SILAM Review

“Adventure must start with running away from home.”

 

 

 

Di masa silam, ada film horor yang menampilkan hantu gadis cilik kembar yang menjadi begitu ikonik.

Di masa silam, ada film horor yang membangun ceritanya sedemikian rupa sebelum akhirnya persepsi kita bersama tokoh utama dibelokkan oleh pengungkapan siapa si tokoh sebenarnya

Di masa yang enggak silam-silam banget, ada film horor tentang boneka terkutuk yang dirasuki oleh arwah jahat.

Di masa kini, kita punya film horor bernama Silam tentang seorang anak haus kasih sayang yang membuat boneka untuk jadi temannya sebelum akhirnya si anak kabur dari rumah dan lantas bertemu dengan hantu kembar, arwah jahat hasil ritual, dan kenyataan siapa dirinya sebenarnya. Setelah menuntaskan film ini, kita akan dibuat penasaran, kenapa cerita yang seharusnya diadaptasi dari novel malah jadi kayak adaptasi horor-horor sukses dari masa silam?

 

Beneran deh, begitu nyampe kamar sehabis nonton aku langsung adain riset kecil-kecilan datang tak dijemput pulang tak diantar, eh kenapa jadi mantra film sebelah… Anyway, aku langsung search sinopsis novel sumber cerita film ini dan aku mendapati cerita yang luar biasa kuat kesan dramatisnya. Kalian yang belum baca novelnya bisa klik di sini untuk sinopsis ceritanya. Silam versi film seperti mengecilkan volume emosi yang dipunya oleh sumbernya. Mereka menghidupkan cerita tersebut dengan memasukkan banyak hal-hal yang kepentingannya cuma supaya film ini mirip sama film-film hits. Mereka kira kita menonton horor karena ingin melihat hantu, jadi arahan cerita film ini, ya memang dibuat untuk memfasilitasi berbagai macam kemunculan hantu, yang sebenarnya enggak menambah banyak ke dalam bobot cerita. Cara dan arahan pengembangan yang dipilih oleh film ini membuat kita, para penonton, tersilamkan dari pesan sebenarnya yang dikandung oleh cerita. Film sudah menyiapkan dua pengungkapan yang diniatkan supaya kita memandang ceritanya dengan takjub.

ini adalah jenis film yang dramatic premisnya berumus “ingin…, dan ternyata…” alih-alih “ingin…, tetapi…”

 

 

Mengalami mental abuse di rumah oleh Ibunya, dan physical abuse di sekolah alias dibully oleh teman sekelasnya yang tampak terlalu gede untuk ukuran anak es-de, Baskara tak lagi punya tempat untuk mengadu selain kepada kuburan ayahnya. Dalam kerinduannya yang amat sangat kepada sosok bapak, Baskara (dalam debutnya ini, Zidane Khalid dipercaya memainkan karakter dengan range yang cukup luas) menemukan alamat pamannya yang punya wajah teramat mirip dengan ayahnya. Baskara yang penasaran pun akhirnya mengunjungi alamat tersebut, di mana ia disambut hangat penuh kasih sayang oleh keluarga sang Paman. Baskara memutuskan untuk tinggal di rumah berada tersebut. Satu hal yang mengganggu adalah; semenjak kepala terbentur akibat ulah teman-teman sekolahnya yang jahat, Baskara yang mengaku tidak percaya sama hantu malah jadi sering melihat makhluk-makhluk menyeramkan tersebut di sekitarnya. Terutama di malam hari, di rumah di mana paman dan bibi dan sepupu kembarnya turut melakukan gelagat yang tak bisa dijelaskan oleh pikiran Baskara.

Melarikan diri mungkin memang penyelesaian yang paling mudah dari masalah-masalah yang mengukung, baik itu di rumah, di sekolah, di manapun. Actually, minggat bisa jadi adalah awal dari petualangan terbesar dalam hidup seorang anak atau remaja. Masalahnya dengan ‘berlari’ begini adalah, pelarian tersebut akan selalu membawa kita balik pulang.

 

Meminjam banyak elemen dari source lain memang bisa menaikkan kualitas nilai hiburan dalam sebuah film. Kita akan semakin enjoy menonton film yang punya sesuatu yang bisa kita kenali. Tentu saja syaratnya adalah tidak mengorbankan elemen unik, tidak melupakan ‘hati’ dan ‘jiwa’ yang dipunya oleh film kita sendiri. Silam justru tampak tidak peduli dengan semua itu. Twistnya bisa dengan mudah ditebak oleh penonton yang berpengalaman ataupun yang punya perhatian. Pembangunan plotnya juga gak benar-benar nyambung. Namun Silam tetap melaju berceloteh. Maksudku, anak macam apa yang menghabiskan waktu curhat sama batu nisan ayahnya, yang membuat boneka untuk ngejagain ibunya, tapi dia sendiri bilang dia tidak percaya hantu. Kontradiktif sekali. Film tidak berniat untuk memberi makna kepada detil-detil seperti perlunya memasukkan dua tokoh yang kembar, ataupun kenapa harus ada elemen ritual atau perjanjian dengan setan.

Memasuki pertengahan, kejadian menjadi repetitif; dan ini bukan saja terasa oleh Baskara yang terus melihat keluarga pamannya melakukan hal yang itu-itu melulu, namun juga oleh kita yang terus menyaksikan ‘gangguan malam hari’ yang enggak benar-benar punya punchline – yang gak punya ujung apa-apa. Selalu hanya malam tiba, Baskara terbangun dari tidurnya, dan dia melihat hantu-hantu, juga seorang nenek misterius di halaman rumah. Film tidak membuahkan puncak kepada elemen larangan ke luar rumah malam hari. Tidak ada kaitan yang menahan kita untuk terus tertarik kepada cerita.

Kesempatan emas untuk hidup dengan emosi, buat film ini, sesungguhnya bisa datang dari hubungan Baskara dengan ibunya. Baskara selalu telat pulang, dia jadi sering diomeli oleh ibunya yang sebenarnya mencemaskan Baskara. Tapi kita tak pernah melihat dari sisi Ibunya, bahkan setelah Baskara pergi dari rumah. Saat dimarahipun, kita tidak banyak melihat interaksi. Si anak sepuluh-tahun itu hanya diam, terlihat seperti mau menangis. Padahal kita perlu melihat ‘api’ di sini. Supaya kita percaya ada hubungan kasih sayang antara Baskara dengan ibunya. Sehingga ketika Baskara yang ketakutan dan ingin ‘pulang’, kita bisa merasakan usaha dan ketakutannya. Kita kurang mengenal ibu dan ‘bentukan’ keluarga Baskara. Ibu dalam amarahnya bilang dia sudah capek bekerja keras, namun Baskara malah lebih sering menghabiskan waktu di kuburan ketimbang bersamanya. Film ingin menunjukkan Baskara punya masalah ekonomi, bahwa Ibu mulai khawatir soal nafkah mereka dan Baskara yang menghambur-hamburkan uang, tapi kita tidak diperlihatkan apa sih usaha si ibu. Yang ada malah kita disuapi informasi uang jajan Baskara lima-belas ribu rupiah.

Film benar-benar melewatkan kesempatan. Kita perlu diperlihatkan lebih banyak tentang Ibu dan Baskara. Bahkan menurutku, cerita dan emosi akan lebih tersampaikan jika Baskara berantem dengan ibunya; jika ibunya yang mendorong dan melukai kepala Baskara. Karena dengan begitu, alasan Baskara kabur dari rumah juga akan semakin kuat, dan film tidak perlu memasukkan tokoh bully yang bahkan tidak kelihatan lagi sampai akhir cerita. Di bagian penyelesaian pun, mestinya biarkan saja Baskara dan Ibu menyelesaikan ‘drama’ mereka supaya plotnya menutup. Tapi sepertinya, film horor lokal butuh untuk menunjukkan adegan orang kesurupan manjat tembok,  sehingga kita malah dapat cerita perjanjian dengan setan yang menihilkan aspek drama dalam apa yang jadinya cerita hubungan single mom-anak berbalut horor ini.

untung si Baskara nulisin surat minggatnya bukan pake lipstik ibu ke cermin kayak cerita anak 80an haha

 

 

 

Kekerasan dan abuse lainnya memang menjadi penyebab utamanya anak minggat dari rumah. Film ini bisa saja menjadi pandangan dan komentar mengenai hal tersebut, dia punya modal untuk menjadi horor yang menarik dan bergizi. Tapi film, seperti halnya anak-anak yang kabur itu, memilih jalan termudah. Dia tidak mau ribet memikirkan pesan. Bahkan enggan memberikan jarak antara rumah Baskara dengan rumah pamannya; semua hal yang menyangkut film ini dapat kita simpulkan sebagai kemudahan. Batalin janji dengan setan cukup dengan satu kalimat sederhana, coba. Film hanya mau menampilkan hantu yang seram, karena mengira kita ingin melihat hantu. Enggak peduli betapa banyak hal gak yang bisa dihilangkan, dan hal lain yang harusnya dimasukkan. Ini bukan film bego, kita masih bisa menikmatinya dalam tingkatan tertentu. Hanya saja, tidak banyak berbeda dengan rekan-rekannya di Danur Universe, film ini pun adalah adaptasi ala kadar, yang tidak mau bersusah payah, dari sebuah cerita horor yang terkenal bukan semata karena seramnya.
The Palace of Wisdom gives 3 out of 10 gold stars for SILAM.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Dulu di daerah tempat tinggalku sempat ngetren loh anak-anak yang berlagak mau minggat dari rumah. Pernah gak sih kalian kepikiran untuk minggat dari rumah sehabis dimarahin orang tua? Apa mungkin ada yang beneran pernah minggat? Share dong ceritanya hhihi

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Aaron says:

    Pembuat film ini cuma mementingkan sisi komersil film saja, inti cerita dari materi aslinya malah dilupakan. Terus, dikait-kaitkan sama Danur universe padahal sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali. Risa Saraswati tampaknya sudah salah milih MD untuk mengadaptasi novelnya. Anyway review Mas Arya patut diapresiasi karena membuat penonton film Indo bisa membedakan mana film bagus mana film asal setengah jadi. Lalu, skip selama penulis naskahnya si lele laila.

    • arya says:

      Kasian, tampaknya Risa lah yang sebenarnya sudah nanda tangan kontrak perjanjian dengan ‘setan alias MD’, enggak tahu deh berapa ceritanya yang udah ia serahkan ke MD. Aku mendukung banget kalo ada filmmaker yang lebih passionate sama cerita horor yang mau meremake atau mengadaptasi ulang semua buku-bukunya Risa

  2. khaliqabdi3 says:

    Bang, plizz nonton “Monster Party” https://www.imdb.com/title/tt6556576/?ref_=nv_sr_1
    Mau tau pendapatnya Bang Arya!
    Jalan cerita sih hampir mirip sama “Don’t breath”, tentang 3 anak remaja yang ingin mencuri uang milik keluarga kaya dan berakhir “tragis”, alasannya sih cukup menyentuh, salah satu pelaku ingin melunasi utang judi sang Ayah yang diculik dan disiksa rentenir. Mereka mencuri bukan membobol rumah, tapi dengan modus menjadi para pelayan di rumah tuan tamu yang kebetulan akan mengadakan suatu acara di malam harinya.
    Dan kejadian “tragis” di sini benar-benar kejutan sekali buat aku, karena aku nontonnya random banget, cuma bermodal ngintip rating 5,2 doang di IMDB. Biasanya aku tuh sebelum nonton cerewet banget, wajib liat trailer dulu serta rekam jejak penulis dan sutradara karena aku sangat kapok nonton film dengan hanya bermodal judul dan poster keren, tapi untuk film ini aku benar-benar pasrah, posternya pun terlihat ala kadarnya.
    Tapi ternyata film ini benar-benar kejutan sekali dan benar-benar memberi arti “Semakin sedikit kalian tahu, semakin baik.”

  3. Adit says:

    Setuju kalau film ini terlalu banyak figuran dan sangat dangkal pengembangan karakternya. Padahal durasinya sangatlah pendek. Kenapa gak digali tentang pekerjaan ibunya Baskara? Kenapa akhirnya tak dimunculkan lagi teman sekolahnya yang tukang bully atau gurunya yang bodoh tidak mengabsen muridnya ketika pulang? Kenapa gak diceritakan alasan meninggalnya keluarga si paman. Akhirnya film ini malah menjadi petualangan anak indigo dan neneknya yang pemburu hantu.

    • arya says:

      ujung-ujungnya tetap paranormal dan/atau indigo, orang kesurupan, dan manjat-manjat tembok yaa… ditambah boneka biar manis… cuma segitu keberanian berimajinasi penjual horor indonesia

  4. arya says:

    hmm… kalo dipikir-pikir genre horor film kita udah kayak perang brand2an pembuatnya ya, kualitasnya nomor dua yang penting dari buku laku dan sutradara yang bernama…. atau mungkin semua film kayak gini?

Leave a Reply