US Review

“Know your enemy”

 

 

 

Horor terbaru garapan komedian pemenang Oscar Jordan Peele bertindak hebat sebagai cermin buat melihat refleksi mengerikan kehidupan sosial supaya kita dapat melihat dengan jelas bahwa musuh sesungguhnya bukanlah ‘mereka’. Melainkan ‘kita’. Kita yang membuat tembok pemisah itu ada. Ralat; kita yang jadi tembok pemisah di antara kita sendiri. Jika Yowis Ben 2 (2019) bisa membuat kata ‘gandeng’ sebagai komedi yang efektif; maka film Us ini membuat bergandengan tangan yang tadinya simbol pemersatu berubah menjadi simbol yang membatasi. Dan secara kontekstual keadaan negara asal film ini sendiri, Us merupakan komentar yang kuat terhadap negara U.S. (hey bahkan judul filmnya kayak ngarah ke nama negara mereka kan) dengan bagaimana teror dalam film ini berjati diri sebagai ‘orang Amerika’ dan tokoh utamanya menjadikan Meksiko sebagai tempat tujuan keselamatan.

Mengerikan bagaimana film ini rilis berdekatan dengan kejadian seorang teroris yang menembaki jemaat Jumatan di Selandia Baru, di mana berbagai media ‘kulit putih’ memberitakannya dengan malu-malu, seolah mereka tidak mau mengakui teroris bisa datang dari golongannya. This is exactly what this Us movie is about. Lebih gampang untuk menuding mereka terbelakang, budaya yang mendukung kekerasan, yang penuh kebencian. Lihatlah betapa lincahnya media-media itu mengelak dari mengatakan pelakunya adalah “teroris dari golongan kita” – karena itu berarti seperti mengakui seluruh putih juga sama kasarnya. Atau seperti mengakui dirinya sudah salah selama ini?

Film Us mendorong kita, dari golongan apapun, untuk berhenti memberikan privilige – menyudahi dobel standar – dan menerima bahwa kekurangan itu bisa datang dari dalam diri sendiri yang telah salah melihat perbedaan sebagai pemisah

 

Menjadi komedian yang hebat sudah barang tentu dapat mengasah ketajaman seseorang dalam melontarkan kritikan dengan subtil; menangkap esensi yang ingin dibicarakan, mengamplify hal tersebut berkali lipat sehingga kita horor mendengarnya, dan kemudian mewarnainya dengan cerdas dalam warna-warni komedi. Jordan Peele ini adalah contoh nyata seorang komedian dan sekarang sutradara horot yang hebat. Dalam Get Out (2017) kita diperlihatkan pandangan yang kuat sekali tentang ketakutan terhadap ras. However, dalam film Us kali ini, Peele lebih banyak bermain-main dalam genre horor itu sendiri. Us tampil sebagai pure horor yang menyenangkan, yang memuaskan penggemar horor sepertiku yang udah jarang banget dapat horor yang berisi. Us bercerita tentang satu keluarga yang sedang berlibur, dan liburan mereka berubah menjadi petaka saat rumah mereka disatroni oleh keluarga misterius berpakaian merah, membawa gunting, dan ini nih paling horornya; berwajah mirip banget sama mereka! Jadi, Us ini balutan ceritanya berupa thriller home invasion, akan ada orang mengendap-ngendap membawa perkakas apapun yang bisa mereka temukan untuk membela diri, akan banyak tusukan di sana-sini, darah bermuncratan, visual dan musik yang eery banget (lucunya ada satu musik film ini yang ngingetin aku sama musik game South Park: The Stick of Truth).

salah satu hak istimewa yang mereka miliki adalah gak takut hitam main panas-panas

 

Perhatikan cara film menghujamkan kengerian tentang kembaran dan duality kepada kita semua di babak pertama. Kaca yang bukan kaca, frisbee yang dengan tepat menutup pola alas duduk di pantai, kemunculan terus menerus angka 11:11 sebagai sebuah simetri mengerikan – mengenai makna horor dari 11:11 secara general sudah pernah aku tuliskan di review 11:11 Apa yang Kau Lihat (2019) – dan bagaimana film mengaitkan angka tersebut dengan ayat kitab yang bersuara sebagai peringatan untuk hal mengerikan yang akan datang. Suspens dan ketakutan kita sudah ikut terbendung bersamaan dengan kecemasan yang dirasakan oleh tokoh utama kita; Adelaide. Seorang wanita yang punya trauma bertemu dengan ‘gadis cermin’ saat ia tersesat di wahana taman hiburan semasa kecilnya.

Adelaide diperankan oleh Lupita Nyong’o, aktris ini akan membuat kita melongo menyaksikan kebrilianan aktingnya. Aku sendiri berharap penampilan Nyong’o di film ini akan berhasil mematahkan ‘kutukan’ Oscar terhadap genre horor. Dalam Us, tantangan bagi Nyong’O adalah memainkan dua orang yang serupa tapi tak sama. Adelaide, dan Red kembarannya. Yang satu melotot cemas, yang satu lagi melotot bikin kita pengen pipis di celana. Duality antara dua perannya ini berhasil tersampaikan dengan luar biasa. Malahan, bukan hanya Nyong’O saja. Cast lain juga bermain dengan rentak yang benar-benar mentok. Mereka harus memainkan dua versi yang berbeda dari tokoh yang sama. Adelaide punya suami dan dua anak, dan pada satu poin cerita keempat orang ini masing-masing harus berhadapan dengan kembarannya. Peran mereka menuntut banyak, dramatis dan creepy, sekaligus juga komedi. Ini actually jadi salah satu kehebatan dari arahan dan penceritaan film Us. Bahkan komedinya saja bisa begitu menyatu dengan horor. Tidak terasa terpisah, tidak ada satu karakter yang dipaksakan nyeletuk konyol untuk komedi – membuat tokohnya terkotak di sana. Komedi pada Us berjalan sama naturalnya dengan drama dan teror yang disajikan.

Yang membuat film ini berbeda dari kebanyakan horor adalah kita yang menonton merasa bahwa ceritanya yang mengusung fenomena aneh tersebut punya interpretasi yang beragam sehingga kita tertarik untuk pengen menonton lagi. Dan tentu saja, jika kita nonton ulang kita akan bisa melihat film ini dari sudut pandang yang berbeda, kita akan menangkap maksud-maksud yang mungkin terlewat. Heck, kita akan dibuat pengen nonton lagi karena ini adalah horor yang benar-benar menyenangkan, yang dibuat dengan penuh passion. Film ini justru bertambah urgen saat kita sudah pernah menontonnya, padahal ceritanya sendiri sengaja dibuat obvious oleh Peele. I do think film ini bisa lebih baik jika dibuat lebih ambigu. Misalnya seperti Annihilation (2018) yang ditutup dengan enggak jelas apakah yang di akhir cerita itu tokoh utama yang asli atau android kloningannya. Yang akan membuat endingnya terus dibicarakan. Us dihadirkan dengan sebaran metafora, namun pada akhirnya semua kejadian itu terangkum dengan jelas apa dan kenapanya. Dan mungkin saja itu bukan pilihan yang membuat film terasa maksimal. Namun aku mengerti kenapa Peele membuat film ini punya kesimpulan yang terang. Sebab dia ingin kita semua mengerti apa yang ia sampaikan. Karena dia ingin menekankan poin-poin yang mendukung komentar dan kritiknya tentang siapa musuh kita sebenarnya. Dia ingin membuat kita membicarakan ini bertahun-tahun kemudian, alih-alih membicarakan siapa yang asli mana yang palsu.

Karena inilah poin film yang utama: semua orang sama, tidak ada asli-palsu. Tidak ada us or them.

 

 

Dan sampailah kita ke ranah spoiler. Inilah alasan kenapa aku sengaja telat mempublish review Us, karena yang udah sering mampir ke blog ini pasti tahu aku gak akan segan-segan menuliskan isi mendetail film. Jadi aku sengaja ngasih tenggat waktu sedikit supaya pada menonton dulu sebelum baca review ini. Tapi aku gak bisa menahan diri selama itu hehehe… so here it goes:

Lewat Us, Peele ingin menunjukkan bahwa semua manusia itu sama. Yang membedakannya adalah privilege. Menurutku inilah kata kunci utama yang menjadi tema besar film horor ini. Privilege – hak istimewa. Dan bagaimana kitalah yang salah karena privilege itu yang bikin ya kita sendiri. Kita yang mengistimewakan suatu golongan di atas golongan yang lain.

 

Makanya para kembaran yang hidup di gorong-gorong bawah tanah itu disebut sebagai the Tethered – Yang Tertambat. Yang Terikat. Mereka tak punya privileged untuk bergerak. Mereka harus ngikutin kembaran asli mereka. Film memperlihatkan kembaran suami dan anak Adelaide yang paling kecil mati karena mereka harus menirukan gerakan suami dan anak Adelaide yang asli. Padahal orang-orang bawah ini, tak kalah cakap. Bahkan film menunjukkan para kembar jahat ini lebih jago lari, lebih kuat dari yang asli. Ada momen menyentuh ketika kita menyadari bahwa si anak tiruan mengalami luka bakar hanya karena api di tangannya menyala sedangkan api di tangan yang asli tidak karena yang asli kalah kompeten. Inilah kenapa film memutuskan untuk memberi tahu kita Adelaide itu sebenarnya bukan yang asli – bahwa dia dan kembarannya bertukar tempat. Karena film ingin menunjukkan bahwa tak ada perbedaan yang mendasar. Si tiruan bisa punya anak, bisa jatuh cinta, bisa punya perasaan. Mereka bisa bicara layaknya orang normal jika dilatih, sama persis ama manusia. Hanya tempat dan privilege saja yang mereka tak punya. Mereka tak bisa memilih jodoh di bawah sana karena harus menuruti versi yang tinggal di atas. Tempat juga jadi faktor yang menarik. Adelaide asli tidak kunjung normal kemampuan bicaranya semenjak lehernya dicekek waktu kecil karena tidak ada yang mengajaknya bicara di bawah sana. Keturunan Adele yang asli tak bisa berkembang normal di bawah sana. Adelaide yang asli malah merasa dirinyalah yang tiruan; karena ia tinggal di tempat yang tak mengakui siapa dirinya – the human within. Hanya ketika dia bisa menarilah, orang-orang bawah mulai mendengarnya, dan inilah yang menyebabkan Adelaide asli mulai memikirkan gerakan invasi.

Pada akhirnya, keputusan film untuk membeberkan jawaban alih-alih tetap ambigu adalah untuk mempertegas bahwa yang enggak istimewa pun bisa menjadi istimewa jika diberikan kesempatan yang sama. Pertanyaannya adalah maukah kita memberikan kesempatan yang sama terhadap semua orang. Semua hal. Film bioskop, misalnya, sebuah film boleh saja dapat privilege diberikan jumlah layar yang banyak sehingga mereka mendapat kemungkinan perolehan jumlah penonton yang lebih banyak dan kita berargumen filmnya pantas mendapat keistimewaan. Dan kita berargumen gak semua film bisa sesukses dia jika diberi kesempatan yang sama. Tapi dari mana kesimpulan ini sesungguhnya? Padahal yang lebih penting adalah, mau tidak memberikan film lain perlakuan jumlah layar yang sama. Beranikah mencoba memberi kesempatan yang sama untuk dia membuktikan diri? Nah ‘Kenapa’ tersebutlah yang jadi pokok persoalan film Us. Kenapa kita membeda-bedakan, kemudian merasa terancam ketika ada yang berusaha mendapatkan privilege. Kenapa kita menciptakan sesuatu untuk dikejar dan terusik ketika ada yang beneran mengejar. Perkara ini adalah tokoh kulit hitam memperkuat tema privilege dan kita semua sama tersebut sebab di luar sana perbedaan perlakuan itu masih terjadi.

 

 

Jika dibandingkan, film ini terasa lebih pure horor ketimbang Get Out yang lebih tematis. Namun pada film ini, Jordan Peele menunjukkan kedewasaan dalam bercerita. Dia tidak lantas menjadi pretentious dalam film keduanya ini. Film ini dapat dinikmati, bahkan bikin kita pengen nonton lagi secepatnya. Kita bisa menerima penjelasan cerita bahwa kelinci itu ada untuk makanan para Tethered, namun kita tetap pengen nonton lagi karena kelinci itu kita pikir bakal punya arti lebih dalam. Film mendorong kita untuk mempertanyakan dan mencari jawaban, meski mereka sudah meletakkan jawabannya. Bobot komentar sosial yang disisipkan pada akhirnya membentuk seperti apa akhirnya film ini, and it’s a really interesting shape.
The Palace of Wisdom gives 7.5 gold stars out of 10 for US.

 

 

 

 

 

 

That’s all we have for now.
Apa kalian punya teori sendiri tentang film ini? Kenapa menurut kalian senjata penjahat film ini adalah gunting terkait dengan elemen kembar yang ia usung? Setujukah kalian semua orang di dunia berhak atas kesempatan yang sama?

 

Buat yang suka cerita tentang ‘kembaran’ dan ‘cermin’, silakan disimak film pendekku yang berjudul Gelap Jelita: https://www.vidio.com/watch/1597796-isff2019-gelap-jelita-full-movie-bandung

Remember, in life there are winners.
And there are losers.

 

 

 

 

We?
We are the longest reigning BLOG KRITIK FILM TERPILIH PIALA MAYA.

 

 

 

Comments

  1. Albert says:

    ini salah satu film horror paling menghibur dan bagus yang saya lihat mas. Tadinya skeptis karena banyak yang bilang bagus kayak get out, padahal entah kenapa saya ga suka get out ya, lupa juga sih cerita detailnya. Lalu banyak yang bilang mesti mikir baru bisa paham film Us ini. tapi saya kok cukup paham ya maksud filmnya.

    Tadinya saya duga jahatnya bakal menang lalu pura2 gantiin posisi ibunya di ending. tapi ternyata malah sejak kecil tertukarnya. Ini malah saya lebih bisa terima karena ga masalah kecilnya gimana, tapi tokoh utamanya tetap bisa menjadi “baik” juga kalau dikasih kesempatan.

    • arya says:

      bener banget, makanya dibikin tertukar dari kecil – kalo dikasih kesempatan, ‘kembaran jahat’ itu bisa juga jadi baik, malah ternyata yang asli yang bikin rencana jahat.

      sama, Us ini kayak lebih ‘ringan’ gitu, gak ambigu karena semuanya dijelasin ama film

  2. Iman says:

    the way Adelaide asli ngomong creepy yet menarik ya, dan beneran aktingnya Lupita keren bgt. 2 karakter yang hampir bertolak belakang tp flawless dia deliver, plus penampilan Elisabeth Moss sangat mencuri perhatian.
    kemarin nonton hanya tertarik sama akting Lupita dan musiknya, dan masih menganggap linear aja ceritanya seperti horor kebanyakan dgn twist di akhir yang biasa aja. Tapi setelah baca ulasan disini jd mau nonton lagi, setidaknya lihat akting Lupita dan Moss lagi.

    • arya says:

      keterlaluan nih Oscar kalo tahun ini Us juga di-ignore, jangan sampe Lupita kayak Toni Collette di Hereditary tahun lalu haha #givehorrorachance

  3. Febrian says:

    Anaknya yg kecil, Jason, juga menarik. Dia satu2nya yg engeh soal “gerakan cermin”. Dan di ending tatapan ke ibunya juga menarik. Dia engeh juga kah kalo ibunya itu aslinya orang “bawah’?

    • arya says:

      dia tau dari pas berdua di closet itu kayaknya, pinter nih anak emang haha.. tau lah pasti dia di ending itu; dia tau ibunya orang bawah, dia tau dirinya keturunan orang bawah

      • Febrian says:

        Berarti sifat cerminnya udah ga 100% ya, Bang, ga kayak pas bener2 masih pada tinggal di bawah? Dan kenapa cuma Jason aja yg masih bisa sifat cermin?

        • arya says:

          iya, kayaknya either diajarin sama Red, mereka jadi patuh sama Red, atau free-will mereka memang gede sehingga bisa bebas. Si Abraham juga masih nunjukin sifat cermin kok, ada adegan Gabe benerin kacamata, tangan si Abraham juga ngikut padahal dia gak pake kacamata

      • Febrian says:

        Bang, gini ga sih, Bang, andai si ibu ga pernah tukeran tempat, maka orang bawah ga akan ngebunuhin orang atas karena mereka ga punya informasi tentang atas? Jadi orang bawah itu tau tentang orang atas dan ngebunuhin karena dapet informasi dari emaknya yg ditukar itu? Jadi bisa dibilang Adelaide ini sebagai penerang, penyelamat dan “provokator” juga.

        • arya says:

          haha iya juga ya, kalo gak ada yang bisa ngomong gak bakalan jadi gerakan tuh orang bawah. Ini mungkin komentar buat politik juga kayaknya haha menarik, massa tergerak karena ada orang yang punya visi (baik atau buruk), bisa ngomong kayak red

  4. arya says:

    eksperimen pemerintah atau semacamnya itu, sainsnya gak tau deh ahaha.. Get Out juga ada elemen sains gak masuk akal juga kan. Kelinci untuk makanan, sama-sama makhluk percobaan, paling subur itu kelinci, atau mungkin ada biblical reference lagi – aku gak tau juga kalo ini.

    Syok pastinya itu, kondisinya lemah juga karena abis dicekek ampe gak bisa bicara, dia pasti juga heran di bawah sana kenapa ada orangtuanya juga.. Aku ngebayangin di atas, ayah ibu aslinya pasti langsung protektif kan sama si kembar, secara mereka taunya anaknya hilang trus muncul lagi – dan di bawah, kembaran ayah ibunya pasti ngelakuin hal yang sama ke lupita asli sehingga dia gak bisa ngapa-ngapain juga. Tangannya juga diborgol kan kalo gak salah? Butuh waktu untuk lupita kecil memahami, keadaan di bawah sana membentuk pribadi barunya, dan ketika paham dia udah nemuin cara baru untuk balas dendam.

  5. Salita Ulitia (@ulitiaaa) says:

    omaigaaatt reviewnya spoiler sekaliii, untung aja udh nonton :)) ini kira2 bakal dibikin pre-quelnya ga sih bang? misal kayak kenapa bisa bikin 2 gen yg bisa persis sama semuanya gitu…
    nah itu, aku juga kepikiran gunting, kenapa ga pisau atau tali aja? aku mikirnya memang gunting identically bagian kanan dan kirinya, sukaa detail begini dibahas sama bang arya. hihi

    • arya says:

      ahahah makanya aku gak ngeposnya di hari tayang kayak biasa, kalo gak spoiler susah nyampein maksud filmnya xD

      gak tau deh kalo prequel, mungkin aja ntar Peele bikin satu film khusus m’bahas teori2 eksperimen dalam film-filmnya, karena imajinasi orang ini ternyata liar sekali hahaha.. iya aku suka senjatanya gunting karena simetris kanan kirinya, kayak kembar kan

    • Irfan Satya Aji says:

      aku pernah baca di artikel lain krn gunting terdiri dari dua bagian yg sama untuk menjadi sebuah satu benda..sesuai filmnya kan, dua orang yg sama untuk satu buah jiwa. kurang lebih ini adalah senjata yg paling cocok buat film ini hehe.

      • arya says:

        setuju, gunting itu cocok dengan perlambangan simetri yang jadi tema film ini.. gimana dua bentuk yang sama jadi alat pemutus.. dan bentuknya kalo digenggam kebalik juga mirip-mirip kepala kelinci ahahah

  6. Sursur says:

    Ketika belum nonton dan baca review dulu: apaan sih, ini bahas apaan sih. Kok gue gak ngerti.

    Dan pas udah nonton! Baca ini lagi,: BOOOOOOMMMM!!!! SANGAT SANGAAAAT… SANGAAAAT…

  7. khaliqabdi3 says:

    Pengen banget nonton, tapi kira2 ada adegan berdarah yang kena gunting sensor gak bang? Jujur aku paling jengkel sama film horror yang kena sensor (kalo yang disensor adegan vulgar sih aku nggak masalah.)
    Kalo memang ada, kayaknya aku harus bersabar nunggu versi bluray torrentnya aja deh… hahahahaha

  8. Febrian says:

    Karena nonton ini jadi nonton Get Out. Jordan Peele emang punya concern sama warga yg dianggap “kelas dua” ya. Get Out untuk masyarakat kulit hitam, Us untuk masyarakat yg punya keterbatasan atau malah dibatasi kesempatan dan gerakannya. Dan ga cuma itu, tapi juga ngasih tau kalo mereka yg dianggap kelas dua ini punya kemampuan yg lebih. Di Us mereka bisa ngalahin dan ngebunuh orang2 kota (kita anggap aja ini prestasi ya.. hehehe..), di Get Out lebih jelas lagi karena ngejelasinnya pake dialog. Ngomong2, Bang, ada rekomendasi film yg setipe kayak dua film ini lagi ga? Horor tapi bukan karena setan, ya walaupun karena setan tapi ga jumpscare dimana2, sekaligus diajak mikir juga. Kalo ada sih yg juga ada isu2 kesehariannya. Hehehe, banyak ya saya maunya. Hahaha, maaf maaf kalo ngeribetin, Bang.

    • arya says:

      hmm.. yang pertama terpikirkan sama aku adalah The Host ama The Wailing. Itu dua-duanya film Korea, yang satu horor monster dengan filosofi sosial induk/orangtua dalam ceritanya, satu lagi horor psikologis dengan elemen supernatural tentang prejudice sosial.. coba deh, aku nonton dua ini pas halloween kemaren dan sampe sekarang filmnya masih nempel haha

  9. Irfan Satya Aji says:

    sangat setuju dg “privilege” yg udah disebut di reviewnya mas 😀 jika mendapatkan kesempatan yg sama, orang “bawah” pun juga bisa menjadi sesuatu.

    oh iya satu hal mas, menurut njenengan kemampuan menari Adelaide/Red itu siapa duluan yg memunculkan? Adelaide atau Red? apakah muncul dari tiruan yg sudah dilatih di atas? atau apakah muncul dari manusia asli yg dari awal sudah berbakat?

    i have my own opinion and i want to know yours, mas 😀 hehe

    • arya says:

      kalo aku lebih senang melihatnya sebagai si Red yang duluan menari, biar dialog si Red di akhir itu terasa kuat. Dia yang memulai tapi orang di atas yang mendapat penghargaan, karena di atas punya kesempatan, meskipun dialah yang asli.. makanya kayak yang aku tulis di review; tempat (atas dan bawah) juga punya peranan penting

  10. Efdee says:

    Terlepas dari teori segregasi ‘privilege’ antara 2 kelas sosial dan negara AS (US), sy sempat mikir jg film “Us’ ini spt metafora utk pikiran dan kenyataan dlm diri seseorang. Pikiran (mungkin juga alam bawah sadar?) diwakili the Tethered dan tmptnya yg terisolir, sedangkan kenyataan ya diwakili dunia luar. Sisi gelap pikiran seseorang bisa ‘mengambil alih’ dan mendominasi/bermanifestasi jd kenyataan.

    Pikiran yg gelap bila dibiarkan bisa ‘berkembang biak’ tak terkendali, yg mgkn digambarkan oleh kelinci pd film ini (soalny kelinci tergolong hewan yg sgt mudah bereproduksi). Tapi dlm pikiran gelap sekalipun, sisi ‘terang’ itu masih ada; ini kykny digambarkan saat adegan ketika Adelaide nari balet, sdgkn The Tethered lainnya berdiri melongo. Di situ, mnrtku Adelaide mggmbrkn sisi ‘terang’nya

    Serasa bljr psikologi/ilmu kejiwaan sih ketika nonton film ini. Utk tipe film yg mikir, film ini sgt bagus mnrtku. Tp klo utk sekedat nakut2in, msh kalah jauh ama film lokal kita. Nevertheless, akting Lupita khususnya benar2 the best. Sy setuju she deserves awards/accolades for her performance. Sy benar2 tggu sequelny klo ada, yg lbh greget nakutin dan mjwb semua pertanyaan dgn utuh.

    • arya says:

      hahaha menarik sih sebenarnya ini; ngeliat kembaran jahat memang mengerikan, tapi dibandingkan dengan hantu tetep aja hantu lebih terasa ‘mungkin’ sehingga kesannya lebih seram ya xD

  11. Reynaldo says:

    Dari sekian banyak adegan, gak tau kenapa, tapi pas di scene dopple ganger nya istri Josh setelah ngebunuh yang asli, terus doi ngaca dan nyobain make lipstik, saya beneran hampir nangis karena si “tethered” , si istri palsu make tuh lipstik dengan penuh rasa bangga dan bahagia, keliatan banget di sorot matanya. Ini scene yang menurut saya sederhana tapi powerfull sekali mas. Menunjukkan bahwa siapa saja berhak atas kesempatan yang sama untuk punya hidup yang “menyenangkan’ dan bahagia. Selain itu, yang paling keren juga pas si Red bersiul untuk terakhir kalinya sebelum mati dan bibir si Adelaide “yang jadi doppleganger” yg tertukar , doi bibirnya juga ikutan monyong mau bersiul Juga. Asli ini merinding banget dan seketika saya baru tau di scene ini kalau mereka bertukar tempat.
    Kekurangan nya apa ya, mungkin tone antara komedi dan horor yang kadang agak bentrok sampe saya jadi agak bingung harus ketawa dan ketakutan di saat yang bersamaan, tapi di situ juga sisi “enjoyable” nya keluar wkwkwk. Dan sebenarnya pengen dijelasin sedikiiit lagi plis, tentang gimana metode pemerintah untuk menciptakan kembaran itu (maaf , saya penggila segala sesuatu yg berhubungan dengan sains dan rekayasa genetika hahaha #lebay)

    • arya says:

      wah aku malah gak ngeh adegan siul terakhir itu, kereeennn berarti si adelaide masih struggle juga untuk gak ngikutin red ya..

      teori scientificnya sengaja gak dilihatin banget ya sama si Peele.. cumak klue air minum mereka difloridin, kita gak dikasi lihat proses klonenya sendiri bagaimana

  12. Mutiara says:

    Aku baru banget nih selesai nonton ini, dan selalu googling review film kalau yang endingnya twist gini, karena seru untuk tahu sudut pandang orang lain tentang jalan cerita filmnya.

    Dan jujur aku menikmati jalannya film ini, sampai dengan waktunya menuju ending, baru berasa sedihnya. Adegan di mana ketika fighting terakhir antara Adelaide dan Red, di mana Red menghindari pukulan-pukulan dari Adelaide dengan menggunakan tarian ballet-nya, dan itu smooth banget. Di situ aku menilai bahwa walaupun keadaan yang membentuk karakternya menjadi sedemikian rupa, tetapi jati dirinya tidak berubah. Dia tetap sangat pandai dalam hal menari.

    Kemudian yang tambah bikin nyesek adalah ketika Red ditusuk dan dia masih bisa siul doooonkkk, di situ aku baru sadar dan langsung yakin kalau mereka dari kecil sudah tertukar. Karena di masa kecilnya Adelaide yang asli ketika masuk ruangan cermin kan bersiul. Dan di masa akhir hidupnya seperti tetap perjuangin banget jati dirinya bahwa dia loh sebenarnya Adelaide yang asli. Namun Red menghapus itu semua dengan “keji”nya, aku merinding pas dia nyekek (lagi) Red-nya supaya dia mati, sambil ketawa nyebelin gitu. Dan langsung kehilangan respect dan makin yakin kalau mereka tertukar. Dan benar aja dikasih penjelasannya.

    Intinya sebenarnya di film kalau menurut aku pribadi adalah, tentang keyakinan terhadap diri kita sendiri, sih. Terlepas dari kemungkinan adanya issue-issue politik yang ingin disampaikan, yang sudah dibahas sebelumnya di kolom komentar ini. Tentang seberapa diri kita sendiri yakin dengan diri kita, dan seberapa besar usaha kita dalam membuktikannya. 8/10.

    • arya says:

      jadi kayak mengalahkan sisi negatif dari kita sendiri gitu, ya mbak, seberapa gigih kita berusaha untuk percaya pada diri sendiri. Itu yang membuat orang bawah bisa hidup kayak manusia normal, dan Adelaide asli enggak melupakan dirinya yang sebenarnya.

  13. InoMoxo says:

    Waktu saya nonton ni film, entah kenapa opening dari film ini yg jelasin ttg ribuan mil terowongan di US yg ga kepake jd kaya patokan sih buat saya. Scoring musiknya khas lah yaa, creeepy, tapi saya suka ketika lagu2 rap itu dimasukin, nyegerin

Leave a Reply