THE FAVOURITE Review

“Without honesty, love is unhappy”

 

 

Dalam The Favourite kita akan melihat Emma Stone dan Rachel Weisz memperebutkan hati Olivia Colman. Siapa di antara Lady Sarah dan rakyat jelata Abigail yang akhirnya menjadi orang kepercayaan, dan kekasih-rahasia sang Ratu Inggris. Kita bisa bilang ini kisah cinta-segitiga yang benar-benar ganjil. Agaknya, lewat komedi dengan sudut pandang unik, pemandangan sejarah – sebuah period piece – yang bahkan gak benar-benar peduli sama keakuratan, dan dengan cueknya menggeser posisi laki-laki menjadi sebatas hiasan ruangan dengan wig dan dandanan heboh, sutradara Yorgos Lanthimos berusaha menyentil dinamika dunia politik kontemporer di sekitar kita, hingga ke lapisan yang paling kecil. I mean, betapa sering kita nemuin kasus – atau bahkan mungkin mengalami sendiri – seorang yang posisinya terancam oleh kedatangan seorang baru yang lebih charming dan pintar menarik hati? Berapa sering kita terlena antara dusta dan cinta?

Permulaan film ini seolah mengeset cerita biasa tentang keberhasilan orang-susye memanjat tangga sosial dan menuai hasil keringat, darah, dan air matanya. Abigail yang diperankan Emma Stone memang dengan gampang sekali menarik simpati kita. Dia orang yang baik hati, yang bersedia kerja apa saja. Abigail sudah cukup makan garam perihal perlakuan dunia terhadap orang-orang miskin seperti dirinya, walaupun dirinya masih ada hubungan keluarga dengan tokohnya Rachel Weisz, Lady Sarah yang gede di lingkungan istana. The Favourite benar-benar menunjukkan beda kelas sosial tersebut dengan ekstrim – tetap, dalam undertone yang kocak. Selama ini kita mungkin hanya menerka apa sih yang dikerjakan orang-orang kaya di jaman dahulu. Setelah nonton film ini, imajinasi kita terhadap mereka akan semakin liar. Balapan bebek alih-alih kerja rodi di dapur?

well, tentu saja Abigail lebih memilih berjuang untuk mengukuhkan posisi ketimbang menjadi sasaran berikutnya dari lemparan jeruk.

 

 

Kerja menakjubkan film ini adalah gimana backstory dan motivasi setiap tokoh berhasil tersampaikan kepada kita, secara tersurat maupun tersurat. Kita hampir mengasihani Abigail lantaran dia diberikan masa lalu traumatis, namun itu semua ‘hanya’ alasan supaya kita paham roda gigi macam apa yang bergerak di dalam kepalanya. Kita jadi mengerti tidak ada yang lebih diinginkan Abigail selain kenyamanan istana, tidak lagi berada di kelas bawah. Dan semakin kamera membawa kita mendekatinya, ini bukanlah cerita keberhasilan. Inilah yang aku suka dari The Favourite, ceritanya berani menunjukkan kegagalan. Boleh saja begitu dia pertama kali menginjakkan kaki ke istana, masuk ke lingkungan Ratu Anne, Abigail memang wanita baik-baik, akan tetapi lambat laun bahkan dirinya sendiri seperti enggak percaya pada hal-hal yang ia lakukan demi mengukuhkan diri di atas sana. Abigail seperti meyakinkan dirinya sendiri ketika berulang kali dia menyebut dirinya punya hati yang baik. Di balik dinding istana, betapapun dekat jarak yang ia ciptakan antara sang Ratu dengan dirinya, Abigail tidak pernah merasa secure. Tokoh Abigail adalah peringatan kepada kita semua bahwa dalam lingkup sosial yang tidak seimbang antara kaya dan miskin menciptakan kompetisi yang bar-bar. Miskin gak mau semakin miskin, dan yang kaya tentu saja tidak mau jatuh miskin.

Dan tidaklah gampang untuk keluar dari lingkungan sosial seperti demikian. Film menggambarkan kekangan yang dirasakan oleh kaum aristokrat itu lewat wide shot yang dapat kita temukan di sepanjang durasi. Menggunakan lensa fish-eye, film menyuguhkan  jangkauan luar biasa lebar. Kita akan melihat tokoh-tokohnya sendirian di ruangan yang besar, persis kayak lukisan-lukisan jaman dulu, dan sekaligus kita merasakan kesendirian – bahkan ketika mereka berada di court room dengan banyak orang, dan kungkungan yang menyangkut dalam perasaan mereka. Sekalipun mereka berjalan, wide shot tersebut beralih fungsi untuk menunjukkan jauhnya perjalanan yang mereka lakukan untuk sampai di sana. Sekali lagi, sama seperti Abigail, film mengeset pemahaman kita bahwa semua orang di dalam sana tidak mau kembali ke muasal mereka di jalanan. Berbeda dengan wide-shot yang dilakukan oleh Roma (2018), saingan film ini di Oscar, kamera The Favourite enggak ragu untuk bergerak aktif. Kita bakal sering dibawa berayun oleh kamera, yang kemudian melesak maju bersama karakter, untuk menimbulkan kesan para tokoh ini berjuang keras bergerak di dalam sana. Film juga memilih untuk menggunakan cahaya-cahaya yang natural. Yang terbukti efektif sekali saat shot di malam hari, sebab cahaya lilin itu benar-benar menangkap kecemasan Abigail yang tak tenang seberapapun tinggi statusnya, dia masih khawatir akan ‘ketahuan’ sebagai orang yang seharusnya tidak berada di sana.

Apa yang tadinya dimulai dari cerita underdog yang sederhana – I mean, siapasih yang enggak bakal terpikat sama Abigail yang feminim dan sopan dibandingkan Lady Sarah yang tegas dan kaku – berubah menjadi sesuatu yang lebih dalem lagi. Film dengan berani menunjukkan perubahan Abigail, dia semakin nekat melakukan berbagai cara. Sensasi nonton yang luar biasa saat kita menyadari bahwa Abigail yang hanya memikirkan diri sendiri tidak lebih baik dari orang yang berusaha keras untuk ia gantikan. Lady Sarah yang melarang ratu makan coklat, yang meledek dandanan sang ratu kayak luak, yang ogah membelai kelinci-kelinci peliharaan Ratu, yang terang-terangan mengaku cintanya pada ratu ada batasnya namun tidak demikian buat negara, adalah orang yang lebih baik karena dirinya berada di sana bukan untuk kepentingan pribadi. Sarah punya tujuan yang jauh lebih mulia daripada memuaskan kenyamanan dirinya sendiri. Tidak seperti Abigail, Sarah tidak sekalipun menganggap Ratu Anne sebagai hadiah yang harus dimenangkan. Adegan Abigail menari bersama Ratu, at one point kita mendengar suara letupan senjata, dan Ratu terjatuh – sambil tertawa – melambangkan siapa sebenarnya yang ‘pembunuh’ alias oportunis. Dan tentu saja bukan tidak ada maksudnya ketika film memperlihatkan Abigail lebih ahli menembak ketimbang Sarah. Sarah tidak pernah berpura-pura, dia mempersembahkan dirinya apa adanya. Dia tidak peduli orang menganggapnya kejam dan berhati dingin. Malahan faktanya, dibanding Abigail yang sepanjang waktu membuat ‘rencana’ dan bergerak sembunyi-sembunyi, hanya satu kali diperlihatkan Sarah berusaha bikin surat buat ngeblackmail Ratu, namun pada adegan berikutnya kita melihat surat tersebut dia bakar. Karena seperti yang diperjelas oleh dialog Sarah dengan Abigail; dia tidak memainkan permainan yang sama dengan Abigail.

Dan Sarah-lah yang mengungkapkan kalimat terpenting yang menjadi pesan dalam film ini. Bahwa kejujuran adalah cinta. Mencintai dan tetap bersikap jujur ternyata adalah hal yang luar biasa sukar dibandingkan berbohong demi menyenangkan orang.

 

Tentu saja sikap Sarah tersebut dipandang sebagai ketidaksetiaan oleh Ratu. Yang membawa kita ke tokoh terakhir dalam cerita segitiga ini. Olivia Colman dinobatkan sebagai pemenang Aktris Terbaik dalam Peran Utama Oscar 2019, mungkin membuat kita bertanya-tanya kenapa tokoh yang diperebutkan ini yang disebut sebagai peran utama. Buatku, tokoh utama cerita ini memang Abigail. Namun aku mengerti kenapa Anne juga bisa dipandang sebagai tokoh utama. Walaupun tokohnya annoying dan konyol sebagai penguasa (mengingatkanku pada persona Vickie Guerrero di WWE), keputusan Ratu Anne-lah yang menjadi penentu cerita. Dan jika kita tilik karakternya, dialah yang paling manusiawi di antara semua. Anne yang paling menderita. Dia bahkan enggak tahan mendengar musik karena membuka luka emosional yang selama ini menderanya. Ratu kita ini telah kehilangan tujuh-belas anaknya. Implikasinya adalah dia tidak bisa punya anak. Film dengan hebat menetapkan bahwa sosok ini sangat mendamba cinta, dia ingin ada yang menunjukkan cinta kepadanya. Kelinci-kelinci yang ia pelihara; merupakan wujud pengganti anak baginya. Menjadi ratu, penguasa, adalah siksaan ekstra bagi pribadi semacam ini karena dia tidak pernah tahu pasti siapa yang tulus mencintai dirinya dan siapa yang hanya ingin mengeruk keuntungan darinya. Lebih mudah baginya untuk mempercayai dan menerima Abigail yang terus memuja-muja dirinya – menjilat kalo boleh dibilang – ketimbang Sarah yang menyuruh-nyuruh dirinya.

Sang Ratu ultimately dihadapkan pada pilihan antara orang yang bersikap manis dengannya dan orang yang ketus. Abigail memanfaatkan kelemahan Anne, sedangkan Sarah berusaha mengeluarkan Anne dari kelemahan tersebut. Dan pada akhirnya memang Abigail yang menang. Namun film menembak kita dengan pertanyaan, apa yang ia menangkan? Apa yang ia dapatkan sebagai anak emas si Ratu kalo kenyataannya hati Abigail semakin tidak tenang. Abigail malahan hanya jadi sasaran kegelisahan sang ratu yang dibuat oleh film ini menyadari bahwa dirinya baru saja mencampakkan satu-satunya orang yang beneran peduli kepada dirinya, yang menganggap dirinya manusia alih-alih tukang ngasih makan.

apa bedanya Abigail sama kelinci-kelinci itu?

 

Menjadi yang teratas tidak serta merta membuat kita bahagia. Malahan ratu dalam cerita ini justru adalah yang paling nelangsa di antara semua. Di balik nada komedi yang membuat kita tertarik mengikuti ceritanya, film ini menunjukkan bahayanya dinamika kuasa yang bisa terjadi antara si kaya/si kuat dengan si miskin/si lemah dalam sistem kekuasaan tertutup seperti begini. Sebab yang atas akan melampiaskan ke yang bawah, dan begitu seterusnya melingkupi semua lapisan.

 

 

Berusaha menyentil masalah kontemporer lewat gambaran sejarah yang dengan nekatnya melanggar banyak aturan sebuah film period piece. Film ini menilik dinamika antara kelas, cinta, dan politik – membalutnya dalam busana komedi, sehingga menjadi tontonan yang enggak malu-maluin dan enggak malu menunjukkan apa yang bisa terjadi – dan mungkin sedang terjadi di sekitar kita. Semua penampilan di sini luar biasa, kita sudah melihat pencapaian film ini pada musim award yang lalu. Film ini memberanikan kita untuk mempertimbangkan pilihan, untuk tidak memilih yang termudah, dan mengingatkan kadang memang selalu ada udang di balik batu.
The Palace of Wisdom gives 8.5 out of 10 gold star for THE FAVOURITE.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apakah menurut kalian menjadi raja/ratu itu asik? Apakah cinta itu ada batasnya? Pernahkah kalian merasa lebih aman dan sejahtera bagi diri kalian untuk berbohong ketimbang mengatakan yang sebenarnya?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

Comments

  1. soearadiri says:

    Thank you so much buat reviewnya.

    Asli, sehabis selesai nonton saya bener2 nggak ngerti poin dari film ini selain rebutan perhatiannya ratu. Saya bahkan sempet nggak habis pikir kenapa Olivia Coleman dapet nominasi, dan of course saya lebih heran lagi dengan kemenangannya. Tapi setelah baca review-mu saya cuma bisa mangut2 aja. I’ll rewatch it.

    P.S Oh ya, menurut bang Arya do’i pantes menang nggak sih. My heart still with Glenn Close, anyway…

    • arya says:

      Sama-samaa.. tadinya nungguin film ini buat Readers’ NeatPick, tapi ternyata enggak ada yang ngusulin – dan bioskop lagi kering banget dan aku gabisa biarin blig gak ada isi seminggu, maka terpaksalah reviewnya ditulis juga xD

      Aku belum nonton The Wife sih, jadi gatau juga apa Close lebih pantas menang atau enggak. Tapi memang buatku Colman jadi pemeran utama ini sedikit mengejutkan. Buatku tetep lebih baik memandang Abigail sebagai tokoh utama, aku ngasih 8.5 karena pas nonton buatku tokoh utamanya Abigail. Bahkan ketika aku nonton ulang dengan mindset Anne sebagai tokoh utama, aku merasa film cocoknya dapet 7.5 ahahaha.. tapi ya kita bisa pahamlah bagaimana Anne memegang peran penting di cerita, dan Colman sendiri sukses juga mainin tokoh yang emosinya bentrok kayak gini – dia berhasil hidupkan tokohnya sebagai perfect combination antara komedi dan tragedi

      • soearadiri says:

        sama, kirain Emma Stone sama Rachel Weisz itu duet leading role di film ini, tapi tau2 malah Coleman.

        tapi menurutku Rachel Weisz lebih pantes dapet reward di film DISOBEDIANCE ketimbang di film ini

    • arya says:

      Roma sengaja kutahan buat direview barengan pembaca yang ngusulin di segmen Readers’ NeatPick karena terlalu sayang kalo film kayak gini dibahas sendirian, pasti setiap orang punya interpretasi masing-masing, aku mau ngasih kesempatan buat yang berani ngusulin dan ngebahas interpretasinya barengan punyaku hehehe

      • Ray says:

        karna perbedaan kita hanya di format angka Mas haha, aku engga pake penilaian setengah (0,5) melainkan seperempat (0,25), jadi Roma aku kasih sekitar 8,75 sampai 9,0 out 10. in short, in my opinion, Roma adalah mahakarya kontemporer sinema.

        • arya says:

          But one can say, Roma isn’t really a cinema, karena (dibuat untuk) tayang di Netflix. Ada debat di kalangan pelaku film dan bisnisnya di luar sana soal ini. Menurut kamu gimana, ada bedanya gak sih film bioskop sama film platform streamingan? Bagaimana pengaruhnya terhadap perkembangan sinema itu sendiri ke depannya?

      • Ray says:

        first of all; ini sedikit mengingatkanku pada sebuah era dalam sinema, transisi format bisu ke suara yang disambut baik meski bukan tanpa kontroversi/perselisihan pahaman; penonton harus beradaptasi lagi, belum lagi beberapa penonton telah nyaman, yang berharap lebih baik tetap seperti itu (tidak berubah, tetap menggunakan cara lama). Dalam hal ini, contoh itu yang cukup mendekati. dengan perkembangan era, teknologi sulit dibendung dan mau tak mau berdampak pada proses ‘penayangan’ film, karenanya tak selalu dan tak harus film harus kita tonton langsung di bioskop, bisa melalui platform streaming – meski aku mengakui tanpa ragu, bioskop adalah tempat ‘terbaik’ untuk menonton. Perbedaannya cukup signifikan, bioskop adalah sebuah wadah yang sudah seharusnya, sedangkan untuk platform streaming, meski lebih dinamis dan fleksibel, mungkin, tak akan pernah menyamai kenyamanan bioskop. Pengaruh yang aku lihat untuk platform streaming pada sinema kedepan; ia akan berkontribusi pada penayangan non-komersil sinema (konsumsi Festival), film-film minoritas yang sepertinya tidak mempunyai harapan atau hanya sedikit kemungkinan untuk dapat tayang di bioskop, karenanya platform streaming adalah pilihan. Bisa juga pengaruh untuk mengangkat kembali, atau mengambil conton Netflix, memperkenalkan sinema klasik yang tak terselesaikan saat itu; The Other Side of the Wind garapan sutradara legendaris Orsen Welles. in the end, selalu saja ada pengaruh dalam setiap perubahan (entah itu positif atau negatif), tak terkecuali sekarang, platform streaming. Meski aku berharap dia lebih selektif dalam memilih film yang mana dengan seharusnya dapat tayang di streaming, yang mana tidak.

        • arya says:

          hmm.. jadi mungkin sudah seharusnya paltform streamin naik menjadi ‘penantang’ sebagai penanda era baru juga ya. Dan mungkin memang sebaiknya bioskop berbenah, menentukan ulang sikap mereka supaya film2 bagus gak ‘dicolong’ lantaran bioskopnya sendiri lebih favor ke film-film mainstream

      • Ray says:

        iya, tepat sekali, Mas. tapi, seperti yang aku tulis, Bioskop tetap yang paling ‘pas’. Kalimat terakhir itu, aku engga mengharuskan, kok. ‘to good to be true’ jika sampai terjadi, haha. Karna kita seperti sudah tinggal di sebuah era, yang tidak sama lagi seperti dulu, banyak hal telah berubah dan itu mempengaruhi tontonan. in the end (again), aku mengakui beruntung telah menonton Roma, apalagi jika dapat merasakan sensasi-nya di bioskop.

        • arya says:

          setuju, tidak ada yang mengalahkan sensasi nonton di bioskop, meski kadang aku kalo udah nonton streaming, rada males juga nonton lagi filmnya ke bioskop haha. Dan menurutku kalo untuk award ya memang sebaiknya dibedakan, mana film bioskop, mana film yang dibuat untuk non-bioskop

    • UNKNOWN says:

      Emang cara nge-review film bareng kaya gimana?apa saya harus bikin review dulu di kolom komentar blog ini atau gimana..

      • arya says:

        caranya nanti aku emailin beberapa pertanyaan seputar filmnya untuk kamu jawab, bahasanya bebas ketik aja sesukamu kalo ada yang amburadul banget nanti aku edit dengan tidak mengubah poin review yang kamu tulisin.. gimana?

  2. UNKNOWN says:

    Boleh juga tuh..tpi nnti masih pikir-pikir dulu film apa yang ingin aku review soalnya aku belum nonton film leave no trace nya

      • UNKNOWN says:

        Makasih juga min udah mau nge respon komen-komen ku hehehe…jadi makin sukaa ama blog ini karena adminnya baik dan tidak sombong wkwk

        • arya says:

          Kalo sombong nanti giginya ompong ahahaha..
          Sudah aku email yaa, jawabnya nyante aja gak usah buru-buru, biar poin pendapatmu bulat dan keluar semua, kalo mau nonton dulu lagi juga gak papa – gak ada deadline kok hehe

  3. Dimon says:

    menurutku endingnya rada underwhelming, build upnya ngegas pol tapi pas sampe ujung kayak kehabisan bensin i mean final shot nya keren banget cuma entahlah tiba2 abis gitu.

    • arya says:

      endingnya kontemplasi bgt sih soalnya, nunjukin penyesalan Anne dan juga rasa menang yang kosong karena Abigail gak benar-benar ‘menang’, jadi kalo kesannya ‘hampa’ berarti filmnya berhasil bgt

  4. Hanna Habibah says:

    Walaupun udah telat 2 tahun karena baru nonton film ini sebagai pengisi kegabutan pas pandemi, aku mau ikut komen hehe.
    Terlepas dari karakter Abbigail yang seperti itu, tapi Abbigail juga berhasil ngeluarin sisi “pemimpin” Ratu Anne. Selama dengan Sarah, si Ratu lebih banyak nurut-nurut aja, sementara dengan Abbigail, ia bisa bikin keputusan dan berani tampil lagi di semacam konferensi.
    Negatifnya Sarah selain ketus, dia juga agak terbuai sama kekuasaan. Dia menikmati kekuasaan politik karena dekat dengan Ratu. Dan ingat, suami Sarah juga di parlemen. Notice kan selama ini Sarah terlalu pegang kendali sama kekuasaan Ratu Anne? Bahkan dia ngotot dan bikin Ratu meragukan keputusannya sendiri. Menurutku poin lain sebagai sindiran itu bagaimana orang terdekat pemimpin bisa mempengaruhi keputusan dan sikap pemimpin tsb.
    Jadi kedua karakter itu gak ada yang benar-benar baik ke Ratu Anne. Abbigail ingin harta dan kebangsawanannya kembali, sementara Sarah ingin kekuasaan, terutama di bidang politik.

    • arya says:

      Ahaha iya sih, tapi kalo aku ada di posisi penguasa kayak Ratu Anne, aku lebih suka dikelilingi oleh Sarah-Sarah yang berani menantang keputusan ketimbang dikelilingi oleh yes man-yes man kayak Abbigail

Leave a Reply