CAPTAIN MARVEL Review

“Emotions are what make us human.”

 

 

Berbeda dengan cerita-cerita origin superhero yang biasa, Captain Marvel tidak bercerita tentang gimana Vers mendapatkan kekuatan supernya. Kita melihat Vers sudah jago berkelahi, dia bisa mengeluarkan gelombang photon dari tangannya, namun dia diminta untuk mengendalikan kekuatan tersebut. Alih-alih kekuatan, perjalanan Vers berfokus kepada perjalanan menemukan siapa dirinya yang literally berdarah biru tapi bukan bangsawan, dan untuk melakukan hal tersebut, jagoan cewek ini tampaknya harus menggeliat melawan sistem yang memintanya untuk menahan diri.

Vers adalah bagian dari pasukan bangsa Kree, yang sedang dalam peperangan melawan bangsa Skrull, bangsa ‘kadal’ penipu yang bisa mengubah wujud menjadi apapun yang mereka lihat. Atau begitulah yang diajarkan oleh komandan kepada Vers. Vers diminta untuk tidak membawa perasaan ke dalam peperangan mereka. Karena emosi membuat seorang pejuang lemah. Vers, sebagai seorang wanita, tentu saja punya dorongan emosional yang kuat. But also, Vers juga bukan manusia yang lemah-pikir. Dia punya rasa penasaran dan ‘attitude’. Apalagi ketika dia menemukan kepingan-kepingan adegan di dalam kepalanya. Kenangan-kenangan tersebut mengusik Vers yang enggak ingat siapa dirinya sebenarnya. Mengganggu pikirannya dengan luapan emosi yang tak terjelaskan. Vers mengejar sumber kenangan tersebut, yang bisa jadi merupakan petunjuk tentang siapa jati dirinya, siapa musuhnya sebenarnya, dan seberapa kuat dirinya sesungguhnya. Bagian-bagian awal di mana Vers berlatih bertarung dengan sang komandan, dan Vers secara sengaja ‘menyelipkan’ emosinya dan buff! there goes down her superior – buatku ini keren dan menunjukkan sisi menarik dari tokoh yang acap disebut sebagai superhero terkuat semesta Marvel – dan juga kilasan ingatan yang muncul ketika Vers ngobrol dengan pemimpin bangsa Kree, sesungguhnya merupakan komentar tersembunyi yang dimasukkan oleh film.

Tentang bagaimana perjuangan seorang wanita dalam dunia yang seringkali didominasi oleh pria, bagaimana cewek diremehkan lantaran mereka kebanyakan pake emosi dibandingkan otak. But hey, coba tebak; justru emosilah yang membuat seorang manusia, manusia. Tahukah kalian bahwa emotion adalah singkatan dari energy in motion? Kita tidak bisa berfungsi dengan benar hanya mengandalkan satu, tak peduli kita cowok dan cewek. Inilah yang dipelajari Vers ketika dia terdampar di planet C-53 (alias Bumi); Vers melihat – dan terselamatkan – berkat Nick Fury, Agen Coulson, yang menggunakan emosi mereka.

 

lagi mikir “harusnya aku mampir ke 90an Indonesia aja ya, biar digodain dan bisa ngembat motor plus jaketnya Dilan”

 

Tetap dengan candaan dan one-liner khas film-film superhero Marvel, film inipun mampu membuat kita tersenyum-senyum simpul mengikuti jalan ceritanya. Paling ngakak tentu saja adalah interaksi antara Vers dengan Nick Fury yang masih muda. Film ini boleh saja mengambil tempat di tahun 90an, namun – oh boy – kita hidup di jaman modern, jaman di mana teknologi komputer sudah begitu luar biasa sehingga seperti tak ada bedanya melihat Samuel L. Jackson di film ini dengan melihatnya di film Pulp Fiction (1994). Ini bukan kali pertama Marvel menggunakan CGI untuk memudakan seorang tokoh, tapi yang sudah-sudah, kita hanya melihat ini dalam adegan flashback. Not in the entire movie. Dan kupikir, seperti beginilah contoh pemanfaatan CGI yang baik dan benar. Membuat kita lupa bahwa itu adalah aktor yang sama dengan yang jadi penjahat tua di Glass yang tayang beberapa bulan yang lalu. Penampilan visual yang begitu menyatu dengan bangunan dunia, dan tentu saja ilusi tersebut tak-kan terjual jika tidak dibarengi dengan penampilan akting. Jackson memberikan nyawa tersendiri sebagai Nick Fury muda yang baru saja melihat berbagai macam alien nongol di depan matanya. Seperti yang kutulis tadi, chemistry Brie Larson dengan Jackson sangat kuat, tokohnya Larson – si Vers – juga berakar pada elemen cerita fish-out-of-water ketika dia sampai di Bumi dan melakukan berbagai hal yang dianggap luar biasa oleh penduduk lokal seperti Jackson. Kita melihat komedi ala buddy-cop terpancar dari interaksi mereka berdua; mereka beragumen dengan kocak, dan pinter – leluconnya enggak receh – sungguh terhibur aku melihat mereka berdua.

Kalo dia beneran superhero, kekuatan super Larson agaknya adalah kekuatan ekspresi. Kita bisa melihat dia berjuang untuk menghidupkan tokoh Vers ini. Mimik dan gestur-gestur kecil yang diberikan oleh Larson, seperti ketika dia berteriak “yess!” sambil tersenyum saat gips metal yang membelenggu kedua tangannya akhirnya lepas, benar-benar menambah hidup karakter yang ia mainkan. Sekuen Vers berantem dengan gips metal ini merupakan porsi aksi favoritku, karena memang terasa fresh dan actually adalah momen langka film memberikan kevulnerablean kepada tokoh kita tersebut. Sungguh menghibur melihat Vers berusaha melepaskan metal tersebut dari tangannya dengan membenturkannya ke dinding pesawat, namun gagal. Dia lalu memukulkannya kepada musuh sekuat tenaga, dan metal tersebut masih belum hancur juga, effort dan tantangannya terasa sangat natural. Aku berharap sekuen seperti ini terus hadir, film terus berusaha mencari cara untuk membuat susah superhero yang kekuatannya dahsyat ini, namun sayangnya arahan sutradara dalam mengembangkan cerita sungguh tidak berimbang.

Istilah terburuknya, datar. Hampa. Larson tampak sudah berdedikasi tinggi memainkan tokohnya, hanya saja cerita seperti tidak pasti mau dibawa ke mana. Setelah kita diajak bernostalgia 90an dengan tempat rental video, kita ketawa dengan komedi Vers dengan Fury, cerita berubah menjadi tentang dua sahabat cewek yang sudah lama terpisah; elemen fish-out-of-waternya menguap begitu saja. Vers menjadi tidak lebih dari karakter yang kaku. Penggemar WWE yang menonton film ini pasti menangkap kemiripan antara Vers dengan Ronda Rousey yang hanya seperti disuruh berdiri menunjukkan tampang antara bingung dan marah. Sesungguhnya sebuah kesempatan yang besar untuk mengambil resiko saat kita punya cerita dengan elemen tokoh yang punya masa lalu yang tak mampu ia ingat, dan mereka berusaha menyusun kembali kepingan ingatan tersebut. Lihat apa yang dilakukan Memento (2000). Terlalu jauh? Well, lihat Alita: Battle Angel (2019). Kita belajar bersama tokoh Alita melalu aksi yang ia lakukan, melalui muscle-memory; somehow tubuhnya bisa bereaksi melawan android jahat dan dari aksi tersebut kita paham Alita dulunya seperti apa. Pada film Captain Marvel, masa lalu Vers dibeberkan lewat flashback, lewat dialog, lewat potongan adegan. I mean, enggak gaya amat. Alih-alih membiarkan tokohnya berkembang menjadi disukai dan sejajar dengan penonton, film ini membangun Vers sebagai sosok yang nun-jauh di atas yang lain dan harus didukung karena, lihat guys, dia baik-pinter-cakep-dan-kuat. Aku tidak menemukan alasan kenapa mereka tidak bisa membuat pendekatan dan bangunan cerita dan tokoh menjadi lebih menantang serta accessible. Seperti elemen makhluk pengubah-wujud yang ada dalam film ini; arahan tokoh ini juga hambar, mereka seharusnya bisa dibuat lebih menarik dengan segala misteri dan kebingungan dan muslihat, tapi aku bisa memaklumi kurang penggaliannya karena kita sudah melihat hal yang serupa pada Loki dalam dunia Thor.

sehubungan dengan itu, mungkin aku harus segera mengecek kucingku alien atau bukan

 

 

Marvel Cinematic Universe sudah sering mengambil penulis dan sutradara dari film indie dan memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan sinarnya. Lucunya, Anna Boden dan Ryan Fleck yang dipilih untuk menangani film ini lebih kayak tamu yang masih malu-malu padahal udah dipersilahkan masuk dan makan-minum apapun, ngapain aja sama yang punya rumah. Mereka seperti terpaku pada gaya Marvel. Sehingga gaya mereka sendiri enggak keluar sama sekali. Tengok betapa vibrant dan penuh warnanya Thor: Ragnarok (2017) di tangan Taika Waititi. Atau kerja James Gunn memvisualkan dua film Guardians of the Galaxy. Mereka membuat apa yang sudah punya gaya, menjadi lebih bergaya lagi. Captain Marvel mendapat perlakuan dan arahan yang begitu standar sehingga pada beberapa titik filmnya nyaris terasa seperti berubah wujud menjadi film-film yang pernah kutonton. Adegan memori Vers diacak-acak mengingatkanku pada adegan Harry Potter yang dibaca pikirannya oleh Snape. Adegan kejar-kejaran pesawatnya hampir membuatku merasa lagi nonton Star Wars. Dan adegan berantemnya, well, selain adegan berantem dengan tangan bermetal yang kusebut tadi, Captain Marvel tidak menyuguhkan sesuatu yang membekas di ingatan. Bahkan terkadang perlakuan adegan kelahinya, koreografinya, sukar untuk diikuti.

 

 

 

Film superhero Marvel paling malu-malu kucing yang pernah ada. Untungnya gak sampai malu-maluin, sih. Cuma datar saja. Seperti Vers, film ini butuh untuk menjadi lebih bebas lagi. Karena dia punya potensi, seperti yang terlihat menjelang pertengahan dan menjelang penghabisan. Ceritanya sebenarnya juga enggak datar-datar amat, ada beberapa agenda yang berusaha diselipkan, karena begitulah lumrahnya film superhero masa kini; selalu ada sisipan agenda yang mengomentari keadaan sosial kita dan semacamnya. Film ini masih bisa menghibur penonton; baik itu penonton biasa, penonton anak-anak, maupun penonton nerd kayak aku. Jarang-jarang ada cerita pahlawan super yang tokoh utamanya cewek, kan. Hanya saja memang inner beauty yang dipunya kurang tergali, lantaran pembuat film ini tidak berani mengeluarkan suaranya sendiri. Cuma seperti mereka ditugaskan membuat film untuk memperkenalkan siapa Captain Marvel untuk episode terakhir Avengers, dan mereka melakukannya. Hanya itu. Dan kita bisa sesegera mungkin move on nungguin tanggal tayang film berikutnya.
The Palace of Wisdom gives 6 out of 10 gold star for CAPTAIN MARVEL.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Menurut kalian seberapa penting sih emosi dilibatkan dalam tindakan atau pekerjaan kita? Apakah memang ada pekerjaan yang sama sekali enggak perlu melibatkan emosi? Apakah ada logika dalam menggunakan perasaan?

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

Comments

  1. Febrian says:

    Setuju, Bang, kayak nanggung gitu, padahal potensi wah-nya besar banget. Tapi kalo saya baca tanggapan fans2 Marvel sih katanya emang sengaja agak “ditahan” biar ga nutup Endgame. Jadi ini lebih ke build-up buat Endgame. Masuk akal sih, Captain Marvel kuat banget gitu. Oh iya, ini bukan pembelaan saya loh, Bang, cuma sekedar nyampein aja. Hehehe…

    • arya says:

      biar gak melampaui EndGame ya berarti, kayak kalo acara smackdown, sebelum partai utama ada pertandingan kecil-kecilan dulu haha.. masuk akal sih, ada pertimbangan urutan kayak gitu. Berarti ‘pesenan’ studionya memang kuat untuk film ini

      • Febrian says:

        Hahaha, iyak kayak gitu mungkin, Bang. Tapi tetep asik sih, cukup banyak jawaban2 tentang semesta Marvel yang bikin saya ‘oohhh gini..’ pas nontonnya. Tentang mata, misalnya. Openingnya pas logo Marvel Studios muncul keren tuh, emosional banget.
        Oh iya, satu lagi, saya inget ulasan Abang soal Thor yg dapet matanya lagi di Infinity War yg bilang kurang keren (atau apa gitu, pokoknya kurang deh. Lupa saya. Hehehe…), di sini kesan yg sama saya dapetin pas Carol ganti warna baju ke merah. ‘lah, gitu aja dah’. Hahaha…

        • arya says:

          ahahaha itu ngakak banget asal usul mata si Fury, gengsi dia ngaku dicakar kucing alien xD

          Aiya, jadi percuma aja mata Thor dibikin ilang trus ada lagi.. kostum Carol juga buatku agak flat efek emosionalnya, soalnya kan mestinya si anak yang desainkan warnanya, tapi ujung2nya tetep aja ide warna merah itu dari Carol sendiri

      • FARAH says:

        memang larson-jackson ini sudah main 3 film bareng ternyata, makanya chemistrynya dapet banget ya. krn udah sering roadshow bareng2 juga. aku pun baru tau setelah nonton talkshownya brie larson di late night show. dan sepertinya si larson ini ramah banget dan kocak aslinya

        • arya says:

          wah sudah banyak juga ternyata ya, aku ingatnya cuma Kong: Skull Island, tapi di situ Larson dapet tokoh yang suck banget, kerjaannya cuma motret hahaha.. Aku paling suka Larson waktu di Scott Pilgrim vs. The World, dia bisa nyanyi juga loh ternyata

  2. noelapple says:

    Menurutku, justru kelemahan terbesar di film Captain Marvel adalah bintang utamanya, Brie Larson. Dia kurang memberikan emosi yang greget, membuatnya menjadi kurang loveable. Sampai-sampai bbrp humor yang coba dia bawakan terasa datar, nggak nampol. Kalaupun ada humornya yg menjadi berhasil, itu krn dia punya sidekick yg bekerja efektif, yaitu Samuel L Jackson. Tanpa hadirnya Samuel L Jakcson (dan Goose), niscaya film ini nggak ada lucu2nya.

    Bahkan untuk adegan dramanya pun, pemeran2 pembantulah yang bekerja secara efektif. Seperti percakapan Carol Danvers dan sahabatnya sesama pilot, Maria, sewaktu mereka kembali bertemu untuk pertama kalinya, aku merasa emosi yang dikirimkan oleh Maria (lupa nama aktrisnya) menghidupan percakapan itu. Sementara ekspresi wajah Brie Larson constipated antara skeptis dan entahlah, kaku sekali. Begitu juga saat perjumpaan dengan para refugee antar galaxy, merekalah yg membuat adegan terasa haru, bukan Captain Marvel-nya.

    Kesimpulan, menurutku film ini punya cerita yang bagus, dengan twist di tengah cerita yg menarik, dan punya pesan yg sangat simpatik utk kaum refugee (mau dihubungkan ke mana, silakan). Tapi sayangnya yang membuat cerita bagus ini terasa bisa dinikmati justru bukan karena tokoh utamanya, melainkan tokoh2 pendukung di sekitarnya. Dengan kata lain, katakanlah sang superhero di film ini bukan Captain Marvel, tapi Nebula atau Okoye misalnya, it will work, asal para pemain pendukungnya tidak diubah.

    Soal seberapa penting emosi dlm pekerjaan, menurutku emosi penting sebagai mitra dari aspek kognitif dan motorik, selama emosi itu berupa perasaan cinta thd pekerjaan. Katakanlah kita punya modal utk berkarya sebagai penulis blog review film, karena kita paham teknis tulis-menulis; tapi jika kita tak punya kecintaan yang sungguh2 terhadap film, atau bahkan tak punya kecintaan terhadap dunia blogging, terus bakal tahan berapa lama ngeblog? Emosi penting. Tapi kadang orang keblinger juga: berusaha mencintai suatu pekerjaan. Kalau masih berusaha, berarti sebenarnya belum/tidak cinta. Mending jalani saja yang sudah kamu cintai, ini yg namanya passion. Sebab berusaha mencintai itu justru akan jadi bagian yg paling bikin capek. Tapi kalau mau nyoba, ya gpp sik.

    • arya says:

      Menurutku itu ada hubungannya juga ama arahan film, mereka ingin membuat Captain Marvel ini sebagai superhero terkuat, juga wanita yang kuat, dan seperti tidak memperbolehkan Carol untuk menunjukkan sisi lemahnya. Ini diterjemahkan Larson sebagai stoic nyaris sepanjang waktu. Range emosi tokoh ini sebenarnya cukup luas, dan anehnya pas yang ‘sombong2’, yang ‘jagoan2’, yang ‘smirk2’ kayak momen “Yeah tangan gue bebas” itu Larson dapet. Cuma pas yang lebih manusiawi, bener banget – gak kerasa. Film malah menekankan karakternya dari flashback2, menyuruh kita kasian lewat gamabr2 Carol jatoh dan dihina.

      Ya aku setuju. Menurutku kita perlu mencurahkan emosi buat yang kita lakukan untuk menunjukkan kita punya passion terhadapnya. Tapi ya kepada pekerjaan, bukan distraksi ke hal-hal yang datang bersama pekerjaan tersebut. I don’t think seorang judge harus bawa-bawa emosi ketika menjatuhkan vonis, ataupun seorang karyawan yang melampiaskan emosi karena habis dibentak bos – emosi yang bukan seperti itu. Dan buatku ironis juga sih, karena film ini justru memperlihatkan emosi itu penting – mereka ngurangin porsi emosional dari arahan tokh Carol dan nyatanya tokoh tersebut kurang beresonansi dengan kita. Larson sendiri malah jadi terlihat bermain gak bagus.

      • noelapple says:

        Tp kalau mau diposisikan Captain Marvel sbg harapan terakhir, kyknya itu harapan terakhir yg secara hitung2an masih jauh dr level Thanos juga sih. Kalau dihitung aja, Thanos punya 6 infinity stone di tangannya. Sedangkan Capt. Marvel kekuatannya cuma dari satu, yaitu Space Stone. That’s why juga kan kenapa Thanos bisa kalahkan Vision & Scarlet Witch dgn mudah, krn satu batu VS 6 batu ajaib. Kalau aku sih menilai peran krusial Capt. Marvel adl mengembalikan Tony Stark ke bumi, krn Capt. Marvel punya kekuatan menembus lintas ruang angkasa. Dan akhirnya tetap Tony Stark inilah yg akan menjadi kunci mengalahkan Thanos, sebab Dr. Strange kyknya sudah menyiratkan hal itu, yg membuat Dr. Strange lbh merelakan Time Stone asal Tony Stark tetap hidup. Mungkin Tony akan me-reveal proyek2 rahasia SHIELD dr zaman bapaknya, dan ada senjata pamungkas di situ. Ini prediksi aja sih.

  3. arya says:

    Captain Marvel udah kayak Harapan Terakhir gitu ya, kuat sekali memang…

    tau-tau ntar endgame twistnya Captain Marvel jadian ama Thanos, the power of love ahahaha

  4. FARAH says:

    mas kepo aja nih, mau komen di post terakhir kurang related soalnya. udah dapet presale tiketnya endgame blm? heboh bgt kayanya tadi subuh sampe ada bbrp apps yg down hahaha biar bs baca reviewnya cepet2

      • FARAH says:

        hype banget masssss, di cgv grand indonesia malah pas aku lg booking tadi, ada jadwal tayang jam 26.30 loh tgl 24 nanti hahahaha, dan udah ada yg ngisi pula 2 seat di tengah. ngga ngerti lagi itu gimana konsepnya

Leave a Reply