DREADOUT Review

“Cell phones are the lifeline for teenagers”

 

 

 

Bayangkan menjadi anak sekolah di jaman berteknologi tinggi seperti sekarang. Apa yang paling kalian takutkan sedunia? Kalian punya teman-teman keren yang siap membantu ngebully orang-orang yang membuat kalian sebal (atau iri). Kalian punya follower setia yang siap menaikkan mood dan begitu mencintai kalian sehingga kalian enggak perlu repot-repot untuk mencintai mereka balik. Tempat angker pun kalian jadikan tempat hiburan untuk menaikkan popularitas. Kalian bisa menaklukan apapun dengan internet supercepat dalam genggaman. Satu-satunya yang kalian takutkan adalah, jika kalian lupa membawa smartphone!

DreadOut, semenjak dari video gamenya, mengusung metafora yang bagus soal betapa anak usia SMA sangat bergantung kepada telepon genggamnya untuk bisa menyintas hari-hari mereka.

 

Mengambil periode sebelum kejadian dalam cerita video gamenya yang meledak di kalangan gamer internasional, film DreadOut membawa kita berkenalan dengan masa lalu Linda (dilempar-lempar, ditarik-tarik, tidak hanya secara emosi Caitlin Halderman dipush bermain fisik) yang bekerja di mini market setelah jam sekolahnya selesai. Kita diperlihatkan karena lelah bekerja itulah Linda sempat daydreaming mengenai kejadian sewaktu kecil. Film menjanjikan para penggemar mengenai asal-usul ‘kekuatan’ Linda, dan adegan pembuka diniatkan sebagai tindakan penebusan janji tersebut. Apakah itu cukup atau tidak, you’d be the judge, lantaran film tidak akan membahas lebih jauh. Cerita terus melaju membawa Linda – yang sebenarnya enggan – untuk ikut bersama kakak-kakak kelas yang jauh lebih tajir dan populer darinya ke sebuah apartemen kosong. Uang dijadikan motivasi oleh Linda, yang menyimbolkan keinginannya untuk bertahan hidup. It’s a good thing Linda punya mental ini, sebab geng mereka bakal dengan segera terancam keselamatannya oleh sesuatu di dalam sana. Mereka menemukan kulit ular, kertas bergambar mengerikan, dan simbol besar di lantai kamar apartemen. Linda pun panik saat dia melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh teman-temannya. Beberapa bait tulisan yang begitu dibaca membuat Linda dan temannya tercebur ke dalam kolam yang terhubung dengan dunia di mana pocong bisa mengejar mereka dengan celurit.

Hayo yang lagi nonton di pojokan, itu Takut atau Kesempatan?

 

Smartphone adalah ‘senjata’ yang digunakan Linda, protagonis dalam film adaptasi game DreadOut, untuk mengalahkan hantu-hantu yang menyerangnya secara fisik. Bukan kamera antik yang disepuh oleh batu-batu roh seperti dalam game Fatal Frame. Melainkan gadget teknologi mutakhir yang memancarkan flash. Tanpanya, Linda dan teman-teman sudah barang tentu akan celaka. Film menunjukkan kemenangan dalam bergantung kepada hape. Ilmu pengetahuan menang telak atas klenik dan mitos yang-membudaya dalam film garapan Kimo Stamboel ini. Anak-anak sekolah itu bukan saja berhasil membuka pintu portal ke dunia lain, mengusik Kebaya Merah, mencuri keris pusaka miliknya, mereka memberikan perlawanan yang cukup berarti meskipun mereka tidak pernah benar-benar mengerti apa yang sedang mereka alami. Untuk sebuah prekuel, dan possibly episode pertama dari dunia yang katanya luas ini, tidak banyak mitologi yang digali.

Tentu saja hal tersebut bisa menjadi hal yang mengecewakan buat para penggemar. Film ini punya kesempatan seperti sebuah kertas yang benar-benar kosong; film bisa menuliskan apapun, menambah kedalaman cerita, memperpanjang aturan dunianya, mengekspansi tokoh-tokohnya, tapi film hanya ‘menulis’ sedikit sekali. Seolah ada garis pembatas yang pantang dilanggar. Dan bahkan Linda dan teman-temannya berani untuk melanggar batas wilayah yang diijinkan oleh penjaga gedung. Film seperti punya ide-ide yang jauh lebih gila, namun tidak semuanya bisa mereka wujudkan. Tidak banyak jenis hantu yang muncul. Pun adegan aksinya terasa agak nanggung, mengingat kiprah sang sutradara di film-filmnya sebelum ini. Jelas, ini masalah batasan umur. Bayangkan jika mereka terus dengan adegan penggal kepala alih-alih potong pergelangan tangan. DreadOut tampil agak jinak dengan efek-efek komputer yang dipasang lebih dominan – sekali lagi, technology triumphs! 

Tetapi bukan berarti film kehilangan sentuhannya. DreadOut berhasil menginkorporasikan gaya khas sang sutradara dengan gaya yang sudah mendarahdaging sebagai cap-dagang gamenya. Menggunakan pergerakan kamera seperti yang kita jumpai dalam Upgrade (2018), Kimo menambahkan intensitas ke setiap lemparan-lemparan yang dikenai kepada para tokohnya. Pergerakan yang aktif dan terasa penuh energi ini membuat kita bisa langsung tahu dengan sekali lihat bahwa film ini ditangani oleh orang yang biasa bermain di ranah aksi thriller yang sadis. Sama halnya dengan musik, suara, dan atmosfer, sekali dengar (dan sekali lihat) para penggemar video gamenya bisa langsung konek bahwa mereka sedang menyaksikan dunia yang sama dengan yang beberapa tahun lalu mereka mainkan. Film mempertahankan apa yang membuat game ini fenomenal; gameplaynya. Bagaimana hantu bisa dikalahkan dengan masuk ke mode layar handphone. Ada beberapa scene yang memperlihatkan Linda memberanikan diri melihat ke layar hapenya, dan ada juga beberapa di mana ia hanya ‘asal’ jepret karena begitu ketakutan. Mengingatkanku kepada diriku yang mulai serabutan jika hantu yang muncul ternyata terlalu mengerikan.

Bahkan buat yang bukan penggemar pun, film turut memberikan service. Komedi dengan gaya candaan yang gak terlalu in-the-face akan membuat kita terhibur. Dan untuk alasan tertentu, film akan menampilkan Jefri Nichol bertelanjang dada.

Dengan rambut dikuncir, Caitlin jadi mirip Ariana Grande ya

 

Game DreadOut sendiri menjadi populer, sebagian besar disebabkan oleh seorang youtuber luar yang meng-upload video dia memainkan game ini, dan itu kocak banget. Aku dulu sempat kepikiran untuk melakukan hal yang sama, karena memang saat memainkannya, ada saja reaksi kocak yang timbul oleh tantangan dan pengalaman yang diberikan. Aku masih ingat ketika aku mulai khawatir ketika baterai hape si Linda sudah tinggal setengah. Actually, aku sempat menanyakan hal ini kepada produser filmnya saat diundang dinner bareng cast, “Apakah nanti di film akan ada adegan Linda panik karena hapenya kehabisan baterai?” karena itu akan menambah lapisan kenyataan dan ketegangan, tetapi pertanyaanku hanya dijawab dengan tawa. Sayangnya, memang, ternyata film tidak membahas ‘masalah teknis’ seperti ini. Sisi vulnerable dari kekuatan Linda tidak mereka eksplorasi. Linda tidak pernah benar-benar terpisah dari senjatanya tersebut. Hapenya bahkan sempat tercebur dan that thing is still working just fine.

Linda dalam film juga tidak banyak diberikan ‘pikiran’ sama halnya seperti Linda pada game, dan ini buatku menjadi masalah. Saat bermain video game, gak papa jika tokoh kita adalah jenis tokoh yang ‘silent’, yang lebih banyak diam, yang tidak tahu apa yang terjadi, karena kitalah yang sebenarnya menjadi tokoh cerita. Pemain yang melakukan pilihan, pemain yang bereaksi. Beda dengan tokoh pada film; protagonis utama kudu tahu apa yang ia lakukan, kita harus mengerti keputusan yang dia ambil berdasarkan apa. Semakin lama, semakin melelahkan melihat Linda berlarian ‘tak tentu arah’, so to speak, well actually Lindanya hapal banget arah karena lokasi film ini enggak begitu luas meskipun seharusnya adalah hutan, karena kita tak punya pegangan apa-apa selain dia ingin menyelamatkan diri. Naskah yang baik adalah naskah yang memberikan dua problem buat tokoh utamanya; problem di luar dan problem di dalam dirinya sendiri. Teror dalam film ini terasa terus bergulir, dan kita tak melihat di mana kesudahannya. Portal itu terbuka menutup sekena keperluan naskah. Kocaknya, kabur dari gerbang yang terkunci lebih susah daripada masuk ke alam gaib, pada film ini.

Dan tidak menolong pula tokoh-tokoh yang lain dibuat begitu menjengkelkan. Film meninggalkan sahabat Linda, Ira, di belakang. Membuat kita stuck dengan tokoh-tokoh yang dialognya seputar berbuat iseng, dan mencari sinyal. Malahan ada satu yang kerjaannya menggebah Linda dan teman-teman untuk masuk dan melanggar batas – clearly he’s up to something. Film tidak memberikan kita ruang untuk mempedulikan teman-teman Linda ini. Jikapun ada keberhasilan, maka film berhasil membuild-up kekesalan kita sehingga nanti begitu hantu muncul dan satu persatu mereka disiksa, kita akan merasakan puas tak terkira.

 

 

Cukup bangga rasanya Indonesia punya film adaptasi video game, yang menunjukkan seberapa jauh negara ini berkembang dalam dunia perfilman dan pervideogame-an. Sebagai sebuah survival horor, film ini menunaikan tugasnya dengan loud-and-clear. Kita melihat makhluk-makhluk menyeramkan, menyerang remaja-remaja tak berdaya yang hanya bisa mempertaruhkan nyawa dengan hape mereka. Film ini punya gaya sendiri yang menjadikannya unik. Sayang, pada penulisan-lah DreadOut paling terhambat dan kemudian jatuh terjengkang. Film tidak mengambil kesempatan mengeksplorasi dirinya sendiri lebih jauh. Seperti mereka terjebak antara portal ‘memuaskan orang banyak’ dengan portal ‘tidak membuat kecewa gamers penggemarnya’. Dan selalu bukanlah hal yang baik terjebak di antara dua hal.
The Palace of Wisdom gives 4.5 out of 10 gold stars for DREADOUT.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Linda menggunakan hapenya untuk bertahan hidup dari hantu-hantu. Kalian gimana, bisakah kalian hidup tanpa hape?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

    • arya says:

      iya gak punya, mereka ke sana pandai-pandainya si sekte aja… dia ngusulin ke temen2nya buat ngajakin si Linda karena Linda kenal ama satpam yang jaga apartemen

  1. pujadamayani says:

    Dari awal emang saya ngga terlalu berekspektasi tinggi, takutnya ngga sesuai dan kecewa berat, untuk akting ada masalah ngga? Film ini bisa ngga ya untuk mencapai 1 juta penonton? Mungkin kalau lihat fans base Jefri Nichol sama Caitlin Halderman bisalah lah ya, disini saya was-was sama masa depan Kimo Stamboel ini pertaruhan karirnya secara solo diluar bendera The Mo Brothers, partnernya Timo dah mesra banget sama Screenplay ada 2 projek besar live action dari komik Jitu dan Sibuta dari Gua Hantu, ayo Kimo bangkit!

    • arya says:

      Aktingnya lumayan, si Caitlin bener-bener disuruh bermain di level yang berbeda ama peran-peran dia yang biasa. Nichol.. yah, dia berusaha sebaik mungkin, cuma ya memang tokoh yang ia perankan sebenarnya kalo gak ada, gak ngaruh2 banget buat cerita – star powernya aja nih yang dijadikan inceran haha

      Kalo aku, sedari awal menurutku memang udah kurang cocok Kimo garap proyek DreadOut ini, terutama karena pasar filmnya pasti remaja jadi brutalnya gak bisa full keluar. Dan survival horor kayak DreadOut kalo gak bisa brutal, maka haruslah jadi penuh teka-teki yang subtil, yang jelas bukan ranah Kimo. DreadOut ini mau ngambil di tengah-tengah, mereka bahkan bilang mau muasin penonton awam ama penggemar gamenya sekaligus.. alhasil jadinya ya setengah-tengah jugak

      • pujadamayani says:

        Caitlin walaupun ngga sebohay game ternyata oke juga aktingnya, kalau sampe sejuta penonton adalah ya harapan buat sekuel, jadi yang ngga ada di film pertama bisa dimasukkan ke film kedua, Jefri Nichol digaet buat menarik masa pastinya, hehehe produser tau itu, kwkwkw

        Brutalnya ngga ada emang main aman mungkin biar diterima semua lapisan secara komersil, mari kita lihat pertarungan film lokal siapa yang bakal meraih sejuta penonton pertama di tahun 2019 ini, DreadOut kah? Asal kau Bahagia atau Keluarga Cemara. Let’s wait and see…

        • arya says:

          Caitlin udah kayak Alicia Vikander waktu mainin Tomb Raider; fans gamenya belum apa-apa udah protes soal body duluan hihihi

          Keluarga Cemara bisa melenggang, tapi kuda hitamnya nanti Mata Batin 2 nih kayaknya

  2. zapufaa says:

    Waa.. aku jadi lebih prefer nonton keluarga cemara jadi first film 2019 yang ku tonotn dulu heuehu
    anyway, Happy New Yearrr ya kakk!! Semoga bisa terus menulis review-review haha, agar orang-orang sepertiku yang duit tipis bisa terfasilitasi untuk memilih film yang ditonton haha

  3. gin-andtonic says:

    Agak kecewa sih ya, tapi gimana sih maaf aja agak sedikit subjektif karena Kimo 🙁

    Kalau pemain sih gue ngerasa gak ada masalah, walaupun awalnya gue ngerasa kurang sreg.

    Kurang brutal, Setting yg membosankan, dan gak benar2 breathtaking buat film survival. Dan yang paling menyebalkan itu, gak ada penjelasan yang gue tunggu. Jadi gak ngerasa terkoneksi wong gak tau apa-apa 🙁

  4. Ihsan says:

    Seru sih. Cuman bener, yang paling bermasalah emang penulisannya. Cara untuk bikin masalah dan keluar dari masalahnya juga terasa dibuat2 banget, kesannya lazy writing. Yg paling heran yg pas terakhir mau kabur dari dunia gaib itu, bukannya buruan pada nyemplung malah nyari mufakat dulu “siapa mau masuk duluan?” “sekarang giliran gw ya”. Ngebikin problem sekenanya yg penting plot masuk.

    Sepertinya pembuatnya juga emang sengaja ngebikin film ini gak begitu serius. Yang penting seru dan bisa ngasih fanservice yg baik buat penggemar gamenya, termasuk adegan Jefri Nichol telanjang dada itu, wkwk menarik sih.

    • arya says:

      hahaha itu kocak banget, kenapa yang lain musti satu-satu nyeburnya, wong Linda ama Jessica nyebur berdua juga bisa… kurang effort banget, di terakhir itu bikin inovasi cara kek; misalnya yang nyebur duluan nyebur dengan dililit tali di pinggangnya, terus ujung tali satunya ditambat di dunia gaib, jadi ntar teman-temannya tinggal nyebur ngikutin tali yang udah duluan masuk.

      Tantangannya juga kurang sih, masa Linda sebegitu susahnya baca tulisan di kertas… daripada sekedar ‘tantangan membaca’ itu, lebih baik kalo tokoh-tokohnya harus nulis simbol di tanah buat buka gerbang

        • arya says:

          daripada sekadar anying anying doang haha, kenapa gak diaktifin aja semua.. aku ngarep paling enggak itu baju seragam jadi berwarna merah oleh darah, ternyata main lumpur-lumpuran doang ‘disiksa’nya haha

  5. Muji Hidayat says:

    Sertuju. Dreadout keteteran di bagian cerita. Padahal untuk set dunia lain nya itu udh keren bgt, portal, setan nya juga. Credit lebih untuk Rima Melati sang kebaya merah. Nambah lagi ikon hantu Indonesia setelah Ibu nya pengabdi setan.

    Timo dan Kimo emg punya style yg beda sih. Kalau udh solo gini jdi keliatan beda nya. Timo dengan brutal nya dan kimo dengan main amannya. Padahal saya berharap ada tokoh yg bakalan mati untuk menambah kesan dramatis film biar greget. cuma ya itu, main aman nya kelewatan. Dreadout terlalu banyak ngabisin wktu bolak balik masuk portal sehingga berbuntut penjelasan2 yg hrusnya wajib di kasih porsi lebih jdi ketindih. Apalagi opening scene yg sama sekali g d kasih benang merah sehingga berlalu gitu aja.

    Oiy, notice g, bebera kali kita d kasih liat wallpaper hp linda dengan ayahnya. Itu kaya di shot ngasih clue nanti nya d film bakalan d jelasin dan ternyata nggak sama sekali. pft

    • arya says:

      iya bener, ada adegan ayahnya nelpon tapi gak diangkat kan sama Linda; jadi berasa adegan ‘nyempil’ karena gak ada pembahasan yang lebih lanjut. Siapa ayahnya, bagaimana hubungan ayah dengan sekte, apakah kandung atau dia diangkat anak sama seseorang apa gimana, kukira bakal ada penelusuran ke sini, ternyata tidak.

      Kebaya Merahnya jadi kurang begitu menakutkan lagi, masak segitu banyak anak remaja yang masuk (plus satpam) cuma satu yang berhasil ia tangkap – itu juga gak dilihatin apa dibunuh atau gimana

      • Muji Hidayat says:

        Nah, itu dia. Banyak scene yg seolah2 itu hint buat nanti di jelasin malah di biarin ngambang gtu aja. termasuk kekuatan Linda yg bisa narik kris yg g bisa dia jangkau itu. mmm

        Hahaha bener juga sih. Padahal kemunculan pertama nya udh bkn ngeri loh, cma mkn kesni malah kaya d buat main2. Sayang bgt detail kaya gtu bisa luput dari seorang Kimo.

        • arya says:

          ketahan-tahan sih kayaknya si Kimo, film untuk remaja dan pemain remajanya juga sepertinya berkemampuan ‘terbatas’. Tapi aku senang si Caitlin benar-benar total mau melakukan tantangan-tantangan fisik yang diberikan oleh Kimo

      • muji says:

        mungkin saja ketahan2 untuk sekuel lanjutan. entahlah. Iya, saya mulai suka caitlin dari sini malah, dengan rambut kepangnya itu manis sekali sih. Malah si jefri nichols yg d gadang2 lead actor dsni forgettable sekali.

        Ngomong2, seperti ada yg beda ya sama gaya penulisannya yg skrg. atau cuma perasaan saya saja. Lebih “kearifan lokal” klo yg skrg haha. Tapi tetap bagus! Keep it the good work, Bro Arya

        • arya says:

          Mirip Ariana Grande ahahaha.. Yang kayak2 Caitlin gini nih -yang trusting sama director, yang mau ditantang – bisa maju ke depannya, kayaknya dia enak banget diarahinnya, wong aku aja ngarahin buat video promo FFB doang dia nurut kok haha

          Tengkyu, haha iya, lagi eksperimen-eksperimen dulu nih, mumpung ilmu dari kelas penulisan kritik Desember lalu masih hangat 😀

  6. Salita Ulitia (@ulitiaaa) says:

    banyak scene2 yg ngebingungin. kayak kenapa temen2nya ga ad satupun yg nyoba pake blitz ke hantu2nya kayak yg dilakukin linda, kan bisa aja berhasil jadi ga perlu ad linda banget buat hantunya kebakar. trus kirain bakal ada peran ibu guru hannah selanjutnya, soalnya mubazir aja tokohnya cuma jadi guru doang, sama ya jessnya masih terlalu plain sih.

    • arya says:

      Si ibu guru disimpen banget buat sekuel, film-film mah sekarang pada pede, ngarepnya bakal ada sekuel semua ahahaha

      gak ada yang inisiatif temen-temennya, ngeselin ahahaha

    • arya says:

      wah keren, semoga sukses yaa.. udah aku tonton, suka sih idenya, tapi kayak kurang eksplorasi kejadian gitu.. kirain adegan-adegan dia lari itu bakal lebih banyak lagi hehehe

      • khaliqabdi3 says:

        Terima kasih bang Arya sudah meluangkan waktunya, plus memberi kritik dan saran yang positif! 🙂
        BTW saya bersyukur tiap orang beda2 pendapatnya, teman2ku ada yang bilang :
        “Durasi kepanjangan! ”
        “Kok nggak ada dialog?”
        “Harusnya ada benda jatuh sendiri! Terkunci di luar rumah! Bicara di telepon keras2! Menjerit histeris minta tolong!”
        Yang paling parah tuh kakak aku sendiri! Dia bilang film aku nggak ada ceritanya n bakalan bikin orang yang nntn mencaci maki! Hahahaha

        Untuk saran bang Arya, kan habis dia lari2 beberapa meter itu dia langsung mati dibacok oleh si Pelaku gara2 pagar rumahnya terkunci, karena pas awal dia datang markir motor di depan rumah, dia ngunci pagar kan! Nah salahnya saya hanya mengandalkan suara tanpa memperlihatkan adegan, dan hal itu hanya disadari oleh orang yang fokus nntn dengan headset. Kira2 yang perlu dieksplorasi setelah si korban lari2 (mati) apa lagi ya Bang?

        BTW, sekali lagi saya ucapkan terima kasih sudah meluangkan waktunya! 🙂

        • arya says:

          buatku jadi ‘kekuatan’ tersendiri sih, filmnya gak liatin adegan dibacok/dibunuh, jadi imajinasi penonton bisa meliar. Aku ngerasanya justru kurang banyak yang ‘strange’2 nya/terlalu cepat, kirain bakal ada lari-lari yang gimana lagi gitu hehehe.. semoga sukses yaa, aku juga pengen ikut ISFF sebenarnya, cuma filmku masih post-produksi, masih ngedit, lagi ngejar deadline sebelum februari biar bisa ikutan xD

      • khaliqabdi3 says:

        Wah keren dong kalau bang Arya juga ikutan ISSF. Semoga kita bisa ketemuannya ya Bang di sana! Hehehehe (Bermimpi dulu, bangun belakangan.)
        BTW kalo boleh tahu bang Arya ngambil genre apa ya? 😀

      • khaliqabdi3 says:

        Nanti kalo film bang Arya udah di upload di vidio.com, kasih tahu sy ya Bang!
        Sy penasaran pengen lihat karya seorang Bang Arya! 🙂

  7. Elki says:

    Pas adegan Linda pertama kali keluar dari portal, ada kabel listrik bocor di ujung kanan atas layar (Diantara dedaunan pohon). Masa iya, di alam ghaib ada PLN.
    CGI asap di portalnya nggak konsisten, kadang ada, eh tau2 ilang gitu aja. Udah gitu, ketebelan itu asapnya, kayak asap dari pembakaran sampah TPA. wkwkwk But over all, saya masih menikmati ini film. Berharap ada sekuel yang lebih baik.

    • arya says:

      hahahah aku luput tuh, gak ngeliat kabelnya

      soal cgi asap, sedari poster malah aku udah kurang suka, si kebaya merah jadi kayak gosong/abis kebakar XD

      • Elki says:

        Si kebaya merah semasa hidup kebanyakan pake krim merkuri, jadi melepuh kan kulitnya. hahaha Oh iya, itu hantu pocongnya kenapa muncul dari kuburan ya? Kan, itu alam ghaib, harusnya mereka udah bebas keliaran. Dan untuk apa ada makam di alam ghaib?! Alam ghaibnya berlapis-lapis dong kalau gitu.

        Saya butuh penjelasan… :'(

        • arya says:

          Ahahahaha bener juga, siapa yang nguburin mereka ya? eh eh apa jangan-jangan di dunia gaib itu kuburan adalah rumah pocong-pocong, mereka tinggal di kuburan kayak patrick tinggal di batu. Jadi si Linda sebenarnya masuk ke perkampungan pocong, banyak rumah-rumah, terus pocong yang lagi berkebun (makanya bawa arit) ngamuk karena Linda masuk tanpa ijin xD

      • Elki says:

        hahahaha biasanya yang muncul diberita kan gajah ngerusak kebun, konflik ama manusia. Di dunia dread out manusia masuk ke perkebunan, konflik ama pocong. What a bullshit… wkwkwk

Leave a Reply