MATA BATIN 2 Review

“If you are asking a favor, put the request in a positive light.”

 

 

Membuka mata batin, sehingga jadi punya indera keenam, tentu saja bisa menjadi anugerah ataupun musibah. Sisi baiknya adalah kita bisa melihat hantu. Merasakan keberadaan dunia gaib, membuat kita selalu dekat dan teringat dengan kematian – dengan dunia yang penuh dengan jeritan pertolongan dan dendam, dalam kaitannya dengan menumbuhkan rasa bersyukur. Sisi buruknya yaitu kita bisa melihat hantu. Bukanlah hal yang sehat, sepertinya, melihat makhluk-makhluk gaib di mana-mana. Seorang bisa menjadi kelewat stress, bahkan melupakan kehidupan dunia yang sebenarnya. Eh, ini kita lagi ngomongin dunia gaib apa dunia maya sih?

Anyway, dalam Mata Batin 2 kita melihat kelanjutan dari kisah Alia (Jessica Mila tampak semakin nyaman sebagai tokoh utama semesta horor nan gore) yang kini sama seperti adiknya, Abel, sudah mengembrace kekuatan melihat makhluk gaib yang mereka miliki (baca ulasan Mata Batin pertama di sini). Dalam narasi pembuka kita mendengar Alia mendedikasikan kemampuannya untuk menolong banyak makhluk. Namun, satu hantu yang masih terus mengikuti mereka ternyata membawa dua kakak-beradik ini kepada petaka; Abel meninggal dunia. Menyisakan misteri dan hari yang perih. “Kini saya hanya pantas di panti asuhan, tempat orang -orang yang tak punya”, begitu curhat Alia kepada Windu yang jadi semacam mentornya dalam ilmu permatabatinan. Maka Alia pun pindah dari rumahnya, bekerja sebagai pengasuh anak-anak di Panti Asuhan yang dikelola oleh pasangan suami istri yang diperankan oleh Sophia Latjuba dan Jeremy Thomas. Di sana, dengan cepat Alia bonded dengan satu anak panti yang bernama Nadia (tokoh Nabilah Ratna Ayu Azalia ini practically adalah pengganti sosok adik buat Alia), yang juga memiliki kemampuan Mata Batin. Alia dan Nadia lantas bekerja sama memecahkan misteri suara-suara minta tolong yang merambati dinding-dinding panti, misteri yang ternyata berkaitan, yang pada akhirnya membawa Alia kepada ketenangan atas peristiwa kematian adiknya.

Mandi diintipin oleh hantu adalah sebuah kutukan

 

Melalui usaha-usaha yang dilakukan oleh Alia untuk berkomunikasi dengan hantu, film ini mengekspansi peraturan yang sudah ditetapkan pada film pertamanya. Ini adalah perkembangan yang positif. Film mencoba mengembangkan mitologi, menggali sudut-sudut baru – ia membuka pandangan kita terhadap dunia gaibnya sehingga menjadi semakin luas. Alia di sini mempunyai skill baru, yakni psikometri – kemampuan untuk ‘mengexperience’ sejarah benda yang ia sentuh, yang menandakan Mata Batin yang ia miliki semakin kuat. Maka ada pertumbuhan yang kita rasakan dalam film ini. Secara karakter, Alia mengalami perkembangan dibandingkan dengan dirinya di film pertama. Begitu pula dengan dunia gaibnya, film ini kita akan dibawa menjelajah lebih dalam, lebih sering, seingatku belum ada film horor Indonesia yang membawa kita menyelam ke dalam dunia gaib sekompleks yang dilakukan oleh film ini.

Mata Batin untuk awal-awal misteri lebih banyak bersangkut paut dengan pendengaran daripada penglihatan Ini adalah salah satu cara film untuk menggambarkan perluasan yang mereka lakukan. Penambahan banyak tokoh baru turut memberikan banyak lapisan dalam aspek misteri yang berusaha dibangun oleh film ini. Setting tempat di panti asuhan anak-anak cewek membuka banyak ruang untuk adegan-adegan seram yang segar. Namun sayangnya film seperti bergerak di tempat. Semua pengembangan dan penambahan itu terasa jadi mentah oleh sebab penggunaan formula yang itu-itu saja. Aku tidak mempermasalahkan soal kaca pecah, sebab itu sudah dijadikan semacam signature seorang Ricky Soraya – kita harus respek juga ama usahanya melandaskan hal tersebut dalam setiap filmnya. Masalahnya adalah hampir tidak ada yang original dalam film ini. Masih bercerita dengan begitu-begitu saja; pengungkapannya, penyelesaiannya, bahkan twistnya. Dan ada banyak elemen yang dapat kita temukan dalam film lain. Nadia yang pinter ngesketsa, tampaknya menggambar sosok-sosok hantu itu sambil menonton American Horror Story. Boneka Hello Kitty berwarna pink yang tampak di salah satu ruangan mencerminkan film ini; Sebuah tiruan yang berusaha tampil beda.

Kita merasa sudah hapal dengan cerita yang dijabarkan; literally, dialog dalam film ini kebanyakan adalah eksposisi dalam usahanya mengembangkan peraturan-peraturan. Sehingga pada ujungnya, film tak lagi berhasil menyampaikan kejutan yang ia siapkan. Banyak penggunaan yang berlebihan sehingga menjadi monoton. Misalnya pergerakan kamera yang memutar. Ataupun juga banyak kita jumpai adegan orang berlari demi berusaha menyelamatkan orang yang terkurung ataupun menghilang, dan ketika ketemu orang tersebut lagi duduk meringkuk. Film bahkan kehilangan kekhususannya, sebab kekuatan mata batin tersebut – berkat kehadirat tokoh paranormal yang segala bisa – menjadi seperti diobral begitu saja. Percuma ada aturan ketika semuanya jadi digampangkan, tidak lagi terasa spesial ketika semua tokoh dapat dibukakan mata batinnya. Film seperti terlalu fokus berusaha menyimpan twist dan mengembangkan adegan dan role di dunia gaib, sehingga lupa dengan tokoh dan bagaimana kejadian seharusnya berjalan di dunia nyata.

matabatinception

 

Bangunan logika-dalam cerita sama konsistennya dengan bekas luka cakar pada dada Sophia Latjuba. Kejadian seram yang ditimpakan pada tokoh-tokohnya terasa tidak bergerak dalam aturan di dunia tempat mereka hidup. Aku menemukan sangat tidak masuk akal tidak ada yang menyadari luka tusukan pada mayat Abel. I mean, okelah Alia mungkin hanya melihat apa yang ia percayai – Alia percaya Abel diserang hantu, namun tidak adakah dokter ataupun polisi yang melihat luka di punggung cewek itu? Bagaimana mungkin kematian tidak wajar Abel – dalam ruangan dengan pintu tertutup – tidak diusut. Dan si Alia, oh ini buatku lucu banget. Aku sempat mengira film sengaja menarik perbandingan antara dunia nyata dengan dunia gaib, maksudku, di Penyelesaian kita melihat hantu pembuat onar dalam cerita ini ditangkap oleh ‘polisi dunia gaib’ dan dijebloskan ke dalam lubang neraka – hantu jahatnya mendapat hukuman. Sedangkan Alia, she got away dengan pembunuhan yang ia lakukan. Tidak ada reperkusi dalam tindakannya. Film mengabaikan aspek yang sebenarnya menarik jika digali, gimana Alia yang kesurupan membunuh pelaku yang tidak melawan – gimana kalo Alia sebenarnya tidak kesurupan? Aku hampir girang saat menjelang akhir beberapa adegan seperti mengarah ke sini, tapi ternyata tidak. Alia hidup bahagia seperti sedia kala walaupun dia sudah membunuh seorang pria.

Jika kita ingin minta tolong, mintalah dengan baik-baik. Jangan maksa. Kalo belum ada yang merespon, jangan marah. Apalagi sampai bunuh orang. Hantu dalam film ini merajalela lantaran kebenaran yang ia ungkap tidak mendapat reaksi sesuai yang ia inginkan. Bukan minta tolongnya yang membuat kita jadi kecil, melainkan ketidaksabaran dan kemarahan yang berujung pada dendam.

 

Kita bisa asumsikan semua polisi ataupun dokter di semesta film ini adalah lelaki, karena orang-orang tersebut bego. Sebab, salah satu kekonsistenan formula film Rocky ini adalah semua tokoh prianya either jahat, atau tidak kompeten. Tokoh Jeremy Thomas instantly diperkenalkan sebagai seorang douchebag; kerjaannya ngebengkel mobil dengan kaos berkerah V, bayangkan orang di dunia nyata yang melakukan itu. Semua jagoan di film ini adalah wanita, dan ini bukan karena ada pesan feminis atau semacam itu. Film memang hanya punya perhatian setengah-setengah. Dunia nyata tidak digali sedalam dunia gaib. Tokoh pria tidak mendapat perhatian sebesar tokoh wanita. Substansi film tidak diperhatikan sebanyak mereka mengusahakan gaya atau stylenya.

Namun kelemahan logika dalam film ini memang justru membuatnya jadi kocak. Adegan-adegan seperti Alia menanyakan kepada hantu di mana letak kunci meskipun dia tahu untuk menjawab “ya” atau “tidak” saja si hantu hanya sanggup mengetuk pintu, adegan dalam lima menit pertama yang tujuan satu-satunya adalah untuk fake jumpscare (Abel datang buka pintu mengagetkan kakaknya, untuk kemudian langsung pamit tidur), Alia yang kemana-mana mengantongi kalung senjata alih-alih memakainya saja, dan betapa seringnya para tokoh berpencar dan bergabung lagi sekenanya, memang mampu mengundang tawa kita. Memang, salah satu yang dipertahankan film ini dari film pertamanya adalah undertone elemen kocak yang dihadirkan. Dan sepertinya, film kedua ini mulai mengembrace kekonyolan yang mereka punya, kita akan melihat candaan beneran dalam adegan anak kecil yang menggerutu dikasih yoyo. Sama seperti Alia yang mengembrace kemampuan goibnya.

 

 

 

Bagus film ini berusaha mengembangkan mitologi dan peraturan yang sudah ditetapkan sebelumnya sembari mempertahankan kekhususannya, namun masih perlu banyak perbaikan dalam penulisan. Ataupun, jika memang tidak ingin dikembangkan ke arah yang lebih serius, film perlu untuk sepenuhnya komit ke elemen-elemen lebih konyol yang seringkali hadir dalam logika penceritaan mereka. Memang butuh nyali dan waktu, tapi meskipun film pertamanya bercerita dengan lebih rapi, film yang kedua ini sudah mulai berani mengembrace sisi humor sambil terus memperdalam sisi drama. Aku pribadi berharap jika ada film ketiga, mereka sudah benar-benar banting stir jadi konyol ala cult classic. Karena film kedua ini terasa seperti transisi. Saat menontonnya aku kadang merasa seolah film ini dibuat purely dengan tujuan mengganti satu tokoh dengan bintang lain.
The Palace of Wisdom gives 5 gold stars out of 10 for MATA BATIN 2.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Kalo punya mata batin, kalian mau (baca: berani) gak sih nolongin hantu?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning PIALA MAYA BLOG KRITIK FILM TERPILIH.

 

 

 

 

 

 

Comments

  1. khaliqabdi3 says:

    “Kalo punya mata batin, kalian mau (baca: berani) gak sih nolongin hantu?”

    Pertanyaan yang tepat adalah “Kalian mau dibuka mata batin?”
    Dengan lantang saya bilang….”TIDAAAAK!”

    Nggak kebayang kalo sampai harus nolong hantu! Bisa-bisa hantu yang nolongin saya ke RS gara2 pingsan. Hahahahaha

  2. khaliqabdi3 says:

    Waduuh! Sebenarnya saya ragu dan takut sih ingin menyampaikan ini kepada Bang Arya! Karena topiknya hampir sama dengan film pendek yang ingin saya share, yakni sama-sama mengulang formula yang sudah dipakai sebelumnya, bedanya saya mengulang formula found footage horror, dengan tekhnik camera still, dengan sinopsis yang hampir sama pula! (lengkap dah)
    Tapi demi kebaikan saya juga ke depannya, maka sekali lagi saya harus memberanikan diri (siap dimaki juga) meminta komentar, kritikan dan saran dari Bang Arya untuk film pendek horror amatiran kedua saya berikut ini!

    https://www.vidio.com/watch/1568191-isff2019-hirangrakus-full-movie-sampit

    Untuk kesekian kalinya, saya berterima kasih banyak sebelumnya untuk Bang Arya! 🙂

    • arya says:

      aku sukaaa, ini lebih asik banyak ‘permainan adegannya’.. aku nontonnya sambil nyipitin mata loh ini, takut-takut ada jumpscare ahahaha.. coba sekalian kamu kirim ke sini deh: icanseeghosts.com, lumayan tuh hadiahnya dikontrak MD 5 tahun! 😀

      • khaliqabdi3 says:

        Wah! Serius! Alhamdulillah deh kalo memang begitu. Tadinya aku malah ragu-ragu ingin ngeshare ini. Kalo boleh tahu di bagian yang mana bang Arya sampe nyipitin mata? 😀
        BTW terima kasih loh untuk info “icanseeghosts.com”-nya ! Ini sangat berharga sekali. (malah baru tahu sekarang ada situs indonesiadigital.co.id/)
        Dan sekali lagi saya sangat berterima kasih karena Bang Arya sudah menyempatkan waktu untuk mencicipi film pendek saya! 🙂

        • arya says:

          Yang bagian ada yang ngintip di wc sebelah! itu aku ngeri bakalan nongol ngagetin di depan layar loh ahahaha

          hahaha iya sama-sama, siapa tau nanti kita jadi saingan di sana XD

    • Muji Hidayat says:

      saya pensaran nonton dan jujur bikin merinding walaupun nonton nya siang hari. Minim penampakan nya itu bgus sekali, neror imajinasi kita sampai nanti sosok nya tampil. Sebentar tapi efektif sekali. good job!!

      • khaliqabdi3 says:

        @Muji Hidayat Wah Alhamdulillah kalo memang kamu terhibur! Terima kasih loh sudah menonton, saya sangat menghargainya!
        @Arya. Bang Arya kapan nih ngupload filmnya? Saya kan juga mau nntn karya Bang Arya! Kita sama2 share pengalaman! Sudah berapa persen sekarang filmnya? 🙂

      • khaliqabdi3 says:

        Yang 70% bukan horror?
        Bikin sesimpelnya aja lah Bang, manfaatkan apa yang ada!
        Curcol dikit yah Bang! 🙂 Kalau sy pribadi jujur ngambil format horror found footage karena beberapa alasan :
        1. Saya nggak punya kamera DSLR, alhasil manfaatin apa yang ada (HP doang).
        2. Saya nggak punya teman yang bisa diajak bikin film, alhasil sy ngerjain semuanya serba sendiri! Sampai yang jadi hantu ngintip di WC itu pun juga saya sebenarnya! hahahaha (BTW nama asli sy Pajriyanoor, dan M.Nur Yahya adalah nama teman yang tidak tahu menahu dan sy jadikan korban buat nemanin saya nanti ke Jakarta kalo misalkan menang…hahahahaha (mimpi dulu, bangun belakangan!) Plus dia cukup ngerti soal editing)

        Oh, satu lagi! Saya punya satu script thriller simpel (10 halaman) nih Bang yang nganggur, siapa tahu Bang Arya tertarik memfilmkannya, judulnya “Hypnocyber,” cuman butuh satu aktor dan hanya bersetting di satu ruang (kamar) doang kok!
        Script-nya gratis kok bang, sy ikhlas, yang penting script sy bermanfaat! hahahaha…

        • arya says:

          iya, yang baru 70% thriller ini kan aku buat sederhana banget; kamera cuma diem, gak pake dialog karena gak mampu sewa, dan harus siang karena gak punya lampu wkwkwk.. yang horor nanti pengen anak-anak karena kalo jelek lagi bisa termaafkan karena cuma film anak-anak ahahaha

          wah aku bikin punya cerita sendiri aja gak becus, gimana mau garap punya orang lain xD

  3. Aaron says:

    Filmnya Hitmaker aka Soraya selalu terjebak dengan masalah yang sama: penceritaan yang berputar-putar dan tidak konsisten. Yang penting keren dan dramatis, pikir si pembuatnya. Dari The Doll sampai Sabrina formulanya kurang lebih sama, nontonnya jadi pusing. Heran kenapa ya film horor selalu mementingkan twist padahal belum tentu bisa pas sama plot ceritanya. Sangat perlu bagi Hitmaker untuk mencari penulis baru atau push si penulis untuk menanggalkan template lama.

    • arya says:

      Film mereka rumus premisnya beda sih, bukan “tokoh ingin, tetapi” melainkan “tokoh ingin, ternyata” ahahaha… selama filmnya laku kayaknya gak bakal ganti formula sih si Hitmaker huhuu

Leave a Reply