KELUARGA CEMARA Review

“Having family responsibilities and concerns just has to make you a more understanding person.”

 

 

Keluarga Cemara, sebagian orang mengingatnya sebagai sinetron yang menghangatkan ruang keluarga di masa kecil. Sebagian lagi mungkin mengingatnya sebagai cerita serial tentang kejujuran buah tangan dari Arswendo Atmowiloto. Sebagian yang lebih muda akan mengenalinya dari lagu “Selamat pagi Emak, selamat pagi Abah, mentari hari ini berseri indah” dan guyonan “Harta yang paling berharga”. Visinema Pictures, lewat film adaptasinya ini, mengakurkan semua orang – membuat kita semua sepakat untuk mengingat Keluarga Cemara sebagai salah satu film keluarga paling manis – paling sederhana yang bisa kita dapatkan di masa sekarang – yang mengajarkan tentang kejujuran dan rasa bersyukur. And also ada JKT48 di dalamnya, wotaaaa!!

Dalam Keluarga Cemara versi ini, Abah adalah Ringgo Agus Rahman (jangan biarkan tampang kocaknya mengelabui urat hati dan nadi air matamu) yang terpaksa harus memberikan kabar buruk kepada keluarga kecilnya; mereka jatuh miskin. Bisnis mereka hancur akibat ulah sanak famili sendiri, mengharuskan Abah dan keluarga mengungsi selamanya ke rumah warisan di desa Jawa Barat. Emak yang setia (di balik ketabahan tokohnya, mata Nirina Zubir seolah menembus perasaan kita semua) jadi musti berjualan opak. Kepindahan ini, paling berat adalah terasa bagi Euis (detach-nya ZaraJKT48 jadi pas banget ama karakter tokohnya, dan dia gak punya masalah segera menyambung dengan emosi yang tepat) yang harus berpisah dengan Jakarta dan kelompok modern dance, in which she very skilled at. Kepindahan dan kondisi keluarga mereka pun dengan segera mempengaruhi Ara (so adorable, Widuri Puteri tampaknya digebleng langsung oleh sang ayah Dwi ‘Mas Adi’ Sasono), si bungsu yang tadinya bahkan belum mengerti apa itu bangkrut dan kenapa emaknya menangis saat mengandung dedek bayi.

Jika keluarga A Quiet Place yang dirundung monster aja bisa punya bayi, kenapa kita tidak bisa? horee!!

 

Aku tadinya sudah hampir-hampir yakin bakal disuguhi drama keluarga tearjerker yang menguangkan kesedihan dari segala trope-trope orang kaya yang mendadak hidup dalam kemiskinan. Tapi enggak. Sutradara Yandi Laurens mengarahkan film panjang debutnya ini menjauh dari cara-cara yang gampang. Skenario pun dengan bijaksana memfokuskan konflik bukan pada uang. Kita tidak diminta mengasihani karena mereka gak punya uang. Kita tidak ditagih air mata demi melihat mereka kesusahan hidup di tempat seadanya. Melainkan, konflik dipusatkan kepada suatu hal yang menurut setiap orang, terutama cowok, adalah kepunyaannya sejak lahir yang paling berharga. Harga diri.

Adalah Abah tokoh utama dalam cerita ini, bukan Ara meskipun judul merujuk kepada namanya. Karena keluarga Ara sama seperti pohon cemara. Punya satu batang yang besar sebagai poros, yang dikelilingi cabang-cabang yang tumbuh dengan rapat. Abah, sebagai satu-satunya pria di sana, adalah batang tersebut, poros yang membuat pohonnya berdiri kokoh. Atau paling tidak, begitulah Abah memposisikan dirinya yang kepala keluarga. Dia bekerja sekeras tenaga dan sejujur yang moralnya bisa. Kita melihat Abah mati-matian mencari kerja, dia melakukan apa saja, tapi baginya itu semata bukan soal duit untuk menghidupi keluarganya. Saat menonton ini aku memang merasa agak aneh; alih-alih berprogres dari mencoba usaha paling gampang ke yang paling susah, Abah bersusah payah menjadi kuli dahulu baru kemudian menjadi ojek online. Kenapa film masih berjalan jika jawabannya sudah ditemukan? Ternyata, memang bukan itu pertanyaannya. Ini bukan soal apa yang Abah lakukan untuk mencari uang. Ini soal apa yang ia lakukan sebagai pengukuhan dia adalah kepala keluarga.

Bukan kaki Abah yang patah, melainkan kebanggaannya. Untuk sebuah cerita tentang kejujuran dan rasa bersyukur, film memainkan janji dan kekecewaan sebagai konflik utamanya. Adalah janji-janji yang tak ia penuhi yang menyebabkan Abah berada di titik rendah yang sekarang. Baginya, adalah mutlak salah dirinya maka mereka jadi bangkrut. Ada adegan yang sangat emosional antara Abah dengan Euis yang membahas soal ini, Euis mengucapkan sesuatu yang telak mengkonfirmasi ketakutan Abah mengenai apa yang ia perbuat kepada keluarganya. Makanya setelah itu kita melihat Abah menjadi galak, dia menjadi ‘tegas’ terutama kepada Euis. Dia merasa tak-berdaya sebagai seorang laki-laki, dia merasa powerless melihat istrinya yang mengandung namun masih berjualan opak. Perjuangan Abah adalah perjuangan menegakkan kembali kehormatannya. Adegan Abah meledak penuh emosi menjelang babak ketiga merupakan teriakan dari sisa-sisa kebanggaan yang masih ia miliki. Dia berusaha keras memenuhi janji, tapi Abah sepertinya selalu salah dalam memilih keputusan untuk keluarganya. Yang Abah tak sadari hingga momen realisasi adalah selama ini dia melakukannya hanya untuk merestorasi perannya sebagai ayah.

Setiap manusia bertanggung jawab atas tindakan yang diambilnya. Ketika engkau adalah pemimpin, you would take responsibility in the name of your family. Tapi yang harus diingat adalah kebahagiaan keluarga seharusnya menjadi prioritas utama. Dan itu tidak bisa dicapai dengan mendahulukan ego tanpa mempertimbangkan anggota yang lain. Sebab mereka juga punya tanggungjawab, punya peran, yang tidak bisa kita kecilkan. Bertanggungjawab kepada keluarga mestinya membuat kita lebih pengertian.

 

Hubungan Abah dengan Euis menjadi sajian utama yang mewarnai cerita. Euislah yang paling sering dikecewakan oleh janji-janji Abah. Dan nantinya Euis akan balik merasakan seperti apa rasanya disebut mengecewakan orang lain. Abah dan Euis memenuhi konteks yang diusung. Jika Abah butuh untuk belajar melihat bukan dirinya sendiri yang bertanggung jawab terhadap keluarga, maka Euis akan belajar keluarga mana yang harusnya ia berikan janji-janji. Dibandingkan dengan konflik Abah dengan Euis, anggota keluarga yang lain memang jadinya terasa seperti pelengkap kayak ranting-ranting pohon cemara. Namun toh keberadaannya cukup penting, sehingga jika tidak ada ‘ranting-ranting’ tersebut, cemara yakni film ini tidak akan menjadi seindah yang kita saksikan.

sekuelnya, kalo ada, musti lebih banyak tentang Ara nih kayaknya

 

Film berhasil membaurkan drama dengan komedi dengan mulus. Setiap potongan kecil adegan menjadi sama berkesannya dengan momen-momen besar. Film penuh dengan adegan-adegan yang menimbulkan bekas, entah itu karena menyentuh maupun karena lucu. Film melakukan kerja yang baik dalam membangun dunia di sekitar keluarga Cemara. Ada banyak kameo; tokoh-tokoh yang diperankan oleh nama populer meski hanya muncul sekali dua kali. Aku pribadi agak mixed soal ini. Hukum Karakter Ekonomi-nya kritikus Roger Ebert jelas tidak bisa diterapkan buat film kayak Keluarga Cemara ini, karena akan membingungkan kita. Maksudku, mereka semua terlihat ‘penting’, tetapi ternyata enggak. Saking banyaknya peran yang satu-dimensi dan weightless di sini, sehingga membuat rintangan-rintangan yang dihadapi Abah dan keluarga menjadi seperti terselesaikan dengan sendirinya. Menjelang akhir, begitu kita paham ini bukan soal uang – kita sudah mengerti konteks sebenarnya, film tidak lagi terasa punya ‘ancaman’ apa-apa. Ataupun ada sudut pandang baru. Tapi penceritaannya, penampilan pemainnya, tidak pernah membuat film menjadi membosankan.

 

 

 

Kita semua tahu semua kejadian dalam film ini dibangun dengan nyanyian “Harta yang paling berharga adalah keluarga” sebagai puncaknya. Kita semua sudah bisa ekspek film ini akan sedih. Nothing surprised us, tapi tetap saja kita dengan sukses dibuat menitikkan air mata. Lantaran semuanya dilakukan dengan sangat manis, dan enggak total dibuat-buat. Membuatnya jadi begitu gampang dicinta, begitu menyentuh, dan mampu mendekatkan keluarga-keluarga yang sedang menyaksikannya. Semuanya terlihat hangat, jujur, indah. Meskipun membahas persoalan yang ‘matang’, tetapi film masih memberikan ruang diskusi kepada anak-anak dan orangtua mereka. Satu lagi yang agak mengganjal buatku adalah masalah bingkai waktu cerita, namun kupikir ini adalah resiko yang film pilih menimbang mereka perlu untuk menampilkan semua tokoh-tokoh yang sudah dikenal ini secara utuh. Jika film ini diniatkan sebagai prekuel dari reboot yang dimodernkan, maka ia sudah melakukan kerja yang sangat gemilang.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold stars for KELUARGA CEMARA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Abah berusaha hidup jujur dan memegang janji-janjinya. Bisa gak sih kita bahagia hanya dengan kejujuran? Masih ada gak sih orang yang hidup dari kejujuran?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

 

 

 

 

Comments

  1. Ahmad says:

    Min.. nangis berapa kali lu liat ini? Kalau aq jujur mewek. Karena ada relate-nya sama pengalaman kondisi keluarga dulu. Dan aku yakin diantara respon penonton di film ini juga dipengaruhi latar belakang hidup mereka. Entah pada bagian mana atau seberapa besarnya.. relatif sih..

    • arya says:

      nangis dalam ati sih, soalnya malu nanti keliatan ama Euis “kakak, kok nangis sih?” ahahah

      tapi pas studioku beneran banyak yang wajahnya sembap pas filmnya beres

  2. linggahfe says:

    Kok saya merasa gaya penulisan dan penyampaianya agak berbeda dari tulisan bang arya yg lain? Saya sempet mikir ini bukan bang arya yg nulis..tp btw film ini keren banget kalo kata saya, jarang film lokal yg mengusum gendre drama bisa bener2 mendeliver pesanya yg begitu menyentuh dengan cara halus tapi sangat realistis..

    • arya says:

      Hahaha ada yang sadar ternyata; Iyaa, sejak ikut kelas penulisan kritik PERIOD tengah Desember lalu, aku memang jadi sedikit bereksperimen dengan reviewku; bukan dari gaya aja sih sebenarnya, tapi juga jenis tulisannya (closed, atau contextual, atau ‘main-main’ di persentase keduanya). Mulai dari review Milly & Mamet sampe ke review Cemara ini tu kalo dibaca emang beda-beda – yang review House that Jack Built yang paling beda 😀

      Salah satu kekuatan Cemara ini; filmnya relevan banget dengan masa sekarang, sehingga kesan realistisnya menguat

    • arya says:

      Buatku ini malah udah lumayan long stretch.. tadinya aku mau ngasih 6.5 karena ada beberapa aspek yang bisa disusun dengan lebih baik lagi, namun sekaligus aku melihat ada kepentingan makanya disusun seperti yang film ini lakukan, dan penonton ternyata enggak masalah sama kepentingan itu, makanya jadi aku kasih 7.5 sesuai standar penilaianku yang biasa.

  3. Adit says:

    Skor ane sebenarnya dibawah 7.5 karena ternyata film tidak terlalu membuat sedih. Keluarga Cemara versi milenial ini masih kalah sedih dibandingkan Cek Toko Sebelah-nya Ernest. Itu karena pada akhirnya keluarga abah nggak melarat2 amat setelah bangkrut (akhirnya jadi tukang ojek online, jualan opak emak dan Euis relatif bagus, dst).

  4. Aul says:

    Mungkin masalah durasi ya? Jadi ada kesan konflik kurang nendang, jatuhnya kesan berjuang dari bangkrut jadi bisa “hidup cukup” terasa gampang banget. Gabung aja gojek, masalah hidup lo kelar.
    Nasib hpnya euis kumaha ya? atau nasib hp yg dipinjemin temennya euis, itu fungsinya apa? karena tetiba Elis sudah nyampe rumah aja.
    1 lagi yg kurang dijelasin, (spoiler dikit) kok tetiba nama ara ga dipanggil gurunya? apa krn gurunya nyadar kl ara itu anak kandungnya? wkwkwkwk.

    • arya says:

      pesan terselubung banget itu memang si ojek ahahaha

      menarik tuh bikin tulisan dari sudut pandnag hapenya euis wkwkwk, bisa jadi meme tuh xD

      Ara agak2 dipaksain sih memang, masak udah setahun di sekolah itu tapi dia masih kayak anak baru yang gak ternotice sama guru, padahal ara kan karakternya aktif dan dia bisa nyanyi.. tapi kalo adegan itu ditaroh di tengah, ya kurang nendang juga sih, memang harus di akhir tapi jadinya sedikit tak make-sense

Leave a Reply