BAD TIMES AT THE EL ROYALE Review

“Do the crime, do the time.”

 

 

 

Masa-masa sulit sesungguhnya tidak akan berlangsung selamanya. Bahkan kata Pak Ustadz di mesjid, orang-orang yang disiksa di neraka pun pada akhirnya akan masuk ke surga. Setelah semua dosa-dosa mereka tertebus. Tapi itupun jika masih ada iman di hatinya. Aku bukannya mau ceramah agama, melainkan poinku adalah akan selalu ada harapan untuk mengubah masa sulit menjadi masa yang senang jika seorang percaya hal baik dan mau mengusahakannya. Setiap perbuatan pasti ada balasannya.

Hotel El Royale dalam film Bad Times at the El Royale adalah metafora yang tepat untuk surga dan neraka. Berada tepat di garis perbatasan negara bagian California dan Nevada; kita bisa melihat hotel ini literally terbagi dua tepat di tengah oleh garis pembatas sehingga para pengunjung bisa memilih mau ditempatkan di kamar wilayah Nevada atau di kamar pada wilayah California yang harga sewanya satu dolar lebih mahal. Para tamu, sepanjang yang kita lihat dalam film ini, lebih memilih untuk menyewa kamar di bagian Nevada. Dan sesegera mungkin setelah mereka masuk kamar masing-masing, kita bisa melihat kelakuan ‘jahat’ mereka yang membuat mereka cocok – mungkin memilih dari alam bawah sadar – untuk ditempatkan di kelas ‘neraka’.

adegan favoritku adalah ketika salah satu tamu berjalan di garis pembatas seolah sedang menyebrangi jembatan Shiratal Mustaqim

 

 

Premis dasar cerita ini sebenarnya tak kalah simpel dari kisah-kisah drama kriminal yang paling biasa. Beberapa orang yang saling tidak kenal, yang tadinya ngerjain urusan kotornya sendiri-sendiri, jadi saling bentrok – dengan uang dan rahasia gelap hotel menjadi perekatnya. Mengambil latar waktu 60an, kisah film ini eksis pada masa kaum hippie lagi ngetren dan perang Vietnam baru usai berkobar. Waktu yang menjadi identitas sehingga film punya keterkaitan dengan peristiwa di dunia nyata. Namun film membiarkan segala konteks sosial bergerak dalam imajinasi kita. Ia malah bercerita dengan nada penuh misteri. Malahan ada satu benda, gulungan film yang katanya berisi skandal, yang tidak pernah diperlihatkan kepada penonton selain melalui komentar-komentar tokohnya. Penggunaan gaya ala Quentin Tarantino tidak berhenti sampai di sana. Film juga membagi sudut pandang para tokoh ke dalam beberapa chapter – sutradara dan penulis Drew Goddard menggunakan nama tempat seperti Kamar Empat, Kamar Tujuh, Maintenance Closet, dan interestingly enough satu nama tokoh karena kisahnya ada di dalam kepala tokoh tersebut – untuk mengenalkan backstory dan motivasi mereka. Kita akan sering balik mundur kembali untuk meninjau suatu peristiwa dari sudut pandang tokoh yang berbeda. Untuk kemudian semua benang itu akan terikat ketika semua pemain sudah berkumpul, saling menunjukkan ‘kartu’ dan rahasia masing-masing.

Dalam bercerita, film memang tampil terlalu genre-ish. Ada polisi, ada cult leader sinting, ada pastor, ada wanita kulit hitam yang gak setidakberdaya kelihatannya. Gaya film ini toh memang mampu membuat kita bertahan keasyikan mengarungi dua jam setengah malam berhujan badai. Dengan bijaknya, semua aspek dalam film ini ditahan untuk tidak terlalu over-the-top. Sehingga kita masih bisa menyimak underlying message tentang keyakinan dan penebusan dosa yang disusupkan sebagai tema.

Segala perbuatan yang kita kerjakan, akan mendapat balasannya. Kadang memang secara tidak langsung. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh film ini, hidup akan selalu menemukan cara menagih kita. Tindak kriminal akan mendapat hukuman. Rasa penyesalan akan meringankan hukuman tersebut, paling tidak mengurangi beban di hati. Adalah terserah kita untuk memanfaatkan kesempatan menebus dosa-dosa selagi kita masih di dunia.

 

Hal menarik yang diajukan oleh film ini, berkaitan dengan konteks dan tema yang diusungnya, adalah para tokoh yang merepresentasikan Tujuh Dosa Pokok manusia. Melihat siapa yang akhirnya selamat, memberikan harapan bahwa pengampunan itu masih ada bagi siapapun yang mau mengubah dirinya. Dan perubahan itu enggak gampang. Butuh pengorbanan yang besar. Untuk tidak lagi bersikap mementingkan diri sendiri. Tamu-tamu hotel ini tadinya datang sendiri-sendiri; mereka ingin memuaskan keinginan sendiri. Meruntuhkan ego ditampilkan oleh film ini sebagai jalan keluar dalam bentuk bekerja sama – feminis akan melihat pesannya sebagai kesetaraan peran wanita dan pria – sebab Tujuh Dosa itu pada dasarnya berakar kepada nafsu ke-selfish-an manusia.

Ada tujuh tokoh, tujuh sudut pandang yang jadi kunci perputaran cerita. Setelah paragraf ini akan sarat oleh spoiler karena aku ingin memaparkan siapa dan dosa masing-masing tokoh dan bagaimana mereka gagal untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pada halaman trivia film ini di situs IMDB sebenarnya sudah ada yang menuliskan teori Seven Sins seperti ini, tetapi aku punya pandangan yang berbeda. Yang udah nonton sih, silahkan baca dan mungkin bisa membandingkan dengan teori kalian sendiri;


Pertama ada Billy Lee. Tokoh ini muncul paling belakangan – dia udah kayak ‘bos gede’ yang harus dikalahkan. Berkeliaran bertelanjang dada membunuhi orang-orang bersama pengikut setianya. Dia pemimpin kultus yang enggak percaya pada Tuhan. Dan inilah yang membuatnya melambangkan dosa Pride (Kebanggaan). Ia merasa yang paling hebat. Hidupnya berakhir setelah ia meremehkan salah satu tokoh.

Tokoh itu adalah Miles, pemuda yang jadi resepsionis, bartender, dan segala macam yang menyangkut urusan hotel. El Royale sendiri adalah hotel yang punya kedok, mereka melakukan bisnis-tak-tersebut di sini. Miles lah yang disuruh untuk melihat, merekam, dan melaporkan semua kriminal yang terjadi dari balik kaca dua-arah pada setiap kamar. Miles juga adalah seorang mantan tentara yang sudah membunuh banyak orang dan dia menyesali perbuatannya. Sebesar dia menyesali kerjaannya di hotel. Tapi Miles tidak berani berbuat apa-apa. Miles melambangkan dosa Sloth (Kemalasan). Eventually, Miles adalah salah satu tokoh yang berakhir ‘happy’ karena dia berhasil menebus dosanya dengan mengambil aksi. Plot Miles adalah yang paling emosional di antara tokoh yang lain. Film menggambarkan momen terakhir Miles bersama dua tokoh lain dengan sangat menawan.

Wrath (Kemarahan) dilambangkan oleh tokoh polisi bernama Dwight Broadbeck yang menyamar menjadi tukang sales penyedot debu. Ditugaskan menyelidiki apa yang terjadi di balik bisnis perhotelan, Dwight melanggar perintah dengan gegabah ikut campur menangani kasus-kasus yang tak-sengaja ia intip di El Royale. Dwight mendapat ganjaran atas perbuatannya tersebut.

Di kamar Nevada paling ujung ada Emily Summerspring, cewek yang dipergoki oleh Dwight menyelundupkan seorang cewek lain. Mengikatnya di kursi. Dwight menyangka Emily akan membunuh cewek tersebut. Tetapi ternyata masalah Emily adalah Envy (Kecemburuan), tokoh ini sebenarnya paling sedikit mendapat eksplorasi, walaupun dia termasuk yang paling banyak beraksi. Backstory sekilasnya memperlihatkan dia kemungkinan adalah korban kekerasan seksual sewaktu kecil, membuat dia menjadi begitu dekat dengan adiknya. Hingga sang adik memutuskan untuk ikut cult yang diketuai oleh Lee.

Adiknya lah, si Rose Summerspring, tamu-tak-terdaftar yang diikat oleh Emily di kursi. Ini adalah tokoh yang paling aneh. Ada satu adegan dia menyusun kursi dan meloncat untuk bergelantungan di lampu hias lobby hotel. Dia juga diimplikasikan gak segan untuk melakukan kekerasan kepada orang lain. Dia digambarkan rela berkelahi supaya bisa tidur bareng Lee, yang tampak sangat ia sukai. Mengukuhkan perlambangan dosa Lust (Hawa nafsu).

Dua tokoh terakhir, yang sebenarnya adalah dua tokoh utama – Flynn, seorang perampok bank yang menyamar menjadi pastor dan Darlene Sweet, penyanyi latar yang ingin karirnya berkembang – punya dosa yang tampak setali tiga uang. Yang satu melambangkan Greed (Ketamakan); karena mencuri dan begitu ingin memiliki semua hingga literally lupa diri dan satunya lagi Gluttony (Kerakusan) yang begitu mengejar keinginan menjadi terkenal. Dua tokoh ini pada akhirnya berhasil selamat setelah menunjukkan arc dan transformasi yang benar-benar bikin kita terpana.


abs Chris Hemsworth mengalihkan dunia para wanita

 

 

Mengikat banyak plot dengan satu tema yang kuat, sebenarnya tidak banyak ruang gerak dalam naskah film ini. Jadi ia tahu, ia harus punya gaya. Meskipun berceritanya mungkin tidak benar-benar adalah gaya yang inovatif, film masih punya satu lapisan lagi untuk membuatnya tampil beda; penampilan akting para pemain. Jeff Bridges, Chris Hemsworth, Lewis Pullman, Cynthia Erivo (yang beneran nyanyi), semuanya bermain prima. Mataku terutama pada Cailee Spaeny sejak dia di Pacific Rim: Uprising (2018) dan kembali dia mencuri perhatian di sini. Ensemble cast di film ini bermain dalam level yang tepat, mereka tidak terlalu lebay, melainkan masih tetap menghibur dan enggak satu-dimensi – mereka masih mampu untuk menghadirkan emosi. Dari yang tadinya sendirian memegang rahasia, terhadir hubungan menarik dan really grounded antara para tokoh, seperti pastor dengan si bellboy. Memang, masih banyak yang bisa diperbaiki, tetapi film ini tahu apa yang ia incar. Mengatakannya style-over-substance sungguh terlalu terburu nafsu. Dan menurut film ini, terburu nafsu tidak akan mendatangkan masa-masa baik bagimu.
The Palace of Wisdom gives 7 gold stars out of 10 for BAD TIMES AT THE EL ROYALE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Bagaimana menurut kalian tentang Tujuh Dosa manusia? Dosa mana yang kira-kira lebih mudah untuk dimaafkan? Setuju gak kalo Pride adalah dosa yang paling ‘bos’ dari semua?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

Comments

  1. vin says:

    Ada 2 hal tentang si bellboy yg aku kelewat. Di awal pas dia lama baru datang dan pas si polisi kebetulan lihat dia lagi tidur atau pingsan atau teler. Entah itu berarti sesuatu atau cuma intermezzo.

    • arya says:

      teler dia itu kayaknya – mencoba nenangin diri, ‘kabur’, pake drugs alih-alih berbuat sesuatu yang baik.. makanya menurutku dia cocok melambangkan Sloth

  2. vin says:

    Anyway, aku baru tau tentang seven sins dr artikel ini. Sebelumnya ku kira seven sins itu ky membunuh, mencuri dll. Jadi aku nonton tanpa metafora atau alegori ky kata Billy Lee. Mungkin andai aku nontonnya sesudah baca artikel ini, aku akan nonton dg pengalaman dan sudut pandang beda kali ya?

  3. Dimon says:

    filmya overlong menurutku, banyak momen2 panjang yg bisa dipotong dan ga ganggu cerita. kesannya jadi pretensius. aku nunggu mungkin ada satu adegan pengungkapan yang wow setelah 2 jam lebih ternyata ga ada, atau mungkin twist yg jg wow setelahnya ternyata ga juga. bukannya harus ada 2 hal tsb, tapi build up ceritanya kaya lead up to something fantastic tapi gak. filmya kurang kompleks utk jd sesuatu yg kinda artsy tp gak thrilling enough utk jd popcorn fare.

    • arya says:

      True, bagian depannya menurutku bisa sedikit dipangkas… terus kita sering revisit momen yang sama; itu bisa nuntut kesabaran juga, resiko bikin gaya tujuh perspektif ya begini, banyak story tokohnya yang gak berbuah. Cerita ttg polisi, kejadian di balik hotel dan manajemennya sendiri, backstory Emily, ada build upnya membuat kita nunggu itu ‘meledak’, eh gataunya malah yang paling boring yang ada kelanjutan (si penyanyi).

      Tapi semua itu cocok jika dimasukkan ke dalam konteks Seven Sins; bahwa yang ‘masuk surga’, dalam artian sampai ke penyelesaian, adalah tokoh-tokoh yang menyerah ke dalam dosa mereka. Mereka semua berkumpul di El Royale yang merupakan perbatasan; yg bisa saja melambangkan mereka lagi nunggu masuk surga atau neraka. Namun menurut film ini, mereka yang menentukan ke mana. Jadi mungkin memang film ini enggak membahas tentang kejadian, thrilling-mindblowing action bukan niatan utama, melainkan lebih kepada examining tokoh-tokoh yang merupakan contoh kasus dari Seven Sins, itu aja.

      • Dimon says:

        ak setuju sm teori seven sins itu, yg ngeselin buatku presentasinya aja. adegan back story nya terlalu detil menurutku yg malah mengkerdilkan penonton, klo dibuat vague menurutku bakal lbih efektif plus lbih efisien. kya ak blg sblumnya pretensius. filmya brusaha lbih dari apa yg dia punya.

        • arya says:

          Vague gimana maksudnya?

          Kalo aku kurang suka awalnya banget sih, adegan ditembak itu; jadi ngebangun ekspektasi penonton ceritanya lebih ke aksi. Padahal filmnya toh bukan berfokus ke siapa penembak, siapa yang dapat duit, dsb. Tapi ya film butuh hook buat sepuluh-menit pertama, jadi mereka milih dibuka dengan adegan itu.

      • Dimon says:

        vague maksudku mungkin ga terlalu gamblang, se cuil cuil aja gitu. kesan misterius filmnya seketika ilang pas masing2 karakter dpt flashback. belum setengah durasi ak bisa nangkep siapa org baik2nya dan mungkin selamat sampe ujung.

        • arya says:

          kalo menurutku sih gak papa sih gamblang, biar penonton gak semakin ngarepin misteri – soalnya yang diincar film ini ternyata liatin nasib tokohnya satu persatu

  4. Dimas says:

    cailee spaeny ternyata udah 21 tahun tohh.. di Pacific Rim gak seberapa keliatan tapi di film ini keliatan kalau “mungil” bgt.. jujur sepanjang film ke-distract si Cailee Spaeny..

      • Dimas says:

        justru sy merasa di Pacific Rim dia keliatan dewasa.. eh btw ini website yg ngelola beberapa orang kan ya?? atau cuman 1 orang??

        jujur review ini jadi acuan utama sy kalau mau nnton film-film non blockbusters. kalau film blockbusters mah tanpa toleh kanan-kiri langsung sy hajar hhaha.

        • arya says:

          Cuma satu, tapi untuk kategori lain kayak musik, puisi, mainan ada kontributor dari temen-temen

          haha terima kasih, semoga nanti jumlah non blockbuster ama blockbuster bisa semakin berimbang

Leave a Reply