INSTANT FAMILY Review

“There’s nothing temporary about the love or the lesson.”

 

 

Gampang untuk tidak menyakiti orang lain, atau merasa kasihan melihat kondisi orang lain, karena kita membayangkan jika itu terjadi kepada anggota keluarga sendiri. Kita cukup dengan menjauhkan diri dari masalah orang, enggak ikut campur, hanya membantu jika diminta. Dibutuhkan usaha yang lebih keras, lebih susah, untuk secara nyata menyayangi dan peduli sama orang lain. Menganggap mereka seperti anak sendiri. Tidak sembarang yang bisa, yang rela, mengurus anak orang. Tahukah kalian penelitian menyebutkan seorang ibu akan menganggap pup anak kandungnya enggak sebau dan semenjijikkan pup anak orang lain. Bayangkan ada seorang ibu yang punya cinta begitu besar sehingga mau mengurusi pup yang bukan dari pantat anaknya.

Adopsi jelas bukan perkara sepele. Lewat Instant Family, sutradara Sean Anders membagi cerita dan pengalaman suka-duka yang ia alami ketika dirinya memutuskan mengadopsi anak. Dan Anders cukup bijak untuk mengajak kita tertawa bersamanya karena film ini diceritakan dengan begitu ringan dan lucu. Kita akan melihat langkah-langkah yang harus dilalui oleh pasangan yang berniat menjadi orangtua asuh, dimulai dari konseling, masa percobaan, bagaimana mereka memilih anak (film bilang “udah kayak belanja!”), fakta bahwa tidak banyak yang mau memilih anak remaja karena kita bisa bayangkan lebih merepotkan karena mereka sudah mulai memasuki usia ‘membandel’, dan tentu saja drama yang muncul ketika orangtua asuh sudah bertemu dan membawa anak asuhnya ke rumah. Anders, tak pelak, mengerti semua hal tersebut dan ia paham di mana harus menggali kelucuan. Meskipun lucu, bukan berarti film harus kehilangan hati.

berlawanan dengan judul; sebenarnya tak ada yang instan dalam membangun keluarga

 

Mark Wahlberg dan Rose Bryne memerankan sepasang suami istri yang memutuskan untuk mencoba membesarkan anak, tapi Mark menolak punya anak sendiri lantaran tokohnya, Pete, sudah berumur dan dia enggak mau dia udah tua banget saat anaknya remaja. Jadi dengan berkelakar dia semacam bilang kita curi start saja, adopsi anak yang sudah sekolah. Di balik kekonyolan, naskah berhasil membuat kedua tokoh ini – Pete dan istrinya Ellie – sebagai tokoh yang manusiawi; terkadang kita dapat melihat mereka pada awalnya tidak benar-benar serius pengen punya anak – mereka mengadopsi hanya untuk membuat diri mereka merasa lebih baik di mata sanak dan kerabat. Seperti ketika mereka tadinya cukup kaget tatkala mengetahui Lizzie, remaja hispanic yang menurut mereka ‘cocok’ ternyata punya dua adik dan itu berarti mereka harus menanggung tiga anak. Namun kita tidak pernah kehilangan simpati kepada mereka. Kita mengerti ketika mereka melakukan sesuatu untuk menyenangkan hati anak asuhnya, mereka benar-benar pengen membuat anak-anak tersebut senang. Bahwa mereka berusaha menjadi orangtua yang baik. Wahlberg dan Bryne benar-benar tampak meyakinkan; ketika mereka ragu kita juga ikut ragu, ketika mereka marah kita tahu mereka melakukannya sebagai pilihan yang menurut mereka terbaik.

Aku suka naskah memparalelkan ini dengan pekerjaan profesional yang mereka geluti. Pete dan Ellie mencari nafkah sebagai fixer upper; mereka membeli rumah yang sudah bobrok, memperbaikinya, untuk dijual kembali dengan keuntungan yang besar. Ini pada ujungnya memberikan konflik karena mereka terbiasa ‘membangun’ rumah, mempercantik untuk dihuni oleh orang lain. Betapa mengejutkan bagi mereka ketika menyadari bahwa dalam adopsi anak, tidak sama seperti yang mereka lakukan pada rumah. Karena anak berarti menyangkut ‘rumah tangga’. Ada perasaan yang terlibatkan. Plot pasangan tokoh utama kita ini adalah tentang mereka menyadari betapa desperate-nya mereka sebenarnya untuk jadi ayah dan ibu. Lihat betapa takjub dan nagihnya Pete dan Ellie ketika salah satu anak asuh tersebut memanggil mereka dengan “daddy” dan “mommy”. Film tidak mempermudah keadaan dengan membuat ketiga anak yang mereka asuh masih memiliki ibu kandung. Pertanyaan yang menggantung di plot poin kedua nyatanya berhasil membawa cerita ke dalam warna emosional; Apakah Pete dan Ellie bisa merelakan anak yang sudah mereka urus pulang kembali ke ibu kandung yang sudah keluar dari penjara. Apakah itu adil bagi mereka yang sudah meluangkan banyak. Tentu saja itu juga tergantung pada pilihan ketiga anak, namun jika mereka memilih Pete dan Ellie, apakah itu tidak sama saja dengan Pete dan Ellie merampas mereka dari ibu sah yang tentunya juga berjuang untuk anak-anak tersebut. Moral dilema dan drama yang bikin hati anget ini tak sekalipun terselip keluar dari cerita. It’s still there all along, terbungkus dengan rapi oleh pita-pita komedi. Sehingga film akan membuat kita tertawa dan menyeka mata sekaligus.

Jangan pernah meremehkan seberapa besar kau bisa mencintai seseorang dan bagaimana cinta tersebut mampu mengubah mereka. Kita mungkin hanya sementara di dalam hidup mereka. Mereka mungkin tak seberapa lama di hidup kita. Tapi tidak ada yang namanya numpang lewat dalam urusan cinta. Pun pelajaran dan waktu yang kita luangkan bersamanya akan terus terpatri selamanya.

 

Aku suka gimana film ini tidak menggali hubungan Pete dan Ellie dengan anak-anak asuhnya seperti cerita ‘strangers yang menjadi teman’ kebanyakan. Cerita tidak exactly dimulai dengan benci berubah menjadi cinta. Ketiga anak asuh tersebut enggak langsung melawan, enggak seketika distant dan gak respek. Kita melihat kedua belah pihak sama-sama seperti ‘mengetes air’ di awal-awal mereka satu rumah. Film mengambil waktu untuk mengembangkan reaksi mereka. Pete dan Ellie yang merasa bisa dengan gampang ‘memperbaiki’ anak-anak ini, dan the kids, aku suka film tidak membuat mereka menyusahkan bagi Pete dan Ellie. Film tetap membuat ini sebagai tugas Pete dan Ellie; bahwa mereka perlu memahami bagaimana cara yang tepat menunjukkan cinta kepada anak-anak, seperti keluarga normal.

Tokoh anak-anak juga tak kalah meyakinkannya. Isabela Moner menyuguhkan penampilan yang benar-benar kerasa sebagai Lizzie, tertua dari tiga bersaudara. Film memberikan kesempatan baginya untuk menjangkau banyak rentang emosi, dan Moner mengeksekusinya dengan baik. Remaja yang bermasalah, namun Lizzie tidak jatoh annoying dengan akting yang berlebihan. Tokoh ini bisa kita tarik perbandingan dengan Euis di Keluarga Cemara (2019), karena sama-sama paling dekat sebagai sosok antagonis bagi tokoh utama; Lizzie tampak lebih luwes karena rangenya lebih luas, sedangkan Euis sedikit tertahan. Yang lebih bandel sebenarnya Lizzie namun Euis tampak lebih ‘hard to deal with’, menurutku ini disebabkan oleh perbedaan eksplorasi karakter yang bisa jadi berhubungan dengan kemampuan akting pemainnya. Moner begitu natural, sehingga aku jadi penasaran pengen melihat seperti apa dia memainkan Dora later this year. Lain Lizzie, lain pula dengan dua adiknya; Juan dan Lita. Dua tokoh ini kocak banget sebagai karakter komedi. Yang satu tukang merengek, yang satu bego namun super-sensitif. Film membuat kita tertawa oleh tingkah mereka, meskipun aku kadang merasa jahat juga sih terbahak melihat Juan kesakitan karena ulahnya sendiri.

Boleh gak adopsi Moner jadi adek?

 

Dengan tone komedi dan drama yang ngeblend, kadang bikin kita ‘bingung’ juga seperti yang kita rasakan pada tokoh Juan. Is it okay to laugh at children getting hit? Apa sopan mentertawakan seorang wanita yang belum berhasil menemukan anak asuh? Atau menuduh sepasang suami istri yang wajahnya amat mirip sebagai saudara kandung? Film yang tak malu-malu menyinggung berbagai persoalan ini bergerak dengan cepat sehingga kita tertawa dan baru berpikir kemudian. Menakjubkan gimana satu montase bisa hadir dalam berbagai feeling seperti yang dilakukan oleh film ini. Dan betapa randomnya kemunculan cameo Joan Cusack di menjelang akhir itu seolah duo Octavia Spencer dan Tig Notaro belum cukup untuk menggelitik kita semua. Tapi menurutku memang itu semua bergantung kepada selera humor masing-masing penonton. I could laugh at some of it. Dan nyengir buat sebagian kecil yang lain.

Yang benar-benar kepikiran buatku adalah pilihan resolusinya. Di bagian-bagian awal Pete sempat meracau soal white-savior, gimana yang mereka lakukan bukanlah sekedar pencitraan orang kulit putih yang mau menyelamatkan anak-anak. Buatku penyelesaian film ini justru menguatkan aspek white-savior yang berusaha dihindari oleh Pete tersebut. Alih-alih memperlihatkan interaksi untuk mencapai kesepakatan bersama, kita mendapati jalan keluar yang berasal dari keadaan luar; dari seorang ibu yang masih belum keluar dari jerat narkotika. Film berusaha mengalihkan kita dari ras si ibu dengan membuat ada satu tokoh amerika yang juga terikat masalah yang sama; bahwa narkoba bukan stereotipe ras. Tapi tetap saja aspek ini membuat Pete dan Ellie menjadi tampak keluarga paling ‘sempurna’ di antara keluarga lain yang ditampilkan oleh film. Menurutku cerita seharusnya menggali ‘cacat’ dari dalam dengan lebih dalam lagi dari sekadar masalah pencitraan.

 

 

 

Prestasi terbaik yang dicapai oleh film ini adalah membuat kita sadar bahwa wajar saja jika semua keluarga itu ‘gila’. Justru semakin ‘gia’ maka semakin besar pula cinta di dalamnya. Dan yang namanya cinta tak melulu datang dari rantai DNA. Film ini membawa sudut pandang yang unik, dan mencoba untuk menceritakan sesuatu yang mengharukan dengan tawa. Sukses luar biasa. Makanya walaupun adopsi-adopsian enggak terlalu ngetren di sini, film ini tetap terasa relatable dan mampu menyentuh kita semua.
The Palace of Wisdom gives 7.5 out of 10 gold star for INSTANT FAMILY

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Mengapa orang yang mengangkat anak asuh sering dikatakan sebagai pahlawan? Apakah makna orangtua bagi kalian?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Nofrizal says:

    Mas, saya cari-cari kok gak ada review film The Favourite (2018) ya?
    Memang belum ada atau saya yg kurang jeli carinya? He.he.
    Kalau belum ada, mohon review ya mas, saya pengen tau teori sampeyan. He.he.
    Terima kasih 🙂

Leave a Reply