FOXTROT SIX Review

“Why don’t presidents fight the war?”

 

 

 

Lirik lagu band System of a Down tersebut mungkin bakal terngiang-ngiang di kepala kita saat menyaksikan film laga distopia Indonesia garapan Randy Korompis. Foxtrot Six pada performa terbaiknya memuat komentar politik tentang bagaimana dalam setiap kekacauan, selalu rakyat jelata yang menjadi korban. Film ini bicara tentang kelaparan dalam rentang mulai dari lapar makanan beneran hingga lapar kekuasaan di mana pemimpin terus saja menyuapi rakyat dengan kebohongan alih-alih makanan. Ada satu adegan menjelang akhir yang membuatku tertawa sinis ketika setelah bak-bik-buk dan gencatan senjata di ruang presiden, salah satu pintu ruangan tersebut terbuka dan masuklah sang pemimpin negara dengan biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa beberapa detik sebelumnya. Tak-terluka. Tak-bernoda. Tak tesentuh oleh semua padahal rakyat menderita atas namanya.

Kenapa bukan presiden yang ikut berperang? Bukankah pada cerita-cerita jaman dahulu para raja langsung turun dengan kudanya ke medan tempur? Karena bukan begitu cara kerja dunia sekarang. Presiden tidak ikut berperang karena bukan tugasnya, presiden harusnya adalah orang yang mencegah terjadinya perang sedari awal. Dia yang memastikan keamanan rakyat, kestabilan nasional bisa tercapai melalui perjuangannya di balik meja.

 

Presiden Indonesia tahun 2031 dalam Foxtrot Six toh memang berusaha untuk menstabilkan keadaan. Namun demi keuntungan dirinya sendiri. Dia ingin terlihat sebagai pahlawan sejati di mata rakyat. Aku mengira film akan mengembangkan motivasi tokoh ini lebih lanjut, kupikir tujuan besar si presiden adalah ingin menguasai dunia, sebab di sepuluh-menit awal kita diperlihatkan serangkaian klip-klip yang berfungsi sebagai eksposisi yang menjelaskan keadaan Indonesia saat itu di mata seluruh dunia. Gimana Indonesia jadi pusat pangan, tetapi rakyatnya menderita kelaparan sehingga tindakan kepala negara tak pelak akan jadi sorotan. Tapi ternyata cerita menguncup tatkala kita mulai memasuki wilayah tokoh protagonis; Angga, anggota Dewan yang seorang mantan tentara. Angga tadinya punya rencana untuk ‘menyelamatkan’ dunia. Kemudian rencananya tersebut disabotase, diambil alih. Dan malah Angga yang dituduhkan sebagai teroris, rencana yang ia bikin malah berbalik menyerang dirinya.

sekarang coba pikir cerita manga apa yang seperti itu, aku hitung sampai enam ya.. satu…dua…

 

Aku benar-benar langsung kepikiran manga 20th Century Boys buatan Naoki Urasawa saat menonton film ini. Kejadiannya memang gak mirip seratus persen, tapi bentukan konflik Angga dengan Presiden sangat mirip apa yang terjadi pada Kenji dan sosok pemimpin yang ia ‘lawan’; Sahabat. Rencana kanak-kanak Kenji juga dicuri oleh Sahabat, yang balik menggunakannya untuk menimpakan kesalahan pada Kenji dan kelompok. Mereka dituduh teroris dan Sahabat akan dielu-elukan rakyat dengan membasmi teroris yang ia sebut Faksi Kenji. Persis seperti apa yang terjadi pada Angga. Angga dan teman-teman mantan tentaranya diburu oleh pasukan Presiden, lantaran mereka dituduhkan sebagai teroris yang udah membuat kekacauan nasional. Hanya saja film ini bekerja dalam skala yang lebih simpel. Padahal seperti yang kubilang tadi, cukup aneh presiden hanya ingin berkuasa di negara yang kacau – maksudku, kalo memang udah mirip ya miripin aja semua sekalian. Angga pun, sebagai tokoh utama, mendapat pengembangan yang nanggung. Kita diperlihatkan bagaimana cerita menjadi personal buatnya karena ini menyangkut keluarga dan teman-temannya – seperti Kenji, hanya saja film melewatkan banyak hal penting.

Bibit drama yang mestinya berkembang dari persahabatan Angga dan rekan-rekan seketika menjadi tumpul lantaran pilihan aneh yang dilakukan oleh cerita; menge-skip bagian di mana mereka menjadi sahabat, malah langsung membawa kita ke sekuen Angga berusaha mengajak kembali satu-persatu dari mereka untuk bergabung menumpas rencana jahat negara. Tak pernah kita lihat mereka di momen-momen akrab sehingga apa yang terjadi pada masing-masing mereka sepanjang cerita akan susah untuk kita pedulikan. kasihan sih ada melihat seorang vlogger yang berusaha berbuat benar musti mati ketusuk – selalu sedih melihat orang mati – tapi sedih itu tidak sama dengan kita peduli sama karakternya. Keenam pasukan protagonis ini terlihat canggung, dan itu bukan semata karena pemerannya. Aktor-aktor kayak Oka Antara, Rio Dewanto, Verdi Solaiman, Chicco Jericho, Mike Lewis, Arifin Putra – mereka bukan aktor yang buruk, kita sudah pernah melihat mereka bermain menakjubkan di film-film sebelum ini. Hanya saja kedangkalan tokoh di Foxtrot Six membuat bahkan sekelas mereka saja tampak bingung dan enggak nyaman dalam berakting. Meskipun diberikan sifat yang berbeda, semua tokoh film ini terdengar sama. Sama-sama sarkas. Suka ngomong keras-keras. Suka tampak sok-jago. Sama-sama stoic, lifeless.

Hubungan Angga dengan anaknya – ya seperti Kenji yang punya Kanna untuk dijaga – juga tak pernah berbuah manis dan menghangatkan hati. Film sempat mengambil waktu untuk menghadirkan momen khusus untuk kedua tokoh ini, hanya saja follow-upnya tidak terasa sama sekali. Ada adegan di mana Angga harus memilih menyelamatkan anak atau Julie Estelle yang mestinya bisa banget dibuat hangat dan mengharukan sebagai kerjasama keluarga yang sudah lama terpisah. Tapi film tidak menggali adegan ini; dipersembahkan dengan datar. Angga bahkan tidak berinteraksi dengan anak tersebut sampai ke adegan konyol di dalam elevator.

Telunjuk kita mungkin akan dengan cepat menuding kepada bahasa saat kita membicarakan tentang betapa kikuknya film ini terdengar. Aku sebenarnya tak pernah melarang keputusan-kreatif menyangkut penggunaan bahasa – kalian tahu sendiri bahasa blog ini seperti apa. Yang aku pertanyakan adalah keuntungan apa yang ingin dicari dalam membebankan para aktor untuk berakting seluruhnya dalam bahasa inggris? Pikirkan seperti begini, Crazy Rich Asians (2018) sedapat mungkin menyisipkan kata bahasa Melayu dalam dialognya supaya daya tariknya tersebut langsung menonjol dan dapat dikenali oleh orang luar. Bahkan Buffalo Boys (2018) dengan sengaja menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dialog yang tadinya ditulis dengan mindset orang luar. Menggunakan bahasa inggris seluruhnya pada cerita yang bertempat di Indonesia, dengan semua aktor adalah orang Indonesia, pada film yang ditayangkan di Indonesia – apa yang mau mereka ‘jual’ dari hal tersebut? Menurutku pilihan ini tidak akan membantu banyak film ini dikenali di luar negeri. Karena tidak lagi dirinya tampak dan terdengar unik. Kalolah memang supaya terdengar akrab buat penonton luar, jangan paksakan kepada para aktor. Maksudku, anime saja dibuat dahulu versi bahasa aslinya. Kemudian saat dijual di negeri barat, dibuat dubbing resmi oleh pengisi suara yang bahasa ibunya adalah bahasa inggris. Kenapa Foxtrot Six tidak dibuat seperti demikian – kenapa tidak dibuat bener-bener supaya orang luar tertarik membuat versi dub oleh sebab melihat nuansa Indonesia yang ditampilkan. Kenapa bergerak mendahului mimpi, belum ada yang minta bahasa inggris tapi sudah dibuat untuk orang luar duluan.

mari kita berkontemplasi sambil bertelanjang dada ngeliatin papan iklan sponsor

 

Tren sinema Indonesia kepada dunia luar memang sepertinya tersemat kepada genre horor dan laga. Namun begitu, bahkan laga di film ini pun tidak memiliki jurus yang ampuh sehingga terlihat spesial. Generik banget koreografi maupun kerja kameranya. Menjadi penuh kekerasan dengan darah dan tulang belulang yang patah belum cukup untuk menyebut film ini sebuah laga yang bagus. Karena dengan duit dan CGI yang memadai, semua itu bisa tercapai. Yang terpenting tetap adalah bagaimana dunia dan ceritanya terbangun. Foxtrot Six punya teknologi yang cukup untuk menghadirkan jubah tembus-pandang ala thermoptic suit dalam Ghost in the Shell (2017) tapi tetap saja mereka ‘berhasi’ bikin adegan berlogika konyol yang bikin guling-guling sehubungan dengan jubah tersebut. Ada adegan ketika si tak-kelihatan berhadapan dengan sejumlah orang bersenjata api, dan yang ia lakukan malah ‘mengumumkan’ di mana posisi dirinya dengan mengambil tubuh satu orang dan menggerakkannya seperti perisai untuk melindungi diri dari peluru. Kenapa? Tidakkah lebih gampang kalo dia tetap tak kelihatan dan mengendap membunuh ala ninja? Lagian, kenapa orang-orang itu begitu begonya non-stop menembak padahal yang kelihatan adalah teman mereka sendiri?

 

 

 

“Quick. Simple. Graphic.” Benar-benar cocok mendeskripsikan dirinya. Dan tampaknya kitalah orang miskin yang disebut oleh film ini, yang mengira kita akan mudah terpuaskan oleh tiga hal tersebut, oleh dirinya. Kalo aku sih lapar terhadap film yang lebih berdaging. Dengan semua dialog dibawakan dalam bahasa asing dan adegan yang penuh CGI, akan jarang sekali kita menemukan hal yang tampak asli dalam film ini. Ambisi untuk menjadi spesial tersebut tak berbuah karena pada akhirnya film ini tampak seperti laga kelas-B Hollywood dengan aktor-aktor dari Indonesia. Dunia distopianya tampak seperti dunia The Purge, ceritanya kayak versi ringkasan simpel dari 20th Century Boys, dengan ending pengen dramatis seperti Glass (2019), tidak ada lagi yang spesial dipunya oleh film ini.
The Palace of Wisdom gives 2 out of 10 gold star for FOXTROT SIX.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian apakah salah jika presiden lebih memilih untuk berbohong demi menenangkan suasana di mata rakyat? Apakah pemimpin negara seharusnya langsung turun tangan memimpin perang alih-alih berdiplomasi untuk menghentikan perang?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Comments

  1. Febrian says:

    Setuju, Bang, aneh banget pake bahasa Inggris segala. Mbok ya kalo mau gitu sekalian aja pake negara fiksi, ga usah Indonesia. Ah, tapi ntar sponsor di papan reklame ga bisa nampang ya kalo di negara fiksi. Hahaha…
    Ngomong2, ini komen pertama di sini nih, Bang. Pembaca setia yg silent reader aja selama ini. Sukses terus blog reviewnya, Bang..

    • arya says:

      ugh kalo gitu berarti kepentingan sponsornya gede banget ya ahahaha… suka anehaneh sih film indonesia, giliran film remaja aktor setengah bule dikasih peran orang desa, aktor indonesia disuruh bahasa inggris xD

      sukses juga yaa, terima kasih sudah berkomen setelah setia jadi silent reader

      • Febrian says:

        Jadiide sama Gocek. Atau ada lagi? Hahaha..
        Eh, Bang, saya kurang merhatiin, adegan Oka sama Julie di awal ke Oka di apartemen tuh beda waktunya berapa tahun kemudian sih? Agak aneh juga sih, soalnya pas sama Julie jalanan dan kendaraannya Jakarta hari ini banget, terus pas di apartemen udah canggih banget tampilan Goceknya. Hahaha…

        • arya says:

          ada satu lagi kayaknya, tapi gayakin ahaha

          iya, penunjuk waktuya yang di jalan itu ‘present day’ berarti masa kinilah, 2019an.. berarti jaraknya 12 tahun, sesuai ama umur si anak itu… ojek onlennya berjaya sampai 12tahun ke depan, aminin jangan? xD

  2. Albert Yaputra says:

    Spoiler.

    Logikanya sering aneh sih di kepala saya. Rasanya orang banyak akan lebih pilih anak daripada istri eh pacar. Ditambah dengan gagalnya usaha dia membuat tambah lucu hasilnya. Lalu waktu mau tolong anaknya dalam lift. Kalau saya sih akan tolong anaknya duluan ya baru orang2 lainnya. Dan saya sih ga mau masuk ke dalam lift, jaga2 kalau liftnya jatuh lagi. Memang sih saya tahu tujuannya biar kematian istri eh pacarnya dan dia jatuh bareng anaknya jadi dramatis, tapi lucu sih logikanya.

    • arya says:

      makanya entah kenapa mereka berdua bisa berakhir di dalam lift ahahaha, mataku ampe berair ketawain yang bagian itu.. mau nolongin malah dia ikutan masuk… trus pas meluncur pelukan, pas lift berhenti pelukannya kayak terpental gitu, mantap ilmu fisika masa depannya 😀

      • Albert says:

        Hahaha. Berharap banyak sih sebetulnya film ini, Sayang malah banyak kelemahan sih logikanya. Kemarin pesan pakai m-tix ada warningnya untuk usia 21 dan ga bisa dipulangin uangnya kalau ternyata u-21. Eh depan saya ternyata malah ada 2 anak kecil hahaha.

  3. arya says:

    hahaha wah aku nonton lagi deh buat ngetawain adegan pesawat itu… kaleek XD

    ceritanya tuh kalo beneran dieksplor bisa bagus, heran juga sih ya durasi nyaris 2 jam itu habis kemana, wong ceritanya gak berasa hahaha

  4. rara says:

    Ntah kenapa dari nonton trailer sama wawancara para pemain aku udah ngerasa nggak yakin ama ni film,,ternyata bener,filmnya cuma modal bak bik buk doang,persis seperti yang aku bayangin.

    • arya says:

      nyaris dua-jam itu memang habis di bak-bik-buk doang, coba kalo mau sedikit lebih mengembangkan cerita… kadang suka aneh sih sama film yang lebih suka bermahal-mahal di efek, padahal bikin cerita yang bagus itu gak perlu semahal itu

      • Rara says:

        Bener banget,bikin film dengan cerita bagus nggak harus mahal,aku liat beberapa film iran bisa masuk nominasi ajang2 bergengsi,padahal filmnya sederhana aja dari segi tampilan,mereka bahkan pake bahasa iran.

        • arya says:

          iya kan. perfilman Iran yang mestinya dicontoh oleh film indonesia; gimana menghasilkan cerita tanpa tampilan yang muluk-muluk.. udah dikenal luar kan sekarang film-film Iran punya kekhasan tersendiri

  5. Viloh says:

    Sisi positif dari film ini adalah peningkatan kualitas CGI di perfilman Indonesia. Untuk membuat alur cerita film yang bagus patokannya bukanlah hollywood tapi untuk membuat CGI yang bagus patokannya tentunya hollywood, di sini film ini berusaha mengejar itu meski belum sempurna. Kalau kita mengenal banyak film scifi thriller drama serupa maka point cerita yg disuguhkan di foxtrot six terkesan seperti kurang orisinil, banyak celah yang nanggung. Bahkan saya kira industri film Hollywood juga mengalami keresahan ketika menggarap judul film bergenre scifi dengan alur cerita tanpa ‘lubang’. Meskipun distopia yg ditampilkan belumlah teramat tajam namun untung2nya foxtrot six menawarkan warna berbeda sekaligus pendobrak untuk perfilman Indonesia. Apresiasinya iala para kreator efek visual dalam negeri diberi wadah dan kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya melalui media film ini. Yah, harapan kedepannya nanti di Indonesia muncul lagi film2 bergenre baru dengan alur cerita kuat tanpa berkiblat pada apapun yg mengangkat isu2 sosial budaya lokal secara kompleks.

    • arya says:

      setuju sekali, film-film kayak Foxtrot Six ini perlu diapresiasi lebih, banyak2 ditonton, banyak2 diulas karena dia bisa jadi sebuah langkah pembuka, supaya sineas2 tanah air lain tertantang dan belajar dari film ini. Bagaimana menggunakan CGI, bekerja mencampurkan gaya luar dengan khasanah lokal. Jarang banget kan ada yang berani mengangkat distopia Indonesia, terakhir sebelum ini kalo gak salah ada 3 Alif Lam Mim. Dua film ini bisa jadi pioneer kemunculan genre-genre fresh di kancah film lokal

  6. Miaw says:

    Coba tolong Bang itu para sineas Indonesia (termasuk Jokan) kita workshop “Kualitas Penggarapan dan Penyelesaian Sebuah Film Berbobot”. Mereka basicnya punya skill dan ide cerita yang OK punya, duit apalagi, melihat sponsornya berseliweran di film. Tapi nanti pada saat finishingnya pasti adaaa aja yang bikin kita pengen komen: “Mbok harusnya kan kalo begini twistnya lebih greget daripada begitu”.

    Atau ini karena kitanya yang dah kebanyakan/keseringan nonton film nonton twist ending? Jadi pas nemu cacat dikit aja langsung bersilat komen 😀

    • arya says:

      hahaha pada dasarnya ilmu-ilmu, bahkan idealisme pembuat pun, nantinya bakal ‘kebeli’ juga sama ph.. soalnya bagi pembuat film pilihannya antara film mereka jadi terwujud atau enggak… yang kutahu ya cukup banyak yang pasrah ceritanya direwrite dan mereka bahkan gak bisa ngomongin lagi karena harus profesional

        • arya says:

          hahaha indonesia udah ciut duluan, mau bikin film langsung mikir laku atau enggak, karena di sini saingannya bukan cuma sesama film indonesia tapi juga film hollywood – jadi mereka nyari jumlah penonton nomor satu, ngalahin idealisme

  7. Oki says:

    Halo
    Kalo menurut saya, film Foxtrot Six adalah film yang gagal. Cerita yang kurang bagus, penggunaan bahasa Inggris yang dipaksakan & beberapa adegan2 yang tidak masuk akal kalo ga mau dibilang bodoh. Contoh adegan bodoh yaitu saat Julie Estelle diikat di kursi roda otomatis, kontrol panelnya dirusak setelah kursi dinyalakan untuk berjalan mundur.
    Baik Angga atau pun Jullie, sama2 bodoh. Kebodohan Jullie adalah dia malah sibuk berusaha melepas ikatan tali di tangan & kakinya, padahal dia bisa saja merubuhkan kursi roda ke arah kanan / kiri badannya, dan kursi roda pun akan berhenti karena rodanya sudah tidak menyentuh lantai. Kebodohan Angga, sama seperti kebodohan Jullie, padahal Angga punya 3 cara untuk membuat kursi roda berhenti, cara 1 robohkan kursi ke arah kanan / kiri badan Jullie, cara 2 rodanya diganjal dengan sesuatu agar tidak bisa berputar lagi, cara 3 arah kursi rodanya dibelokkan menjauhi tepian lantai agar tidak jatuh.

Leave a Reply