MID90s Review

“… Just walk beside me and be my friend.”

 

 

 

Dikasih aturan, ngelawan. Diberi kelonggaran sedikit, malah ngelunjak seenak udelnya. Anak kecil yang beranjak remaja sekilas memang cenderung nakal dan susah diatur seperti demikian. Karena mereka terkadang memang lebih membutuhkan sosok seorang teman, dibandingkan seorang pimpinan.

Alih-alih orang yang mereka pandang ke atas – yang menunjuk-nunjuk mereka mana yang benar mana yang salah, seusia mereka sebenarnya perlu banyak-banyak bergaul dengan yang bisa diajak tertawa bersenang bersama. Bermimpi bersama. Untuk kemudian, bikin salah, jatuh dan bangkit lagi bersama.

 

Sunny Suljic dalam Mid90s memerankan Stevie ‘Sunburn’ dengan begitu hidup selayaknya anak cowok tiga-belas tahun yang masih mencari jati diri dan pegangan hidup. Perbedaan periode waktu enggak menjadi masalah bagi Suljic karena dia bukan saja menangkap, ia yang anak modern menghidupi tokohnya yang ‘berjuang’ sebagai seorang skateboarder amatir di tahun 90an dengan teramat sukses dan meyakinkan. Absennya figur ayah, yang kemudian digantikan oleh abang yang suka memukul dan ibu yang lebih sering mengurusi dirinya sendiri, membuat Stevie ‘melarikan diri’ ke jalanan. Berkat pukulan yang sering dihadiahkan oleh abangnya, Stevie boleh jadi berkembang menjadi anak yang tangguh secara fisik. Namun secara emosional, bocah ini rapuh. Dia butuh teman, secepatnya. Jadi Stevie lantas ngintilin geng skateboard yang ia lihat lagi bikin onar di pinggir jalan. Stevie mencuri duit ibunya demi membeli papan skate. Dia latihan sendiri, dalam jarak pandang geng skateboard yang terdiri dari empat remaja yang lebih tua darinya itu, supaya punya alasan bergabung ke genk mereka. Persahabatan yang terjalin antara Stevie dengan para skateboarder tersebut akan menjadi fokus utama cerita. Gimana mereka, dengan tembok security masing-masing, berusaha mengomunikasikan perasaan mereka. Karena mereka semuanya adalah cowok dengan keadaan rumah yang bermasalah, sehingga mereka saling membutuhkan lebih dari yang mereka tahu.

Jatuh. Bangkit. Repeat. You wanna be dumb, you gotta be tough

 

Ketika pertama kali dirinya disapa oleh salah satu anggota geng, tampak begitu senang. Dia mengucapkan terima kasih, tetapi langsung ditepis “Don’t thank me. That’s gay.” Untuk sebagian besar babak kedua kita lantas melihat Stevie berjuang untuk enggak keceplosan mengucapkan terima kasih, ataupun seluruh perasaannya kecuali dalam bentuk amarah. Ini rupanya adalah salah satu adegan kunci untuk kita memahami dinamika yang terbentuk di antara remaja-remaja bau kencur tersebut. Gratitude yang dianggap menunjukkan kelemahan; bahwasanya mereka adalah pria belum-matang yang belum mengerti sepenuhnya terms kejantanan itu sesungguhnya. Ibarat main skateboard, mereka belum lagi melaju. Masih menendang-nendang aspal panas nan keras – inilah dunia mereka. Yang ada hanya kompetisi; kau berteman atau musuhan, pilihannya hanya dua itu. Wanita hanyalah bagian dari kompetisi – pada sekuen Stevie ngobrol dengan cewek remaja di pesta rumah, si cewek mengatakan anak-anak cowok seusia Stevie sudah memasuki fase brengsek dan dia senang Stevie tidak termasuk seperti mereka. Namun di beberapa adegan setelahnya kita tetap melihat Stevie membangga-banggakan apa yang tadi ia lakukan ke teman-teman skateboardnya.

Tapi tentu saja hal tersebut tidak menunjukkan ketimpangan, ataupun ‘dosa’ yang harus segera dibenarkan. Film tidak bermaksud menjadi komentar sosial perihal bagaimana remaja seharusnya bertindak. Ini juga bukan tentang bagaimana cara menjuarai papan skateboard. Film adalah hamparan sebuah tahap, bayangkan sebuah jendela, yang dilalui oleh anak-anak seusia Stevie. It’s about that moment. Ini adalah tentang mencari teman sejak dini, tumbuh bersama mereka, berkembang bahkan ketika nanti pilihan hidup memisahkan kita dengan teman-teman.

 

Meskipun dalam menyaksikan film kita seharusnya hanya ‘bicara’ soal apa yang kita tonton, kadang kita susah untuk tidak terlalu kontekstual dan keburu ngejudge berdasarkan reputasi dari auteur alias pembuatnya. Mid90s adalah debut penyutradaraan film panjang dari aktor dan penulis komedi Jonah Hill. Orang ini dikenal dengan komedi-komedi wacky, yang seringkali seputar (dan dibuat oleh kebanyakan) ngeganja dan orang-orang berpesta pora. I mean, anak-hollywood mencoba membuat film tentang anak-anak jalanan dan ke-streetsmart-an mereka? Bahkan saat menulis kalimat tersebut aku maqsih merasakan seonggok ketidakpercayaan di sudut pikiranku. Seberapa meyakinkan scene-scene itu dalam visi Jonah Hill? Jawabannya adalah sungguh-sungguh meyakinkan. Katakan kepadaku jika perasaan uplifting tidak menguar dari hati kalian saat melihat Stevie dan temannya meluncur zig-zag ‘berirama’ di tengah jalan.

Tentu saja ada hal-hal konyol kayak tokoh yang dikasih nickname gabungan dari dua kotor karena si tokoh setiap kali ngomong selalu ngucapin dua kata itu. Mungkin juga ada beberapa generalisasi depiksi skateboarder yang bakal bikin anak skateboard beneran tersinggung. Tapi interaksi para tokoh, marahnya Stevie kepada ibunya, canggungnya hubungan antara Stevie dengan abangnya – ada satu adegan yang aku pengen ketawa tapi gak tega yakni pandangan Stevie ketika dia melihat abangnya diajakin berantem ama teman skateboardnya yang paling sok jago – berhasil terlihat enggak dibuat-buat. Semua itu karena Jonah Hill adalah orang yang pertama kali tahu untuk tidak berusaha menjadi pemimpin kepada para remaja. Hill tampak mengerti bahwa penting sekali untuk berjalan bersama remaja, dan menjadi teman bagi mereka. Para aktor-aktor muda tersebut, diberikannya kebebasan untuk menghidupkan karakter mereka masing-masing. Juga membantu, gimana dalam setiap peran yang ia mainkan Hill dikenal suka berimprovisasi. Dia menerapkan ini kepada aktor-aktornya, dan hasilnya sungguh luar biasa meyakinkan. Geng skateboard itu tampak seperti sudah berteman sejak dulu. Kita percaya mereka punya masalah di benak masing-masing. Kita bisa melihat kecemasan dari jerawat mereka.

kalo versi Indonesia mungkin ada tokoh yang namanya Anying

 

Hill menyetir filmnya keluar dari kotak drama ala Hollywood. Stevie tidak diperlihatkan berhasil menjadi skateboarder profesional. Dia tidak memenangkan piala dan perhatian palsu dari cewek, penggemar, dan orang-orang yang tidak perlu ia buat terkesan in the first place. Aku suka sekali gimana film ini berakhir; menurutku Hill berhasil mengkorporasikan elemen 90an ke dalam pesan yang ingin dipersembahkan. Kita, barengan Stevie dan gengnya, bakal menonton film video hasil rekaman teman mereka yang paling bego (dijuluki Fourth Grade karena akalnya gak kalah ‘panjang’ ama akal anak kelas empat es-de) sepanjang hari-hari mereka bersama-sama. Ending ini tidak memperlihatkan apa-apa, tapi kita tahu bahwa kelima anak ini; mereka tidak akan bermain skateboard bersama lagi setelah film ini berakhir. Stevie yang di awal film pengen nyari teman akan belajar bahwa temenan bukan berarti harus melakukan setiap hal bersama-sama.

Bukan berarti kudu melakukan apa yang teman kita lakukan. Kita harus belajar untuk menghormati keputusan mereka, untuk percaya kepada mereka. Kita bisa tetap menjadi teman dengan melakukan hal masing-masing, kita masih bisa seerat saudara meskipun punya jalan hidup masing-masing. Dan begitu juga sebaliknya, film mengajarkan kepada Stevie dan teman-temannya dan penonton bahwa keluarga, bisa kok dijadikan sahabat.

 

 

Direkam seluruhnya dengan 16mm, film ini berhasil membawa kita kembali ke masa 90an, lantaran sukses terlihat seperti film dari video-tape jaman dulu. Anak-anak itu terlihat seperti anak jalanan, anak broken home 90an beneran, lengkap dengan skateboard ala Bart Simpson mereka. Penampilan mereka meyakinkan sekali. Ceritanya menyenangkan dan tidak terasa dibuat-buat, walaupun kita meragukan apakah sutradaranya tahu apa yang sedang ia kerjakan. Pernah mengalami, ataupun tidak, Jonah Hill dalam debutnya ini berhasil menyuguhkan sebuah potret yang bisa melebur smepurna ke dalam album kenangan setiap orang yang pernah merasakan butuh teman semasa remajanya.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for MID90s.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Pernahkah kalian bergabung dalam satu geng hanya untuk kabur dari orangtua dan keadaan rumah? Apa yang kalian rasakan, apakah masuk geng membuat kalian merasa menjadi lebih baik?  Kenapa menurut kalian, kalian merasakan hal tersebut?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

Leave a Reply