SUSPIRIA Review

“It’s not just men who wear the pants in the political realm”

 

 

Tarian, seperti halnya bentuk-bentuk seni yang lain, sejatinya adalah sebuah ilusi. Tidak cukup hanya dengan bergerak, kita disebut menari, melainkan juga harus melibatkan pikiran dan perasaan. Sebab pergerakan dalam tari-tarian meniru gerakan alam. Hewan, tumbuhan. Angin. Bahkan cahaya, semuanya bisa ditarikan ketika sang penari mengilusikan dirinya sebagai materi-materi tersebut. Menciptakan keindahan, keelokan, yang mampu menghanyutkan siapa pun yang mengapresiasinya. Ilusi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam seni menari. Akan butuh usaha, kekreatifan, dan keterampilan yang sama besarnya jika ada yang ingin memisahkan ilusi dengan tarian dengan cara yang membekas. Suspiria, horor remake yang ‘dikoreografi’ oleh sutradara Luca Guadagnino, berhasil melakukannya.

Suspiria vokal kepada keduanya, tari dan ilusi. Tapi tidak pernah tampak indah dan memukau. Bukan juga menyeramkan. Mereka seperti tidak berjalan beriringan. Melainkan meninggalkan perasaan diskoneksi, sesuatu yang terentaskan, yang bakal terus merundung kita. Mengambil banyak nama-nama dari film originalnya, Suspiria kali ini tanpa tedeng aling-aling bercerita tentang sebuah akamedi tari di Jerman Barat yang merupakan kedok dari kelompok penyihir wanita. Tarian sebenarnya adalah ritual pengorbanan gadis-gadis muda untuk diambil alih tubuhnya oleh Markos, Ibu dari semua penyihir di sana. Tokoh utama kita, Susie (Dakota Johnson membawa shades of red ke dalam cerita) datang jauh-jauh dari Amerika untuk belajar tari di sana, langsung diajar oleh sosok yang ia kagumi. Tidak mengetahui apa yang terjadi – teman seakademinya menghilang, ada ruangan rahasia, dan penyihir-penyihir di sekitarnya – Susie yang berdeterminasi langsung diangkat menjadi penari utama dalam pagelaran terhebat di sana. Setelah menempuh banyak liukan, putaran, loncatan, dan pelintiran – baik cerita maupun naskah, Susie akhirnya menemukan purpose hidupnya yang sebenar-benarnya.

dan sebagaimana yang sering terdengar di radio pada background film, ini juga adalah cerita tentang perang Jerman

 

Setiap adegan menari dalam film ini akan membuat kita mengernyit. Masing-masing tampak lebih buas dari sebelumnya. Walaupun kita tidak menikmatinya, kita masih ingin terus melihat ada apa berikutnya. Begitu pun dengan misteri alias ilusi yang disajikan oleh film ini. Cerita tidak pernah benar-benar menutupi, tapi tetap saja kita dibuat menggaruk kepala olehnya. Dan terus ingin menyelami. Kita ingin menghubungkan titik-titik itu, namun tidak pernah benar-benar berada di dalam garis penghubung yang lurus. Suspiria adalah berhak menggenggam piagam Film Aneh, dan kalopun memang ada, aku yakin film ini akan mengenakan piagam tersebut dengan bangga. Bahkan menari berkeliling dengannya.

Film ini sesungguhnya punya tiga sudut pandang yang penting. Yang satu-satunya penghubung di antara ketiganya adalah ilusi aneh yang diciptakan oleh si pembuat film; yakni fakta bahwa pemeran ketiga tokoh/sudut tersebut adalah pemain yang sama. Beneran deh, aku kaget banget begitu mengetahui kalo tokoh Josef si dokter tua yang berusaha menyelamatkan para gadis, tokoh Madame Blanc si ketua pelatih tari, dan tokoh Mother Markos si ’emak’ para penyihir alam diperankan oleh satu orang; aktris Tilda Swinton (atau mungkin lebih dikenal sebagai suhunya Doctor Strange). Make up dan prostetik yang digunakan luar biasa sehingga dia bisa menjadi bapak-bapak, bisa menjadi manusia-tak-utuh, dengan sangat mengecoh. Bagian menariknya adalah ketiga tokoh yang ia perankan tidak diungkap punya kesamaan, ataupun ternyata adalah orang yang sama. Swinton benar-benar memainkan tiga tokoh yang berbeda yang lantas membuat kita bertanya-tanya, kenapa film melakukan hal tersebut? Pasti ada maksudnya, tentu akan lucu sekali kalo dilakukan hanya karena mereka malas nge-casting orang lain, kan.

Untuk menafsirkan hubungan-hubungan  dan maksud yang tak kelihatan pada film-film, khususnya film membingungkan seperti ini (and by that I mean; film-film nge-art yang kadang terlalu sok-serius sehingga jatohnya malah pretentious), kita perlu menilik unsur yang tak hadir dalam dunia cerita. Ketiga tokoh yang diperankan Swinton tadi bertindak sebagai pedoman ke mana kita harus melihat. Cukup jelas film ini didominasi oleh tokoh wanita. Akademi tari yang jadi panggung utama cerita itu sendiri adalah tempat untuk para wanita. Tidak ada cowok di dalamnya. Cowok yang nekat masuk, ataupun dipaksa masuk, ke sana hanyalah makhluk yang dipersalahkan. Dan ditertawakan. Film ingin memperlihatkan kontras antara suasana di dalam tempat wanita tersebut dengan keadaan negara di luar – Jerman lagi perang, digerakkan oleh para lelaki, sedangkan wanita di akademi matriarki hidup penuh kekeluargaan.

Namun bukan berarti tidak ada ‘perang’ di balik tembok berlapis kaca sana. Kita disuruh melihat kepada pemungutan suara yang dilakukan terhadap Markos dengan Blanc. Tetap ada persaingan, ternyata. Ada permainan kekuasaan. Ada perbedaan pandang antara Blanc yang mengkhawatirkan para penari sebab dia actually peduli sama seni menari, dengan Markos yang sebenarnya menipu mereka semua. Dia bukanlah dia yang ia katakan kepada semua penyihir bawahannya. Bahkan tarian dijadikan alat untuk saling menyerang dan menyakiti dalam kelas akademi mereka. Dan ketika semua konflik sudah seperti berakhir di penghujung cerita, kita melihat the real Mother Suspirium bertemu dengan Dokter Josef, apa yang terjadi dalam interaksi mereka? Tetap saja ada penindihan – ada kuasa yang meniadakan satu pihak yang lain. Dinamika power itu terus berlanjut tidak peduli apakah ada cowok atau tidak. Tidak jadi soal apakah ada yang ingin menghapusnya atau tidak.

Begitulah cara film ini mengatakan bahwa politik bukan hanya panggung para lelaki. Bahkan dalam sistem matriarki pun ada permainan kekuasaan. Ketika sudah berurusan dengan kuasa, dengan power, sungguh akan mudah terjebak ke dalam bentuk penyalahgunaan. Bahkan ketika kita berusaha untuk memperbaiki penyalahgunaan tersebut.

“let’s dance together, let’s party and turn off the lights”

 

Dengan pesan yang serius, dengan tokoh-tokoh yang bergantian dalam ‘sorot lampu’ (perlu aku ingatkan, ulasan ini sama sekali belum menyentuh sudut tokoh yang diperankan oleh Chloe Grace Moretz dan oleh Mia Goth), dengan segala keanehan termasuk struktur bercerita yang-tak-biasa, sebenarnya aku sendiri pun tidak tahu pasti kenapa aku semacam terobses sama film ini. Aku tidak yakin kenapa aku seperti begitu menikmati, padahal tidak – aku suka film aneh tapi aku gak bisa bilang aku suka Suspiria. Aku tidak bisa berdiri di belakang film yang tidak mengizinkan kita berada di dalam kepala tokoh utamanya. Arc Susie tidak terasa seperti ia ‘dapatkan’, yang membuat kita pun terasa seperti outsider dalam cerita. Namun tetap saja, menjelang ulasan ini aku tulis, aku sudah menonton film ini tiga kali. Aku tidak tahu mantra apa yang digunakan sehingga aku terus saja kepengen menonton.

 

 

 

Jika kalian menginginkan remake yang dibuat benar-benar berbeda, film ini adalah contoh pilihan tontonan yang tepat. Akan tetapi besar kemungkinan kalian akan kesusahan mencerna apa yang terjadi, kalian mungkin tidak akan menyukai – lantaran film dengan sengaja membuat dirinya sendiri sukar untuk disukai. Dan sementara itu, kejadian-kejadian tersebut tidak akan segera menghilang dari dalam benak kita semua. Karena pengalaman menyaksikannya lah yang dihujam dalam-dalam. Mempengaruhi kita meskipun kita sudah menolaknya. Film ini bisa saja tampil total mengerikan, seperti yang diperlihatkan oleh beberapa adegan mimpi dan sihir yang disturbing. Namun sutradara Guadagnino lebih memilih untuk menjerat kita dengan cerita yang bahkan kita tidak tahu pasti.
The Palace of Wisdom gives 7 out of 10 gold stars for SUSPIRIA.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian tindakan yang dilakukan Mother Suspirium di adegan paling akhir ini adalah tindakan yang benar, atau tindakan yang salah? Apakah dia benar-benar melakukan suatu perbaikan, katakanlah terhadap, sistem? Apa makna tarian Volk itu menurut kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We got PIALA MAYA for BLOG KRITIK FILM TERPILIH 2017

Comments

  1. Dimon says:

    menurutku si Klemperer itu ga penting bgt, tiap kali dia muncul filmnya jd berasa draggy. keren sih bisa liat si Susie “asli” di versi ini tapi kurasa ada cara lbh efektif ketimbang naro doi di ujung arc karakternya Klemperer plus “penampakan” nya jg super distracting, prostetiknya bikin wajahnya gak gerak, suaranya perempuan bgt. overall ak suka Suspiria ini lbh keren lg klo Klemperer nya dibuang jauh2, luar biasa indulgent dan ga bener2 ngaruh ke keseluruhan filmnya. oh iya nilai plus jg buat score nya, suka bgt sm lagunya Thom Yorke itu.

  2. arya says:

    iya beda, yang 77 kayak horor tradisional – tokohnya cewek pure yang mengalahkan kejahatan, sama sekali gak ada elemen politik, subplot-subplot perebutan kekuasaan, dan pencarian istri ahahaha

  3. arya says:

    bagus ya kalimatnya, benar-benar empowering buat para ibu sekaligus bisa juga menghantarkan maksud Mother penyihir bisa reinkarnasi ke siapa saja.. yang sakit itu kayaknya Ibu si Suzie, dan kayaknya dia tahu bakal melahirkan reinkarnasi dari Mother Suspiriorum, makanya dia kejam sama Suzie… sedangkan si Suzie sendiri baru ‘terbangkitkan’ setelah dia belajar di akademi – lewat mimpi-mimpi

    salam kenal jugaa, makasih ya udah sering mampir 😀

  4. Chandler says:

    Yo. Chandler’s here. Suspiria 2018 versi 146 dan 152 menit gak ada bedanya kecuali versi 146 itu 23 FPS dan versi 152 itu 24 FPS. Ntar BluRay nya juga yang diambil versi 152 menit. *flies away*

  5. Muji Hidayat says:

    Wow , baru tau kalau yg meranin 3 tokoh itu Tilda Swinton sendiri. Berasa makin amaze sama dia. Sejauh ini nonton2 film dia, present nya selalu magic dan kuat.

  6. Ray says:

    dari pertanyaan Mas Arya diatas, apakah merujuk Mother Suspirium meet the Docter, Jozef? jika benar, maka pendapatku adalah; sebuah tindakan yang benar. Mother Suspirium, berusaha meringakan beban ‘pikiran’ (dengan me-reset memori) docter akan rasa bersalah dan mungkin, akan dapat menimbulkan penyesalan abadi terhadapnya. As we know, Mother menceritakan kejadian sesungguhnya apa yang menimpa istrinya. (Saya beranggapan, Docter tidak siap untuk itu), terlebih, ia seorang ‘psikiater’, seringkali mencoba menjelaskan hal secara logis. tapi, sebuah detail sederhana yang tampak didinding tampak menjelang akhir film, before credit scene, sebuah tulisan A & J bersamaan dengan gambar hati (love), meyimpulkan bahwa keduanya, meski secara harfiah terputus, masih saling memiliki antar satu dan lain. Sebuah Ikatan.

    Makna tarian Volk dalam film; adalah bentuk dari pemujuaan/ritual.

    in the end, Suspiria karya Guadagnino ini, saya akui, sedikit dari film serupa (hasil remake), yang dapat mempresentasikan materi lebih baik dari karya original-nya. And actually, akan banyak ragam interpretasi terkait makna simbolilk yang terkadung didalamnya. ini alasan, kenapa filmnya sangat nikmat untuk selalu ditonton ulang.

    • arya says:

      setuju sekali, tapi aku juga menangkap ada bentuk ironi di sini yaitu dari jalan keluar yang berupa Mother Suspirium memanipulasi pikiran Josef; seperti film ingin menunjukkan selalu ada manipulasi – atau mungkin persuasi – dalam politik; dalam film ini adalah kekuasaan wanita yang mengendalikan pria. Memang tujuannya baik, tapi Kerja sama tetap terasa vague dalam film ini

      berhasil sih, memang, Guadagnino menyuguhkan tontonan yang beda dan punya value lebih sehingga setiap kali ditonton itu rasanya ada sesuatu yang baru yang bisa kita ambil

  7. Ray says:

    Udah gitu, scene opening ini, sebetulnya terasa istimewa, karna secara langsung dengan lyrics karangan Thom Yorke (dari lagu berjudul Suspirium), penonton diberi suguhan ‘clue’ akan terjadi apa kedepannya. Personally, hanya beberapa sutradara dengan visi kreatif, yang dapat menyalurkan dan menyelaraskan ‘visual’ dan ‘lagu’ pada fungsi naratif.

Leave a Reply