jurnalis perang, dan akhirnya harus menarik pelatuk di hadapan musuh yang ternyata adalah wanita muda, tetapi film itu terasa terbagi menjadi dua bagian. Overlord sepertinya tidak ingin cerita menjadi seperti demikian, maka kita hanya mendengar cerita tentang Boyce sebelum masa perang. Untuk membuat Boyce menjadi jagoan, mereka simply menyederhakan cerita menjadi laga ala video game; Boyce dan pasukan harus menjalankan misi menyusup ke dalam markas musuh, menghabisi bos besar, dan berlari keluar dengan pemandangan markas musuh hancur lebur – exactly kayak ending-ending video game petualangan. Boyce, secara pribadi, sebenarnya enggak benar-benar berubah. Perubahan yang kita rasakan terjadi, berasal dari pandangan orang tentang dirinya. Teman-teman Boyce jadi lebih hormat kepadanya.

sepertinya masih perlu ya diingetin bahwa Nazi itu jahat?

 

Dengan penampilan yang seragam meyakinkannya, banyak tokoh-tokoh minor yang terasa lebih menarik dibandingkan si sudut pandang utama. Aku suka sekali sama hubungan yang terjalin antara salah satu tentara, Tibbet, dengan anak kecil yang mereka tolong. Sersan mereka yang sudah siap-segala-resiko pun lebih menggugah minat dan mengundang simpati. Tapi sekali lagi, ini adalah keputusan yang diambil oleh film. Jadi walaupun cerita jadi harus mengandalkan beberapa ‘kebetulan’, menggunakan elemen ‘damsel in distress’ yang usang, dan Boyce-nya kalah menarik, Boyce dinilai paling bentrok dengan antagonis, dia yang paling punya stake. Tidak ada yang lebih berharga lagi yang bisa dipertaruhkan daripada rasa kemanusiaan.

Setidaknya ada dua kali ‘bolak-balik’ pada cerita; tokoh yang udah sampai di tempat menarik, kemudian ditarik mundur lagi oleh cerita, yang mengindikasikan penulisan seharusnya bisa lebih baik lagi. Tapi tone cerita yang konsisten, mampu membuat elemen menghibur itu terus terjaga. Ringan, penuh aksi brutal, dan makhluk horor dengan prostetik yang tampak semakin creepy – low budget itu berhasil dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Estetiknya tidak pernah kelihatan jelek.

 

 

Ini adalah film yang berjaya di dalam dunianya sendiri. Jikapun bertahan di ranah horor drama perang, film ini tak pelak akan lebih bermakna, tapi dia tidak akan pernah benar-benar stand out karena sudah begitu banyak cerita yang seperti demikian. Pilihan yang membawa genre ini berfusion dengan body horror; katakanlah eksperimen yang mereka lakukan, pada akhirnya lebih mungkin membuat film menjadi seperti para pahlawan seharusnya; dikenang.
The Palace of Wisdom gives 5 out of 10 gold stars for OVERLORD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana cara yang tepat untuk menghadapi Nazi? Apakah kekerasan dibalas dengan kekerasan? Atau memilih berdiri di atas moral? Bagaimana sih moral yang tinggi itu? Apa maknanya memenangkan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Comments

  1. Abdi Khaliq says:

    Bang, apa film ini masuk dalam Cloverfield Universe?
    BTW itu Jovan Adepo sempat nongol di film Mother! JLaw kan ya? Dia jadi tamu brengsek yang nawarin minuman wine, trus masuk kamar JLaw tanpa ijin sama pacarnya.

    • Dimas says:

      sy catat ada 2x adegan yg dipotong saat klimaks. Chloe saat siap2 nembak dagu salah satu monster sm pas kopralnya nusuk jendral Nazi..

        • arya says:

          tapi jelas kena sensornya – semua orang langsung tahu ada bagian yang dipotong. Soalnya temenku yang awam, pas nonton Predator gak ngeh ada sensor, dan dia malah nyangka filmnya memang begitu, sengaja nyorot ke atas

      • Dimas says:

        padahal menurut sy adegannya msih dalam.batas “wajar”. atau emang sy yg sudah agak kebal liat adegan gore ya setelah nnton The Night Come To Us.

        • arya says:

          haha iya, lagian yang dizolimi makhluk monster, bukan manusia. Sensor di Overlord ini malah kayak memotong poin dari filmnya sendiri; kemenangan manusia menghancurkan monster

  2. Abdi_Khaliq says:

    Bang pernah nonton film Korea R-Point 2004?
    Itu satu-satunya film perang berbalut horror yang benar-benar bikin saya takut. Inget banget dulu pas SMP Abang saya pinjam VCD dari temen dan kita nonton bareng.
    Saya sampai ketawa (in a good way) karena Abang saya refleks teriak pas adegan salah satu tentara bercanda dan mukul kepala temannya yang pakai helm… Ehhhh… tiba-tiba kepala sama helm temannya langsung copot. Asli bikin takut.

    • arya says:

      wah belum, asiiik mantep tuh kayaknya haha.. berarti perang ama zombie juga ya itu horornya?

      kebetulan dari kemaren aku nontonin horor-horor korea tiap malem, R Point bisa masuk daftar tontonan, makasiihh xD

      • Abdi_Khaliq says:

        Bukan Zombie sih bang. Lebih ke horor psikologis gimana gituh. Aku gak bisa nentuin genre spesifiknya.
        Yang pasti sih hantu. Filmnya rada-rada gersang sih, soalnya yang main cowok-cowok semua (yaelah secara temanya medan perang), plus hantunya juga cowok pula tuh. Hahahahaha

      • Abdi_Khaliq says:

        Tapi jujur, ini masalah selera sih ya. Aku pribadi tuh entah kenapa lebih takut dengan sosok hantu laki-laki ketimbang perempuan berambut panjang. Mungkin mindset aku yang menganggap laki-laki lebih kuat dari perempuan. Makannya sampai sosok hantu laki-laki pun saya anggap lebih menakutkan dan mengintimidasi dari segi fisik.

        Terbukti dari beberapa film yang saya tonton.
        1. Gonjiam Haunted Asylum. Saya sampai nutup mata pas ada penampakan hantu pria cacat yang jalannya rada-rada pincang. Pas ending saya santai aja sama hantu rambut panjangnya.
        2. It Follows. Dari semua hantu yang “mengikuti”, cuman hantu pria jangkung yang bikin aku histeris katakutan. Yang lainnya silahkan ikuti saya. Hahahaha
        3. Pengabdi Setan. Saya sama sekali tidak takut sama sosok ibu, tapi pas adegan geng pocong cowok-cowok saya malah teriak-teriak ketakutan.
        4. 4bia Thailand. Saking takutnya aku dulu sampai tekan tombol STOP di dvd player trus lari ke kamar ortu pas segmen ketiga “In The Middle.” Hantunya cowok juga kan tuh. (Filmnya aku lanjutin hari besoknya sama kakak) Hahahaha

        The Ring? Mama? Shutter? Maaf, silahkan berselfie sama saya.Hahahahaha
        Aneh sih ya kalau ngomongin soal selera.

        • arya says:

          Menurutku, ngomongin ketakutan begini bukan soal selera, tapi soal psikologis – karena mas sudah menyebutnya sebagai mindset kan, jadi aku nyimpulin ketakutan mas berupa ketakutan ter-overpowered, kengerian yang berasal dari rasa tak berdaya, mungkin aku salah tapi it is very understandable ketakutan fisik seperti demikian untuk kita alami

          Kalo aku, lebih ngeri melihat hantu/setan perempuan, apalagi kalo anak-anak, karena aku mikirnya mereka menghantui karena mau balas dendam. Karena bagiku itu merefleksikan rasa bersalah, aku takut pernah berbuat salah tanpa kusadari, I hurt people (baik fisik maupun karena arogansi atau emosional) and they come haunt me

  3. arya says:

    aduh kalo di dunia nyata, jangan sampai ngeliat hantu deh hahaha

    aku suka nih cerita-cerita serem begini, kalimantan katanya memang cerita seremnya ya, malah pontianak dulu katanya mau masang patung kuntilanak kan buat tugu kota (keren ide pemerintahnya xD). Trus makhluk merangkak itu pergi gak, apa sarangnya memang di depan rumah mas? Aku sendiri belum pernah lihat untungnya, tapi kalo mimpiin hantu sering hahaha.. dulu waktu pertama kali tinggal di kafe sewaan, aku mimpi didatengi mbah-mbah yang dia bilang “jangan sungkan tinggal di sini, arah kita sama kok” ampe sekarang aku masih kebayang wajah, bahkan bau si mbah, hiiii!

    • Abdi_Khaliq says:

      Untuk “makhluk merangkak” itu sampai sekarang cuman satu temanku doang kok yang ngeliat, udah nggak ada lagi. Dan aku males banget ah pake acara “penyelidikan mendalam” kayak di film2 horror kebanyakan. Hahahahaha
      Tapi kalo aku pripadi sih memang udah langganan sama yang namanya “Tidur Lumpuh”. Hal ini terjadi hampir tiap kali aku tidur sendirian di rumah (jangan ditanya sesering apa, solanya aku memang tinggal sendirian).
      Apa yang dibilang orang itu benar banget, kalo “Tidur Lumpuh” (Bahasa kampungku Ditindih Hantu) bisa bikin kita melihat dan mendengar yang bukan2. Dan aku sih yakin bangat itu cuman halusinasi dan rasa takut berlebih akibat rasa ketidakberdayaan menggerakkan anggota badan ketika terbangun. Pernah aku sampai berontak dan berteriak sekencangnya saat tak mampu bergerak dan mendapati “maling bertopeng sarung bawa golok” masuk ke kamarku, Ehhh… pas aku benar2 sadar ternyata itu hanya kipas angin yang tertutup sarung. Huhh…. Gila nggak tuh!

      Ada satu lagi sih sebenarnya pengalaman seram yang masih kuingat sampai sekarang, dan aku tidak yakin ini makhluk halus atau manusia beneran, karena ketakutan berlebih sering membuat kita berpikir irasional.

      “WAH… Bakalan panjang nih cerita! Abaikan kalau membosankan ya! Hahahaha”

      Dulu waktu aku kecil kelas 4 SD ikut Ibu datang hajatan di tempat Pamanku, jaraknya cukup jauh dan kebetulan aku tinggal di sungai Mentaya, dan sampai kini kami masih mengandalkan akses jembatan kayu sepanjang kurang lebih 10 km. (Jarak tempat hajatan dan rumahku 500 km.) Pas acara selesai aku pamit pulang duluan sama Ibu karena nggak sanggup nunggu beliau pulang. ( Jam 10 malam. Dan biasalah tradisi di kampungku kalo Ibu-ibu yang punya hubungan keluarga sama empunya hajatan pasti pulangnya belakangan, bantu beres2 trus pulang bawa makanan! Hahahaha).
      Nah di jembatan yang kulalui itu ada satu bagian yang terkenal angker, letaknya di samping pohon Rumbia besar, yang pernah jadi korbannya abangku sama sepupuku, ironisnya mereka mengalami itu di malam kedua lebaran setelah pulang dari tempat Pamanku juga. Nah saat pulang Pamanku mengejek mereka, “Hati2 pulang, kalo ada hantu!” Abangku jawab, “Mana ada hantu berani sama anak pesantren!” (Sepupuku anak pesantren). Nah pas mereka jalan kaki di Pohon Rumbia, mereka melihat anak kecil berdiri di tengah jembatan, pas mereka mendekat tuh anak kecil malah jadi pria jangkung besar dan bugil setinggi pohon Rumbia, alhasil mereka berdua tak mampu bersuara dan hanya bisa merangkak dengan pelan karena saking takutnya. Lucunya mereka merangkak kembali sampai ke rumah Pamanku (jaraknya 100 meter), dan konyolnya lagi pamanku malah takut mengantar mereka pulang. Kata mereka pamanku hanya membantu mereka pulang dengan berdiri di tengah jalan di depan rumahnya, lalu memberikan cahaya sentar hingga Abangku sudah cukup jauh melewati TKP. (Padahal Pamanku sering jadi imam sholat lho….) hahahaha….

      Kembali ke ceritaku! Jadi saat aku pulang jalan kaki keadaan benar2 sunyi dan gelap (sampai sekarang pun masih). Pas di dekat Pohon Rumbia tiba-tiba di depanku ada cahaya senter, aku sih senang melihatnya kerena kupikir bakalan ada teman pulang, tanpa pikir panjang aku kejar itu orang. Pas deket (jarak 1 meteran) dia berbalik, dan aku sangat terkejut, dia laki-laki, wajahnya sangat keriput, badannya bungkuk, suaranya sangat parau dan dia bilang…. “Mau kemana kamu cu?”
      Jujur tanpa sempat memproses aku justru langsung kabur dan tak mampu bersuara.(untungnya masih bisa lari). Padahal kan secara logika, kemungkinan besar itu kakek-kakek beneran. Hahahaha…

      • arya says:

        waktu kecil aku juga pernah ngalamin tidur lumpuh, itu kondisinya aku gak bisa bergerak di kamar, menatap gorden jendela yang corak-coraknya bergerak berputar-putar, terus ada suara orang ngobrol yang campur aduk; ada yang suaranya lambat, ada yang suaranya kayak dipercepat.. aneh banget lah haha

        Pernah juga waktu kecil aku lagi tidur siang. Mimpi lagi terbang ke luar rumah, aku sampe di halaman rumah tetangga, ngeliat ke bawah ada teman-teman lagi pada maen. Aku panggil-panggil tuh mereka, mau pamer bisa terbang. Tapi gak ada yang denger. Aku sampai teriak-teriak manggilnya, tapi kayak gak sampe suaraku ke mereka, padahal terbangnya gak tinggi-tinggi amat, setinggi tiang listrik lah kira-kira. Saking kuatnya aku teriak, aku sampai terbangun. Tau gak pas bangun apa yang terjadi? aku dengar suara orang-orang di luar, aku berlari ke luar rumah, dan kulihat teman-temanku memang pada lagi bermain di rumah tetangga. Persis kayak yang kulihat pas lagi mimpi terbang. Gak tau deh itu namanya fenomena apaan hahaha

        Wah, kalo di sumatera sosok yang bisa meninggi menjulang itu namanya Begu Ganjang. Tapi bukan hantu, melainkan salah satu ilmu hitam. Tapi, baik itu hantu atau ilmu hitam, nekat juga ya makhluk itu. Baru lebaran kedua udah menjalankan aksi, mentang-mentang sebulan puasa dipenjara haha

        Hahahah jangan-jangan itu memang kakek-kakek beneran. Tapi serem juga sih ya, udah kayak jumpscare kejadiannya. Hiii!

Leave a Reply