ROBIN HOOD Review

Thievery is what unregulated capitalism is all about

 

 

 

“Salah sasaran!” Tadinya, aku ingin mengatakan hal tersebut kepada pasangan suami istri yang duduk menonton di barisan di depanku, dengan dua anak balita mereka. Maksudku, kenapa ada keluarga yang lebih memilih menonton film Robin Hood ini padahal ada Ralph Breaks the Internet di studio sebelah benar-benar di luar logika buatku. Namun kata-kata tadi aku tarik kembali sebelum melesat dari busur bibir, karena aku menemukan ‘sasaran’ yang lebih tepat.

Bayangkan merasa bosan karena sudah lama enggak ke bioskop, dan sekalinya datang yang kau tonton malah film Robin Hood. Itulah “Salah sarasan!” yang sebenarnya. Film ini tidak akan mengobati rasa jemu. Kalopun iya, itu karena kita akan menemukan banyak hal untuk ditertawakan sehubungan dengan pilihan-pilihan yang diambil dan bagaimana mereka tidak cukup kompeten untuk dapat mengeksekusinya dengan baik.

masih mendingan iklan obat; langsung ke pusat sakit kepala

 

Sudah berulang kali cerita pencuri yang menjadi pahlawan bagi rakyat jelata ini diceritakan di layar lebar. Menyadari penuh hal tersebut, Robin Hood versi 2018 sesegera narasi pembuka bergulir mengajak kita meruntuhkan apa yang telah kita ketahui tentang legenda Robin Hood, dan bersiap mengarungi kisah yang katanya tidak seperti kita kenal sebelumnya. Film ini tidak kusebut jelek karena memang menjadi sedikit berbeda dari yang sudah-sudah, malahan aku senang film punya keinginan bercerita dengan caranya sendiri. Heck, aku bakalan girang banget kalo mereka merombak totatl; katakanlah menjadikan Robin cewek atau suku minoritas. Walau enggak mengubah ampe segitunya, toh film ini berusaha menyesuaikan cerita dengan kejadian di masa sekarang – memberikannya relevansi. Orang kaya yang dirampok Robin pada film ini, adalah penguasa korup yang mencopet rakyat secara halus. Lewat slogan-slogan politik. Lewat ayat-ayat Kitab Suci. Perang Salib antara bangsa Eropa dengan bangsa Arab dijadikan latar film ini yang seharusnya berfungsi sebagai cerminan motivasi – berkaitan dengan panji pencitraan agama yang dikibarkan oleh cerita. Robin Hood tidak lagi sekedar anti-hero. Sutradara Otto Bathurst mengarahkan tokoh ini menjadi superhero bagi kaum papa. Sayangnya naskah sepertinya terlalu berat bagi pundak film ini. Segala aspek-aspek politik dan agama yang menarik tersebut hanya laksana tudung yang tak pernah benar-benar membungkus. Dan film ini pada akhirnya dikata-katai film superhero hanya karena usaha ngeset sekuel yang terang-terangan meniru Marvel atau DC.

Segala tetek bengek gimana orang menggunakan agama untuk menakuti, mengontrol massa – menguatkan posisi secara politik, dan pada akhirnya UUD (Ujung-ujungnya Duit) tidak pernah menunjukkan dampak secara emosional karena tokoh utama cerita tidak diperlihatkan benar-benar tertarik kepada itu semua. Robin si Bangsawan dari Loxley (Taron Egerton pembawaannya terlalu boyband untuk karakter sebroke-down ini) sedari sepuluh menit awal yang krusial dikukuhkan motivasinya adalah cinta kepada Marian (begitu juga Eve Hawson yang covergirl jelita banget untuk ukuran rakyat kelaparan jelata). Kebersamaan dua orang yang lebih cocok sebagai idola remaja tersebut dipersingkat oleh surat perintah wajib militer yang datang dari sheriff di kota. Robin kudu ikutan berperang di gurun pasir Arab. Sekembalinya dari medan perang – ia dikirim pulang lantaran gagal patuh terhadap perintah membunuhi orang tak berdosa – Robin mendapati rumah kastilnya disita oleh si sheriff. Eksistensinya juga direnggut lantaran sheriff memasukkan namanya dalam daftar korban perang. Dan paling parah baginya, ia juga mendapati sang istri sudah menjadi istri orang lain. Mendadak miskin, tanpa teman maupun pasangan, Robin sudah akan hancur jika bukan karena John, pejuang Arab yang mengikuti dirinya lantaran terkesan sama sikap Robin di peperangan. John-lah yang ‘membisiki’ Robin apa yang harus dia lakukan. John yang melatihnya melakukan hal-hal keren dengan busur dan anak panah. John yang memberikannya tudung trendi yang bakal jadi seragam ikoniknya. John yang diperankan oleh Jamie Foxx-lah yang sedikit menyelamatkan film ini.

Memparalelkan Robin Hood dengan penguasa lalim; korupsi personal dengan korupsi institusi, benar ini adalah cerita tentang para pencuri. Salah satu kerusakan itu akan memakan kerusakan yang satunya, dan memperbesar diri. Semuanya karena uang. Dalam film ini, uang adalah simbol kekuasaan. Ngerinya, sepertinya di dunia nyata juga begitu.

 

 

Enggak ada yang salah dengan aktor-aktor yang meramaikan film ini. Hanya saja, kita melihat mereka bermain lebih bagus di film lain, kalian tahu, sedangkan di Robin Hood ini mereka semua terlihat biasa-biasa saja. Malah cenderung annoying. Jamie Foxx kelewat over-the-top. Dia lucu saat tidak sedang melucu – seperti sewaktu dia berteriak-teriak sebelum menggantung orang. Sedangkan ada tokoh lain seperti si Friar Tuck yang memang ditampuk sebagai peran komedi malah jatohnya garing; tidak ada yang tertawa mendengar komentarnya yang seperti menyindir. Karakter-karakter yang ada, semuanya tumpul kayak anak panah yang belum diasah. Dan ini lucu mengingat anak panah dalam film ini digambarkan mempunyai kekuatan perusak seperti peluru senjata api. Motivasi tokoh utamanya, seperti yang sudah aku tulis, terasa sepele. Tokoh ceweknya butuh untuk diselamatkan, dan enggak benar-benar punya manfaat selain berdiri di sana, dengan pakaian nyaris tertutup, tersenyum dan terlihat flawless – seolah dia tidak berada di zaman dan kondisi yang sama dengan orang lain di sekitarnya. Gimana dengan tokoh antagonisnya, kalian tanya? Hahahaha mereka jahat, culas. Kalo ngomong selalu keras-keras. Benar-benar komikal dan satu dimensi. Ada satu adegan seorang tokoh petinggi gereja yang tertawa membahana, kemudian mendadak mengubah nada bicaranya dengan mengancam, dan musik juga dramatis banget, dan si tokoh itu enggak pernah dibangun dulu karakternya.

curi… curi-curi pandang

 

 

Kita enggak bakal mampu untuk peduli sama tokoh-tokohnya. Bahkan aspek cinta segitiga tidak mampu untuk membawa kehangatan ke dalam film yang berskala warna coklat dan biru keabuan ini. Aspek mata-mata turut mewarnai cerita; di saat enggak merampok kas pajak, Robin akan bertugas sebagai bangsawan dermawan yang senantiasa di sekitar sheriff dan penguasa. Cara film menggarap bagian ini persis berasa sinetron. Dengan close-up Robin yang senyam-senyum ke kamera ketika dia berhasil mengelabui penjahat, ataupun tampang cemasnya saat ada hal ‘gak enak’ yang harus dia lakukan. Intriknya tidak pernah benar-benar terasa.

Jika kalian merasa porsi aksi akan menjadi obat penawar, maka kalian juga sama salahnya seperti aku. Karena bagian aksi film ini malah lebih memalukan lagi. Di antara hujan anak panah dan derapan kuda-kuda CGI itu, kita akan menemukan orang-orang berlarian dalam gerakan lambat, kemudian melompat dan menjadi cepat, melepaskan anak panah, kembali dalam slow-motion, dan cepat lagi. Aku gak percaya masih ada film yang masih memakai teknik editing yang mengesalkan seperti begini. Cara yang sangat malas dalam upaya membuat adegannya tampak intens. Aku bahkan merasa bosan melihat adegan aksinya. Sama seperti para pemainnya, aku yakin orang-orang yang bekerja di spesial efek dan editing ini bukan orang sembarangan, mereka punya keahlian khusus. Hanya saja pilihan yang dilakukan film membuat semuanya tampak enggak kompeten.

 

 

 

 

Seharusnya bukan cuma aktor saja yang diajari cara memanah. Film harusnya juga belajar menentukan sasaran mereka, menembaknya dengan tepat. Segala unsur modernisasi dan kerelevanan yang ada pada cerita dimentahkan oleh penceritaan dan arahan yang begitu konservatif. Hampir seperti mereka tidak cukup mampu untuk menangani cerita yang bener. Semua penampilan di film ini jatohnya jadi memalukan. Setidak-tidaknya film yang udah kayak cerita superhero ini bisa menghadirkan bagian aksi yang exciting, namun mereka bahkan tidak sanggup untuk melakukannya.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold stars for ROBIN HOOD.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah mencuri demi orang lain membuatmu pahlawan?

Pernahkah kalian mencuri untuk kebaikan, share dong pengalamannya

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

Comments

  1. Dimas says:

    setelah terakhir nonton film lawak Hollywood Fantastic Four (2015) akhirnya ada tontonan film Hollywood yg lumayan “menghibur”
    sepanjang film sy senyum-senyum sendiri.. ini film APAAN COBA????? hhahaha..

    level menghibur 8/10

    • arya says:

      hahaha ide bagus tuh; seharusnya ada rate ‘level menghibur’ untuk film-film kayak gini, skalanya bukan bintang emas tapi bintang laut alias si Patrick ahahaha

Leave a Reply